Life is journey not a destinantion ...

Sepasang Walet Merah

INDEX BUANG SENGKETA
Geger Di Bukit Seribu --oo0oo-- Banjir Darah Di Bukit Siluman

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide, hanya kebetulan belaka

Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Tanpa menghiraukan udara pagi yang terasa begitu dingin menggigit sampai ke sum-sum tulang. Perempuan itu terus berenang menelusuri Sungai Banyu Urip yang jernih, namun memiliki kedalaman tidak lebih dari empat tombak. Sesekali tubuhnya yang berkulit halus mulus tampak melonjak-lonjak bagai sosok makhluk yang sudah sampai pada puncak birahi. Lalu tubuhnya kemudian lemas lunglai, mengembang di atas permukaan air sekejap, selanjutnya tubuh itu tenggelam perlahan. Lenyap tak lebih dari sepemakan sirih lamanya. Air di dalam Sungai Banyu Urip tampak kembali tenang bagai tak pernah ada siapa pun hadir di dalamnya. Tinggallah tebing batu cadas nan bisu yang menjadi pagar dalam derasnya air Sungai Banyu Urip yang banyak menyimpan seribu satu macam misteri.
Lalu saat mana perempuan berkulit putih mulus dan tanpa mengenakan sehelai pakaian itu kembali muncul ke permukaan air. Maka perubahan pun langsung terjadi Air Sungai Banyu Urip yang semula nampak tenang, bening nan sejuk tampak bergolak. Bahkan rasa dingin yang ditimbulkannya, mendadak saja berubah hangat dan seiring dengan perubahan itu, warna air di dalamnya berubah pula menjadi merah. Darah! Tubuh perempuan itu mengejang dengan geletar-geletar kecil di sekujur permukaan kulitnya. Seiring dengan perubahan-perubahan secara mengejutkan tersebut, maka gejolak air dari bawah dasarnya mulai menimbulkan riak-riak gelombang yang akhirnya menimbulkan satu gerakan yang tak ubahnya bagai pasang surut air laut. Detik selanjutnya seluruh permukaan air tempat di mana perempuan berambut panjang dan berwajah lumayan, tampak berputar-putar membentuk satu pusaran air yang sangat kencang sekali. Kini kembali tubuh telanjang tersebut timbul tenggelam dipermainkan pusaran air yang mengelilingi tubuhnya. Tapi dari mimik wajahnya yang oval mengisyaratkan, tiada rasa ketakutan membayang di sana. Sebaliknya sepasang bibirnya yang ranum itu menyunggingkan seulas senyum renyah. Terkadang terdengar pula suara mendesis dan erangan-erangan kecil secara samar-samar. Ada sesuatu yang terasa menggelitik di bagian perut dan bagian-bagian lainnya.
"Bleep...!" Satu sentakan keras ke arah dasar sungai, membuat tubuhnya lenyap seiring dengan kecepatan putaran arus yang sangat kuat dan bahkan sampai menimbulkan suara berdengung-dengung bagai bunyi sempritan. Setelah lenyapnya tubuh perempuan itu bersama dengan putaran arus sungai yang terjadi secara tiba-tiba. Maka detik selanjutnya bagai tak pernah terjadi apa-apa, air sungai itu kembali menjadi tenang seperti belum sediakala. Bahkan warna merah yang ditimbulkannya akibat gelembunggelembung udara dari bawah dasarnya secara perlahan berangsur-angsur lenyap sama sekali. Apakah yang terjadi dengan perempuan itu?
Setelah mengikuti putaran arus yang sangat kencang itu, maka tubuhnya terus meluncur pada sebuah terowongan yang terdapat di dasar sungai yang memiliki kedalaman tak kurang delapan tombak. Anehnya ketika tubuh tiada berpakaian itu terus mengikuti putaran arus yang membawanya ke sebuah terowongan di bawahnya. Dia masih dapat mengingat bahwa memasuki terowongan itu semakin ke dalamnya, ternyata terasa semakin bertambah luas. Dan dalam keadaan seperti itu, masih teringat akan dia tentang pesan-pesan Eyang Girinda enam purnama sebelum dia menjejakkan kakinya di pinggiran Sungai Banyu Urip.
"Dewi Ratih! Sebagai gurumu di padepokan Bukit Berkabung ini, Eyang tidak dapat menghalanghalangi tentang semua rencana hidupmu di masa yang akan datang. Kalau pun engkau tetap juga bersikeras untuk mendapatkan Batu Permata Walet Merah milik Eyang Buyut mu yang telah dia buang ke dalam sungai Banyu Urip lebih kurang seratus tahun yang lalu. Maka aku tak bisa mencegahnya, tapi perlu kau ketahui. Bahwa Eyang Buyut mu Resi Mamba, membuang Batu Permata Walet Merah ke dalam sungai Banyu Urip, sudah barang tentu ada sesuatu yang melatar belakanginya. Setidak-tidaknya ada rahasia yang mungkin hanya dia sendiri yang mengetahuinya!"
Saat itu perempuan yang bernama Dewi Ratih tersebut..... dan merupakan murid ke tiga di padepokan Bukit Berkabung hanya menyahut.
"Eyang Girinda! Eyang Buyut Resi Mamba sengaja membuang Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan dahsyat itu ke dalam Sungai Banyu Urip, menurut kesimpulanku adalah untuk menguji siapa di antara keturunannya yang tabah dan memiliki kemampuan dalam mendapatkan kembali Permata Walet Merah. Dan menurut kesimpulanku pula, andai di antara keturunannya ada yang mampu mendapatkannya. Mungkin dialah yang punya hak untuk dapat mempelajari dan mewarisi kitab Dewa Berkabung yang terkunci di bukit Siluman...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, saat itu Eyang Girinda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai orang tua sekaligus merupakan generasi ketujuh dalam padepokan Bukit Berkabung. Sudah barang tentu dia lebih banyak mengetahui apa dan bagaimana keinginan almarhum ayahnya Resi Mamba. Sungguhpun bagi dirinya pribadi, bahwa Resi Mamba ayahnya, memiliki kepribadian yang misterius. Akan tetapi ketika kecil, dulu dia pun masih dapat mengingat betapa Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan yang dahsyat itu dapat menghancurkan dan membunuh banyak orang ketika batu itu pernah terjatuh ke tangan orang-orang sesat. Sebab Batu Walet Merah itu memiliki pamor tinggi dan banyak diincar oleh orangorang rimba persilatan bukanlah karena harganya. Melainkan karena batu tersebut mengandung 'kekuatan' sakti yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh. Sedangkan keberadaan kitab Dewa Berkabung yang terkunci di dalam sebuah gua di Bukit Siluman, keberadaannya pun masih sangat diragukan oleh Eyang Girinda.
Kini apabila dia teringat tentang masa depan padepokan Bukit Berkabung yang hanya memiliki murid-murid keluarga berjumlah tak lebih dari tiga puluh orang. Dan murid ahli waris tiga orang, rasa-rasanya Eyang Girinda tidak dapat melihat bahwa padepokan Bukit Berkabung akan mampu mencapai jaman keemasan seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat mana ayah kandungnya Resi Mamba memegang pucuk pimpinan di padepokan itu. Ketiga orang murid yang masih keturunan langsung dari anak-anaknya, ternyata memiliki watak dan perangai yang berbeda-beda. Murid pertama yang bernama Dewi Ratna Juwita, sungguh pun merupakan murid yang memiliki kepandaian sangat tinggi namun mempunyai watak yang telengas dan suka mengembara ke mana-mana. Disamping itu, Eyang Girinda juga terpaksa harus mengusirnya karena ternyata Dewi Ratna Juwita menyimpan hubungan cinta dengan Bagas Salaya, yang sebenarnya masih merupakan adik tirinya sendiri. Kini harapan satu-satunya sebagai ahli waris yang dapat melanjutkan kepemimpinan padepokan Bukit Berkabung sepenuhnya terletak di pundak Dewi Ratih. Sebagai murid ketiga sebenarnya gadis itu memiliki pendirian yang kokoh dan berpikiran cerdas. Sayangnya murid sekaligus merupakan cucu ketiga Eyang Girinda ini merupakan seorang murid yang sangat pemalas dan tak pernah giat dalam berlatih ilmu silat.
Sehingga dia selalu ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan dua orang saudaranya yang lain. Sekarang setelah dua tahun ditinggalkan oleh kakak tuanya Dewi Ratna Juwita, menyusul kemudian Bagas Salaya, yang pergi dari padepokan karena kekasihnya yang diusir oleh kakeknya. Tampak-tampaknya gadis itu mulai menyadari betapa kehadirannya di padepokan Bukit Berkabung benar-benar sangat dibutuhkan untuk menggantikan Eyang Girinda yang sudah sangat lanjut usia.
Mau tak mau Dewi Ratih harus berlatih keras hampir sepanjang hari. Satu-satunya kitab dari lima kitab warisan leluhur yang diberi nama 'Dewa Berkabung' tingkatan ketujuh telah berhasil di kuasainya dengan baik hanya dalam waktu lebih kurang tujuh purnama. Lebih dari itu tanpa dia sadari, Dewi Ratih yang sangat dikenal sebagai seorang pemalas dalam padepokan itu, sekarang telah memiliki tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna. Selain itu setelah berhasil menguasai kitab kelima dari seluruh kitab 'Dewa Berkabung'. ini berarti, puncak kepandaian yang dimilikinya sekarang ini telah melebihi kepandaian yang dimiliki oleh dua orang saudaranya yang lain. Hal ini sudah tentu pula di luar sepengetahuan dua orang saudaranya yang telah pergi meninggalkan padepokan. Mungkin satu saja rasa penasarannya yang tidak dapat dicegah oleh Eyang Girinda, yaitu rasa keingintahuannya tentang Batu Permata Walet Merah yang dibuang ke Sungai Banyu Urip oleh eyang buyutnya Resi Mamba. Dan itulah satu-satunya keinginan yang pada akhirnya telah membawa langkahnya sampai di Sungai Banyu Urip.
Demikianlah dalam keadaan mengikuti putaran arus di dalam terowongan di dasar sungai, perempuan itu masih teringat tentang pesan-pesan gurunya.
"Dewi Ratih, cucuku! Kalau pun engkau berhasil mendapatkan Batu Permata Walet Merah di dalam sungai Banyu Urip, eyang merasa sangat kuatir kalau nantinya batu yang berkekuatan dahsyat itu akan menimbulkan bala bencana di rimba persilatan. Engkau harus ingat waktu dulu eyang buyut mu sampai memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah tersebut, hal itu semata-mata, eyang buyut mu telah merasakan betapa semasa hidupnya kehadiran Batu Permata Walet Merah telah banyak menimbulkan pertumpahan darah...!"
"Tapi eyang.... Batu Walet Merah adalah milik leluhur kita yang syah, dan mungkin kemunduran padepokan ini ada kaitannya dengan batu yang dibuang eyang buyut Resi Mamba...!" Sergah Dewi Ratih saat itu. Dan pada dasarnya di dalam lubuk hati, Eyang Girinda membenarkan ucapan cucunya. Namun manakala dia teringat tentang nasib yang dialami oleh orang tua ketiga cucu-cucunya, yaitu Kartapati dan Lasmi Kenaka yang tiada pernah kembali setelah berusaha mendapatkan Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip. Tak urung rasa was-was menghantui dirinya.
"Hal itu memang tak dapat kubantu! Tapi perlu kau ingat kedua orang tuamu sampai tewas dan bahkan tak diketahui mayatnya, juga karena ingin mendapatkan Batu Walet Merah itu. Pula kemunduran padepokan ini tidak berarti apa-apa, andai dengan keadaan seperti itu, padepokan kita menjadi aman dari gangguan tokoh-tokoh silat golongan mana pun. Bukankah menurut eyang justru hal itu malah lebih baik lagi...?" Ucap Eyang Girinda seolah mengajukan sebuah pertanyaan. Dewi Ratih sebagai gadis yang berpikiran cerdik dan berpandangan luas, sungguhpun pada hakekatnya sebagai seorang gadis pemalas berat. Namun sejak saat itu mulai memiliki satu gagasan bahwa padepokan Bukit Berkabung harus mampu mengulang masa jayanya kembali. Dan bagi Dewi Ratih, latar belakang kemunduran padepokan Bukit Berkabung telah diketahuinya. Yaitu setelah dibuangnya Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.
"Eyang! Bukannya aku mau membantah apa yang telah eyang katakan! Tetapi walau apapun yang bakal terjadi, aku ingin padepokan ini bisa mengulangi jaman keemasan seperti saat dulu eyang buyut Resi Mamba menjadi pimpinan di sini...!" sela Dewi Ratih nampaknya sudah tak ingin cita-citanya dihalanghalangi.
"Ratih... Ratih... sama seperti ayah dan ibumu, kau pun memiliki pendirian yang keras...!" Ratih tampak terdiam, dia dapat merasakan apa yang ada di dalam hati eyangnya. Sebagai orang yang sangat diharapkan di padepokan Bukit Berkabung itu, sudah tentu Eyang Girinda selalu mengkhawatirkan tentang keselamatannya. Andai saja dia sampai menemui nasib seperti orang tuanya di Sungai Banyu Urip. Pupuslah sudah harapan orang tua bertubuh ceking dan tinggi ini. Walau bagaimana pun dia tak pernah mengharapkan Dewi Ratna Juwita yang telengas dan suka mengembara itu, apalagi dia sempat menjalin hubungan cinta dengan saudara tiri-nya sendiri, yaitu Bagas Salaya. Sebaliknya Bagas Salaya pun tak dapat diharapkan sebagai keturunan pengganti, karena pemuda itu lebih cenderung bersahabat dengan tokoh-tokoh persilatan golongan sesat. Tapi ketika Dewi Ratih teringat akan Bukit Siluman yang menyimpan sebuah misteri yang tak pernah terungkap oleh Eyang Girinda, maka dalam pikirannya muncul satu pertanyaan yang tak kalah pentingnya dengan kepergian dirinya ke Sungai Banyu Urip. Selanjutnya setelah menarik nafas dalam-dalam dan membuang praduga yang bukanbukan lalu dia pun bertanya:
"Eyang! Menurutmu, apakah Bukit Siluman yang ruangan gua di dalamnya selalu terkunci itu tidak menyimpan sesuatu yang mungkin sangat penting artinya dalam padepokan Bukit Berkabung...?" Sela si gadis dengan tatapan penuh selidik. Namun lewat sorot mata laki-laki renta ini, Ratih tiada melihat bahwa Eyang Girinda tiada menyimpan sesuatu yang sangat rahasia. Malah sebaliknya sembari menatap cucunya, Eyang Girinda berucap pelan.
"Bagiku dan sepanjang yang kuketahui di dalam gua Bukit Siluman tak terdapat sesuatu apa pun terkecuali tempat itu memang sangat di keramatkan bagi para keturunan padepokan Bukit Berkabung. Karena seperti diketahui gua Siluman merupakan tempat bersemayamnya leluhur-leluhur kita yang telah tiada. Sayangnya kunci untuk membuka pintu di dalam gua itu juga kini telah hilang entah ke mana...!" kata Eyang Girinda seperti menyesalkan. Apa yang dikatakan oleh laki-laki renta pada bagian yang paling akhir tersebut sudah cukup membuat kejut di hati Ratih. Sebagai orang cerdik namun pemalas, dia dapat menduga. Kalaulah memang benar kunci itu hilang begitu saja, gadis ini tak ambil pusing. Namun andai sampai terjatuh ke tangan orang sesat yang ingin mengetahui lebih banyak tentang rahasia di dalam gua itu.

 



--₪¦ « 2 » ¦₪--

Dewi Ratih tak dapat membayangkan akibatnya, sejauh itu dia tak punya keinginan untuk mengatakan kekhawatirannya tentang hilangnya kunci perak tersebut, mungkin suatu saat dia dapat mencari tahu benar tidaknya kunci itu hilang secara wajar.
"Baiklah eyang...! Mengenai rahasia Bukit Siluman aku tak akan mempertanyakannya lagi pada eyang, tapi walau bagaimana pun aku tetap memutuskan untuk pergi ke Sungai Banyu Urip...!" katanya begitu tegas dan pasti. Saat itu, walaupun merasa sangat berat hati untuk melepaskan Dewi Ratih, namun akhirnya Eyang Girinda memberi ijin juga.
Kini kita kembali pada Ratih yang sedang berada di dalam sebuah lorong di dasar sungai yang terus mengikuti putaran arus. Tubuh telanjang itu terus meluncur cepat ke arah bagian dalam terowongan pusaran air yang di kanan kirinya ditumbuhi dengan ganggang dan lumut yang sangat licin. Selanjutnya tak kurang dari sekedipan mata lamanya, sampailah Dewi Ratih di dalam ruangan paling mendasar di dalam terowongan yang sangat panjang tersebut.
"Splaaak! Gabruuuk...!" Bagai ada sebuah kekuatan gaib bertenaga sangat besar, tubuh Ratih terlempar dari dasar terowongan untuk selanjutnya tercampak di atas sebuah daratan batu cadas berlumut. Yang membuat heran gadis itu adalah karena begitu tubuhnya menyentuh permukaan tebing batu cadas yang terdapat di dasar pusaran air ini. Secara mendadak tempat itu menjadi terang benderang.
"Aneh! Terowongan dan pusaran air yang begitu deras telah mencampakkan diriku pada sebuah ruangan yang mungkin tak pernah terpikirkan keberadaannya oleh siapa pun. Namun... eee... sepertinya cahaya yang menerangi ruangan dinding batu itu berasal dari ruangan lain yang terdapat di sebelah depan sana? Mungkinkah semua itu karena pengaruh tapaku yang telah berlangsung selama empat puluh hari itu? Ataukah karena Sang Hyang Widi telah pula merestui semua usahaku untuk mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit Berkabung? Tapi kalau pun semua itu benar adanya, pasti ada sesuatu terdapat di dalam ruangan itu. Apapun yang bakal terjadi, aku harus sampai ke ruangan itu...!" batin Ratih. Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi. Tubuh dalam keadaan telanjang itu, mulai merangkak menuju ruangan lain yang berada di depannya. Usahanya untuk dapat sampai ke dalam ruangan yang menimbulkan cahaya terang benderang itu bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah. Sebab selain ruangan menuju tempat tersebut sangat sempit namun juga sangat licin luar biasa. Berulang kali dia harus jatuh bangun untuk dapat sampai di sana. Hanya dengan mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh saja, akhirnya dia sampai juga di depan pintu terowongan yang menyerupai lorong gua tersebut. Namun akhirnya dia harus terperangah saat mana gadis telanjang itu merasakan ada hawa panas terasa mendera tubuhnya. Kejadian yang sangat tiba-tiba ini membuat Ratih tersentak ke belakang. Tubuh si gadis terbanting dalam keadaan terlentang, namun secepatnya tangan dan kakinya berkelebat mencari keseimbangan. Karena lantai dasar gua batu itu sangat licin, barulah setelah bersusah payah dia dapat kembali dalam posisinya.
Apabila kedua matanya kembali memandang pada ruangan yang menimbulkan cahaya terang benderang yang terdapat dua tombak di depannya. Maka sadarlah dia bahwa cahaya terang yang sangat menyilaukan itu tersumber dari sebuah benda yang terletak di atas tempat yang sangat mirip dengan sebuah altar kecil.
"Hmm. Mungkin benda yang mengeluarkan cahaya itulah Batu Permata Walet Merah milik Eyang Buyut Resi Mamba! Tapi sangat mustahil sekali andai batu itu dicampakkan sedemikian rupa, kini bisa terletak di atas sebuah altar? Mungkinkah ada tangan lain yang telah meletakkannya di tempat itu? Emm... aku merasa tiba-tiba saja bulu kudukku merinding, dan mengapa secara mendadak pula batu itu bergerakgerak...!" batin gadis itu, secara reflek Ratih beringsut mundur. Bersamaan dengan sirnanya cahaya yang ditimbulkan oleh batu yang terletak di atas altar tersebut. Maka muncul pula cahaya lain yang memancarkan cahaya berwarna biru, cahaya itu tampak memancar dari lantai batu licin yang terdapat tidak begitu jauh dari altar tadi. Semakin lama, cahaya berwarna biru tersebut semakin bertambah membesar, semakin tinggi, hingga pada akhirnya membentuk sesosok tubuh seorang kakek berbadan tegak dengan mengenakan pakaian berwarna biru pula.
Dewi Ratih tersentak kaget, wajahnya yang kemerahan berubah pucat pasi. Terlebih-lebih bila melihat tatapan mata kakek berambut dan berjenggot serba putih, yang sejak kehadirannya terus memperhatikan Ratih mulai dari ujung rambut hingga sampai ke ujung kaki. Bukan karena apa si gadis bertingkah seperti itu. Hal ini tak lain sebagai seorang gadis dia menyadari, saat itu dia tengah berhadapan dengan insan berlainan jenis, apalagi dia menyadari kala itu tubuhnya tiada terbungkus selembar kain apapun. Sudah tentu dengan sangat leluasa kakek yang belum di kenalnya ini dapat memperhatikan dengan jelas lekuk lengkung tubuhnya yang halus mulus itu. Merasa malu sendiri, Ratih menutupi tempat-tempat tertentu di bagian tubuhnya dengan kedua belah tangannya. Akan tetapi nampaknya si kakek yang kedatangannya bersama dengan cahaya biru tersebut dapat menangkap apa yang menjadikan gadis itu menjadi gelisah. Detik kemudian menggemalah tawa.
"Ha... ha... ha...! Dewi Ratih, di dalam darahmu mengalir pula darahku, jadi untuk apa kau harus malu pada dirimu sendiri? Pula aku telah berada di alam yang sangat berbeda dengan dunia mu...!" sejenak lamanya si kakek yang berselimutkan kabut itu hentikan kata-katanya. Sebaliknya bagi si gadis yang memiliki pikiran cerdik ini kata-kata laki-laki tua itu sudah cukup baginya untuk mengerti siapa sesungguhnya orang itu. Maka tanpa canggung-canggung lagi dia pun bersujud memberi hormat. Sebaliknya si kakek tanpa menghiraukan apa yang dilakukan oleh Ratih terus saja melanjutkan ucapannya; "Tapamu yang empat puluh hari itu, telah membangkitkan aku dari tidurku yang panjang. Bersyukurlah engkau bahwa sampai saat ini dirimu masih tetap perawan. Jika tidak maka engkau akan menemui nasib sebagaimana yang dialami oleh kedua orang tuamu. Ketahuilah Sungai Banyu Urip tak pernah menerima tapa atau tubuh siapa pun jika orang itu ternyata sudah tidak utuh lagi, walau dengan bentuk apa pun...!" kata kakek berambut putih itu pelan namun tegas. Kenyataan itu membuat wajah Ratih semakin bertambah memucat. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada kakek itu.
"Jadi... jadi benarlah adanya bahwa yang sedang berdiri di hadapanku ini Eyang Buyut Resi Mamba...?" Laki-laki berbadan kekar itu tidak menjawab, sebaliknya sepasang matanya yang dihiasi sederetan alis yang sudah memutih membelalak. Untuk beberapa saat lamanya kakek berselimutkan kabut itu menatap pada Ratih. Namun gadis itu tiada perduli dengan tatapan mata laki-laki itu, gadis itu kembali mengulangi pertanyaannya; "Benarkah engkau ini Eyang Buyut Resi Mamba?"
"Hmm, tak kusangka selain sangat dikenal sebagai seorang pemalas, kiranya kau juga merupakan orang yang tolol. Bagaimana mungkin Girinda menaruh harapan yang begitu besar padamu jika ternyata hanya sebegitu saja pengetahuanmu...!"
"Aku hanya memerlukan sebuah keyakinan, Eyang Buyut...!"
"Dan kau selalu berkeyakinan pada usahamu untuk dapat mengulangi masa kejayaan padepokan Bukit Berkabung sebagaimana ketika ku pimpin dulu?" sambut laki-laki tua ini yang tak lain merupakan badan halus Eyang Buyut Resi Mamba adanya.
"Itulah yang selalu kuharapkan Eyang Buyut...!"
"Ha... ha... ha...! Mengandalkan kepandaian 'Dewa Berkabung' tingkatan kelima kau hendak mendirikan puing-puing padepokan Bukit Berkabung...?" sela Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kukira dengan adanya Batu Permata Walet Merah, semua impian ku untuk mewujudkan citacitaku dapat terpenuhi...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, tampaklah Eyang Buyut Resi Mamba perlu mengacungi jempol. Tapi apabila dia teringat bahwa betapa Batu Permata Walet Merah pada akhirnya hanya akan mendatangkan bencana di rimba persilatan, mendadak wajahnya berubah muram.
"Cucuku...! Ketika dulu aku masih ada, Batu Permata Walet Merah memang merupakan senjata pamungkas yang tiada tandingnya. Bahkan sangat jarang orang yang bisa selamat dalam adu kekuatan denganku. Sayangnya Batu Walet Merah bukan milikku seorang. Masih ada pasangannya, karena pada hakekatnya batu itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Karena aku laki-laki, maka yang kupegang batu yang jantannya, sedangkan yang satunya lagi dipegang oleh nenek buyut mu. Sayangnya dia hidup di pihak golongan hitam, sehingga walau aku telah membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar dia tak pernah mau...!"
"Kalau begitu masih ada orang lain yang memiliki batu seperti yang eyang buyut miliki...?" sergah Dewi Ratih tampak harap-harap cemas. Namun hatinya menjadi lega saat kemudian Resi Mamba gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Setidak-tidaknya sampai saat ini masih amanaman saja. Karena sebenarnya sejak nenek buyut mu tewas dalam pertarungan denganku, hanya aku seoranglah yang mengetahui di mana Batu Permata Walet Merah yang satunya lagi berada. Tapi karena kini ada kau sebagai keturunan sesepuh padepokan Bukit Berkabung, dan kuanggap benar maka kau punya hak untuk mengetahui di mana sebenarnya ku sembunyikan pasangan Batu Walet Merah yang satunya lagi...!"
"Dimanakah, Eyang Buyut...?"
"Batu Walet Merah yang betinanya eyang buyut sembunyikan di dalam Gua Bukit Siluman!" Bukan main kejut hati Ratih mendengar pengakuan Resi Mamba, sama sekali dia tiada menyangka kalau Bukit Siluman yang sangat dikeramatkan oleh semua keturunan padepokan Bukit Berkabung, kiranya merupakan tempat penyimpanan sebuah benda yang memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
"Eyang Buyut! Bukankah menurut Eyang Girinda, Bukit Siluman merupakan kubur bagi seluruh leluhur kita, bahkan tak seorang pun pernah diijinkan berkeliaran di tempat itu...?" sela Ratih,
"Ha... ha... ha...! Betul, tapi tak dapat disangkal peraturan itu akulah yang membuatnya. Pesanku setelah kau keluar dari tempat ini, sering-seringlah kau lihat keamanan Bukit Siluman. Dan jangan kau lupakan pula, bahwa kau harus mencari dan berhati-hati dengan beberapa gelintir tokoh sesat yang memiliki julukan, Gajah Mungkur, Nyai Plasik, dan juga gerombolan sinar Kayangan...!"
"Maksud eyang buyut, apakah mereka itu merupakan musuh besar dari padepokan Bukit Berkabung...?" tanya Ratih berapi-api. Sedangkan badan halus Resi Mamba hanya mengangguk kecil.
"Bukan sebagai musuh saja. Namun karena mereka inilah maka nenek buyut mu sampai tersesat sedemikian jauh, hingga pada akhirnya dia menjadi manusia pembangkang yang paling keji di padepokan Bukit Berkabung...!"
"Apakah Eyang Girinda juga tahu tentang sejarah ini?"
"Sedikit banyaknya Girinda pasti tahu, dan itu tak perlu kau persoalkan secara panjang lebar. Nah kukira keteranganku sudah cukup, sekarang kau ambillah Batu Walet Merah yang berbentuk cincin itu, ingat dengan adanya batu cincin di tanganmu padepokan Bukit Berkabung yang selama ini sunyi bagai tak berpenghuni, dalam waktu yang akan datang pasti akan berdatangan para musuh yang tidak kau harapkan. Dan musuh yang lebih berbahaya adalah mereka yang berasal dari dalam padepokan itu sendiri." Kata laki-laki berselimut kabut itu lugas.
Kembali Ratih menjatuhkan diri, berlutut memberi hormat Resi Mamba. Detik kemudian begitu dia kembali pada sikapnya, dilihatnya Resi Mamba telah bergeser sejauh tiga langkah dari pendopo kecil tempat di mana terletak Batu Walet Merah. Dewi Ratih mengetahui bahwa itu adalah sebuah isyarat baginya untuk mengambil benda tersebut. Tidak seperti ketika pertama kali tadi dia mencoba meraih benda di atas pendopo di depannya. Kali ini semuanya berjalan lancar, bahkan kini dia tidak lagi berjalan merangkak. Dia sudah mampu berdiri, dan langit-langit gua di sekitarnya seolah semakin bertambah meninggi. Secara pelan namun cukup pasti, tubuh telanjang itu pun melangkah menghampiri Batu Walet Merah. Tapi setelah berada dia depan batu yang berbentuk badan burung walet tersebut, tiba-tiba dia menjadi ragu. Dalam keheningan itu mendadak terdengar seruan Eyang Buyut Resi Mamba;
"Cepatlah ambal! Kemudian sarungkan ke salah sebuah jemarimu...!" Dewi Ratih tanpa berpaling pada badan halus kakek buyutnya, dengan tangan gemetaran segera mengambil batu cincin yang berbentuk seekor burung Walet Merah itu. Anehnya sesaat setelah melingkarkan cincin permata tadi, tubuh Ratih mendadak serasa panas, lutut menggeletar. Bahkan dia merasakan ada sesuatu yang terasa menyentaknyentak di bawah perutnya. Gadis itu merintih setengah mengerang, selanjutnya tubuhnya menggeliatgeliat bagai orang yang sedang dilanda birahi. Namun begitu Eyang Buyut Resi Mamba acungkan jari telunjuknya mengarah pada bagian dada Ratih. Maka selarik sinar berwarna salju mendera tubuh gadis itu. Satu erangan panjang membuat gadis itu kembali pada sikapnya. Dia tersipu malu melihat keadaannya sendiri. Kemudian entah dari mana datangnya, mendadak di tangan Resi Mamba telah terdapat seperangkat pakaian berwarna merah biru lengkap dengan ikat kepalanya yang berwarna biru pula. Dalam satu gerakan yang sangat mirip dengan lambaian tangan, detik selanjutnya pakaian itu pun telah menutupi sebagian tubuh Ratih.
"Kenakanlah pakaian itu sekarang juga!" perintahnya.
"Setelah kau pakai pakaian tersebut, selanjutnya pejamkan matamu. Jangan banyak tanya, karena kau segera tiba di alam terbuka dan harus cepat kembali memberi kabar pada Eyangmu Girinda...." lanjutnya pula.
Maka tanpa berani membantah, Dewi Ratih cepat-cepat mengenakan pakaian pemberian Resi Mamba. Usai mengenakan pakaian tersebut dia merasakan tubuhnya menjadi hangat bahkan segala bentuk rasa yang bersifat rangsangan yang ditimbulkan oleh cincin Batu Permata Walet Merah yang tadinya sangat menyiksa, kini telah lenyap sama sekali. Setelah selesai mengikat kepalanya dengan sebuah selendang berwarna biru yang juga merupakan pemberian Resi Mamba, maka saat selanjutnya dia pejamkan matanya. Ratih tak tahu apa yang dilakukan oleh Resi Mamba, tapi dia merasakan tubuhnya seperti melayang menembus lorong panjang menuju keluar dari pusaran arus yang terdapat di dasar terowongan itu. Sementara itu, sepeninggalnya Ratih, maka sosok tubuh Resi Mamba, sedikit demi sedikit tampak memudar seiring dengan semakin membesarnya cahaya biru dan kabut tebal yang menyertainya.
"Weees!" Satu tiupan angin kencang yang datangnya dari arah sebelah kiri, membuat cahaya berselimut kabut itu turut lenyap bersama hembusan angin kencang itu.

* * *



--₪¦ « 3 » ¦₪--

Menjelang tengah hari di sepanjang jalan setapak yang diapit oleh dua hutan tua Maliau dan Teruak. Tak terlihat seorang pun berani lalu lalang di sana. Tidak juga penduduk Desa Singkalang yang biasanya keluar masuk hutan untuk maksud-maksud berburu, maupun mencari hasil hutan lainnya. Begitulah kenyataannya, setahun belakangan setelah hutan Maliau dan Teruak di jadikan markas besar oleh gerombolan sinar kayangan. Tidak terkecuali penduduk desa, orang asing pun yang coba-coba berani datang atau melintas secara tidak sengaja akan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari gerombolan Sinar Kayangan yang saat ini telah berkuasa penuh pada dua daerah itu.
Namun suasana sepi mencekam di sekitar hutan itu tidak sedikit pun mengurangi hasrat bagi pemuda berkuncir ini untuk tetap melanjutkan perjalanannya. Dia tak perduli, walau sejak menginjakkan kakinya di ujung sebelah Barat hutan tersebut ada berpasang-pasang mata terus memperhatikan kehadirannya dengan sorot curiga. Sebaliknya dia malah berlari-lari sembari menyenandungkan bait-bait lagu orang-orang berkelana. Sesekali suaranya terdengar merdu mendayu-dayu, di lain saat begitu sedih. Atau bahkan tinggi melengking, sehingga memaksa para pengintainya menutupi kedua telinga. Lewat sepemakan sirih, pemuda berpakaian merah dan selalu kumal ini menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia menoleh pada jalan yang telah dilaluinya di saat lain sepasang matanya yang sangat tajam memandang jalan setapak yang menghampar di hadapannya. Masih terlalu jauh untuk melalui jalan itu. Seharusnya dia sudah mengerahkan Ajian Sepi Angin, tapi itu tidak dilakukannya. Para pengintai yang terus mengikuti dirinya di kanan kiri jalan itu membuat dia menjadi sangat curiga.
"Wuus! Jleeegk...!" Laksana kilat, tubuhnya mendadak lenyap dari jalanan itu, selanjutnya tubuh si pemuda telah duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon damar yang berukuran sangat besar lagi tinggi. Gerakan yang sangat cepat dan sulit diikuti oleh kasat mata ini, membuat para pengintainya jadi kelabakan karena kehilangan jejak. Mereka saling berbisik sesamanya. Sebaliknya, di atas cabang pohon pemuda tampan yang sudah tak asing lagi bagi kita ini hanya cengar-cengir sembari leletkan lidah.
"Dia bukan manusia sembarangan! Baiknya kita beri laporan pada majikan besar bahwa orang lain telah memasuki wilayah kekuasaan kita...!" sentak salah seorang dari mereka yang bersembunyi di balik sebuah gerumbulan semak belukar.
"Siapa adanya orang itu belum juga jelas, mengapa harus tergesa-gesa beri laporan? Salah-salah beri keterangan kepala kita menggelinding Tongos...!" bantah yang disebelahnya karena memang bergigi merongos.
"Goblok banget sih kau! Ketahuan secara tibatiba gembel berperiuk itu lenyap dari depan hidung kita. Masihkah kau membantah bahwa orang itu tidak berkepandaian tinggi...!" laki-laki berpakaian hitam yang di panggil tongos balas menyelak.
"Gaplok! Gaplok...!"
"Gusrak...!" Dua kali tamparan ringan dari sebuah tangan berotot di sampingnya membuat dua orang yang terlibat berbantahan itu tersungkur ke depan. Terdengar suara bergerosakan menubruk semaksemak di depannya. Namun tanpa mengeluarkan suara keluhan atau sejenisnya, kedua orang bersenjata kelewang itu pun cepat bangkit berdiri dengan wajah pucat.
"Sekali lagi, kudengar kalian saling berbantahan! Kutampar mulut kalian!" ucap si gemuk berewokan yang melakukan tamparan tadi.
"Tongos tuh, yang mulain, Bang Bukan
aku !" kilah yang seorangnya berusaha membela diri.
"Kampret kau Min! Aku tadi cuma memberi usul, tapi siapa suruh kau ikut-ikutan!" sergah yang bernama Tongos juga tak mau kalah.
"Marimin.... Tongos...!" bentak si laki-laki berpakaian hitam berbadan gemuk dengan kedua mata bagai hendak melompat keluar.
"Saya bang !" sahut orang itu hampir serentak.
"Sekali lagi kalian berani membantah, kugantung nanti kalian berdua...!" bentak si gemuk yang lebih dikenal dengan julukan si 'Tanduk Maut'. Pada hakekatnya ancaman itu bukanlah ancaman kosong, sebab dalam lingkungan gerombolan 'Sinar Kayangan' siapa pun orangnya pasti mengenal bagaimana kejinya watak si Tanduk Maut dalam menjatuhkan hukuman terhadap para bawahannya, terlebih-lebih pada orang lain. Kata-kata si 'Tanduk Maut' yang bernada mengancam ini membuat orang-orang tadi tak berani berkutik.
Selanjutnya si Tanduk Maut memberi isyarat pada orang-orangnya yang berjumlah enam orang menyebar. Di sisi jalan sebelah kiri yang dipimpin oleh seorang laki-laki lain berbadan tinggi ceking. Juga memberi perintah yang sama pada delapan orang lakilaki lainnya. Orang-orang itu pun mulai bergerak menyebar, menyibak setiap gerombolan semak-semak yang terdapat hampir di sepanjang jalan itu. Pemuda tampan yang tak lain merupakan Buang Sengketa adanya, dengan sikap acuh mulai mengeluarkan unekuneknya:
"Tak percuma Sang Hyang Widi menjadikan dunia dari dua sisi dan dua rupa. Ada gelap ada malam, ada susah ada senang, ada laki-laki ada juga perempuan. Laki-laki ditakdirkan sebagai sosok yang perkasa, bertindak dengan perantaraan akal. Sedangkan wanita adalah sebaliknya berbuat menurut perasaan. Perasaan adalah kasih sayang. Sungguh pun sebagai kaum yang lemah, tapi dia mampu membuat dunia jadi porak poranda. Tapi celakalah apabila lakilaki berbalik rupa sebagai manusia. Sebab dia bisa berubah menjadi seperti tikus-tikus comberan yang ada di bawah sana."
Ucapan Buang yang ditujukkan pada orangorang yang berada di bawahnya dan disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sudah barang tentu membuat orang-orang yang berada di bawahnya menjadi kelabakan. Selain telinga mereka terasa sakit. Tapi sumber suara bergema akibat dipantulkan oleh pohon-pohon besar di sekitarnya membuat mereka merasa sulit untuk melacak keberadaan Pendekar Hina Kelana. Kemudian bagai dikomando serentak mereka turun ke jalan dan berkumpul sembari memandang berkeliling meneliti sekitar tempat itu.
Sejauh itu mereka masih belum dapat melihat di mana sesungguhnya posisi pemuda yang sejak tadi mereka kuntit. Menyadari menghadapi mangsa yang mungkin saja memiliki kekuatan yang tangguh. Sejak awal-awal lagi mereka ini sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Wah... wah... wah...! Dasar tikus-tikus bego, menguntit seekor macan pengelana saja bisa kehilangan jajak. Apa gunanya majikanmu memberi makan setiap hari...?" disertai tawa mengekeh, pemuda di atas pohon ini, mencemooh. Ucapan Buang yang sedikit pelan membuat anggota gerombolan Sinar Kayangan dapat mengetahui di mana sesungguhnya posisi pemuda gembel yang mendadak saja sirna dari penglihatan mereka. Yang mula-mula mengetahui posisi Pendekar Hina Kelana, adalah laki-laki yang bernama Tongos tadi. Demi menarik simpati si Tanduk Maut yang telah memarahinya tadi, maka begitu melihat dia langsung berteriak
"Bang... lihat... cacing gembel itu lagi nongkrong di atas pohon...!" berkata begitu dia menunjuk pada sebuah pohon damar yang menjulang tinggi tak jauh di sebelah kanannya. Secara serentak keempat belas laki-laki berpakaian serba hitam itu memperhatikan ke arah tempat di mana pendekar itu berada. Yang menjadi beringas setelah melihat keberadaan si pemuda adalah laki-laki gemuk yang berjuluk si 'Tanduk Maut' dengan si laki-laki kurus kering yang memiliki julukan 'Cacing Kalung'. Sebagai orang yang sudah sangat berpengalaman banyak di rimba persilatan serta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Baru kali inilah adalah sejarahnya mereka kena dikerjai. Yang membuat mereka cepat naik darah adalah justru orang yang telah berhasil memperdayainya sesungguhnya hanyalah seorang pemuda gembel yang mungkin juga hanya memiliki kepandaian beberapa tingkat di bawah mereka. Tak pelak lagi, begitu telah mengetahui posisi pemuda berpakaian merah itu, si Tanduk Maut pun langsung membentak dengan sorot mata mengancam.
"Monyet gembel manusia rendah yang di atas pohon. Cepat kau turun, jika tidak dengan sangat terpaksa aku akan robohkan pohon itu...!" perintah lakilaki berewokan ini terlihat semakin bertambah geram saja.
"Ah... ha... ha...! Aku mau manjat, jalan atau berlari-lari, apa perdulimu? Toh aku merasa tak pernah mengganggu siapa pun di sini...!" sergah Buang Sengketa seenaknya. Bahkan setelah kata-katanya itu dia malah rebahkan tubuhnya di pohon damar yang berukuran sangat besar itu. Semakin bertambah menjadi-jadilah amarah si 'Tanduk Maut' begitu pun halnya dengan si 'Cacing Kalung'.
"Kakang Tanduk Maut... agaknya dia tak mengerti bahwa Hutan Maliau dan Teruak berada di dalam kekuasaan Gerombolan Sinar Kayangan. Untuk apa basa basi, suruh saja gembel itu serahkan barang bawaannya. Setelah itu usir dia...!" kata si Cacing Kalung. Melihat caranya memberi saran pada si gemuk hitam, tahulah si pemuda bahwa dalam hal kedudukan kiranya si Cacing Kalung masih merupakan bawahan si Tanduk Maut. Tapi dalam pada itu, si laki-laki gemuk berewokan tampak geleng-gelengkan kepalanya ditujukan pada Buang Sengketa dia berteriak.
"Bangsat rendah, bukan saja kau harus menyerahkan periuk yang kau bawa. Tapi engkau juga harus meninggalkan kedua kaki dan tanganmu...!"
"Enak saja kau bicara, aku merasa tak pernah berbuat salah pada kalian. Kini secara tiba-tiba saja kau menghendaki barang-barang yang paling berharga dalam hidupku...?" tukasnya sembari menepuk-nepuk periuknya sehingga menimbulkan suara bising dan membuat kacau pendengaran mereka yang ada di bawahnya.
"Sialan! Tak kusangka orang itu memiliki berbagai kepandaian yang aneh. Agaknya dia bukanlah pemuda sembarangan seperti yang kuduga...!" membatin si Tinggi ceking.
"Kunyuk di atas pohon... turun secara baikbaik, atau aku harus memaksamu?" bentak si Tanduk Maut dengan disertai satu erangan jengkel.
"Hmm, biasanya aku memang lebih suka melakukan sesuatu menuruti keinginan sendiri, tapi karena tingkah kalian tak ubahnya bagai garong-garong picisan. Maka aku jadi ingin melihat sejauh mana kehebatan kutu kupret yang telah begitu berani memberi perintah kepadaku itu...!" masih dengan tersenyumsenyum Buang secara sengaja memanas-manasi anggota gerombolan Sinar Kayangan.
"Bedebah! Hiaaaat.... Wuuuus...!"
"Bruaaaak...!" Tanpa banyak cincong si Tanduk Maut kirimkan satu pukulan jarak jauh dengan sasaran pohon yang ada di depannya. Begitu pukulan berhawa panas dan sangat dikenal dengan nama 'Pukulan Gajah Geledek' dilepas dengan mengandalkan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi menderulah selarik sinar berwarna jingga mengarah pada sasarannya. Detik selanjutnya saat mana pukulan itu menghantam sasarannya. Tak dapat dicegah lagi pohon damar yang berukuran sangat besar itu berderak patah, menimbulkan suara berkerotakan. Lalu ambruk ke bumi.
"Hebat... hebat... kiranya si Tanduk goblok, bukanlah nama kosong. Pohon roboh daun-daunnya layu. Ihh... pukulan beracun yang sangat keji, tapi karena aku pun tak punya persoalan dengan kalian. Baiknya sekarang aku minggat saja...!"
"Wees...!" Sekali berkelebat, maka tubuh Pendekar Hina Kelana telah pula lenyap dari pandangan mereka. Dia memang tak perduli dengan teriakanteriakan para pengejarnya. Sebaliknya pemuda itu malah mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya 'Ajian Sepi Angin'. Waktu selanjutnya tubuh pemuda itu melesat laksana terbang. Tinggallah para gerombolan Sinar Kayangan yang terus berkutat mencari jejak Pendekar Hina Kelana.

 



--₪¦ « 4 » ¦₪--

Di sepanjang lembah di Bukit Kapur yang masih merupakan gugus Bukit Siluman, dilihat sepintas lalu merupakan sebuah daerah yang memberi kesan angker bagi mereka yang secara kebetulan hadir di sana. Kenyataannya daerah itu memang tak pernah dijarah oleh siapa pun terkecuali sanak keluarga Leluhur padepokan Bukit Berkabung dan para kerabatnya. Dan itu pun hanya terjadi dalam waktu setahun sekali. Selama bertahun-tahun, bahkan sejak meninggalnya sesepuh padepokan Bukit Berkabung yaitu 'Eyang Buyut Resi Mamba', Bukit Siluman merupakan daerah yang sangat disucikan sekaligus merupakan daerah terlarang bagi mereka yang bukan merupakan keturunan padepokan Bukit Berkabung.
Pagi itu menjelang matahari terbit dan semasih mengguratkan bayang-bayang merah. Udara di sekitar perbukitan dan lembah yang terdapat di lerengnya, tampak berselimut kabut. Embun pun masih menetes dari ujung-ujung ranting yang meranggas karena pengaruh kemarau yang sangat panjang. Menelusuri sepanjang perbukitan yang menghubungkan pada bukit induk dan merupakan sebuah kubur bagi para leluhur padepokan Bukit Berkabung. Tak terlihat lalu lalang mahkluk hidup di sana, hanya bukit-bukit berbatu kapur berderet memanjang dan tak ubahnya bagai untaian salju putih abadi. Pemandangan seperti itulah yang terlihat, sejauh-jauh mata memandang. Namun saat itu apabila deretan bukit kapur itu terus ditelusuri hingga sampai pada sebuah bukit yang paling tinggi dan berukuran sebesar anak gunung, maka akan terlihatlah sebuah pintu gua yang senantiasa terkunci. Dan dekat pintu yang terkunci itu seorang pemuda dengan pakaian biru terang nampak bersimpuh di depannya.
Wajah pemuda itu tampak sedikit pucat, pakaian kotor karena debu-debu kapur. Sementara sorot matanya membayangkan rasa letih dan keputusasaan. Di tangan pemuda itu tampak pula tergenggam sebilah pedang pendek namun tajam di kedua sisinya. Tapi sejak tercabut dari sarungnya dua hari lalu, pedang di tangan pemuda berbadan pendek itu sudah hilang ketajamannya. Bahkan tampak rompal di sana sini, padahal pedang itu sebenarnya merupakan pedang mustika yang terbuat dari baja pilihan. Maka apabila pemuda itu kembali memandangi kedua sisi mata pedangnya yang sudah tak karuan ujudnya dia pun menggerutu kesal.
"Gembok pintu batu ini entah terbuat dari apa, sungguh sangat keterlaluan kalau pedangku yang selama ini mampu menggempur batu kali, namun tak mampu memutus sebuah gembok yang hanya sebesar tinju bocah bayi. Dua hari dua malam aku telah menguras tenaga. Badan letih pedang berantakan, tapi gembok terkutuk ini tidak juga bergeming dari posisinya. Apa dayaku kini, Eyang Girinda telah mengusirku, sedangkan Kakak Dewi Ratna Juwita tidak pernah kutemukan. Oh... padahal seperti apa yang dia rasakan, aku pun selalu memendam rindu padanya. Aku tak perduli dia saudara tiriku. Aku tak tahu Sang Hyang Widi memberi ijin atau tidak, yang penting aku harus mengawini dia...!" batinnya tanpa mempertimbangkan apakah rencananya mengawini kakak tirinya itu dilaknat oleh Sang Hyang Pencipta atau tidak.
Sementara itu tidak jauh dari tempat si pemuda merebahkan diri dalam usahanya untuk mengusir rasa lelah. Tampak sesosok bayangan sedang berlari-lari cepat menuju ke arahnya. Dari gerakannya yang sangat sebat dan ringan, tak dapat disangkal kalau sosok tubuh yang semakin bertambah jelas itu memiliki kepandaian dan ilmu lari cepat yang mengagumkan. Sesaat kemudian setelah semakin mendekat ternyata si pemilik ilmu lari cepat itu tak lain adalah seorang gadis yang memiliki wajah rupawan. Tubuhnya tinggi semampai, dengan rambut panjang dibiarkan tergerai dia mengenakan pakaian hijau lumut. Dan apabila melihat pedang tipis menggelantung di pinggangnya, memang tak dapat di sangkal kalau dia merupakan seorang gadis persilatan yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Setelah berlompatan di atas batu-batu kapur sejenak lamanya dia menghentikan langkah, sepasang matanya yang merembab basah, bekerjab-kerjab memandang pada suasana sekelilingnya. Sama sekali si gadis tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Lalu dia pun kembali berlari-lari ke arah bukit yang memiliki sebuah pintu di depannya. Dan gadis itu pun hampir terlonjak begitu melihat pemuda yang sangat dikenalnya telah berada di mulut gua berpintu batu pualam tersebut.
"Adik Bagas Salaya...!" serunya setengah memekik kegirangan. Pemuda yang dalam keadaan terlentang itu mendadak telengkan kepalanya. Seraya melonjak bangun dari tempatnya.
"Kak Dewi...!" ucap si pemuda yang ternyata Bagas Salaya, adik tiri dan sekaligus kekasihnya. Kedua insan berlainan jenis ini saling menghambur dan saling berpelukan erat satu sama lain.
"Kak Dewi... aku merindukanmu, Kak...!" desah Bagas Salaya di sela-sela pagutan mesra.
"Aku pun selalu memikirkanmu, Dik... tapi... mengapa kau sampai berada di Bukit Siluman ini...?" tanya Dewi Ratna Juwita sesaat setelah melepaskan pelukannya. Sejenak Bagas Salaya menatap tajam pada saudara tirinya yang memiliki wajah rupawan itu. Kemudian dia melangkah, lalu duduk di atas sebongkah batu. Dewi Ratna Juwita mengikut di sebelahnya.
"Aku telah diusir oleh Eyang Girinda...!" ucapnya sendu.
Dewi Ratna Juwita menggeser punggungnya hingga kian merapat pada posisi pemuda yang sangat dicintainya itu.
"Telah diusir oleh Eyang? Apa salahmu...?" selidik Dewi Ratna Juwita tersentak kaget.
"Karena sejak engkau pergi aku selalu memikirkanmu, dan eyang nampaknya benar-benar mengutuki hubungan cinta kita...!" selak Bagas Salaya, merasa sedih hatinya. Namun Dewi Ratna Juwita tidak menginginkan saudara yang sangat di cintainya bersedih hati. Cepat-cepat dia merengkuh tubuh pemuda itu ke dalam pelukannya. Dua insan tersesat itu pun kembali terlibat ciuman.
"Kita harus membuktikan pada dunia bahwa tanpa bantuan siapa pun kita mampu berdiri sendiri. Ya... kita akan menjadi Sepasang Walet Merah yang sangat tangguh!" bisik si gadis dengan napas terengahengah karena dilanda gelora nafsu. Dengan halus Bagas Salaya mendorongkan tubuh Dewi Ratna Juwita, dia masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan oleh gadis pujaannya itu. Maka dengan cepat dia pun bertanya:
"Apa maksudmu Kak Dewi?" tanpa menjawab Dewi Ratna Juwita mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Kemudian si gadis memperlihatkan sebuah benda yang ternyata sebuah kunci yang terbuat dari perak.
"Kunci perak ini! Dengan kunci di tanganku, aku berharap dapat membuka pintu batu yang terletak di depan itu. Aku punya bukti bahwa di dalam goa tempat penyimpanan mayat para leluhur kita terdapat sebuah Batu Walet Merah yang menurut sejarahnya menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat...!"
"Eh... kalau begitu kita memiliki tujuan yang sama... kakak tahu selama dua hari dua malam aku telah berusaha untuk membuka gembok pintu itu namun tak pernah membawa hasil. Lihatlah pedangku itu, rompal di sana sini...!" desah Bagas Salaya, seraya menunjuk ke arah pedang miliknya yang menggeletak di bawah pintu dinding batu.
"Dengan pedang itu kau berusaha membuka gembok tersebut...?" tanya si gadis setelah memperhatikan pedang milik kekasihnya sejenak lamanya.
"Hi... hi... hi...! Kau ini selain nakal dan konyol kiranya juga manusia yang bego. Mana mungkin pedangmu mampu membentur gembok kecil mungil itu, karena gembok itu yang membuatnya Eyang Resi Mamba sendiri, paling tidak dia telah menyalurkan hawa sakti ke dalamnya. Tapi dengan kunci yang ku curi dari tangan Eyang Girinda, mudah-mudahan kita bisa mendapatkan Batu Walet Merah...!"
Terbelalak mata Bagas Salaya demi mendengar pengakuan kekasihnya, sama sekali dia tiada menyangka pada saat Eyang Girinda meributkan tentang hilangnya kunci perak pembuka Gua Siluman, gadis pujaannya itulah yang telah mencurinya. Mengagumkan! Pujinya. 
"Kau benar-benar seorang pencuri yang lihai, Kak Dewi! Tapi...!" tiba-tiba Bagas Salaya menjadi ragu-ragu. Keraguan si pemuda untuk mengatakan sesuatu, ini membuat Dewi Ratna Juwita jadi penasaran.
"Adik Bagas, kau berkata apa! Katakan saja, aku tak mau di antara kita masih ada saling menyimpan rahasia...!" tukasnya dengan wajah berseru merah. Bagas Salaya tampak menarik napas panjang, baginya kalau pun memang benar di dalam gua yang tempat penyimpanan mayat para leluhur mereka tersimpan pula Batu Permata Walet Merah salah sebuah di antara yang sepasang itu. Berarti berita tentang Batu Walet Merah yang terdapat di Sungai Banyu Urip benar adanya. Tanpa mendapatkan kedua-duanya, itu masih berarti bahwa mereka pada satu saat kelak akan mendapat satu rintangan yang sangat besar untuk dapat mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit Berkabung sebagaimana saat Eyang Buyut Resi Mamba menjadi pimpinan dulu. Pada hakekatnya sungguh pun Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya memiliki tujuan yang sama seperti apa yang dicita-citakan oleh adik bungsunya, yaitu Dewi Ratih. Namun hasrat yang terkandung dalam jiwa Dewi Ratna Juwita adalah juga mencakup sekaligus merangkul kaum persilatan golongan hitam.
"Cepat katakan Adik Bagas...!" ucapan si gadis yang mendadak saja berubah ketus ini membuat Bagas Salaya tersentak dari lamunannya. Maka tanpa merasa sungkan-sungkan lagi dia pun berkata; "Kakak Dewi! Aku menjadi bimbang dengan apa yang akan kita lakukan. Sebab seperti kita ketahui Batu Walet Merah itu pada hakekatnya ada sepasang. Kalaulah memang benar di sini ada salah satu di antaranya, maka seperti yang pernah dikatakan oleh Eyang Girinda dulu, Eyang Buyut Resi Mamba telah membuang yang satunya lagi di Sungai Banyu Urip. Kita bisa mengalami kesulitan yang sangat besar andai nanti Eyang Girinda mengutus Adik Dewi Ratih untuk mendapatkan batu yang terbuang itu, bukankah ini merupakan hambatan yang sangat berarti bagi kita...?" ujar Bagas Salaya, sebagai tanggapannya sebaliknya Dewi Ratna Juwita malah tersenyum-senyum penuh arti.

 



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Kita tinggalkan dulu Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya yang sedang mempersoalkan Batu Walet Merah dan rencana mereka untuk memasuki gua Bukit Siluman yang terkunci. Pada saat yang sama di padepokan Bukit Berkabung, Eyang Girinda sedang kedatangan dua orang utusan yang masih belum dikenalnya. Demikianlah setelah menerima laporan dari salah seorang muridnya yang bernama Bayu Puput, maka Eyang Girinda memberi perintah pada muridnya untuk menyuruh tamunya menghadap padanya. Bayu Puput keluar sebentar, kemudian memperkenankan dua orang tamu berkerudung yang masih tetap berdiri di halaman padepokan, untuk menemui sesepuh padepokan Bukit Berkabung yang sudah menanti mereka di ruangan depan. Beberapa saat setelah mereka saling berhadap-hadapan, maka Eyang Girinda mulai menyapa tamunya dengan ramah, walau hati dan perasaannya sesungguhnya menaruh perasaan curiga terhadap diri dua orang berkerudung yang mengaku sebagai utusan itu.
"Ah... sudah hampir sepuluh tahun padepokan Bukit Berkabung tak pernah menerima tamu terlebihlebih utusan. Namun hari ini anda berdua telah datang ke mari, ada gerangan apakah dan siapa pula yang telah mengutus anda...?" tanya Eyang Girinda langsung menuju pada titik persoalan. Salah seorang yang mengaku sebagai utusan itu menjura beberapa kali, kemudian setelah menoleh pada kawannya yang selalu bersikap acuh. Dia pun buka suara
"Hik... hik... hik...! Masak kau tak bisa mengenali siapa adanya kami ini, Girinda...!" setengah menggeram si orang berkerudung itu, hingga membuat Eyang Girinda tersentak dari tempat duduknya yang hanya terbuat dari anyaman rotan. Dari nada tawanya, Eyang Girinda dapat mengenal suara orang yang mengenakan kerudung merah ini. Laki-laki tua itu kemudian berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya pemilik suara yang rasa-rasanya pernah dia kenal. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu! Tiba-tiba saja Eyang Girinda melompat ke depan begitu mengenali siapa adanya dua orang yang mengaku sebagai utusan ini.
"Ka... kau... Nyai Plasik yang pernah mengobrak-abrik padepokan ini, kemudian lari terbirit-birit setelah ayahku Resi Mamba menghadapimu dengan cincin Permata Walet Merah...!" Dalam keterkejutannya itu, Eyang Girinda masih sempat mengingat sebuah kenangan lama yang bagi si orang berkerudung merah merupakan kata-kata yang sangat menyakitkan.
"Girinda manusia pengecut! Setelah Resi Mamba bapak moyangmu mampus, dan tanpa Batu Walet Merah yang menghebohkan itu, mampu berbuat apakah kau terhadap Nyai Plasik dedengkot dari kuburan iblis..,?" maki si kerudung merah yang ternyata memang Nyai Plasik adanya.
"Ah... apakah bangsat berkerudung yang ada di sampingmu itu si Gajah Mungkur bekas suamimu...?" sela Eyang Girinda tanpa menghiraukan ucapan Nyai Plasik. Selanjutnya setelah meneliti orang yang duduk di samping perempuan muka setan itu Eyang Girinda melanjutkan.
"He... he... he...! Bukan... dia bukan Gajah Mungkur. Gajah Mungkur tidak kurus cacingan seperti dia. Manusia iblis itu gemuk macam gentong, sedangkan dia... hoa... ha... ha...! Mungkin juga gendakmu yang baru...!" ejek Eyang Girinda sembari menyeringai lebar. Geram bukan main orang yang berada di samping Nyai Plasik, kejengkelannya yang sejak tadi ditahan-tahannya sekarang dilampiaskannya lewat satu pukulan beracun yang sudah barang tentu tidak asing lagi bagi Eyang Girinda. Maka begitu tangannya yang kuning pucat dan hanya sebesar tangan bayi yang baru berumur dua bulan itu menjulur, serangkum gelombang yang menimbulkan hawa dingin luar biasa langsung menyambar pada sasarannya. Masih untung Eyang Girinda yang sudah banyak mengenal tipu-tipu kaum persilatan golongan sesat ini dengan cepat dapat membaca gelagat lawan yang bermaksud untuk mencelakakannya. Lalu kesempatan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh Eyang Girinda untuk membuang tubuhnya di samping kiri.
"Braaak...!" luput dari sasarannya, pukulan maut yang dikenal sebagai Badai Kematian, terus meluncur dan langsung melabrak tiang penyangga ruangan pendopo. Bagian bawah tiang itu hancur berkeping-keping dilanda pukulan yang telah dilepaskan oleh lawannya.
Suara keras yang ditimbulkan oleh pukulan itu sudah barang tentu membuat murid-murid padepokan Bukit Berkabung menjadi terkejut sekali, begitu mereka memandang ke bagian dalam dan melihat gurunya sedang menghadapi keroyokan dua orang yang mengaku sebagai utusan tadi. Maka detik kemudian dengan pedang terhunus mereka langsung menyerbu ke bagian ruangan dalam.
"Mundur kalian semua...!" teriak Eyang Girinda. Dalam keadaan bertarung seperti itu, Eyang Girinda masih sempat berseru memberi peringatan pada murid-muridnya. Belasan murid-murid padepokan Bukit Berkabung, tampaknya tiada berani membantah perintah gurunya. Mereka mundur namun tetap membuat satu lingkaran untuk menjaga setiap kemungkinan yang tiada dikehendaki.
"Bangsat, Girinda! Mengapa tidak kau biarkan saja murid-muridmu berhadapan dengan aku dan muridku...!" hardik Nyai Plasik berusaha menutupi kekecewaannya.
"Hhh. Terhadap manusia setan seperti kalian, kukira tubuh rongsokanku ini sudah cukup untuk membantai tubuh rusak seperti kalian...!" bentak Eyang Girinda.
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuh Eyang Girinda tampak melesat melalui pintu jendela samping. Dua perempuan berkerudung merah itu pun memburunya.
"Jliigk...!" Tiga kali berturut-turut suara menjejakkan kaki di atas permukaan tanah terdengar, dan murid-murid padepokan Bukit Berkabung mengikutinya dari pintu depan. Selagi dua orang berkerudung itu sedang saling bersitatap dengan musuh bebuyutannya, maka belasan murid padepokan telah mengurung mereka kembali.
"Hik... masihkah kau berharap adanya dewa penolong yang dapat menunda kematianmu, Girinda!" ejek Nyai Plasik dengan sesungging senyum menyeramkan. Namun sejauh itu Eyang Girinda yang berbadan tinggi semampai ini masih kelihatan tenangtenang saja.
"Kematian bagiku bukanlah sebuah persoalan yang memusingkan dan tak perlu ditakuti, besok atau lusa sama saja!"
"Sombong! Kau kira kau bisa menang dalam menghadapi kami?" gertak Nyai Plasik semakin mendidih darah tuanya. Sebaliknya manusia berkerudung merah yang ada disampingnya hanya diam saja. Dan dari caranya melontarkan pukulan tadi Eyang Girinda pun sudah dapat mengetahui bahwa ternyata murid Nyai Plasik jenis manusia yang tiada dapat berkatakata.
"Jangan banyak ngebacot, cabut senjatamu atau kau akan menyesal untuk selama-lamanya " teriak Eyang Girinda. Selanjutnya mengawali serangan pertama, laki-laki berambut kecoklatan itu menggebrak Nyai Plasik dengan jurus tangan kosong 'Menyisir Bidadari Menggapai Bulan' Maka dalam waktu sekedip mata saja tubuh Eyang Girinda telah pula berkelebat lenyap.
Dari gerakannya yang sangat sebat itu menimbulkan angin kencang bersiuran. Baik tendangan kaki maupun jotosan-jotosan yang telah teraliri tenaga dalam selalu menimbulkan angin pukulan yang sangat hebat. Tak dapat di sangkal lagi, jubah merah yang menutupi segenap wajah dan tubuh Nyai Plasik nampak berkibar-kibar, sehingga memperlihatkan sebagian wajahnya yang rusak mengerikan. Sebaliknya Nyai Plasik pun tidak tinggal diam, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak yang sama hebatnya. Menjelang pertarungan berlangsung lima belas jurus dia masih mampu menghindari setiap sergapan maupun pukulan tangan dan tendangan kaki yang datangnya bertubi-tubi itu.
Di lain pihak, murid Nyai Plasik yang bernama Puteri Gagu tampak merasa yakin kalau gurunya pasti mampu mengatasi lawannya. Maka selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi dia pun berbalik dan menyerang barisan murid-murid padepokan Bukit Berkabung yang memang sudah bersiap siaga dengan segala kemungkinan. Dalam waktu sekejap berkobarlah pertempuran yang menentukan hidup atau matinya pribadi masing-masing. Ternyata murid-murid padepokan Bukit Berkabung yang jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang itu merupakan murid-murid yang berkepandaian tinggi. Dengan senjata pedang yang mempunyai ketajaman di kedua sisinya mereka terus merangsak dan mencecar Puteri Gagu dengan jurus pedang 'Dewa Gemblung Menabuh Gendang', karuan saja walau murid tunggal Nyai Plasik itu memiliki kepandaian tinggi, tapi menghadap dua puluh orang lawan yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tiga tingkat di bawahnya, sudah barang tentu lama kelamaan menjadi terdesak juga.
Yang paling kesal melihat kenyataan ini adalah Nyai Plasik. Sebab semula dia hanya menduga bahwa murid-murid padepokan Bukit Berkabung tak mungkin memiliki kepandaian yang cukup berarti. Sehingga dia memperhitungkan dengan hanya dihadapi murid tunggalnya yang juga memiliki kepandaian yang telah diturunkannya maka orang-orang itu dengan mudah dapat dikalahkan oleh muridnya. Semua memang di luar perhitungannya, tapi dia pun melihat sampai sejauh itu Puteri masih belum mempergunakan pukulan 'Mayat Iblis'. Itu makanya dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatan muridnya.
Sementara itu, Nyai Plasik dan Eyang Girinda yang sedang terlibat pertempuran tampak mulai saling melancarkan jurus-jurus mautnya. Kedua musuh bebuyutan ini saling terjang mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dan juga kemampuan menghindar yang sangat luar biasa cepatnya.
"Caaat... Hiaaaa...!" satu bentakan keras mengawali jurus tangan kosong 'Siluman Tanpa Nama'. Tangan kanan Eyang Girinda terpentang kokoh membentuk cakar, sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada.
Sebelah kaki kanannya juga terangkat setinggi lutut. Nyai Plasik kiranya juga menyadari bahwa jurus silat tangan kosong yang di gelar oleh Girinda merupakan sebuah jurus yang sangat berbahaya. Tak ayal lagi perempuan renta muka rusak itu pun segera pula mengimbanginya dengan jurus 'Iblis Mencabut Maesan', maka bertarunglah kedua dedengkot rimba persilatan itu dengan hebatnya.
"Heiiik...!" Dengan posisi badan setengah berputar, Eyang Girinda pukulkan tangan kanannya yang membentuk cakar, sementara kaki tangannya menendang ke arah bagian perut lawannya. Nyai Plasik nampaknya juga tak mau bertindak tanggung-tanggung, dengan mengandalkan tiga perempat tenaga dalam yang disalurkan melalui tangannya, maka dia pun bergegas menampik.
"Craak! Dees...!"
"Wuaaah...!" Tubuh Nyai Plasik terbanting roboh, satu cakaran memang berhasil dia elakkan, namun tendangan kaki kanan Eyang Girinda yang begitu telak masuk di luar perhitungannya. Sambil memegangi perutnya yang terasa mual bagai di aduk-aduk, Nyai Plasik cepat bangkit kembali. Namun begitu dia siap dalam posisi yang goyah, mendadak darah meleleh membasahi pinggiran bibirnya. Perempuan renta berwajah rusak ini cepat-cepat seka darah yang mengalir itu sembari mengeluarkan satu erangan marah. Sementara itu di pihak Eyang Girinda sebenarnya bukan tak mengalami satu akibat apapun. Dari beradunya kedua tangan tadi dia merasakan tangannya terasa ngilu, dan mulai berdenyut-denyut sakit. Bahkan dadanya pun terasa sesak luar biasa. Apapun akibat yang dialami oleh kakek renta itu, namun tak separah apa yang diderita oleh Nyai Plasik yang menjadi lawan besarnya.
"Girinda manusia kropos!" bentaknya secara tiba-tiba.
"Kalau hari ini aku tak sanggup mencabut nyawa anjingmu, biarlah aku berhenti saja sebagai manusia...!" Eyang Girinda keluarkan tawa bergelak, sama sekali dia tak merasa gentar sedikit pun menghadapi si buruk rupa dari Kuburan Iblis itu. Maka dengan sikap menantang dia berucap;
"Siapa bilang kau manusia, sejak kau dilahirkan semua kalangan persilatan tau kalau kau sesungguhnya merupakan nenek moyangnya para iblis! Majulah aku tak pernah gentar menghadapimu...!" Mendengar kata-kata yang bernada mengancam ini, sedikitpun Nyai Plasik tiada bergeming. Kedua bola matanya yang kecoklat-coklatan itu kini telah berubah memerah pandangan matanya mencorong lurus terasa menghunjam ulu hati lawannya. Sementara kedua tangannya yang menyilang kedepan dada sudah mulai nampak berubah kehitam-hitaman. Kabut tebal yang berwarna hitam pula mulai mengepul meninggalkan ujung-ujung jemarinya. Menggeletar tubuh perempuan reot itu bagai terserang demam malaria. Bagai disertakan kekuatan yang tiada terlihat, tubuh Eyang Girinda melompat mundur empat langkah. Dia masih ingat ketika dulu ayahnya, Resi Mamba hanya mampu mengatasi pukulan 'Jemari Iblis' ini dengan mempergunakan Batu Walet Merah. Sedangkan kini dia tiada memiliki batu tersebut. Mempergunakan kitab kelima pukulan 'Dewa Berkabung' hanya itulah yang dapat diharapkannya. Selanjutnya mendahului bergeraknya tubuh Nyai Plasik dengan pukulan andalannya 'Jari Iblis', maka detik selanjutnya sembari berusaha menghindar, Eyang Girinda lepaskan pukulan 'Dewa Berkabung' yang sangat diandalkannya.

* * *



--₪¦ « 6 » ¦₪--

Merasa didahului oleh lawannya, Nyai Plasik sembari keluarkan suara menggembor cepat pula lepaskan pukulan beracun 'Jari Iblis'.
"Weees! Wees...!" Dua pukulan sakti saling bergerak menyongsong. Tak pelak pukulan 'Jari Iblis' yang dilancarkan oleh Nyai Plasik dan pukulan 'Dewa Berkabung' yang dilepas oleh Eyang Girinda. Kedua pukulan sakti itu saling menimbulkan gelombang angin yang sangat kencang. Bahkan murid-murid Eyang Girinda yang tampak mulai terdesak menghadapi serangan Puteri Gagu beberapa orang diantaranya sampai terseret-seret dihentak sapuan angin yang menyebarkan bau busuk menusuk hidung.
"Blaar! Blaar!" Beradunya dua pukulan sakti itu menimbulkan getaran yang sangat hebat. Beberapa murid padepokan Bukit Berkabung terpelanting roboh dengan jiwa melayang. Sebaliknya gurunya sendiri, Eyang Girinda terjengkang tujuh tombak. Tapi kakek renta ini meskipun harus bersusah payah merangkak, tampak berusaha bangkit kembali. Dia sudah tiada memperdulikan keselamatan dirinya, walau darah kental berwarna kehitam-hitaman terus menggelogok tanpa henti. Sebaliknya di pihak Nyai Plasik sendiri, sungguh pun hanya terpelanting tiga tombak, namun dari bibirnya mengucur darah segar. Melihat keadaan mereka berdua, nyatalah yang paling banyak menanggung akibatnya adalah sesepuh padepokan Bukit Berkabung. Dia sendiri dapat merasakan racun akibat pukulan mulai menjalar ke mana-mana.
Sebenarnya kejadian itu bukannya luput dari perhatian murid-murid Eyang Girinda, namun mereka juga tidak dapat berbuat banyak untuk memberi pertolongan pada gurunya. Sebab mereka sendiri kini tampak tengah berjuang mati-matian menghadapi gempuran serangan Puteri Gagu yang mengandalkan pukulan tak kalah hebatnya dengan pukulan yang menghantam tubuh Eyang Girinda. Satu demi satu muridmurid padepokan Bukit Berkabung mulai berguguran. Puteri Gagu yang sudah kalap itu sudah tidak memperhitungkan lagi berapa banyak korban yang gugur di tangannya. Malah kini dia semakin gencar menghujani lawan-lawannya dengan pukulan yang sangat mematikan.
Di pihak Nyai Plasik, tampaknya pun sudah tak sabaran lagi untuk mengakhiri pertarungannya dengan Eyang Girinda. Sudah dua kali laki-laki berambut coklat itu dihajar pukulan beracun 'Jari Iblis', keadaannya sudah sangat payah sekali. Agaknya pukulan berikut yang sudah siap dilancarkan oleh Nyai Plasik segera mengakhiri hidupnya andai saja dalam keadaan yang sangat kritis itu tidak muncul sosok bayangan merah yang datang begitu cepat menyambar tubuh Eyang Girinda yang sedang mengalami luka dalam sangat parah.
"Blaaaam...!" Pukulan yang dilancarkan oleh Nyai Plasik hanya mengenai tempat yang kosong. Debu mengepul ke udara sebagai akibat yang ditimbulkan oleh pukulan itu. Sementara bayangan merah tadi setelah meletakkan tubuh Eyang Girinda di tempat yang aman kembali berkelebat menghampiri Nyai Plasik yang sedang terbengong-bengong.
"Jliigk...!" Dengan mulus si bayangan merah, rambut berkuncir dengan periuk yang selalu menyertainya kemana pergi menjejakkan kakinya di atas sebongkah batu berukuran besar. Kehadiran pemuda yang tidak dikenal oleh perempuan muka rusak ini langsung dia sambut dengan caci maki. Sebaliknya yang mendapat makian malah tertawa mengekeh.
"Ah... sebuah pertarungan yang sangat tidak bijaksana! Sudah tau musuh tiada berdaya, tapi kau malah bermaksud menghabisinya...!" tegurnya masih dengan tersenyum-senyum. Nyai Plasik yang sudah kehilangan kesempatan untuk membunuh musuh bebuyutannya menjadi sangat marah sekali. Sementara itu pertarungan antara Puteri Gagu sudah tampak mulai terhenti. Murid-murid padepokan Bukit Berkabung hanya bersisa tak lebih lima orang saja. Sebaliknya Puteri Gagu sendiri kini telah bergabung dengan gurunya untuk melakukan keroyokan pada pemuda penyandang priuk yang sangat menyebalkan itu.
"Bocah, siapakah kau ini? Begitu berani mencampuri urusan dedengkot Kuburan Iblis...!" membentak Nyai Plasik setelah memandang tajam pada si pemuda beberapa saat lamanya.
"He... he... he...! Aku cuma pengelana kok. Namaku kukira tak penting bagimu pula iblis jelek sepertimu tak perlu tahu lebih banyak siapa aku ini!" jawab Buang Sengketa mencemooh. Maka habislah sudah kesabaran yang dimiliki oleh Nyai Plasik. Kemudian tanpa berkata-kata lagi Nyai Plasik dan muridnya langsung menyerang pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara ini dengan pukulan-pukulan beracun yang sangat ganas. Kini pemuda itulah yang menjadi pelampiasan kemarahan Nyai Plasik. Buang sadar betapa tiada guna mempergunakan Jurus Kesabaran 'Koreng Seribu' apalagi dia sendiri sempat melihat betapa telengasnya manusia muka rusak itu. Di sisi lainnya, sungguh pun dia menyadari tubuhnya kebal terhadap berbagai jenis racun. Namun dia tidak akan membiarkan begitu saja dirinya menjadi sasaran pukulanpukulan dahsyat yang mulai dilancarkan oleh kedua lawannya. Itulah sebabnya ketika Puteri Gagu mulai melepaskan pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan Nyai Plasik juga mempersiapkan pukulan 'Jari Iblis' maka si pemuda dengan mengerahkan tiga perempat tenaga dalamnya segera pula melepaskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan' yang sudah tidak asing lagi. Tak ayal selarik gelombang angin pukulan yang memancarkan sinar Ultra Violet dan menimbulkan hawa panas luar biasa melesat sedemikian cepatnya menyongsong pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan pukulan 'Jari Iblis' dua pukulan yang menimbulkan hawa dingin dan menebarkan bau racun bertemu dengan sebuah pukulan yang menyebarkan udara panas.
"Blaaar...!" Dua letupan keras yang menimbulkan getaran yang sangat hebat terdengar. Tubuh pendekar dari Negeri Bunian itu terpelanting roboh. Dari hidung dan bibirnya mengalir darah kental, dia merasakan tulang belulangnya bagai remuk. Sementara kepalanya berdenyut-denyut sakit. Baik Nyai Plasik maupun Puteri Gagu yang hanya tergetar saja tubuhnya akibat benturan tenaga sakti tadi, kini telah siap kembali dengan pukulan susulan.
"Hiaaaat Caaaaait...!"
"Wuss.... Weeer...!" Menghadapi dua ancaman maut sekaligus, Buang sudah bermaksud berkelit menghindar namun dia sendiri akhirnya terperangah ketika menyadari tubuhnya terasa sangat sulit untuk digerakkan. Tiada pilihan lain, sungguh pun dia menyadari dirinya sedang menderita luka dalam yang tidak ringan, namun akhirnya dengan nekad si pemuda mengadu jiwa dengan lawannya.
"Hhhh...!" Sedikit saja dia mengerahkan tenaga dalamnya, maka kedua tangannya terangkat ke atas dan menyilang di atas kepala. Melihat tingkah si pemuda seperti orang yang sedang memasrahkan nasib, kejab kemudian sebenarnya Nyai Plasik hampir saja melonjak kegirangan. Tapi rasa senang itu akhirnya harus dia bayar dengan rasa kecut yang luar biasa. Bagaimana tidak, begitu pula yang dia lepaskan dan pukulan yang dilepaskan oleh muridnya menghantam lawannya. Dia dapat merasakan pukulan yang mereka lepaskan rasa-rasanya seperti menghantam bayangbayang, kini bahkan mereka mulai merasakan seperti dua kekuatan raksasa yang membetot tubuh mereka menuju ke arah Buang Sengketa. Bahkan Nyai Plasik mulai merasakan ada sesuatu yang mengalir deras lewat tangannya. Masih dalam keheranan Nyai Plasik maupun Puteri Gagu muridnya terus berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk memunahkan pengaruh daya tarik yang sangat kuat itu. Tapi mereka nampaknya mulai menyadari semakin kuat mereka mengerahkan tenaga dalamnya maka semakin deras pula tenaganya yang tersedot keluar.
Memang tidak dapat di sangkal, justru semua itu terjadi karena Buang yang tadinya dalam keadaan kepepet itu sudah tak punya pilihan lain terkecuali membuka jurus Koreng Seribu yang mempunyai sifat membetot tenaga sakti lawannya. Namun lama kelamaan Nyai Plasik yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan itu menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Dia pun akhirnya mengeluarkan seruan kaget; "Ilmu setan...!" desisnya. Apabila dia melirik ke arah muridnya yang sudah mulai menggigil dan pucat wajahnya. Maka dia pun berteriak: "Puteri! Tarik balik tenaga dalammu...!" perintahnya sembari memberi aba-aba dengan mempergunakan jari tangan kirinya. Dengan isyarat gurunya. Puteri Gagu segera menarik balik tenaga dalamnya, begitu pula halnya dengan Nyai Plasik.
Begitu mereka terbebas dari siksaan 'Jurus Koreng Seribu' yang hampir menguras setengah dari tenaga dalam yang mereka miliki, maka tubuh kedua orang itu tampak terhuyung-huyung. Sebaliknya Buang Sengketa yang memperoleh tenaga tambahan dari lawan-lawannya, sekarang sudah berdiri tegak dengan seringai senyum menggidikkan.
"Ilmu iblis...!" maki Nyai Plasik dengan nafas terengah-engah. Hal yang sebenarnya, Nyai Plasik mulai keder juga, sebab baru kali inilah dia mendapati seorang pemuda aneh memiliki ilmu kepandaian yang tiada duanya. Menyedot tenaga dalam lawan! Dedengkot Kuburan Iblis itu tak mungkin pernah percaya andai tidak menyaksikannnya sendiri.
Apapun ilmu gila yang dimiliki oleh lawannya dia sudah tidak perduli lagi. Kepalang tanggung. Kembali dia memberi isyarat pada Puteri Gagu, lalu dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh kedua manusia buruk rupa itu telah berkelebat menyambarnyambar. Sesekali dengan kecepatan yang sangat sulit diikuti oleh kasat mata, Nyai Plasik dan Puteri Gagu menyerang Buang Sengketa dengan senjata rahasianya yang berupa Paku Beracun berwarna hitam.
Pada dasarnya tokoh sesat ini sangat dikenal dengan pukulan 'Jari Iblisnya, satu-satunya senjata yang mereka andalkan adalah senjata rahasia yang berupa jarum beracun itu.
Pendekar Hina Kelana sungguhpun baru sekali ini bertemu dengan lawan yang menamakan dirinya sebagai dedengkot dari Kuburan Iblis, tapi dapat menyadari, bahwa senjata rahasia yang disambitkan secara cepat oleh kedua lawannya itu sesungguhnya lebih berbahaya lagi daripada menghadapi sepuluh mata pedang.
Itulah sebabnya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerakan tubuh, si pemuda secara silih berganti memainkan jurus-jurus silatnya. Pertama-tama dia mempergunakan Jurus 'Membendung Gelombang Menimba Samudra', mempergunakan jurus ini dia hanya mampu bertahan sebentar, karena di pihak lawan ternyata telah pula memainkan Jurus 'Mayat Iblis' sembari menyambitkan paku-paku beracunnya. Lalu Buang mengalihkan jurus silat pertama dengan Jurus 'Si Gila Mengamuk', setelah pertarungan mencapai tiga puluh lima jurus di muka, maka terlihatlah posisi si pemuda mulai keteter. Dan saat itu tampaknya Buang Sengketa memang sudah tak dapat lagi mengendalikan emosinya sebagai manusia. Terlebih-lebih ketika dua buah paku beracun sempat menghantam betisnya. Maka detik berikutnya nalurinya sebagai titisan Raja Siluman lah yang bicara.
Apabila Nyai Plasik yang sedang terkekeh melihat lawannya yang terpincang-pincang itu memandang ke arah wajah si pemuda, tersentaklah dia. Detik itu juga dia telah hentikan tawanya. Dia melihat kedua mata pemuda itu sekarang telah memerah saga, dari celah bibirnya yang dipenuhi lelehan darah kering, keluarkan bunyi mendesis-desis bagai ular piton yang sedang marah. Wajah Buang Sengketa tampak tegang sekali.
"Nguuung...!" Satu kali kelebatan maka menderu selaksa gelombang angin menyertai berkelebatnya sinar merah yang ditimbulkan oleh senjata yang berada dalam genggaman Buang Sengketa. Pucat pasi wajah Nyai Plasik dan muridnya, menggigil tubuh mereka di dera rasa kecut dan hawa dingin menusuk yang ditimbulkan oleh Pusaka Golok Buntung yang tergenggam erat di tangan si pemuda.
"Golok Buntung... ka... kau Pendekar Golok Buntung...!" desis Nyai Plasik yang pernah mendengar kehebatan pendekar dari paparan Sahul ini. Namun si pemuda sudah tiada menjawab lagi. Sebaliknya dengan mempergunakan jurus si 'Jadah Terbuang', tubuh Buang Sengketa berkelebat lenyap. Hanya kelebatkelebatan sinar merah menyala saja yang merupakan satu tanda bahwa saat itu secara rapat Pendekar Hina Kelana telah mengurung kedua lawannya dengan sambaran-sambaran ganas Golok Buntung di tangannya.
Sejauh itu menyadari adanya bahaya yang sedang mengancam jiwanya, tampaknya Nyai Plasik dan muridnya tiada pilihan lain terkecuali terus menyambitkan senjata rahasia demi menghindari pertarungan jarak dekat.
"Cring! Traaang!" Terdengar suara nyaring saat mana golok di tangan Buang Sengketa membabat runtuh paku beracun yang disambitkan oleh pihak lawannya. Mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa detik, dengan gerakan udang meletik tubuh si pemuda melesat ke udara.

* * *



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Secepat gerakannya mumbul ke atas, lebih cepat lagi tubuhnya meluncur ke bawah. Satu sabetan dia lakukan. Nyai Plasik membuang tubuhnya ke samping. Tapi golok buntung di tangan Buang mencapai sasaran disebelahnya.
"Brebet...!"
"Arghk...!"
Bagian dada Puteri Gagu terbelah memanjang sampai pada bagian perutnya. Usus terburai disertai semburan darah dari bagian jantungnya yang sempat tergores ketajaman golok lawannya. Hanya sekejap saja tubuh nan ramping itu berputar dan meliuk-liuk. Kemudian jatuh tersungkur dengan jiwa melayang. Kejut bercampur marah Nyai Plasik, demi melihat nasib yang dialami oleh muridnya. Satu bentakan menggeledek kemudian menyertai serangan-serangan mautnya yang didasari oleh pelampiasan emosi.
"Kubunuh engkau, keparaaaat...!" teriaknya sembari melancarkan pukulan maut bertubi-tubi. Namun sejauh apapun perempuan muka rusak itu berusaha mengimbangi gempuran lawannya. Tapi dengan adanya senjata maut di tangan si pemuda, secara lambat laun akhirnya dia kepepet dan tak mampu berbuat banyak ketika golok di tangan Buang menderu ke bagian kepalanya.
"Croook...!" terdengar suara lolongan panjang pada saat senjata itu membelah batok kepala Nyai Plasik. Darah meleleh bercampur dengan cairan otak yang berwarna putih kecoklatan. Tak lama setelahnya tubuh Nyai Plasik menggelosoh di atas tanah berdebu. Tiada berkutik karena pada saat Golok Buntung membelah kepalanya. Sedetik setelahnya jiwanya telah berangkat meninggalkan badan kasarnya.
Pendekar Hina Kelana menarik napas lega, secara perlahan dia menoleh setelah sebelumnya menyelipkan golok di bagian pinggangnya. Begitu matanya tertumbuk pada kerumunan murid-murid padepokan yang hanya tinggal lima orang, enam dengan seorang gadis yang belum dikenalnya. Maka disitulah dia teringat pada Eyang Girinda yang sedang menderita luka dalam cukup parah. Bergegas pemuda ini datang menghampiri, melihat kehadiran si pemuda, kelima murid padepokan memberi jalan. Tanpa berkata apaapa, Buang langsung jongkok di sisi kakek tua. Lebih cepat lagi dia memeriksa keadaan yang diderita oleh kakek itu.
"Luka beracun yang di deritanya sudah sangat parah, bahkan kini telah menjalar sampai kebagian jantung. Mungkin Golok Buntung mampu menyedot habis racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Tapi dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk bertahan...!" ucap si pemuda setelah melihat gadis berpakaian merah biru memperhatikan dirinya dengan pertanyaan lewat matanya.
"Jadi eyangku tidak bisa disembuhkan...!" tanya si gadis tampak cemas.
"Lukanya benar-benar sangat parah, kalau pun aku berhasil mengeluarkan racun itu dari dalam tubuhnya, tapi aku tak bisa jamin keselamatannya...!"
"Kalau saudara memang mampu mengeluarkan racun yang mengeram di tubuh eyangku, cepat lakukanlah...!" perintahnya.
Buang Sengketa memang tak ingin mengecewakan hati gadis yang belum dikenalnya itu. Maka dia baru hendak mencabut Golok Buntung yang terselip di pinggangnya ketika terdengar suara erangan lirih, memanggil!
"Dew... Dewi Ratih cucuku!" Ucapnya lemah sekali. Gadis baju hijau lumut yang kemudian di kenal oleh pemuda sebagai Dewi Ratih beringsut mendekat.
"Saya, Eyang..." sahutnya dengan hati gundah. Sedih melihat keadaan eyangnya yang sangat mengenaskan.
Eyang Girinda mengerjab-kerjabkan matanya, tapi hanya mampu terbuka sedikit. Melihat tatapan mata si orang tua yang kosong, tahulah Buang Sengketa, bahwa ajal bagi orang tua itu sudah berada di ambang pintu.
"Mm... manakah pemuda yang telah menolongku tadi...!" tanyanya lirih.
"Aku di sini, orang tua...!" si pemuda menyahuti. Mendengar suara Buang Sengketa Eyang Girinda yang sedang meregang ajal itu bermaksud menoleh, tapi tak mampu. Ganti si pemuda yang semakin beringsut mendekat.
"Kau sungguh pun aneh, tapi pemuda yang jujur dan memiliki kesaktian yang tiada terduga oleh siapa pun. Menjelang akhir hidupku, maukah kau meluluskan permintaanku andai aku mohon pertolongan padamu...?"
"Selama pertolongan itu sanggup aku kerjakan, maka dengan senang hati aku akan mengerjakannya...!" sahut Buang Sengketa pasti.
"Terima kasih! Permintaanku hanya satu, tolong lindungilah padepokan Bukit Berkabung ini dari kemusnahan. Dan... cucuku ini kutitipkan padamu, sampai menjelang dia mampu berdiri sendiri...!"
"Tap...!" Buang Sengketa tak dapat melanjutkan ucapannya, karena detik kemudian Eyang Girinda telah tiada bernyawa lagi. Dewi Ratih dan kelima murid yang ditinggalkan meskipun merasa sangat terpukul dan sedih, namun tak sampai keluarkan isak tangis.
"Dia sudah pergi!" desah Dewi Ratih di sela-sela kesedihannya.
"Sebagaimana dirinya, kita pun pada saatnya akan kembali juga kepangkuan Sang Hyang Widi. Ada baiknya kalau kita urus jenazah mereka dan jenazah eyangmu untuk dikuburkan...!" kata Buang coba menasehati.
"Saudara siapakah...?"
"Aku hanya seorang pengelana, namaku Buang Sengketa!" Meskipun masih dalam keadaan bersedih hati, namun saat si pemuda menyebutkan namanya, sepasang matanya yang indah itu membelalak lebar.
"Nama yang sangat aneh, tapi aku tahu situ seorang pemuda yang berkepandaian tinggi...!"
"Ah... ah... jangan pakai situ atau segala peradatan, panggil saja aku, Kelana sudah cukup...!" tukas si pemuda. Dewi Ratih tampak memerah parasnya, tapi kemudian dia mengangguk. Sementara Buang Sengketa sendiri segera mengusung mayat Kakek Girinda menuju ruangan depan padepokan. Lima orang murid padepokan juga melakukan hal yang sama.

* * *



Pagi menjelang siang, suasana di Bukit Siluman tampak tiada berubah sebagaimana hari-hari yang telah berlalu. Tapi ada yang tidak sebagaimana biasanya, yaitu pintu gua tempat penyimpanan mayat itu kini telah terbuka lebar. Di luar pintu gua keadaan sepi. Namun di ruangan dalam yang penuh sesaki terisi peti mati, tampak dua orang muda mudi sedang menelusuri sepanjang lorong gua yang berudara pengap dan terasa sangat menyesakkan pernapasan. Tapi tampaknya kedua orang itu tiada perduli dengan situasi seperti itu. Tetap saja mereka melangkah dalam keremangan gua sambil membolak-balik peti-peti itu hingga jadi berantakan. Tubuh mereka sudah mulai basah oleh keringat, sampai kemudian sampai di ujung lorong gua dua orang muda mudi yang tak lain Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya masih belum juga menemukan apa yang di cari-carinya.
"Bagaimana Kak Dewi? Semua peti mata telah kita bongkar, tapi kita tak menemukan Batu Walet Merah seperti yang pernah kakak katakan itu...!" sela Bagas Salaya sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding gua.
"Hi... hi... hi...!" si gadis tertawa genit.
"Kita belum melihat sebuah ruangan kecil yang terletak di sudut itu...!" Ringan sekali Dewi Ratna Juwita mengayunkan langkahnya. Bagas Salaya masih berada pada tempatnya. Saat itu si gadis telah sampai di depan pintu ruangan yang hanya berukuran tak lebih setengah meter. Baik besar maupun panjangnya juga sama. Dengan hati berdebar-debar, Dewi mulai membuka pintu penutupnya. Begitu pintu penutup itu terbuka maka terlihatlah sebuah cincin Batu Walet Merah yang memancarkan cahaya merah berkilauan. Gadis itu berseru kegirangan. Sudah tentu suara Dewi yang sedikit keras ini membuat Bagas Salaya menjadi terheran-heran. Bergegas dia pun datang menghampiri.
"Batu Walet Merah... hi... hi... hi...! Kita akan menjadi penguasa atas semua perguruan silat yang ada di kolong langit ini...!" suara teriakan yang berupa luapan rasa kegembiraan itu menggema di seantero dinding gua. Dengan sikap pongah yang berlebihlebihan, Dewi Ratna Juwita cepat-cepat mengenakan cincin Batu Walet Merah ke bagian jari manisnya. Namun mendadak saja dia merasakan tubuhnya menggeletar, kedua mata memandang sendu pada Bagas Salaya yang berada tidak begitu jauh dari dirinya. Bagas Salaya sendiri tidak menyadari perubahan apa yang sedang terjadi atas diri kakak tirinya. Tanpa sadar dia pun melangkah menghampiri Dewi Ratna Juwita dan memegang tangannya.
"Ada apa, Kakak...!" tanyanya gemetar. Saat itu dia pun merasakan adanya hawa hangat yang menjalar lewat tangan Dewi. Si gadis yang sudah dirasuki oleh perasaan aneh akibat pengaruh Cincin Batu Walet Merah ini sudah tiada kuasa untuk menjawab pertanyaan adik tirinya yang sekaligus merupakan kekasihnya pula. Begitu tangan Bagas Salaya menggenggam lebih erat tangan Dewi, maka dengan cepat gadis itu mendekapnya, secara perlahan namun cukup pasti. Bagas Salaya juga kiranya merasakan apa yang sedang dira- sakan oleh Dewi. Sesungguhnya tanpa mereka sadari pengaruh Batu Walet Merah itu membangkitkan gelora nafsu sebagaimana yang pernah dialami oleh para pendahulunya.
Namun hal itu masih dapat dikendalikan andai saja bagi siapapun yang menguasai batu itu telah memiliki tenaga dalam yang sudah sangat sempurna.
Sebagaimana sifat yang dimiliki oleh batu itu sendiri, mempunyai daya tarik antara yang ada satu dengan yang lainnya. Dan andai saja batu yang di tangan Dewi jumlahnya ada sepasang. Maka kejadian seperti apa yang sedang mereka lakukan itu tak mungkin pernah ada.
Kembali pada kedua insan yang berlainan jenis dan sedang terlibat pergumulan asmara di dalam ruangan gua tempat penyimpanan mayat-mayat para leluhurnya sendiri ini. Tampaknya mereka sudah tiada perduli lagi dengan perbuatan terkutuk yang mereka lakukan. Tubuh keduanya telah bermandikan keringat, pakaian berserakan entah ke mana. Kejadian terkutuk yang telah sama-sama mereka lakukan itu berlangsung sangat cepat sekali. Hingga pada akhirnya tubuh yang saling tindih itu melengguh tertahan. Dan secara perlahan hawa hangat yang mengalir lewat Batu Walet Merah itu pun sudah sirna sama sekali.
"Adik Bagas...! Kita... oh, di makam leluhur sendiri kita telah melakukan hubungan terkutuk itu...!" rintih Dewi Ratna Juwita merasakan sakit di bagian bawah perutnya.
"Aku yakin, semua ini akibat pengaruh Batu Walet Merah, Kak Dewi...!" desah Bagas Salaya cepatcepat membetulkan pakaiannya kembali.
"Tapi itu tak jadi soal, bukankah diantara kita sama-sama saling mencinta? Pula di sini atau di tempat lain sama saja, tokh Eyang Girinda tak pernah merestui hubungan cinta kita!"
"Para Dewa pasti mengutuk perbuatan kita, Adik Bagas...!" sela si gadis was-was. Bagas Salaya tiada menjawab. Sebaliknya malah membelai-belai rambut kekasihnya sembari menutunnya pergi meninggalkan tempat itu. Semakin jelaslah kini, setelah Batu Walet Merah berada di tangan salah seorang di antara mereka. Perbuatan keduanya semakin jauh tersesat.

* * *



--₪¦ « 8 » ¦₪--

Kereta kuda itu tampak melaju dengan kecepatan tinggi, karena keempat ekor kuda yang menariknya terdiri dari kuda-kuda pilihan dan berbadan sehat kelimis. Seorang kusir yang terus sibuk mencambuki kuda-kuda itu kelihatan masih begitu muda, mengenakan sebuah topi caping sebagai pelindung panas matahari. Melihat caranya mengendalikan kuda penarik kereta, nyata sekali bahwa pemuda itu tak memiliki pengalaman apa-apa dalam hal pekerjaan ini. Sesekali kuda-kuda itu meringkik keras, berlari tersendatsengat, hingga membuat para penumpangnya terguncang-guncang.
"Pelan-pelan, Kakang...!" terdengar sebuah suara yang begitu merdu, namun tidak menyembunyikan perasaan berkabung. Si kusir menoleh ke belakang sejenak. Dengan suara pelan dia pun menyahut.
"Aku sedang berusaha bagaimana caranya agar kuda-kuda itu tidak melonjak-lonjak binal. Kau pegangi lah peti itu jangan sampai terguling...!" kata si pemuda berpakaian merah kumal sambil membuang pandangan matanya jauh-jauh ke depan. Sementara itu lima orang penunggang kuda lainnya tampak mengiringi kereta di depannya dalam jarak tak lebih dari tiga tombak.
"Masih jauh Bukit Siluman dari sini...?" bertanya pemuda berkuncir yang tak lain adalah Pendekar Hina Kelana.
"Tidak, mungkin sekitar setengah jam lagi kita sudah sampai ke sana...!" ujar suara merdu yang di kenal sebagai murid bungsu padepokan Bukit Berkabung. Sebenarnya apa yang di muat dalam kereta kuda itu tak lain adalah sebuah peti berisikan jenazah Eyang Girinda yang telah siap dimakamkan di dalam goa Bukit Siluman. Sedangkan murid-murid padepokan yang juga gugur dalam pertempuran melawan dedengkot persilatan dari 'Kuburan Iblis.' yaitu Nyai Plasik dan Putri Gagu. Sore itu atas kesepakatan bersama cukup dikuburkan di halaman belakang padepokan Bukit Berkabung. Sedangkan malamnya Ratih sempat pula bertutur banyak tentang kemelut yang terjadi di padepokan itu. Tak lupa juga tentang lawan-lawan mereka yang masih berkeliaran di rimba persilatan beberapa di antaranya adalah, Gajah Mungkur dan juga gerombolan yang sangat kuat yang bernama Gerombolan Sinar Kayangan.
Tentang kehadiran gerombolan itu tentu saja Buang Sengketa yang pernah bertemu dengan mereka bertanya-tanya tentang siapa dan apa-apa saja tujuan mereka bermusuhan dengan padepokan Bukit Berkabung! Dan jawaban yang diberikan oleh Dewi Ratih sungguh sangat mengejutkan dirinya. 'Batu Permata Walet Merah', seumur hidup baru kali ini si pemuda mendengar tentang adanya batu yang menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa. Dan si pemuda malah bertambah terkejut lagi saat mana Ratih memperlihatkan salah satu batu berbentuk cincin yang baru saja didapatnya dari Sungai Banyu Urip.
"Batu ini bisa berakibat malapetaka, bagi pemiliknya terlebih-lebih bagi orang lain...!" ujar Buang Sengketa saat merasakan getaran halus yang bersumber dari batu yang tergenggam di tangannya. Kejab kemudian dia telah mengembalikan batu itu pada Ratih yang duduk tidak begitu jauh darinya.
"Apa maksudmu, Kakang...?" tanya si gadis lugu tiada mengerti. Buang gelengkan kepala pelan.
"Batu itu bersumber dari tenaga asmara yang sangat tinggi. Aku yakin siapa pun orangnya yang memegang cincin batu ini tidak memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, maka hidupnya akan menjadi bulan-bulanan nafsu yang ditimbulkan oleh batu yang kau miliki sekarang...!" Keterangan Buang benar-benar membuat kejut di hati Ratih, hal seperti yang dikatakan oleh si pemuda. Juga pernah dia rasakan di dalam gua saat mana pertama kali dia berusaha mengenakan batu itu di bagian jemari tangannya. Tapi saat itu, badan halus Eyang Buyut Resi Mamba telah memberikan sesuatu, yaitu berupa pakaian merah biru dan sebuah ikat kepala yang berwarna merah. Gejala aneh itu tidak pernah dia rasakan lagi, cuma terkadang saja apabila dia berganti pakaian selain dari pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba, dia merasakan gejala aneh itu timbul kembali. Mungkinkah pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba merupakan penangkal dari kejadian yang tidak diinginkan akibat pengaruh Batu Walet Merah? Membatin Dewi Ratih. Kalau memang benar adanya itu berarti dia harus mengenakan baju itu sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Dan yang pasti apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana benar adanya. Ratih jadi bergidik tubuhnya tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi andai tanpa pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kakang Kelana bagaimana bisa tahu tentang akibat-akibat yang ditimbulkan batu ini?" Tanya si gadis menyelidik.
"Aku merasakannya! Batinku mengatakan ada hawa dendam asmara dan hawa siluman bersatu di sana. Tapi yang ku herankan sepertinya kau tidak terpengaruh dengan tenaga gaib yang bersumber dari batu itu. Tenaga dalammu belum cukup tinggi, orangorang yang tidak dapat dipengaruhi batu itu hanyalah orang-orang yang sudah memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai taraf sempurna... dan kau...!" desah titisan Raja Ular Piton Utara itu merasa yakin ada sesuatu yang melindungi diri si gadis. Apapun yang ada dalam dugaan Buang Sengketa, semua jawabannya hanya Ratihlah yang tahu.
"Kakang tak perlu merisaukan keadaanku, tapi aku selalu risau tentang dua orang saudaraku yang lain...!"
"Maksudmu tentang Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya yang di usir oleh eyangmu karena mereka terlibat hubungan cinta...!"
"Ya...! Aku takut mereka mendapatkan Batu Walet Merah yang betinanya. Kalau batu itu benarbenar telah mereka dapatkan, bukan kita saja yang bakal celaka, tapi rimba persilatan juga bakal dilanda malapetaka besar!" katanya tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
"Bagaimana kau bisa berpikir sampai sejauh itu...?"
Dewi Ratih tampak tercenung beberapa saat lamanya, sorot matanya menatap hampa pada nyala pelita yang bergoyang-goyang terhembus angin. Tapi kemudian setelah menarik nafas pendek, sangat lirih sekali dia berucap;
"Selain saudaraku itu memiliki jiwa yang senantiasa memberontak, namun juga langkah mereka senantiasa cenderung ke arah sesat. Bahkan Kak Dewi mempunyai watak telengas...!"
"Tapi mereka kan tak tahu di mana Batu Walet Merah yang satunya disembunyikan?"
"Mudah-mudahan saja begitu!" ucap Dewi Ratih.
"Itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting besok pagi kita harus berangkat ke Bukit Siluman untuk menguburkan jenazah eyangmu...!" ujar si pemuda menutup pembicaraannya.
Kini kita kembali pada Buang Sengketa dan Dewi Ratih serta kelima orang murid padepokan Bukit Berkabung yang sedang melakukan perjalanan menuju Bukit Siluman. Dalam perjalanan panjang dan cukup melelahkan itu, setelah melewati beberapa tikungan dan hutan-hutan gundul yang terdapat di kanan kiri jalan itu, kini sampailah mereka di kaki bukit yang sangat curam yang lebih di kenal dengan 'Bukit Begal Sewu', dinamakan Bukit Begal Sewu dikarenakan di bukit itulah sering terjadi perampokan bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan jauh, dan berakhir dengan pembantaian yang sangat keji.
Melintasi daerah yang terkenal rawan ini, empat ekor kuda penarik kereta tampak meringkik keras. Bagi Buang Sengketa yang tiada mengetahui tentang keangkeran bukit yang mengapit jalanan ini, ringkikan kuda-kuda itu baginya sudah cukup mengisyaratkan adanya satu bahaya yang mengancam mereka. Tapi nalurinya sebagai keturunan siluman membuat dia tampak tenang-tenang saja.
"Kakang, kita telah memasuki wilayah 'Bukit Begal Sewu' berhati-hatilah...!" kata Ratih dari dalam kereta memperingatkan.
"Hemm, sebuah nama yang cukup menyeramkan!" Gumam si pemuda.
"Tapi mengapa harus perduli dengan segala monyet begal, tokh kita tak membawa emas permata atau barang berharga lainnya...!" ucapnya lagi sembari menyeringai dan tepuk-tepuk periuknya hingga menimbulkan bunyi cempreng dan bising.
"Kakang! Jangan bicara sembarangan, bisa-bisa kita celaka...!" dari nada ucapnya tampak sekali kalau si gadis benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. Buang Sengketa menanggapi dengan tawanya yang lepas.
"Dunia ini memang banyak pekerjaan yang aneh-aneh, para pembesar kota raja yang korupsi, para pengemis di pasar-pasar, juga tikus-tikus begal yang sangat menjijikkan.... Tak ada yang lebih mulia selain dari pekerjaan seorang petani yang membanting tulang untuk anak bini. Kau lihatlah... para begal celaka itu sekarang sudah mulai berkasak-kusuk di tempatnya. Agaknya mereka lamur, bahwa mahkluk yang sedang mereka intai itu ternyata hanya seorang gembel yang tiada memiliki harta benda atau barang ber-harga lainnya...!" Dalam berkata tadi, sengaja Buang mengeraskan suaranya agar di dengar oleh orang-orang bertampang kasar yang bersembunyi di kanan kiri bukit.
"Awas kakang...!" teriak Dewi Ratih begitu menangkap berkelebatnya empat sosok bayangan hitam, dua dari samping kanan dan dua lainnya dari bagian kiri.
"Aku sudah melihatnya...!"
"Des.... Des...!" Gerakan yang sangat cepat itu memang benar-benar sangat sulit diikuti kasat mata dan tahu-tahu, keempat orang penyerang yang bermaksud membacok sang kusir, sudah terjengkang dengan batok kepala rengkah.
"Heaaa... heaaaa...!" Mengetahui keempat kawannya tewas hanya dengan sekali bergebrak, maka kawan-kawannya yang lain berserabut keluar dari tempat persembunyiannya. Cepat sekali gerakan mereka, hingga detik selanjutnya Buang Sengketa dan kelima penunggang kuda lainnya telah berada dalam posisi terkurung.
Si pemuda menarik kendali kudanya, hingga kuda-kuda itu berhenti sama sekali. Masih dengan tersenyum-senyum dia menyapu pandang pada puluhan orang pengepungnya. Sementara itu Dewi Ratih pun sudah keluar dari dalam kereta, langsung melompat turun. Sejenak lamanya mereka saling berpandangpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari para begal itu membentak marah: "Bocah! Kau telah membunuh orang-orangku, sungguh kau orang yang telah begitu berani mencari penyakit di wilayah ku...!" kata si kumis tebal berkulit putih itu sembari pelototkan matanya.
"Siapa bilang ini wilayah mu, jalan ini milik orang ramai, Siapa pun berhak melewatinya...!"
Ratih yang sudah muak melihat tampang si kumis tebal tiba-tiba saja menyelak. Kata-katanya memang terdengar ketus, hingga membuat berpasangpasang mata mengalihkan perhatiannya pada gadis berwajah ayu ini. Yang di pandang tampak memerah parasnya. Lain lagi halnya dengan si kumis tebal yang di kalangan persilatan di kenal sebagai 'Singa Hitam'. Laki-laki yang memiliki nama asli Gendam Lukito ini tampak tersenyum-senyum penuh arti pada Ratih.
"Kunyuk kumis tebal. Simpan senyum mu yang mirip seringai kuda...!" bentaknya pula.
"Bueh...! Kalau tidak mengingat pada wajahmu yang cantik, sudah sejak tadi aku pecahkan mulutmu yang sangat menghina itu! Tapi... he... he... sudah sangat lama aku hidup menyendiri, hangatnya tidur bersama seorang perawan cantik pun aku tak tau bagaimana rasanya... ha... ha... ha...! Sungguh pun galak aku sangat menyukaimu. Biarlah hari ini kami tidak mendapatkan hasil rampokan harta, tapi aku harus dapat menangkapmu...!" menggeram Gendam Lukito, kemudian dia berpaling pada si pemuda sebentar.
"Karena kau telah membunuh empat orang kawanku, maka kau berikut empat orang kawanmu yang lain sudah selayaknya mampus!" bentak si kumis tebal yang memiliki julukan 'Singa Hitam' itu marah.
Hanya sekali saja dia memberi tanda pada kawannya yang berjumlah dua puluh lima orang. Maka secara serentak orang-orang bertampang kasar itu secara serentak menyerang Buang Sengketa dan kelima murid padepokan Bukit Berkabung. Sementara Gendam Lukito sebagai ketuanya sudah sejak awal telah berusaha meringkus Dewi Ratih.
Gadis itu juga tidak tinggal diam, begitu tangan-tangan yang bermaksud mencengkeram itu bergerak menyambar, maka Ratih berkelit dan langsung cabut pedangnya yang berwarna kuning keperakperakan. Serangan pertama yang mengalami kegagalan ini membuat Gendam Lukito menjadi sadar saat itu mereka sedang berhadapan dengan orang yang memiliki kepandaian tinggi. Waktu selanjutnya, Gendam Lukito sudah tak ingin main-main dan sungkan lagi. Dengan mempergunakan Jurus 'Begal Bayangan Menyergap Dewa Rembulan', detik berikutnya tubuhnya telah berkelebat lenyap, tak ayal Ratih pun mulai mengeluarkan jurus silat 'Dewa Berkabung' yang pernah dipelajari dari Eyang Girinda. Tak dapat disangkal pertarungan yang terjadi selanjutnya merupakan pertarungan yang sangat seru dan menegangkan.
Di lain pihak Buang Sengketa dan kelima kawannya yang sedang berhadapan dengan belasan bahkan puluhan anak buah Dendam Lukito tampaknya masih memberi angin pada orang-orang itu. Ini terbukti dia hanya mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang.

* * *



--₪¦ « 9 » ¦₪--

Tapi ketika pada gebrakan selanjutnya dia mendengar jeritan panjang dari salah seorang murid padepokan Bukit Berkabung. Maka menggeletarlah tubuhnya, unsur kesabaran yang berusaha dia praktekkan lewat jurus-jurus Koreng Seribu, ilmu warisan terakhir mendiang gurunya sudah tak dapat dia pertahankan lagi. Ini bukan berarti sama sekali dia tak dapat mengendalikan diri karena adanya unsur siluman di dalam tubuhnya. Tapi semata-mata di masih teringat kematian belasan murid-murid padepokan Bukit Berkabung yang dibantai oleh Nyai Plasik dan muridnya. Pula perjalanan yang mereka tempuh saat itu adalah perjalanan duka mengantarkan jenazah Eyang Girinda? Dengan kematian murid padepokan yang hanya lima orang itu, sama saja artinya dia menambah jumlah mayat yang harus di usung. Wajarlah kalau Buang Sengketa harus marah pada saat seperti ini. Sembari berkelebat menghindari tusukan dan babatan pedang yang terus mencecar ke arahnya, pemuda ini mulai bersiap-siap mengeluarkan ajian 'Pemenggal Roh'.
"Heiiiiiik...!" Suara teriakannya bagai halilintar menyambar di siang hari, mengejutkan semua orang yang hadir di situ, tak terkecuali Dewi Ratih dan Gendam Lukito yang sedang terlibat pertarungan. Beberapa orang anggota begal terkapar tewas dengan telinga mengalirkan darah. Bahkan beberapa orang lainnya yang masih dapat bertahan dari pengaruh lengkingan ilmu Pemenggal Roh, tampak berputar-putar tubuhnya, berteriak. Bagai orang yang kurang waras. Sementara sisanya yang hanya merasakan sakit pada bagian dadanya terus saja mencecar si pemuda dengan jurusjurus pedang andalan. Begitulah kenyataannya, mereka sebenarnya bukan tidak keder setelah menerima akibat yang ditimbulkan oleh suara lengkingan 'Ilmu Pemenggal Roh' namun sudah menjadi prinsip bagi kaum begal. Bahwa mereka lebih baik mati dalam pertarungan daripada harus menyerah begitu saja, apalagi kabur.
Karena memang pada hakekatnya para begal itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mau tak mau Buang harus mempergunakan pukulan andalannya 'Empat Anasir Kehidupan' tak salah lagi.
"Hiaaat...!" Mempergunakan gerakan udang meletik, tubuhnya mencelat ke udara, saat mana tubuhnya kembali menungkik ke bawah, tangan kanannya pun bergerak memukul.
"Weees!" Satu gelombang sinar ultra violet menebarkan hawa panas tiada tertahankan langsung menghantam orang-orang yang berada di bawahnya. Yang sempat merasakan sambaran angin pukulan cepat-cepat putar pedang ditangannya membentuk perisai diri, tapi celakalah bagi mereka yang tidak menyadari adanya ancaman bahaya itu.
"Bluaaar...!"
"Argggkh...!" Tanah di sekitarnya bergetar hebat, lebih kurang tujuh orang anggota begal terpelanting roboh dengan tubuh hangus dan jiwa melayang. Sementara itu beberapa orang anggota begal masih dapat menyelamatkan diri, walaupun harus menderita luka dalam yang cukup parah. Semua yang terjadi atas diri anggota para begal itu kiranya tak luput dari perhatian ketuanya, Gendam Lukito, tapi dia juga tak mampu berbuat banyak karena saat itu dia masih terus berusaha meringkus Dewi Ratih dan bermaksud membawanya kabur. Tapi kenyataannya gadis yang dihadapinya ini juga selain memiliki ilmu mengentengi tubuh yang lumayan ternyata juga memiliki kepandaian silat tinggi sehingga dia selalu mengalami kesulitan untuk meringkusnya dalam keadaan tanpa cedera. Pertarungan yang mereka lakukan telah berlangsung lebih empat puluh jurus. Tapi masih belum ada tandatanda bagi Gendam Lukito mampu mengatasi lawannya, pertarungan itu boleh dikata berlangsung seimbang. Padahal sampai saat itu laki-laki berkumis tebal ini telah mengerahkan jurus 'Menangkap Capung Mengejar Belalang' yaitu sebuah jurus menangkap lawan yang penuh dengan tipu-tipu.
"Heeees...!"
"Hiaat...!" Dewi Ratih membanting tubuhnya ke samping kiri pada saat tangan-tangan yang kokoh dan berbulu lebat itu berusaha mencengkeram bagian pinggangnya. Satu tendangan kilat masih sempat dilakukan oleh Ratih mengarah pada bagian perut gendut lawannya.
"Deeess!"
"Wuaaa...!" Gendam Lukito menggerung sembari memegangi bagian perutnya yang terasa mules dan melilit-lilit.
"Bocah kampret! Diajak berdamai tidak mau, bahkan kawanmu bocah gembel itu telah membunuhi orang-orangku dengan ilmu gilanya!"
"Sriiing...!" Gendam Lukito cabut senjatanya yang berbentuk sebuah kaitan namun tajam di bagian sisinya.
"Tiada yang paling baik jalan untukmu terkecuali mati...!" teriak laki-laki berkumis tebal itu sembari lancarkan satu tusukan satu babatan.
"Bagus, aku pun jadi ingin menjajal sampai di mana kehebatan Batu Walet Merah yang pernah menghebohkan itu!" Berkata Dewi Ratih sambil putar pedangnya membentuk sebuah perisai yang sangat kokoh. Kejut hati Gendam Lukito begitu melihat sebuah cincin yang melingkar di jari manis Ratih. Anehnya begitu si gadis mengerahkan tenaga dalamnya ke arah bagian Batu Walet Merah di jarinya, laksana kilat selarik sinar pipih berwarna merah bara melesat dari padanya. Masih untung secara reflek Gendam Lukito mampu mengkelit serangan itu dengan cara berjumpalitan. Sinar merah itu terus men-deru hebat dan menghantam lereng bukit yang ada di belakangnya.
Saat itu tidak begitu jauh jaraknya dari pertarungan tampak tiga orang berpakaian hitam lainnya terus mengawasi jalannya pertarungan. Ketiga orang itu menjadi terkejut saat mana Dewi Ratih mempergunakan Batu Walet Merah untuk menyerang lawannya. Sebab seperti yang mereka ketahui, batu Walet Merah selama puluhan tahun terakhir telah menghilang dan menurut kabarnya batu Walet Merah yang jantan di buang di Sungai Banyu Urip oleh Eyang Buyut Resi Mamba, sedangkan yang betinanya tidak di ketahui entah berada di mana. Bagi ketiga orang pengintai itu apa yang mereka saksikan merupakan sebuah kabar yang sangat perlu untuk di sampaikan kepada ketua mereka di Rimba Maliau dan Taruak. Pada akhirnya mereka tidak menyaksikan pertempuran yang terjadi sampai pada titik klimaknya. Bergegas para pengintai itu meninggalkan lereng bukit 'Begal Sewu' di luar sepengetahuan mereka yang sedang terlibat pertarungan. Kembali pada pertarungan Buang Sengketa dengan anggota para begal yang sudah mencapai puncaknya. Para begal itu kini hanya bersisa empat orang saja, dan lima beserta Gendam Lukito yang sedang berusaha mati-matian menyelamatkan diri menghindari terjangan sinar merah yang bertubi-tubi menghajar. Saat seperti itu si pemuda penyandang periuk itu membentak pada ketiga orang lawannya: "Kuberi kesempatan pada kalian untuk meninggalkan tempat ini, kalau kalian tetap bersikeras, jangan kalian salahkan aku...!"
"Jangan coba-coba menggertak kami, Pendekar Golok Buntung! Kami akan mengadu jiwa denganmu sampai titik darah terakhir!" selak salah seorang diantaranya dan langsung menerjang dengan senjata terhunus.
"Mampuslah.... Caaaaat...!" Gusar sekali Buang mendengar jawaban yang diberikan oleh anggota begal itu, tanpa ampun hantamkan tangan kanan ke depan. Serangkum gelombang angin berhawa panas datang menggebu menyongsong orang itu, si orang nekad yang tiada menyangka Buang Sengketa mampu melakukan gerak memukul secepat itu, masih juga berusaha membuang tubuhnya. Tapi pukulan 'Si Hina Kelana Merana' telah menghajarnya. Tubuh laki-laki itu tersentak ke belakang dan terpelanting roboh. Tewas seketika itu juga. Dua orang lainnya semakin terbelalak matanya dan langsung kabur tunggang langgang. Pada saat kedua orang itu kabur meninggalkan mayatmayat kawannya, terdengar pula jerit Gendam Lukito. Begitu Buang Sengketa menoleh, dilihatnya tubuh laki-laki kumis tebal itu telah terkapar. Tubuhnya mengejang sekarang. Dua kali le-satan sinar merah yang memancar dari Batu Walet Merah di tangan Dewi Ratih telah membuat Gendam Lukito tergeletak untuk selama-lamanya.
Si pemuda melirik pada Dewi Ratih, memperhatikan sekilas terus berkata: "Batu Walet Merah hebat, tapi aku malah khawatir akan menimbulkan bencana di mana-mana...!" desahnya lesu.
"Apa katamu, Kakang...!?"
"Kubilang, ada baiknya kalau kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini!" kata Buang tanpa bermaksud menyinggung perasaan Ratih. Akhirnya setelah memberi perintah pada keempat murid padepokan untuk mengusung mayat salah seorang kawannya yang tewas. Rombongan kereta kuda itu melanjutkan perjalanannya kembali. Sepanjang perjalanan menuju Bukit Siluman baik Buang Sengketa maupun Dewi Ratih sama-sama saling diam membisu.
Memasuki daerah bukit kapur, kesunyian menyambut kehadiran mereka. Saat itu bagai orang mengantuk Buang Sengketa yang bertindak sebagai kusir tampak menoleh ke belakang.
"Tanah berkapur, bukit bahkan sisi jalan kanan kiri! Inikah yang kau maksudkan Bukit Siluman itu, Adik Ratih...?" tanya Buang Sengketa coba-coba mengitarkan pandangan matanya.
"Ya... kita memang sudah sampai di Bukit Siluman, Kakang...! Satu belokan di depan kita pasti sudah tiba di depan sebuah gua tempat penyimpangan peti mati para leluhur ku...!" jawab Dewi Ratih lalu melongokkan kepalanya lewat jendela kereta bagian depan. ker...!"
"Tempat yang tenang, sayangnya berkesan ang"Namanya juga kuburan...!" kata Ratih menimpali. Kereta kuda terus berjalan perlahan, hingga akhirnya membelok di sebuah tikungan yang sangat tajam, hingga tak lama kemudian sampailah mereka persis di depan pintu gua tempat penguburan para leluhur padepokan Bukit Berkabung. Ratih melompat turun dari kereta kuda yang membawanya, begitu dia melihat pintu gua yang senantiasa terkunci itu terbuka, wajahnya tiba-tiba saja berubah pucat.
"Kakang... gua itu telah terbuka...!" serunya. Tanpa sadar dia menghambur ke depannya. Namun dia tampak terbelalak kaget begitu melihat sebilah pedang pendek yang telah rusak terletak tak begitu jauh dari kakinya. Cepat-cepat dia memungutnya.
"Kalau tak salah pedang ini milik Kakang Bagas Salaya. Celaka dia pasti telah mengambil Batu Walet Merah yang terletak di dalam gua ini...!" serunya, lalu berlari cepat memasuki ruangan gua. Tak ketinggalan Pendekar Hina Kelana pun mengekor dibelakangnya. Benar seperti apa yang ada dalam dugaan Ratih, petipeti mati dalam gua itu tampak berantakan. Apabila gadis itu memeriksa ke bagian sudut, maka sebuah ruangan kecil ber-ukuran setengah meter itu pun telah terbuka pintunya.
"Jangan-jangan disinilah di simpan Batu Walet Merah. Kalau begitu Kakang Bagas Salaya telah melarikannya!" desahnya lemah dengan tubuh gemetaran.
"Ancaman baru bagi dunia persilatan! Tapi mungkin kita masih dapat melacak ke mana perginya orang itu!"
"Tapi kakang...!"
"Sudahlah, lebih baik kita rapikan peti-peti ini, setelah itu kita angkat peti jenazah eyangmu dan seorang kawanmu. Masih banyak waktu untuk mendapatkan batu itu lagi...!" berucap si pemuda sambil melangkah keluar.

* * *



--₪¦ « 10 » ¦₪--

Sejak hadirnya sepasang tokoh muda yang menamakan dirinya sebagai 'Sepasang Walet Merah', dunia persilatan mulai kacau karena kehadirannya. Kemana pun kedua tokoh muda ini hadir, maka di sanalah mereka mulai menyebar maut. Sudah tidak terhitung beberapa tokoh persilatan baik dari golongan muda maupun kalangan tua tewas di tangan mereka dengan keadaan sangat menggenaskan. Dengan mengandalkan batu Walet Merah serta kepandaian silat yang mereka miliki, kedua orang itu mulai malang melintang di dunia ramai. Dua orang tokoh muda yang namanya mulai menghebohkan itu tak lain adalah Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya.
Sudah barang tentu berita mengenai sepasang Walet Merah dengan batu sakti yang dimilikinya membuat gempar berbagai tokoh golongan persilatan. Terutama kalangan tua yang dulu sempat pernah merasakan bagaimana hebatnya Batu Walet Merah ketika Eyang Buyut Resi Mamba sempat mempergunakannya ketika terlibat pertarungan besar di Bukit Siluman. Secara pelan namun cukup pasti, dedengkot-dedengkot persilatan yang telah lama mengasingkan diri di berbagai tempat, sekarang mulai bermunculan. Sebagaimana halnya di siang yang sangat terik itu, tampak serombongan orang-orang berkuda memasuki Dusun Genter yang memiliki penduduk rapat. Melihat cara mereka memacu kuda tunggangan nampak sekali kalau rombongan penunggang kuda dan berpakaian biru-biru ini dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Semakin ke dalam memasuki desa Genter, rombongan berkuda itu tampak berhenti di sebuah warung yang sedang ramai pengunjung. Rombongan penunggang kuda yang berjumlah tujuh orang ini, begitu menghentikan kudanya langsung melompat, dan dengan sangat tergesa-gesa memasuki warung tadi. Beberapa orang yang berada di dalamnya tampak menyingkir atau bahkan buru-buru meninggalkan warung itu saat melihat kehadiran orang-orang bertampang sangar ini. Tak lama setelahnya salah seorang diantara mereka menghampiri si pemilik warung itu.
"Pak tua...!" panggilnya dengan suara cukup keras. Dengan tergopoh-gopoh dan tubuh gemetar pemilik warung yang berusia sekitar lima puluh enam tahun ini datang menghampiri.
"Sa... saya... tuan...! Tuan-tuan mau pesan apa...!" tanyanya terbata-bata. Laki-laki yang bertanya tadi langsung menggebrak meja. Meja yang berada di depannya hancur berantakan.
"Gooblook...! Aku bukan mau pesan makanan...!" bentaknya. Kemudian sekali saja tangannya yang kokoh terulur, maka krah baju yang di pakai oleh pemilik warung itu tercengkeram erat. Dengan satu sentakan keras, maka terangkatlah tubuh pemilik warung itu terangkat tinggi-tinggi. Laki-laki tua itu ketakutan setengah mati. Apalagi ketika disadarinya lakilaki berpakaian biru tersebut mulai mengguncangguncangkan tubuhnya.
"Ampun tuan, maafkanlah saya...!"
"Coba kau katakan padaku, pernahkah kau mendengar tentang sepasang tokoh muda yang menamakan dirinya Sepasang Walet Merah?" bentaknya lagi sembari mempererat cengkeramnya.
"Sa... saya memang pernah mendengarnya tuan! Tapi orangnya saya belum pernah berjumpa...!" jawab si pemilik warung bertambah menggigil ketakutan.
"Aku tak butuh jawaban seperti itu, tolol! Yang aku ingin ketahui, pernahkah Sepasang Walet Merah melintas di desamu ini...!"
"Belum, Tuan...!"
"Gabruuuk...!" Tubuh pemilik waning dicampakkan begitu saja oleh laki-laki berbaju biru tadi, dan ketika dia menoleh dan hendak berbalik langkah. Maka dilihatnya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berusia sekitar dua puluh satu tahun tampak berdiri di depan pintu warung itu.
"Kalian siapakah? Sehingga mencari-cari kami...?" tanya salah seorang yang berdiri di depan itu merasa curiga
"Kami dari anggota gerombolan Sinar Kayangan! Benarkah kalian yang berjuluk Sepasang Walet Merah?" Kedua muda mudi yang tak lain Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya tampak saling berpandangan seketika lamanya.
"Kalau benar kalian mau apa...?" tanya Bagas Salaya dengan sesungging senyum sinis. Mendengar pengakuan Bagas Salaya, bukan main gembiranya hati mereka. Tanpa sadar mereka pun tergelak-gelak.
"Bocah ingusan seperti inikah yang telah mengangkat dirinya sebagai Sepasang Walet Merah?" ejek pimpinan rombongan yang bernama Sudiro.
"Tak salah...!" tukas Dewi Ratna Juwita sambil maju dua langkah.
"Kalau begitu serahkan Batu Walet Merah yang ada di jarimu itu...!" perintahnya, serta merta mereka mencabut senjatanya yang berupa golok panjang namun bengkok di bagian ujungnya.
"Itukah keinginan kalian?" bentak Bagas Salaya, lalu menatap tajam pada ketujuh penunggang kuda berpakaian biru itu.
"Kami hanya menjalankan perintah ketua kami dari Maliau dan Taruak...!" sentak Sudiro.
"Ha... ha... ha...! Ha... hi... hi...! Kalau begitu berangkatlah kalian ke neraka mendahului ketuamu...!" teriak Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita hampir bersamaan.
"Kurang ajar! Anak-anak cincang kedua bocah ingusan itu sekarang juga...!" perintah Sudiro. Tak dapat di hindari terjadilah pertarungan seru di tempat itu. Tujuh orang utusan gerombolan Sinar Kayangan ternyata memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Bahkan permainan golok panjang mereka juga sangat berbahaya bagi pihak lawan, apalagi semua itu dibarengi dengan kerjasama yang sangat baik. Tak heran kalau mereka dalam waktu sekejap saja sudah mulai mendesak kedua lawannya. Sebaliknya pasangan Walet Merah juga tidaklah memiliki kepandaian yang rendah. Jurus silat sempurna. Apalagi ketika tinggal di padepokan Bukit Berkabung mereka ini merupakan murid pertama dan kedua. Sudah barang tentu setelah gurunya, maka merekalah yang memiliki kepandaian tinggi. Secara silih berganti mereka ini terus berusaha membubarkan gulungan sinar golok yang mengungkung tubuh mereka.
"Hiaaa...! Sriiing.... Sriiing...!" Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya cabut pedangnya, begitu senjata itu telah berada di dalam genggamannya maka mengamuklah kedua orang itu bagai benteng terluka. Menggunakan jurus pedang 'Menggapai Langit Merengkuh Bintang', senjata mereka memapaki setiap sambaran golok lawan yang datangnya bertubi-tubi. Tak pelak lagi denting beradunya senjata tajam terdengar tiada henti.
"Heaaa... heaaa...!"
"Traaang...!" terlihat bunga api berpijar ketika benturan keras terjadi. Utusan gerombolan Sinar Kayangan yang bernama Sudiro terhuyung-huyung, bibirnya menyeringai menahan sakit. Sementara di pihak Bagas Salaya hanya tergetar saja bagian tangannya. Dari beradunya senjata mereka tadi, nyatalah bagi Bagas Salaya kalau lawannya yang bernama Sudiro itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Selanjutnya dia pun lipat gandakan tenaganya.
"Arrgkh...!" Salah seorang dari enam orang yang sedang mengkerubuti Dewi Ratna Juwita menjerit tertahan ketika pada satu kesempatan yang sangat baik senjata di tangan gadis itu berhasil menghunjam ke bagian lambungnya sebelah kiri. Laki-laki berpakaian biru ini terbanting keras, menggelepar kemudian tewas seketika. Melihat kematian kawannya lima orang lainnya tampak sangat marah sekali, selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi, satu serangan kilat yang di dahului dengan bentakan-bentakan menggelegar mereka lakukan secara berbarengan.
"Bet! Bet!"
"Ah...!" Dewi Ratna Juwita mengeluh, serangan kilat yang memiliki kerja sama yang terbina dengan baik ini membuat dia tidak mampu melakukan serangan balasan terkecuali hanya mengelak dan menangkis. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, si gadis malah tersenyum penuh kelicikan. Sambil terus mengelakkan setiap serangan-serangan yang datang diamdiam dia mulai mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke bagian tangan, begitu tenaga dalam tadi telah sampai ke sana, tiba-tiba cincin Batu Walet Merah mengeluarkan cahaya merah berkilauan.
"Hiaaat...!"
"Weeer.... Weeer...!" Begitu Dewi Ratna Juwita mengarahkan batu cincinnya kepada lawan-lawannya. Dua larik cahaya merah tampak melesat menghajar dua orang lawan yang berada paling dekat dengannya.
"Argggk...!" Dua jeritan maut terdengar berturut-turut. Tubuh dua orang utusan gerombolan Sinar Kayangan itu terpelanting roboh, kulit tubuh yang telah tewas itu melepuh dan berubah menjadi biru. Namun gadis itu tidak ingin berhenti sampai di situ saja, dia terus melabrak lawannya dengan mengumbar sinar maut yang bersumber dari cincin batu Walet Merah di tangannya. Keadaan kini benar-benar telah berbalik, posisi utusan gerombolan Sinar Kayangan benar-benar menjadi kacau akibat serangan itu. Tak ada pilihan lain bagi mereka terkecuali bertahan sebisa-bisanya demi menyelamatkan selembar nyawanya.
"Hi... hi... hi...! Sial betul kalian jadi manusia! Mampuslah...!" jerit gadis itu, dan kembali selarik sinar merah datang bertubi-tubi mencecar lawannya. Tunggang langgang utusan gerombolan Sinar Kayangan berusaha mengelakkannya, tapi pada kesempatan berikutnya, tak terelakkan lagi.
"Blaar...! Blaar...!"
"Wuaaa...!" Dua orang diantara tiga orang itu langsung menjerit, lalu roboh tanda jiwa telah merat dari badan kasarnya. Tapi Dewi Ratna Juwita tidak ingin memberi jalan hidup pada yang satunya lagi. Kembali terlihat dua kali sinar merah melesat dari batu cincin Walet Merah di tangan si gadis. Utusan Gerombolan Sinar Kayangan yang sedang berhadapan dengan gadis telenggas itu terperangah, namun masih tetap berusaha memutar goloknya.
"Breess...!" Tiada lolongan yang terdengar, laki berpakaian biru itu terjengkang tewas dalam keadaan masih tetap memegangi golok. Dewi Ratna Juwita hanya tersenyum sinis. Dan apabila dia memandang pada Bagas Salaya yang sedang bertarung melawan Sudiro, maka dia pun mencibir;
"Adik Bagas! Menghadapi seekor bandot saja sedari tadi kau tak mampu merobohkannya! Nih kubantu...!" Perempuan itu mengarahkan batu Walet Merah pada Sudiro yang sedang berada dalam posisi terjepit.
"Weeer.... Weeer...!"
"Ihh...!" Sudiro cepat-cepat buang tubuhnya ke samping kiri begitu merasakan adanya sambaran hawa panas di belakangnya. Serangan pertama luput, tapi celakanya dia tak mampu mengelakkan serangan kedua yang bertenaga berlipat ganda.
"Auugghk...!" Sudiro meraung keras, tubuhnya terjerembab ke depan. Berkelojotan sebentar, kemudian meregang ajal dengan kedua bola mata melotot.
Sepasang Walet Merah sama-sama tersenyum puas. Lalu tanpa menghiraukan orang-orang yang hadir di situ, keduanya pun cepat-cepat berkelebat pergi.

* * *



--₪¦ « 11 » ¦₪--

Sejak kematian Eyang Girinda dan sebagian besar murid-murid padepokan Bukit Berkabung. Hampir setiap malamnya suasana di sekitar padepokan itu terasa sunyi mencekam. Tak terlihat seorang pun penjaga di luar padepokan itu, tidak sebagaimana biasanya, ruangan depan tampak gelap, hanya di ruangan tengah saja terlihat nyala pelita yang di letakkan persis di tengah-tengah tikar pandan. Dan di setiap sudut pintu ruangan itulah keempat murid padepokan berjaga-jaga. Sementara di tengah-tengah ruangan di atas tikar pandan tampak Pendekar Hina Kelana dan Dewi Ratih sedang duduk mengelilingi lampu. Saat itu diantara mereka sama-sama saling diam dengan wajah tertunduk. Tampaknya kematian Eyang Girinda benar-benar masih mendera batin gadis itu. Lain lagi halnya dengan Buang Sengketa, justru dia menyadari dengan adanya pesan Eyang Girinda menjelang kematiannya beberapa minggu yang lalu membuat dirinya tak dapat bergerak ke mana-mana. Bahkan kini pun disadarinya dengan adanya Batu Walet Merah di tangan Ratih, cepat atau lambat pasti akan mengundang perhatian tokoh-tokoh persilatan dari berbagai golongan. Hal itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak disangkal oleh siapa pun. Sebab sepanjang sejarahnya sepasang Batu Walet Merah, keberadaannya selalu diperebutkan oleh banyak tokoh. Entah sudah beratus jiwa yang melayang hanya karena memperebutkan dua batu yang memiliki kekuatan gaib yang luar biasa ini. Bahkan ketika Resi Mamba masih hidup dulu sampai membuang batu itu, juga karena dia tak ingin jatuhnya korban-korban lebih banyak lagi. Penyesalannya telah membunuh istrinya sendiri yang lebih cenderung berpihak pada golongan sesat itu, telah membuatnya menjadi putus asa. Itulah sebabnya ketika istrinya dulu tewas di tangannya. Resi Mamba langsung berada di dalam gua tempat penyimpanan jenazah di dalam sebuah ruangan kecil yang berada di dalam gua tempat penyimpanan jenazah para leluhur. Dan sebelum Resi Mamba meninggal dunia dia pun telah memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah jantan miliknya. Siapa kira kemudian muncul Dewi Ratih yang punya ambisi untuk mengembalikan jaman kejayaan padepokan Bukit Berkabung.
"Kita tak mungkin tetap tinggal di sini selamanya, apalagi dua orang saudaramu kini dengan Batu Walet Merah mulai menyebar malapetaka di manamana...!" ucap Buang Sengketa memecah keheningan suasana. Suaranya yang lirih, cukup membuat Ratih tersentak dari lamunannya. Sejenak dipandanginya wajah pemuda di depannya dengan sudut matanya yang indah.
"Maksud kakang bagaimana...!" tanya gadis berpakaian merah biru dengan ikat kepala merah ini penuh perhatian.
Si pemuda tak segera menjawab, sebaliknya dibuangnya pandangan mata jauh-jauh sambil menarik nafas pendek, dan menghembuskannya kembali. Maka dia pun menyahut.
"Mestinya kita mulai bergerak meninggalkan padepokan ini, atau paling tidak mengosongkan padepokan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu andai saja dunia persilatan tau bahkan apabila dua orang saudaramu tahu bahwa kau ada memiliki Batu Walet Merah yang satunya lagi. Maka aku punya keyakinan mereka tak terkecuali saudaramu pasti segera memburumu...!" ujar si pemuda was-was.
Dewi Ratih tampak angguk-anggukkan kepalanya.
"Menurutmu apakah kita mampu mengambil Batu Walet Merah betina yang kini berada di tangan Kakang Bagas Salaya, Kakang...?"
Buang Sengketa hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Dewi Ratih yang agaknya tak tau banyak tentang kemelut yang sedang terjadi di rimba persilatan.
"Kau bilang pemilik pedang itu Bagas Salaya?" tanyanya setengah tertegun.
"Ya... ada tanda dari pedang yang menggeletak di depan pintu gua...!" ujar Ratih merasa sangat yakin. Pendekar Hina Kelana hanya manggut satu kali.
"Kalau pun memang benar apa yang kau katakan itu, yang jelas dia datang kesana tentulah bersama dengan kakak tuamu, Dewi Ratna Juwita...!"
Tersentak Dewi Ratih mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda tampan yang duduk di hadapannya.
"Bagaimana kakang bisa mengetahui-nya...?"
"Apakah beberapa hari ini kau tidak mendengar adanya berita tentang sepak terjang tokoh muda yang menamakan dirinya sebagai Sepasang Walet Merah? Kalau sudah dibilang sepasang itu berarti dua orang, yang jelas laki-laki dan seorang perempuan...!"
"Apakah orang itu juga memiliki batu cincin seperti yang ada padaku ini?" tanya si gadis pilon. Buang Sengketa tampak garuk-garuk kepalanya.
"Justru batu itulah yang telah banyak menimbulkan jatuhnya korban dimana-mana...!"
"Kalau begitu kita harus bisa menghentikannya, Kakang...!" tukas Ratih. Si pemuda menanggapi dengan sesungging senyum kecut.
"Memang kenapa, Kakang Kelana...!"
"Yang ingin kita buru adalah Batu Walet Merah, sedangkan yang memburu juga memiliki batu yang sama. Pernahkah terlintas di dalam hatimu bahwa kita pun punya kemungkinan besar untuk diserbu oleh orang lain, atau bahkan saudara-saudaramu juga malah berbalik memburumu...?" tanya Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya sendiri.
"Betul juga katamu kakang...! Tapi mungkinkah kita mendapatkan kembali Batu Walet Merah yang betinanya, jika kita menghadapi dua orang saudaraku itu hanya mengandalkan tenagamu...?!"
"Kemungkinan itu selalu ada, asal saja kita tau selanya...!"
"Tapi kehebatan Batu Walet Merah tak bisa dianggap main-main, Kakang...! Bahkan kakang sendiri pernah menyaksikannya ketika kita terlibat pertarungan dengan Gendam Lukito...!"
"Aku hanya memberi usul, Adik Ratih... jika kau keberatan itu berarti segala resiko apapun kita sudah siap menghadapinya...!" katanya.
"Pula yang akan merintangi jalan di depan sana bukanlah saudaramu saja, masih banyak tokoh persilatan yang lain yang mungkin juga berambisi untuk mengangkangi kedua batu itu...!"
"Menurutmu bagaimana, Kakang...!"
"Kalau menurut aku, ada baiknya Batu Walet Merah yang berada di tanganmu itu disembunyikan di suatu tempat!" ujarnya berbisik-bisik.
"Apa disembunyikan? Justru dengan cara disembunyikan seperti itu aku merasa kurang yakin akan keselamatan...!"
"Bagaimana kalau tidak kau pakai di jari, tapi di bungkus dengan sebuah kain kemudian kau sembunyikan di salah satu saku bajumu...!" katanya lagi memberi pandangan yang lain. Sekejap Dewi Ratih berusaha memahami apa yang di katakan oleh Buang Sengketa. Lalu tak lama setelahnya dia pun sudah mengangguk setuju.
Dalam kesempatan itu, sebelum keduanya mengambil langkah lebih lanjut, dari luar padepokan dalam suasana kegelapan terdengar suara tawa seseorang yang disertai tenaga dalam tinggi. Padepokan tempat di mana orang itu berada terasa tergetar, bahkan keempat orang murid padepokan terpaksa harus menutupi kedua telinganya. Tak lama suara tawa tadi berlangsung disambung dengan kata-katanya.
"Kalau kalian berdua selalu merasa was-was dengan keselamatan Batu Walet Merah itu, alangkah baiknya kalau kalian serahkan padaku. Percayalah aku pasti mampu menjaganya dari tangan orang-orang yang punya niat tak baik...!" Dengan mempergunakan obor di tangan, Dewi Ratih tanpa banyak suara langsung melompat ke luar lalu diikuti pula oleh Buang Sengketa. Begitu mereka sampai di luar tak seorang pun terlihat di sana. Tapi naluri kependekaran Buang mengatakan bahwa sesosok tubuh dalam kegelapan itu tidak jauh jaraknya dari mereka berdua.
"Siapa pun adanya orang tua di dalam kegelapan! Ku mohon tunjukkan rupa, dan katakan apa tujuan sehingga malam-malam begini keluyuran sampai ke padepokan Bukit Berkabung...!"
"Tak banyak keperluan datang ke tempatmu ini orang muda, pertama aku ingin turut mengatakan berduka cita atas meninggalnya Girinda! Yang kedua aku ingin menagih hutang nyawa atas diri Nyai Plasik bekas istriku dan seorang muridnya. Tapi sebelum semua yang kukatakan itu kulaksanakan, maka aku minta agar Batu Walet Merah di serahkan padaku...!"
Baik Dewi Ratih maupun Pendekar Hina Kelana sudah barang tentu sangat terkejut sekali mendengar permintaan yang sangat gila-gilaan ini. Mereka menjadi penasaran tentang keberadaan si suara di kegelapan yang belum jelas rupanya ini. Dengan gusar Ratih pun tak ketinggalan membentak;
"Enak saja, begitu mudahkah kau meminta barang milik orang lain begitu saja, seolah engkaulah yang paling berkuasa atas diri orang lain."
"Hek... hek... hek...!" tawanya sumbang.
"Sudah kukatakan bahwa kedatanganku kemari adalah untuk menagih hutang nyawa kawanku, tapi karena kulihat juga kalian merasa kebingungan untuk menyimpan Batu Walet Merah yang hampir saja membuat aku mampus dulu. Maka kuperintahkan agar batu itu di serahkan padaku dengan sukarela!"
"Kalau kami tak mau...!" tukas si pemuda.
"Maka aku akan memaksanya...?!"
"Mampukah kau...!"
"Hek... he... hek... he...!" tawanya lagi.
"Semudah aku membalikkan telapak tanganku bocah-bocah ingusan...!"
"Besar mulut...!" cibir si gadis. Tiada terdengar jawaban apapun, tapi saat kemudian keduanya terpaksa harus membuang tubuhnya ke samping dan berguling-guling saat mana satu pukulan mematikan di lancarkan oleh orang yang berada di dalam kegelapan itu. 
"Sompreet...!" maki Buang Sengketa sembari bangkit berdiri.
"Jleeegkh...!" Ketika Buang dan Ratih baru saja bersiap-siap dengan posisinya, maka sosok bayangan yang telah memukulnya dengan pukulan jarak jauh tadi telah berdiri dihadapannya. Satu seringai lebar mengawali kehadirannya.
"Ka... kau... siapakah kau ini...?" tanya Buang Sengketa begitu melihat seorang kakek berkepala gundul dengan pakaian warna cokelat menyelempang ke bagian sebelah dada sehingga mirip sekali dengan pakaian seorang pendeta. Selain Buang Sengketa, rasarasanya Dewi Ratih pun baru kali ini melihat kehadiran laki-laki berkepala botak macam tuyul ini. Cuma ada keanehan yang lainnya adalah karena kakek berkepala botak itu tiada henti-hentinya tertawa-tawa.
"Hek... hek... hek...! Kalau kalian ingin kenal denganku, akulah si Gajah Mungkur...!" bentaknya sambil terus mengumbar tawanya tanpa henti. Suara tawa Gajah Mungkur terasa benar bagi Buang merupakan satu ejekan yang sangat meremehkan sekali, itulah makanya sebelum dia bergebrak dia pun tak ingin mau kalah.
"Bangsat! Kiranya setan berkepala botak ini, Gajah Bengkak namanya! Kaukah saudaranya Nyai Plasik atau bandot simpanannya? Hhh... bibirmu yang selalu tersenyum-senyum itu memang tak ubahnya bagai seekor bandot ketemu betinanya! Alangkah lebih baik kalau kuberi engkau ganjaran yang setimpal atas segala tingkahmu yang punya niat untuk menguasai Batu Walet Merah...!" teriak Buang Sengketa, selanjutnya dia memberi isyarat pada Dewi Ratih dan keempat murid padepokan untuk menyingkir dari tempat itu.
"Hek... hek... hek.... Hoeek...! Tiada guna kau menyuruh adikmu minggat dari tempat ini bocah gembel! Lihatlah tak sampai satu jam di depan, padepokan Bukit Berkabung segera terkepung dari segala penjuru. Percuma... percuma... kalangan persilatan sudah tau, bahwa saudaramu yang lain telah berani pamer di dunia ramai dengan mengandalkan Batu Walet Merah. Mereka pasti marah, bocah...! Tapi sebelum mereka datang melabrakmu itu makanya aku datang lebih awal, menyerahlah...!" perintah Gajah Mungkur yang sudah barang tentu menganggap Buang Sengketa masih merupakan murid padepokan Bukit Berkabung.
Sementara itu apapun yang bakal terjadi, sedapatnya Pendekar Hina Kelana telah memberi jalan bagi Dewi Ratih dan keempat orang muridnya untuk kabur dari tempat itu. Mulanya Ratih merasa bimbang dengan keselamatan Buang yang selama ini bertindak sebagai pelindungnya. Tapi karena secara terus menerus Pendekar Hina Kelana mendesaknya maka dengan berat hati dia dan kawannya terpaksa meninggalkan tempat itu. Keadaan seperti itu tidak dikehendaki oleh Gajah Mungkur, dia berusaha mencegah namun Buang Sengketa merintanginya. Tanpa tercegah lagi, Gajah Mungkur menjadikan si pemuda sebagai tempat pelampiasan kemarahannya. Mulanya dia mengira dengan sekali gebuk mempergunakan senjata mautnya yang berupa pecut dari ekor ikan hiu maka binasalah pemuda berperiuk itu di tangannya. Tapi akhirnya dia harus kecewa setelah melihat kenyataan yang terjadi bahwa pemuda yang dianggapnya hanya memiliki ilmu kepandaian tidak seberapa ini ternyata mampu mengelakkan cambukan pecutnya yang sangat luar biasa cepat ini.
"Keparat...! Kebisaanmu bertingkah di depanku benar-benar harus kau tebus dengan kematian yang mengertikan...!" Gajah Mungkur lagi-lagi membentak, selanjutnya dia ayunkan pecutnya yang memiliki berat hampir satu kwintal itu.

* * *



--₪¦ « 12 » ¦₪--

"Jder.... Jdeeer.... Jdeeer...!" suara pecut di tangan Gajah Mungkur meledak-ledak mencecar lawannya. Tapi Buang Sengketa telah berkelebat cepat. Mempergunakan jurus silat 'Membendung Gelombang Menimba Samudra', kedua tangannya dia putar sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan yang sangat kokoh sekali. Sekali dua lecutan cambuk di tangan Gajah Mungkur dengan nekad dia pakai di tengah jalan dengan mempergunakan jurus si Gila Mengamuk. Namun ternyata cambuk yang terbuat dari ekor ikan hiu itu selain memiliki berat yang luar biasa juga dialiri dengan tenaga dalam yang cukup tinggi. Hingga mau tak mau Buang terpaksa menarik pulang tangannya, saat dia merasakan tangan kanan yang dia pergunakan untuk memapaki serangan cambuk itu kesemutan dan berdenyut-denyut sakit.
"Sekejap lagi engkau harus terima mampus, bocah...!" teriak Gajah Mungkur sambil melipat gandakan tenaganya sehingga membuat cambuk di tangannya meledak-ledak bagai sebuah senjata yang sangat ringan sekali.
"Dwwuueer...!"
"Kampret...!" maki Pendekar Hina Kelana saat cambuk di tangan Gajah Mungkur hampir saja menderanya. Angin sambaran cambuk yang dilecutkan oleh Gajah Mungkur terasa sangat panas menyambar bagian kepalanya, kini sadarlah dia bahwa ujung cambuk selain memiliki berat yang luar biasa kiranya mengandung racun yang jahat.
"Aku harus lebih cepat dalam bertindak, kalau tidak tubuhku bisa hancur berkeping dilanda cambuk sialan itu!" gumam si pemuda dalam hati.
"Caiiit...!" mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk' secara mendadak tubuh Buang Sengketa bergerak lambat, meliuk-liuk, terhuyung ke depan dan ke belakang bagai orang yang sedang mabuk. Inilah yang merupakan ciri khas dari jurus si Gila Mengamuk yang di mainkan oleh Buang Sengketa. Sungguhpun gerakan silat si pemuda menjadi kacau tak beraturan, akan tetapi sampai sejauh ini cambuk di tangan Gajah Mungkur secepat apapun berkelebat menyambar masih tetap saja dapat dielakkan oleh pihak lawannya. Selaku tokoh silat, bahkan boleh dikata dedengkotnya kaum persilatan golongan hitam yang sudah banyak makan asam garam pengalaman. Sudah barang tentu keadaan seperti itu tak dapat dibiarkan terus berlanjut. Maka tanpa banyak komentar lagi, dia pun cepatcepat robah jurus silatnya dengan tingkatan yang lebih tinggi. 'Gajah Buta Menendang Serigala', mempergunakan jurus ini, tubuh Gajah Mungkur yang sangat gemuk luar biasa tampak bergerak lebih cepat lagi dari yang sudah-sudah. Cambuk di tangan tiada hentihenti melecut ke arah bagian tubuh lawannya. Gerakan tubuh Gajah Mungkur yang sedemikian cepat, membuat Buang Sengketa mulai kehilangan ruangan gerak. Hingga satu kesempatan pihak lawan lancarkan satu sodokan keras ke arah bagian perut. Buang menangkisnya dengan kibaskan tangan kanan, sementara tangan kirinya menghajar bagian dada Gajah Mungkur.
"Buuuuk!" Gajah Mungkur mengeluh dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang, tapi di luar dugaannya pecut di tangannya menghajar bagian punggung Buang Sengketa.
"Breet! Ahhkh...!" tubuh pemuda keturunan raja para siluman itu terguling-guling roboh. Dia merasakan bagian punggungnya seperti remuk, bajunya pun robek hampir sepanjang punggung belakangnya. Tertatih-tatih, pemuda itu berusaha bangkit, sementara bagian punggung yang terkena itu telah mulai mengeluarkan darah, hingga menimbulkan rasa perih yang tiada tertahankan.
"Mampuslah, kau bocah...!" teriak Gajah Mungkur. Sambil melecutkan cambuknya dia kirimkan satu pukulan maut yang tak kalah hebatnya dengan cambuk ditangannya. Begitu tangan kirinya mendorong ke depan, maka tak pelak lagi selarik sinar berwarna putih tampak melesat dari bagian telapak tangannya. Buang Sengketa sama sekali tiada menduga akan adanya bahaya yang datang secara bersamaan ini. Dia tiada memiliki pilihan lain terkecuali memapaki pukulan lawan dengan pukulan si Hina Kelana Merana, sedangkan lecutan cambuk di tangan Gajah Mungkur dia atasi dengan mempergunakan Jurus Koreng Seribu.
"Blaaam! Creep!" sesungguhnya tubuh masingmasing lawan sama-sama terpental pada saat dua kekuatan sakti itu saling berbenturan. Tapi karena terlanjur ujung cambuk milik Gajah Mungkur terpegang oleh si pemuda. Maka begitu tubuh mereka tersentak ke belakang, secara tak terduga mereka malah terpelanting ke depan. Masih untung Buang Sengketa cepat-cepat menarik balik daya sedot Jurus Koreng Seribu yang telah dia lancarkan andai tidak dapat dipastikan dialah yang paling parah menderita luka dalam.
Gajah Mungkur yang terlempar tubuhnya ke samping kiri, ternyata juga merupakan orang yang sangat kedot luar biasa. Terbukti sampai sejauh itu tiada perubahan yang terjadi pada dirinya. Padahal saat itu Buang Sengketa sendiri sudah menderita luka dalam yang tidak ringan, bahkan dari hidung dan bibir si pemuda mulai nampak mengalir darah kental.
"Bocah! Tiga pukulan di depan, nyawamu akan terbang ke neraka! Kuperingatkan padamu, cabutlah senjatamu andai memang benar kau memiliki senjata yang dapat kau andalkan, cepatlah...!" teriak Gajah Mungkur. Saat itu dia sudah putar-putar cambuknya tepat di bagian atas kepalanya.
"Botak keparat, tak perlu kau beri peringatkan! Andai memang telah tiba waktumu untuk mampus, maka tak apalah kau perintah sekalipun aku akan cabut senjataku...!" Kata Buang Sengketa, seraya menggerung marah. Dalam keadaan seperti itu, manusia berbadan besar yang menjadi lawannya telah pula memburunya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan juga mengandalkan cambuk di tangannya. Buang Sengketa merasa tak perlu mengulang kebodohannya untuk yang kedua kalinya. Begitu tubuhnya berkelebat, maka tangan kanannya sudah pula mencabut pusaka Golok Buntung yang selalu terselip di bagian pinggangnya. Dengan mempergunakan golok itu Buang sudah merasa cukup untuk menandingi lawannya, tak perlu mempergunakan Cambuk Gelap Sayuto yang sangat luar biasa itu.
"Heeeiiik...!"
"Nguuung...!" saat Buang Sengketa mengeluarkan jeritan tertahan, maka tubuhnya berkelebat cepat mengiringi melesatnya sinar merah menyala yang memancar dari pusaka Golok Buntung yang berada dalam genggaman si pemuda. Dingin angin malam semakin bertambah dingin, saat senjata maut itu menyambar-nyambar bagian tubuh lawannya. Gajah Mungkur sudah barang tentu merasa terkejut bukan alang kepalang. Apalagi ketika melihat berkelebatnya sinar merah menyala di tangan lawannya. Dan dia menjadi lebih terperanjat lagi saat dia merasakan udara dingin yang hebat mendera tubuhnya. Perobahan yang sangat tibatiba itu memang membuat Gajah Mungkur menjadi lengah sedikit.
"Siiing!" golok di tangan lawan menyambar dekat sekali dengan bagian dadanya. Setengah tergagap dia sabetkan cambuknya.
"Ctar.... Criiing...!" lecutan cambuk di sambut dengan ketajaman golok, tak ayal lagi cambuk itu pun terpotong menjadi beberapa bagian. Gajah Mungkur tanpa senjata andalan di tangan tampaknya menjadi semakin kelabakan. Pendekar Hina Kelana terus memburunya tanpa memberi peluang lagi pada lawannya untuk berbuat lebih banyak.
"Caaait...! Hiaaa...!"
"Creees...!"
"Argk...!" Gajah Mungkur menjerit setinggi langit pada saat senjata di tangan Buang Sengketa berhasil menyambar bagian ulu hatinya. Tubuh Gajah Mungkur terhuyung-huyung, tangan menekan bagian yang terluka. Tapi karena darah yang keluar terus menerus memancar tiada henti. Maka tak lama kemudian tubuhnya ambruk tiada berkutik lagi. Hanya sebentar saja Buang Sengketa memperhatikan keadaan mayat lawannya, kemudian barulah dia memperhatikan ke sekelilingnya. Maka padepokan Bukit Berkabung dari jarak yang tidak begitu jauh telah di kelilingi oleh obor dari berbagai penjuru. Bahkan sayup-sayup dia mendengar suara orang-orang itu meneriakkan kata "Walet Merah." Tak salah semua golongan persilatan memang ingin memiliki batu Walet Merah. Mampukah Dewi Ratih menyelamatkan batu Walet Merah di tangannya? Bagaimana halnya dengan Pendekar Hina Kelana yang terkepung? Lalu siapa pula ketua Gerombolan Sinar Kayangan? Untuk mengetahui jawabnya ada pada judul "Banjir Darah Di Bukit Siluman".

TAMAT



INDEX BUANG SENGKETA
Geger Di Bukit Seribu --oo0oo-- Banjir Darah Di Bukit Siluman
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.