Life is journey not a destinantion ...

Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat

INDEX BUANG SENGKETA
Badai Selat Malaka --oo0oo-- Dendam Manusia Kelelawar

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide, hanya kebetulan belaka

© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69 Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Pagi yang cerah, suasana di lereng perbukitan itu masih kelihatan terbelenggu kabut dan rasa dingin yang menggigit. Burung-burung belibis hutan pun baru kelihatan mulai mengepakkan sayapnya. Enggan. Sesekali terdengar pula lenguh suara sapi hutan di sekitar tempat itu. Sebuah suasana kehidupan alam yang sangat damai, seolah-olah tiada pernah terusik oleh tangan-tangan yang merusak. Sementara masih di sekitar tempat itu juga, nampak seseorang yang sudah sangat lanjut usianya sedang berlari cepat bagai di kejar-kejar setan. Hampir semalaman perempuan usia lanjut yang bernama Nyai Tambak Sari ini terus mengerahkan ilmu lari cepatnya, Seribu Jarak Terlampaui.
Dalam pada itu tiada keinginannya untuk menoleh-noleh ke belakang. Bukan karena apa, dia hanya merasa dengan kejadian yang telah di alaminya semalam. Kilatan senjata pusaka dan suara lecutan cambuk yang membuat segala-galanya jadi berubah. Setengah pudar harapannya untuk memiliki Kitab Jurus Koreng Seribu. Di lain pihak, ternyata nama besar Pendekar Hina Kelana bukanlah nama kosong. Syukur dia masih bisa meloloskan diri dari sepak terjang pemuda berkuncir murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng Seribu. Andai tidak sudah tentu dia benar-benar kehilangan harapan untuk memiliki Kitab Jurus Koreng Seribu, hasil ciptaan terakhir dari kakek sakti si Bangkotan Koreng Seribu. {Dalam Episode Badai Selat Malaka)
Sungguh pun dia merasa jerih setelah berhadapan dengan Pendekar Hina Kelana. Namun itu bukan berarti telah mematahkan semangatnya untuk memenuhi ambisinya dalam merebut kitab yang sangat langka itu. Saat itu setelah hampir tewas di tangan Buang Sengketa dia sudah bertekad untuk pergi ke Bukit Sambuang yang merupakan tempat pertapaan kakang seperguruannya yang bernama Badak Sangrang. Kepada tokoh sakti yang telah lama meninggalkan dunia persilatan itulah dia menaruh harap dan ingin minta bantuan. Sebab menurut Nyai Tambak Sari, di dalam rimba persilatan mungkin hanya Badak Sangrang sajalah yang mampu menghadapi kehebatan Cambuk Gelap Sayuto yang dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan dulu pun dia pernah menyaksikan Badak Sangrang yang saat itu berumur sembilan puluh tahun bertarung dengan si Bangkotan Koreng Seribu. Badak Sangrang dengan Cambuk Inti Sukmanya masih mampu menandingi Cambuk Gelap Sayoto milik Bangkotan Koreng Seribu yang kini diwariskan kepada Buang Sengketa. Walaupun saat itu Badak Sangrang memang harus mengakui keunggulan si Bangkotan Koreng Seribu, namun pantas untuk di acungi jempol. Dari sekian banyak lawan-lawan yang pernah binasa di tangan Bangkotan Koreng Seribu, hanya Badak Sangrang seoranglah yang mampu bertahan hidup hingga sampai saat kini.
Dalam keadaan berlari itu dia masih berpikir tentang sebuah kemenangan yang akan diperolehnya. Satu hal yang telah sama-sama kita ketahui bahwa ketua Perguruan Beruang Merah ini dalam keadaan buta kedua matanya. Mengagumkan dalam keadaan seperti itu dia masih dapat mengerahkan ilmu lari cepat, Seribu Jarak Terlampaui, tanpa takut menabrak pepohonan yang berada di depannya. Keringat telah membasahi sekujur tubuh Nyai Tambak Sari, begitu pun dia masih terus mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hingga beberapa jam kemudian sampailah dia di sebuah daerah perbukitan yang memiliki udara sangat dingin sekali. Itulah salah saru ciri-ciri yang sangat khas sebuah daerah yang didiami oleh Badak Sangrang. Nyai Tambak Sari hentikan langkah, sekejap dia menarik nafas panjang-panjang. Lalu alis matanya yang tebal dan telah memutih nampak berkedut-kedut. Hemm. Tiada suara apa pun yang terdengar, agaknya kakang Badak Sangrang tidak ada di tempat. Atau mungkin aku belum berada tepat di depan gua tempat pertapaannya. Ah... aku tak perlu berteriak-teriak seperti orang kesurupan, kalau kupanggil dia dengan ilmu menyusupkan suara. Kalau benar-benar kakang Badak Sangrang ada di tempat, tentu dia akan mendengarnya. Batin Nyai Tambak Sari dalam hati.
"Kakang Badak Sangrang! Adakah kau di tempat...?" Panggil perempuan itu dengan mempergunakan ilmu menyusupkan suara-nya. Sejenak tiada sahutan seperti apa yang di harapkannya. Ketua partai Beruang Merah itu menjadi ragu-ragu.
"Kakang... Ini adikmu datang... apakah kau berada di dalam gua...?" Ulangnya sambil garuk-garuk rambutnya yang cuma beberapa helai itu. Sekejap kemudian gua yang berada tidak begitu jauh di depan Nyai Tambak Sari nampak bergetar, lalu dari dalamnya yang serba gelap menyeramkan itu pun berhembus asap putih yang menebarkan bau yang sangat amis sekali. Asap yang membentuk kabut itu pun semakin lama semakin menebal sehingga menyesakkan pernapasan Nyai Tambak Sari.
Dan kiranya perempuan buta itu menyadari kalau dirinya sedang di uji kemampuannya oleh orang yang berada di dalam gua itu.
Maka tanpa bicara sepatah kata pun Nyai Tambak Sari lambaikan tangan kanannya. Sungguh pun gerakan melambai itu kelihatannya hanya seperti main-main saja tetapi sesungguhnya perempuan renta itu telah mempergunakan sebagian tenaga dalamnya. Akibatnya serangkum gelombang angin pukulan menderu pada empat penjuru mata angin. Satu letupan keras terdengar meningkahi suara tawa yang berkepanjangan.
"Ohok... ohok... ohok...! Adi Tambak... semakin tua rupanya engkau semakin rapuh saja, kiranya ketua partai Beruang Merah nggak ada apa-apanya. Nama besar namun memiliki kekuatan yang rapuh. Nafsu untuk mengangkangi kitab Jurus Koreng Seribu begitu besar, tapi tenaga kurang...!" Ucapnya dengan masih mengekeh menyeramkan. Lalu usai dengan suara tawanya itu, nampak melayang sosok tubuh lebih tua dari perempuan buta itu. Laki-laki ini memiliki wajah lebih menyeramkan lagi. Badannya kurus kering tiada berdaging, rambutnya yang berwarna cokelat nampak acak-acakan bagai tak terurus. Kedua mata menjorok ke depan, dengan kumis dan janggutnya yang lebat dan juga sudah berubah warna. Sepintas lalu sangat tidak pantas bila dibandingkan dengan keadaan tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Namun siapa sangka kalau tokoh sesat yang sudah puluhan tahun ini banyak menghabiskan waktunya di bukit Sambuang, dulunya merupakan tokoh sakti yang memiliki kepandaian hanya tiga tingkat saja di bawah almarhum si Bangkotan Koreng Seribu! Saat itu, lakilaki ceking yang murah tertawa tersebut telah pula berhadapan dengan Nyai Tambak Sari adik seperguruannya. Sejenak laki-laki berpenampilan mirip orang yang kurang waras dan seumur hidup tak pernah memakai baju ini menyapu pandang pada adik seperguruannya. Lagi-lagi dia tertawa mengekeh.
"Kau datang jauh-jauh ke sini! Sesungguhnya ada keperluan apakah, Adi...?" Tanya Badak Sangrang, walau sudah tahu tapi masih berusaha mendengar pengakuan adik seperguruannya.
"Berkata terus terang bahwa maksud kedatanganku ke mari adalah ingin minta bantuanmu...!" Ujar Nyai Tambak Sari tanpa malu-malu lagi.
"Ho... ho... ho...! Bantuan? Selamanya kuketahui kau merupakan orang yang tak pernah minta bantuan siapapun. Maaf, dulu ketika kedua matamu dibutakan oleh si Bangkotan Koreng Seribu, engkau pun tak pernah minta bantuan padaku. Aneh kini kau malahan datang padaku seperti bocah kecil...?"
"Kakang! Dulu rasa sakit itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan rasa sakit hati yang kini sedang ku tanggungkan... ini merupakan satu penghinaan besar kakang. Bukan pada diriku saja, namun juga buat dirimu...!" Ucap Nyai Tambak Sari berusaha manasmanasi hati kakang seperguruannya yang mudah naik darah tersebut. Badak Sangrang pelototkan matanya yang menjorok ke dalam itu, sementara mulutnya mengeluarkan bunyi berdecap tiada berketentuan.
"Apakah maksudmu, Adi...?".....
"Aku menaruh dendam pada muridnya Bangkotan Koreng Seribu yang telah mampus itu. Muridmuridku terbantai habis semua-nya...!" Menyela Nyai Tambak Sari dengan geramnya. Nampaknya Badak Sangrang agak terkejut juga begitu mendengar apa yang dikatakan oleh adik seperguruannya. Selama beberapa purnama ini dia hanya bermimpi tentang lawan besarnya yang telah berhasil menciptakan kitab Jurusjurus Koreng Seribu. Namun tak sedikit pun dia menyangka kalau si Bangkotan Koreng Seribu bekas lawan besarnya itu telah meninggal dunia. Hemm. Aku menjajal jurus-jurus ciptaanku yang paling ampuh pada orang yang pernah membuat aku malu di depan beratus-ratus orang persilatan tempo hari. Namun ternyata orang itu kini telah kojor. Enak betul manusia gudis itu? Maki Badak Sangrang setengah menyesalkan kematian musuh nomer satunya. Tapi kalau dia kembali teringat pada apa yang baru saja di katakana oleh adik seperguruannya. Nampaknya dia masih mempunyai harapan untuk membalaskan rasa malu yang pernah dialaminya dulu pada murid tokoh super sakti itu. Akhirnya dengan semangat yang menggebu, dia pun kembali bertanya pada Nyai Tambak Sari; "Adi Tambak! Benarkah si Bangkotan Koreng Seribu sebelum mampus telah menciptakan kitab Jurus Koreng Seribu?" Tanyanya dengan sangat penasaran sekali.
"Itulah persoalannya, kakang...! Aku merasa tertarik dengan berita tentang jurus-jurus langka yang telah diciptakan oleh si keparat itu. Muridku kuutus untuk mengetahui tentang kebenaran cerita itu di Tanjung Api. Kenyataannya cerita memang benar adanya. Seperti dugaanku, di tempat itu rupanya sudah banyak kalangan persilatan dari berbagai golongan telah hadir di sana. Apa yang mereka inginkan tak lain adalah ingin memiliki kitab yang sangat dahsyat itu. Tidak munafik kalau kukatakan bahwa aku sesungguhnya, juga ingin memiliki kitab itu. Tapi ternyata niat adikmu ini telah terhalangi dengan hadirnya Bara Seta yang merupakan anak angkat si Bangkotan Koreng Seribu, dan lebih celaka lagi setelah murid manusia pemurung yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu ikut turun tangan...!"
Badak Sangrang menarik nafas dalam-dalam. Baginya masih belum jelas benar siapa adanya Bara Seta. Tapi yang lebih menarik lagi adalah tentang manusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu.
"Apakah dia mempergunakan Cambuk Gelap Sayoto...?" Tukasnya tak sabar. Sepasang mata berongga milik Nyai Tambak Sari nampak memandang pada Badak Sangrang.
"Aku merasa begitu, namun dia bukan memiliki cambuk yang sangat mengerikan itu saja, tapi juga dia memiliki senjata ampuh, yang pada akhirnya menewaskan semua murid-muridku...!" Gigi-gigi Badak Sangrang yang hanya tinggal beberapa gelintir itu berkeretukan menahan geram.
"Cambuk Gelap Sayuto, aku masih mampu menandinginya dengan cambuk ku, Inti Sukma, tapi senjata yang baru kau sebutkan belakangan, macam apakah bentuknya?" Tanya Badak Sangrang.
"Kuketahui begitu senjata itu tercabut dari sarungnya aku merasakan senjata itu mendengung. Mendadak udara di sekitarnya menjadi dingin luar biasa, orang-orang di sekeliling ku berteriak, Pusaka Golok Buntung...!" jawab Nyai Tambak Sari, dan wajahnya masih membayangkan rasa jerih. Sebaliknya Badak Sangrang merasa kurang kenal dengan pusaka yang baru saja disebutkan oleh adik seperguruannya. Selama ini dia tak pernah melihat Bangkotan Koreng Seribu mempergunakan senjata seperti apa yang dikatakan oleh adiknya. Lalu dari manakah pemuda itu memperoleh senjata itu. Mengingat sampai ke situ cepat-cepat dia bertanya pada Nyai Tambak Sari.
"Adi Tambak! Manakah yang lebih hebat antara Pusaka Golok Buntung dengan Cambuk Gelap Sayoto...?" Ketua Partai Beruang Merah itu gelenggelengkan kepalanya.
"Menurutku, dua-duanya sama dahsyat luar biasa. Tapi mungkin dalam fungsinya Pusaka Golok Buntunglah yang paling berperan banyak dalam membasmi lawan-lawan-nya...!"
Panas bukan alang kepalang hati Badak Sangrang dibuatnya, semakin bertambah penasaran pula hatinya.
"Sungguh pun senjata dari akhirat sekalipun yang dia pergunakan untuk berhadapan denganku. Tidak nantinya bocah goblok itu mampu menahan pukulan Tapak Setan hasil ciptaanku yang terbaru...!"
Bukan main gembiranya hati Nyai Tambak Sari begitu mendengar keputusan kakang seperguruannya. Dalam luapan kegembiraan itu, tiba-tiba dia berkata:
"Kakang benar-benar mau menghadapi muridnya Bangkotan Koreng Seribu?"
"Ya... bahkan aku pun akan merebut dan ingin mengetahui apa sih hebatnya kitab Jurus Koreng Seribu itu...!" Ucapnya mencemooh.
"Jadi kapan kita berangkat, kakang...?"
"Hmm. Kurang lebih sepuluh hari mendatang...! Kau istirahatlah di gua sebelah. Aku akan menyiapkan segala sesuatunya." Kata Badak Sangrang. Dan sekejap kemudian kedua orang itu pun telah berkelebat memasuki Gua pertapaan.

 



--₪¦ « 2 » ¦₪--

Matahari panas terik membakar dan apa yang terlihat di depan mereka hanyalah sebuah kegersangan yang sangat membosankan. Di kanan kiri jalan itu nampak sebuah jurang yang menganga dalam. Sementara jalan. yang mereka lalui pun merupakan sebuah jalan setapak yang dipenuhi oleh batu-batu yang sangat runcing lagi tajam. Namun semua itu tidak menghalangi gerakan langkah Buang Sengketa, Bara Seta dan seorang muridnya yang sedang melakukan perjalanan jauh. Seperti di ketahui, setelah meninggalkan Tanjung Api yang merupakan tempat tinggal gurunya, Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Dan kemudian bertarung pula dengan ketua partai Beruang Merah, mereka ini tetap melanjutkan niatnya untuk mencari tempat baru yang benar-benar mereka anggap aman untuk mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu (Dalam Episode Badai Selat Malaka).
Hari ini mereka telah sampai di sebuah lembah yang bernama Lembah Selaksa Mayat. Seperti apa yang pernah di katakan oleh Bara Seta, bahwa Lembah Selaksa Mayat adalah merupakan tempat tinggal istri dan anaknya satu-satunya. Lembah itu merupakan sebuah daerah yang terpencil dan terletak di pedalaman hutan yang tak pernah di jamah oleh orang lain selain keluarganya. Dulunya anak dan istrinya samasama tinggal di Lubuk Sikaping yang sekaligus merupakan sebuah perguruan yang dipimpin oleh Bara Seta. Namun karena sejak kecil istri Bara Seta yang bernama Dewi Wulan tinggal di lembah tersebut. Maka tak heran kalau kemudian dia memilih untuk membesarkan anaknya di tempat yang sangat jauh dari keramaian dunia. Dan di sanalah putri tunggalnya yang bernama Ayunda di besarkan dan di didik dengan berbagai ilmu kanuragan selama hampir tujuh belas tahun. Walaupun selama itu antara Bara Seta dan Dewi Wulan sering memiliki beda pendapat dalam mendidik anaknya. Namun ketua Perguruan Canduk Ginaka itu juga sering berkunjung ke Lembah Selaksa Mayat.
Karena menurut Bara Seta hanya Lem-bah Selaksa Mayat sajalah yang merupakan tempat paling aman untuk mempelajari kitab Jurus Koreng Seribu. Maka dalam perjalanan meninggalkan Tanjung Api beberapa hari yang lalu, mereka telah mencapai kata sepakat untuk datang ke tempat itu. Dalam pada itu setelah melalui jurang-jurang yang sangat sulit dan lagi licin. Maka lewat sepemakan sirih, sampailah mereka bertiga di dasar lembah itu. Dari kejauhan Buang dapat melihat sebuah rumah panggung yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap daun kirai. Rumah itu tingginya kurang lebih tujuh meter. Sesaat saja Buang Sengketa memperhatikan situasi di sekitarnya. Tapi ketika kemudian Bara Seta menarikkan tangannya, kemudian mengajaknya terus berjalan menuju rumah itu pemuda dari Negeri Bunian ini hanya mampu menurut saja.
"Dewi Wulan...! Aku yang datang...!" Kata Bara Seta setengah berteriak. Beberapa saat setelah ucapannya itu, maka pintu depan rumah itu pun nampak terbuka. Seorang gadis berwajah sangat cantik muncul dari dalamnya, lalu mereka saling pandang. Begitu gadis yang berada di depan pintu rumah bertonggak tinggi itu mengenali siapa adanya orang-orang yang datang. Maka gadis cantik yang bernama Ayunda itu pun menghambur menuruni anak tangga.
"Ayah...!" Serunya. Lalu begitu hampir di depan Bara Seta, gadis itu langsung memeluk tubuh gemuk ayahnya.
"Bagaimana keadaan ibumu...?" Tanya Bara Seta di tengah-tengah luapan kerinduannya. Sejenak Ayunda melepaskan pelukannya, di pandanginya wajah ayahnya, lalu beralih pada Buang Sengketa. Dalam hati dia merasa geli sendiri begitu melihat pemuda tampan yang datang bersama ayahnya tersebut. Bagaimana tidak! Ketampanan pemuda itu benar dia akui, namun pakaiannya yang kumuh, dengan sebuah periuk berjelaga menggelantung di pinggangnya. Sehingga mengesankan seorang sinting yang baru saja pulang dari mengembara.
"Ayunda! Kenalilah, pemuda ini masih merupakan kerabat kita juga. Namanya Buang Sengketa...!" Ujar Bara Seta setelah melihat anaknya terus memperhatikan Pendekar Hina Kelana.
"Buang Sengketa...? Heh, sebuah nama yang sangat aneh...!" Desah Ayunda begitu polos. Dan tentu saja hal ini membuat wajah Buang Sengketa berubah menjadi merah jengah.
"Ayunda, tak boleh bersikap seperti itu, berlaku sopanlah sedikit pada orang lain...!"
"Eeh, maaf ayah! Sebenarnya Ayu tak bermaksud begitu...!" Kata Ayunda lalu menjura hormat pada ayahnya. Keadaan seperti itu sudah barang tentu tidak mengenakkan Pendekar Hina Kelana. Maka kemudian dia berkata pelan.
"Sudahlah paman! Tak perlu memakai peradatan segala. Pula kita ini berada dikalangan keluarga sendiri...!"
Belum lagi Bara Seta maupun Ayunda sempat mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara teguran dari dalam rumah yang bertonggak tinggi tersebut
"Yunda, mengapa tamu-tamu kita di biarkan saja berdiri di luar. Suruhlah mereka masuk...!"
Mereka yang berada tidak begitu jauh dari rumah bertonggak ini pun saling berpandangan. Selanjutnya Ayunda menggandeng tangan ayahnya menaiki tangga rumah itu. Setelah sampai di dalam rumah kecil itu, mereka duduk di atas sebuah tikar yang terbuat dari anyaman kulit rotan. Sebagaimana lazimnya, pasangan suami istri ini pun saling bersalaman. Hal ini kiranya tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Sekilas dia memperhatikan Dewi Wulan yang menurutnya berusia sekitar empat puluh tahun. Namun walau usianya sudah terbilang sudah lanjut, masih kelihatan sisa-sisa kecantikan membias di wajahnya. Ketika selanjutnya Dewi Wulan menanyakan segala sesuatunya tentang pemuda yang bersama suaminya itu. Maka secara panjang lebar Bara Seta menceritakan segala sesuatunya tentang pemuda itu. Mengertilah Dewi Wulan tentang siapa sebenarnya pemuda yang duduk di samping Bara Seta suaminya. Perempuan setengah baya itu angguk-anggukkan kepalanya. Selanjutnya dia berkata lunak: "Oh... tak kusangka kalau tokoh nomer satu sekaligus merupakan angkatan tua golongan kaum yang lurus itu telah tiada. Tapi aku mendukung usulmu itu, kakang. Aku yakin kalau jejak kalian ke mari ini tidak tercium oleh golongan persilatan mana pun. Lembah Selaksa Mayat ini merupakan sebuah daerah yang sangat aman untuk membuka kemungkinan tentang rahasia Kitab Jurus Koreng Seribu. Karena hanya Buang sendiri yang mengerti akan makna kata maupun tulisan-tulisan rahasia yang terkandung dalam kitab itu. Maka tak banyak yang dapat kita lakukan terkecuali melindungi keselamatan Buang dari ancaman pihak manapun yang bermaksud merampas Kitab Rahasia Jurus Koreng Seribu...!"
"Itu memang betul, apalagi bila mengingat pesan bapak yang pernah di sampaikan padaku setahun sebelum dia meninggal dunia...!" Berkata Bara Seta pada istri dan anaknya.
"Sesungguhnya kedatanganku ke sini hanya membuat repot paman dan bibi saja!" Sahut pemuda itu, dan dalam kesempatan yang hanya sesaat itu tanpa sepengetahuan yang lain-lainnya Buang sempat melirik pandang pada Ayunda yang sejak tadi terus memperhatikan dirinya. Wajah gadis itu berubah kemerah-merahan begitu mata mereka saling beradu pandang. Sementara itu Buang Sengketa yang sesungguhnya mempunyai watak pemalu itu hanya menundukkan kepala. Lalu dia membatin: Gadis cantik anaknya paman Bara Seta ini wajahnya sangat mirip dengan Wanti Sarati, entah mengapa fikiranku tibatiba saja teringat akan dia, aneh... hatiku berdebar ketika tadi aku memandangnya. Wanti Sarati, betapa akhir-akhir ini aku selalu mengingatnya. Tidak seperti dulu saat mana pertama kali dia telah begitu berani mengatakan cinta padaku. Saat itu aku tak pernah menaruh perasaan apa-apa padanya. Dia cantik, namun juga cerdas, bahkan mungkin lebih cantik dari Ayunda yang sekarang duduk tak jauh dari ibunya. Wanti... semoga aku tak pernah terlambat untuk membalas cintamu. Dan semoga pula dia dapat belajar dengan guru setengah siluman itu dengan baik. Wanti Sarati. Maafkanlah pamanmu ini! Desahnya setengah menyesali. (Untuk jelasnya siapa Wanti Sarati, dalam episode Satria Penggali Kubur).
"Buang! Apa yang kau pikirkan?" Tanya Bara Seta tiba-tiba. Pertanyaan yang tiada di sangka-sangka itu sudah barang tentu membuat Pendekar Hina Kelana jadi kelabakan. Lalu dengan suara terbata-bata dia menjawab;
"Ee... tid... tidak paman. Aku hanya merasa letih saja, mungkin karena selama ini aku selalu melakukan perjalanan yang jauh."
"Kalau begitu, baiknya kau istirahat dulu!" Berkata Dewi Wulan, sebentar dia menoleh pada putri satu-satunya. Kemudian perintahnya; "Yunda... coba kau tunjukkan kamar buat kakangmu...!"
Tanpa menjawab Ayunda segera melaksanakan apa yang di perintahkan ibunya. Buang Sengketa hanya mengikuti dari belakangnya.
"Kakang bisa istirahat di sini, oh ya... maafkan atas segala perlakuanku yang kurang pada tempatnya...!"
"Tak apa... kau juga tidak bersalah...!" Tukas si pemuda apa adanya. Sesaat kemudian Ayunda telah meninggalkan Pendekar Hina Kelana di kamar itu seorang diri. Pada dasarnya karena pemuda ini memang sudah keadaan sangat letih, maka begitu dia merebahkan tubuhnya di atas balai bambu, maka sekejap kemudian dia telah lelap tertidur.
Sementara itu di ruangan depan, pembicaraan antara Dewi Wulan, Ayunda dan Bara Seta masih terus berlanjut. Nampaknya istri Bara Seta maupun putrinya benar-benar merasa tertarik dengan kehidupan dan sepak terjang pemuda keturunan raja dari negeri alam gaib tersebut. Tak dapat di sangkal kalau sekejap kemudian pertanyaan Dewi Wulan pun kembali terdengar;
"Kakang sudah begitu lama kenal dengan almarhum bapak! Tapi pernahkan bapak Bangkotan Koreng Seribu bercerita tentang muridnya...?" Tanya Dewi Wulan dengan penuh perhatian. Yang di tanya nampak terdiam beberapa saat lamanya. Seingatnya sebelum meninggal, dulu si Bangkotan Koreng Seribu memang sering bercerita tentang murid tunggalnya. Asal usul, maupun ketika saat kakek itu menemukan bayi merah yang terapung di tengah-tengah lautan. Sedapatnya dia berusaha mengingat-ingat tentang apa yang pernah di katakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Selanjutnya begitu dia dapat mengingat kembali tentang segala apa yang pernah di katakan oleh tokoh sakti yang merupakan tokoh sangat di takuti oleh semua golongan itu, maka tanpa ragu lagi dia pun mulai berkata pada istri dan anaknya;
"Hanya beberapa purnama sebelum bapak meninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya. Padaku dia pernah mengatakan segala sesuatunya tentang murid tunggal yang sangat di sayanginya itu. Si Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti yang selama malang melintang di rimba persilatan hampir lebih dari delapan puluh tahun menjadi momok dalam kalangan persilatan golongan hitam. Dalam usianya yang mencapai seratus delapan puluh tahun itu, bahkan hingga akhir hayatnya. Dia tetap merupakan tokoh nomor satu yang tak pernah terkalahkan. Sungguh pun dia merupakan tokoh sakti yang pada jamannya membuat geger delapan penjuru persilatan karena Cambuk Gelap Sayutonya. Tapi dia juga merupakan tokoh yang paling malang di atas dunia fana ini...!"
"Apa maksudmu, kakang...?" Tanya Dewi Wulan keheranan. Bara Seta menarik napas pendek. Selanjutnya dia menyambung;
"Dulu sebelum dia berguru oleh almarhum gurunya yang pada jaman ratusan tahun yang lalu merupakan orang yang Maha Sakti tapi buruk perangainya. Bapak Bangkotan Koreng Seribu bukanlah manusia yang memiliki penyakit buruk yang di seluruh permukaan kulitnya di tumbuhi oleh ribuan koreng. Tapi bapak pada jaman mudanya adalah merupakan seorang bocah yang suka mengembara dan berguru berbagai ilmu kesaktian. Bertemulah dia dengan tokoh Buruk Perangai yang memiliki berbagai ilmu kesaktian. Padanya dia berusaha menuntut berbagai ilmu kanuragan. Mulanya tokoh Maha Sakti dari Selatan itu tidak bersedia memberi pelajaran ilmu apapun. Tapi karena bapak merupakan orang yang keras kemauan. Maka si Buruk Perangai bersedia menjadi gurunya, dengan satu syarat. Bahwa segala dosa maupun kutuk yang telah di jatuhkan Dewata pada si Buruk Perangai, bapak bersedia memikulnya. Tak dinyana bapak yang haus akan ilmu sakti itu menerima. Sebagai imbalannya, si Buruk Perangai memberikan segala kesaktian yang pernah di milikinya...!"
"Karena kutuk itukah maka sampai akhir hayatnya, bapak harus menanggungkan penyakit koreng yang tiada kunjung sembuh...?" Tanya sang istri semakin tertarik saja. Bara Seta menganggukkan kepalanya pelan.
"Benar sekali...!" Ucapnya tanpa ragu.
"Tapi ayah, apakah tokoh maha sakti si Buruk Perangai masih hidup sampai sekarang ini...!" Sela Ayunda tiba-tiba.
"Mungkin juga. Sebab menurut bapak, gurunya, si Buruk Perangai memiliki ilmu yang dapat memanjangkan umur seseorang tanpa menyalahi kodrat. Coba bayangkan saja kalau bapak saat meninggal berumur seratus delapan puluh tahun, lalu bagaimana dengan gurunya?" Tanya Bara Seta seperti pada dirinya sendiri.

 



--₪¦ « 3 » ¦₪--

"Hemm, Sebuah ilmu langka yang tak di miliki oleh kalangan persilatan mana pun saat ini. Dalam umur bapak yang panjang itu mungkin bapak telah mempergunakan ilmu gurunya...!" Kata Dewi Wulan menduga-duga. Saat itu Bara Seta cepat-cepat gelengkan kepala. 
"Tidak sama sekali. Bapak Bangkotan Koreng Seribu, telah mewariskan ilmu awet muda yang bernama Tetep Rupo pada murid tunggalnya Buang Sengketa...!"
"Itu berarti Buang Sengketa tak pernah tua selama-lamanya." Seru Dewi Wulan setengah terperangah.
"Ya, itu sudah barang tentu. Terkecuali Buang telah melakukan pelanggaran terhadap satu pantangan yang dapat membuatnya tua menuruti kodrat...!" Baik Ayunda maupun ibunya nampak terheran-heran dalam rasa ketidak mengertian.
"Apakah yang ayah maksudkan dengan pelanggaran yang pernah di katakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu...?" sela gadis cantik itu tanpa malumalu.
"Pelanggaran itu adalah apabila Buang sampai berzina dengan perempuan yang bukan istrinya...!"
"Apakah pantangan itu di ketahui oleh Buang Sengketa, kakang...?" Tanya sang istri pula.
"Tidak. Semua itu sengaja di rahasiakan oleh bapak demi untuk mengetahui sebatas mana murid tunggalnya dapat mengekang diri dalam mengendalikan hawa nafsu!"
"Itu sama saja artinya merupakan satu ujian yang berat bagi anak itu kakang...?" Ujar Dewi Wulan setengah memprotes.
"Bapak hanya menginginkan agar murid tunggalnya benar-benar merupakan seorang pendekar sejati yang berhati lurus...!" Dewi Wulan dan anaknya mengangguk-angguk tanda mengerti. Namun selanjutnya Ayunda yang semula merasa kurang begitu senang dengan kehadiran pendekar ini, tapi kemudian setelah mengetahui sedikit banyaknya tentang pemuda itu. Dengan rasa keingintahuan yang besar segera pula menyala
"Ayah! Menurut kata ayah, kakek sepanjang hidupnya tak pernah merasa tertarik untuk mendidik seorang murid. Tapi mengapa kemudian dia bersedia mengambil Buang Sengketa menjadi muridnya? Siapakah dan anak siapa pula Buang Sengketa itu...?" Tanyanya penuh semangat. Lagi-lagi Bara Seta tundukkan wajahnya, mungkin ada sesuatu yang berusaha di ingat-ingatnya kembali tentang pemuda itu. Namun saat mana dia teringat kembali tentang apa yang pernah di katakan oleh almarhum Bangkotan Koreng Seribu, maka tanpa menunggu lebih lama lagi dia pun menjawab.
"Hampir kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, Tanjung Api yang memiliki bukit-bukit karang tajam, merupakan daerah yang sangat sunyi dan hanya di huni oleh seorang tokoh sakti yang bernama si Bangkotan Koreng Seribu. Satu ketika, hampir satu minggu. Laut di Selat Malaka di landa badai yang sangat dahsyat. Hujan deras tercurah bagai tiada hentihentinya. Si Bangkotan Koreng Seribu yang telah lama mendiami Tanjung Api sedikit banyaknya tentu merasa sangat heran dengan keadaan yang tidak sebagaimana mestinya ini. Tetapi firasatnya mengatakan bakal ada sesuatu yang sangat besar terjadi di tempat itu. Siang dan malam orang tua sakti ini hanya mengurung diri di dalam gubuknya, dia pun melakukan semedi untuk memohon petunjuk dari sang Dewata. Dalam keadaan hujan yang tiada mengenal henti, sementara di laut di landa badai besar-besaran, hari ketujuh dalam semedinya itu, si Bangkotan Koreng Seribu di datangi oleh sosok raja siluman yang berujud seekor Ular Piton yang sangat luar biasa besarnya. Raja para siluman itu tinggal di alam kedua di sebuah pesisir pantai bagian Barat pulau Andalas. Pada si Bangkotan Koreng Seribu raja para siluman yang menamakan dirinya sebagai Raja Piton Utara itu berpesan bahwa akan datang padanya seorang bayi laki-laki yang nantinya akan menjadi seorang satria pendekar pembela kebenaran. Di katakan pula oleh raja para siluman itu bahwa bayi merah yang telah di hanyutkan oleh ibunya ke laut tersebut masih merupakan titisannya dari hasil perkawinannya dengan manusia biasa. Ibu sang bayi telah binasa di tangan para peramal sinting manakala berusaha menyelamatkan putranya, yang menurut ramalan akan menjadi penyebab malapetaka di kalangan persilatan. Sedangkan menurut pengakuan raja para siluman itu. Para peramal yang telah membunuh ibu si bayi yang sekaligus merupakan istri raja Piton Utara telah pula tewas di tangannya sendiri. Pada si Bangkotan Koreng Seribu, raja para siluman itu memberikan kepercayaan penuh untuk merawat anaknya. Sedangkan dia sendiri demi menebus kesalahan yang telah di perbuatnya akibat perkawinannya dengan manusia biasa telah memutuskan untuk melakukan tapa di laut Malaka. Selesai dengan kedatangan raja para siluman itu, mendadak hujan terhenti seketika. Laut kembali berubah tenang, keesokan harinya Pantai Tanjung Api yang terkenal dengan keganasan ombaknya nampak dalam keadaan lengang bagai tak pernah terjadi sesuatu.
Sementara itu sesuai dengan yang dia terima, sepanjang hari si Bangkotan Koreng Seribu berada di pinggiran laut sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dan ternyata wangsit yang di terimanya memang benar adanya. Begitu laut bergerak pasang naik. Dia melihat sebuah kotak terapung-apung di atas air menuju ketepian pantai. Kotak berukuran setengah meter itu ternyata memang benar berisi sosok bayi laki-laki yang sangat sehat dan montok. Sesuai dengan pesan yang di terimanya dalam wangsit, Bapak Bangkotan Koreng Seribu kemudian merawat dan mendidiknya dengan berbagai ilmu silat dan pukulanpukulan sakti hasil ciptaannya. Anak itu di beri nama Buang Sengketa. Buang artinya anak yang sengaja di buang atau di campakkan ke laut demi keselamatannya. Sedangkan Sengketa, karena sejak masih dalam kandungan ibunya, tanda-tanda kehadiran anak itu di alam dunia di penuhi dengan kejadian yang aneh-aneh lagi menggemparkan. Itu makanya orang-orang persilatan memburu ibunya. Kelahirannya memang banyak di persoalkan oleh orang ramai...!" Kata Bara Seta, sejenak dia menarik nafas pendek. Namun ketika dia bermaksud melanjutkan ucapannya. Dewi Wulan tibatiba menyela;
"Kakang! Kalau begitu dia masih merupakan titisan para siluman...?" Kata istri Bara Seta setengah takut-takut. Ketua Perguruan Candak Ginaka ini hanya tersenyum saja demi melihat wajah istrinya yang mendadak berubah pucat. Lalu dengan suara hampir-hampir tak terdengar dia melanjutkan;
"Sungguh pun ayahnya masih merupakan raja para siluman di Negeri Bunian, namun pada kenyataannya dia masih merupakan seorang manusia, yang memiliki hati dan perasaan sebagaimana manusia kebanyakan."
"Jadi sejak kecil kakek Bangkotan Koreng Seribu telah melatih Buang dalam berbagai ilmu sakti yang di miliki oleh kakek itu...?" Tanya Ayunda secara diamdiam dia mulai mengagumi keberadaan Pendekar Hina Kelana di rumahnya.
"Ya... bahkan ketika pemuda itu masih berumur satu tahun si Bangkotan Koreng Seribu telah mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Salah satu diantaranya yang pertama kali dilakukan adalah dengan merebus tubuh bocah itu di dalam sebuah telaga alam yang memiliki panas bersumber dari dalam perut bumi. Hal ini menurut kakek Bangkotan Koreng Seribu di rasa sangat perlu untuk menghilangkan unsur siluman yang ikut mengalir bersama darah di dalam tubuhnya. Dan ketika usianya menjelang tiga tahun, si Bangkotan Koreng Seribu menurunkan satu kesaktian yang pada akhirnya membuat dirinya kebal terhadap serangan beracun mana pun.
Kemudian ilmu maupun jurus-jurus silat sakti pun mulai dia turunkan pada Buang saat mana usianya sudah mencapai lima tahun. Hampir setiap hari si Bangkotan Koreng Seribu melatih bocah yang berasal dari keturunan raja para siluman itu tiada henti bahkan tiada pula mengenal lelah. Tahun demi tahun pemuda bocah itu mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebaliknya kakek pemurung itu semakin memperketat waktu latihan muridnya dengan cara menggemblengnya di pantai berbatu karang di pesisir Tanjung Api. Di sela-sela hempasan gelombang laut itulah si Bangkotan Koreng Seribu mendidik Buang Sengketa. Jurus-jurus silat tangan kosong, mulai dari jurus silat Membendung Gelombang Menimba Samudra, kemudian jurus silat si Gila Mengamuk, lalu jurus si Jadah Terbuang. Hampir setiap tiga purnama sekali dia turunkan. Lalu setelah usianya mencapai belasan tahun Bangkotan Koreng Seribu menurunkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat yang di beri nama pukulan Empat Anasir Kehidupan, selanjutnya setahun berikutnya menurunkan ilmu pukulan yang lebih dahsyat lagi yang diberi nama si Hina Kelana Merana...!"
"Hemm. Begitu besar perhatian kakek Bangkotan Koreng Seribu terhadap Buang Sengketa. Sehingga beliau menurunkan segala apa yang di milikinya pada Buang! Tapi benarkah apa yang di katakan oleh banyak orang bahwa orang yang memiliki gelar Pendekar Hina Kelana itu Buang Sengketa adanya...?" Tukas Ayunda, lalu memandang tajam pada Bara Seta.
"Ya... dialah Pendekar Hina Kelana yang mewarisi pusaka Golok Buntung pemberian ayahandanya yang sangat menggemparkan itu." Jawab Bara Seta begitu mantap.
"Tapi kakang... mengapa bapak Bangkotan Koreng Seribu masih mewariskan satu kitab pada Buang, padahal dia seorang pendekar yang tiada memiliki tanding?" Tukas Dewi Wulan setengah penasaran.
"Mungkin ada beberapa hal yang tak pernah diketahui oleh siapapun, namun telah terpikirkan oleh orang sakti itu. Kitab Jurus Koreng Seribu yang masih belum terungkap maknanya tersebut. Di dalamnya aku merasa yakin, di samping memuat rangkaian jurus yang maha dahsyat tentu juga mewariskan sifat-sifat kemanusiaan sebagai mana lazimnya. Sebab walau bagaimana pun unsur siluman itu masih bersisa di dalam-diri Pendekar Hina Kelana. Untuk menghindari agar dirinya tak terjerumus sebagai seorang pendekar super sadis. Maka harus di tanamkan unsur kesabaran dan rasa welas asih di dalam dirinya. Dan menurut dugaanku kesanalah almarhum Bapak Bangkotan Koreng Seribu ingin menjadikan muridnya sebagai pendekar tiada tanding pembela kebenaran namun memiliki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi...!" Ujar Bara Seta berusaha menarik satu kesimpulan tentang kitab Jurus Koreng Seribu peninggalan almarhum si Bangkotan Koreng Seribu.
"Hemm. Sungguh besar harapan kakek Bangkotan Koreng Seribu, terhadap murid tunggalnya itu...!" Bara Seta menganggukkan kepalanya.
"Ya... hal itu pun pernah di katakan oleh bapak secara langsung pada ayahmu ini, beberapa purnama sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir...!"
"Kita hanya mampu berdoa pada sang Hyang Widi, semoga apa yang menjadi harapannya dapat terlaksana sebagaimana yang di harapkan...!" Dewi Wulan menambahi.
Saat itu hari sudah larut malam, maka Bara Seta mengakhiri pembicaraannya. Tak sampai setengah jam kemudian Lembah Selaksa Mayat kelihatan menjadi sunyi sepi bagai tiada berpenghuni.

 



--₪¦ « 4 » ¦₪--

Sejak tersiar berita kematian tentang tokoh sakti si Bangkotan Koreng Seribu dan tentang sebuah kitab ciptaannya yang sangat dahsyat itu. Dunia persilatan menjadi gempar karenanya. Masing-masing golongan persilatan yang memiliki jiwa serakah dan berambisi untuk mendapatkannya. Segera bergerak dari partai, perguruan maupun secara perorangan untuk mencari tahu kemanakah perginya murid tunggal si Bangkotan Koreng Seribu yang telah membawa serta kitab Jurus Koreng Seribu yang di dalamnya sudah barang tentu memuat jurus-jurus yang sangat dahsyat. Tak ubahnya bagai memperebutkan harta karun milik nenek moyangnya saja, masing-masing mereka saling curiga-mencurigai. Bahkan tak segan-segan mereka dari aliran yang berbeda saling bunuh.
Keadaan dunia persilatan saat itu memang benar-benar sangat runyam. Siang dan malam baik tokoh maupun tokoh beraliran putih yang telah kepincut dengan kabar yang mereka terima kelihatan berkeliaran di mana-mana. Siang itu nampak serombongan pejalan kaki sedang memasuki sebuah kota kecil yang bernama Muara Beliti. Mereka ini terdiri dari lima orang laki-laki bertampang kejam, mengenakan pakaian warna kelabu berbadan tegap dengan dada terbuka dan berbulu lebat. Di bagian pinggang mereka menggelantung lima batang golok besar yang nampak mengkilat-kilat karena ketajamannya. Dalam kalangan persilatan, mereka di kenal sebagai si Lima Golok Maut dari Gunung Bisu.
Sementara itu di dalam sebuah kedai penjual makanan, nampak tiga orang berpakaian putih sedang menikmati makanan yang di pesan oleh mereka. Ketiga orang laki-laki itu dikenal merupakan tokoh tingkat tinggi yang berasal dari perguruan Catur Tunggal. Sesungguhnya mereka ini juga masih merupakan tokoh golongan hitam, berilmu sangat tinggi dan terkenal karena jurus-jurus tangan kosongnya yang di beri nama Jurus Jari Sakti. Ke manapun mereka tiada pernah membawa-bawa senjata dalam bentuk apa pun. Dalam bertarung mereka cukup mengandalkan jari-jari tangannya yang dapat berubah menjadi sekeras baja. Mereka yang selama ini bermukim di lereng Gunung Butak, sebenarnya tak pernah turun gunung, walau dalam dunia persilatan sedang terjadi bencana maupun berita yang sangat menggemparkan sekali pun. Tapi untuk urusan yang satu ini lain lagi, delapan penjuru mata angin dunia persilatan cukup tahu siapa sesungguhnya si Bangkotan Koreng Seribu yang telah meninggal dunia itu. Seorang angkatan tua yang tiada duanya. Yang dalam tindakannya tak pernah bersikap tanggung-tanggung.
Si Bangkotan Koreng Seribu telah tiada, hal itu bukanlah menjadi perhitungan bagi mereka, bahkan dalam hati mereka pun bersyukur sebab orang yang paling sangat mereka takuti telah tiada, tapi yang menarik perhatian mereka adalah tentang kabar kitab ciptaan terakhir orang tua sakti itu. Yang jelas merupakan sebuah kitab yang tiada memiliki tanding bagi siapa saja yang dapat memilikinya. Sayangnya mereka tak tahu kepada siapa mereka harus bertanya tentang kemanakah perginya murid si Bangkotan Koreng Seribu tersebut. Sepanjang jalan dalam mencari jejak tentang menghilangnya murid tunggal tokoh tua itu, mereka telah banyak bertanya-tanya di sana sini. Bahkan sampai pada juragan sapi pun telah mereka tanyai namun sejauh itu mereka masih belum mendapatkan keterangan yang cukup berarti. Begitu pun ketika mereka berada di kedai penjual makanan, mereka menanyakan tentang orang yang mereka maksudkan pada pemilik kedai itu. Tapi kalau pun keterangan itu dia dapatkan, jawabannya sangat meragukan. Demikianlah sambil menikmati makanan dan meminum arak yang sangat wangi, ketiga laki-laki dari Catur Tunggal itu kelihatan tenggelam dalam fikirannya masingmasing. Hingga tak berapa lama kemudian masuklah rombongan pejalan kaki yang di kenal sebagai si Lima Golok Maut dari Gunung Bisu, ke dalam kedai yang sama.
Begitu telah berada di dalam kedai itu, kelima laki-laki berbadan tegak dan angker itu pun nampak celingak celinguk bagai lima ekor monyet yang di tinggal induknya. Namun begitu mata mereka beradu pandang dengan ketiga laki-laki yang berpakaian putih itu maka rasa benci pun membayang dari cara mereka memandang.
Tapi mereka tiada membatalkan niatnya untuk memesan makanan pada pemilik kedai. Tak lama kemudian seorang wanita setengah tua nampak menghampiri mereka, lalu dengan sangat sopan sekali perempuan itu segera bertanya;
"Tuan-tuan mau pesan apa...!" Ucapnya dengan perasaan takut. Salah seorang dari mereka yang jadi pimpinan langsung saja menyahut dengan pandangan masih saja tertuju pada ketiga laki-laki dari Catur Tunggal.
"Sediakan kami makanan yang paling enak di warung ini, dan juga jangan lupa beberapa guci arak wangi, cepat...!" Perintahnya setengah membentak.
"Baiklah tuan, tunggu sebentar... pesanan tuan akan segera kami sediakan...!" Kata perempuan pemilik kedai itu dengan suara gemetaran menahan rasa takut. Selanjutnya dia pun segera bergegas meninggalkan kelima orang itu lalu menghilang dibagian belakang.
Sementara itu suasana di dalam warung itu nampak semakin tegang. Masing-masing mereka terus saling pandang. Tapi masih belum terlihat tanda-tanda terjadinya kekerasan di tempat itu. Saat itu, si Lima Golok Maut kelihatan saling berbisik sesamanya;
"Sialan betul kita ini. Warung cuma atu-atunya. Pelayannya nenek-nenek peot lagi...!" Kata salah seorang diantaranya hingga mengundang rasa geli di hati kawan-kawannya yang lain.
"Kau ini yang ngeres-ngeres saja yang ada di dalam pikiranmu. Apa yang kita inginkan adalah makan sekenyang-kenyangnya. Mau nenek-nenek peot kek atau apa yang penting kita harus dapatkan keterangan seperti yang kita inginkan...!"
Belum lagi, laki-laki yang pertama tadi menyahut, pemilik kedai itu telah kembali membawakan makanan dan arak yang mereka pesan. Cepat-cepat perempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian setelah meletakkan makanan dan minuman yang di pesan oleh orang-orang itu, dia sudah membalikkan langkah dan bermaksud kembali ke belakang. Namun baru saja beberapa tindak dia melangkah, salah seorang dari mereka yang bernama Kuraya dan sekaligus menjadi ketua dalam rombongan itu memanggilnya.
"Heiit, jangan pergi dulu. Coba ke sini...!" Perintahnya kasar sekali. Dengan tergopoh-gopoh perempuan itu datang menghampiri.
"Ada apakah tuan-tuan...?"
"Perempuan tua...!" Bentaknya dengan suara keras. Lalu sambungnya, "Pernahkah kau melihat seorang pemuda berkuncir dengan sebuah periuk besar di bagian pinggang, dan berpakaian kumuh mirip seorang gembel lewat atau singgah di warungmu ini?" Tanyanya sambil melirik pada laki-laki berpakaian putih yang duduk tidak begitu jauh dari mereka.
"Eee... sa... saya tidak melihatnya tuan...!" Jawab perempuan itu dengan suara terbata-bata.
"Wah, tolol betul kau ini. Masak kau tak pernah melihat orang yang ciri-cirinya seperti kusebutkan tadi...!" Dengus Kuraya, lalu cepat-cepat hempaskan punggungnya di atas kursi. Demi meluapkan rasa kemarahannya, diteguknya beberapa guci arak selanjutnya menyantap makanan itu hingga tuntas.
"Cepat kau sediakan makanan untuk kawankawanku, perempuan tua...!" Bentaknya tanpa berpaling sedikit pun. Saat itu pemilik kedai yang sudah dalam keadaan ketakutan cepat-cepat bergegas ke belakang untuk mengambilkan apa yang di katakan oleh Kuraya.
Kiranya hal itu tak luput dari perhatian ketiga laki-laki dari Catur Tunggal. Mereka merasa heran bercampur geli melihat ulah laki-laki berbulu monyet yang sedang melahap makanan tak jauh di depannya. Heran, karena tak ubahnya bagai seekor babi kelaparan saja orang ini menyantap makanan kawankawannya yang lain. Bahkan sampai tuntas tiada bersisa sedikitpun. Geli karena cara pelampiasan emosinya di tumpahkan pada makanan yang ada, bukan pada barang-barang yang ada. Pantasan saja kelima orang itu berbadan gemuk luar biasa. Kiranya mereka tak lebih dari beberapa ekor anjing yang sangat rakus. Batin salah seorang dari mereka, dan tanpa tertahankan lagi dia pun berkata;
"Sobat-sobat! Lihatlah tikus-tikus gembrot itu sangat rakus sekali, seperti sudah sebulan saja mereka tak pernah ketemu nasi. Bagian kawannya pun di sikat habis...!" Ejeknya dengan tawa mengekeh.
"Ya, maklum saja, namanya juga tikus kelaparan, mana perduli bagian kawan atau lawan yang penting perut sendiri kenyang...!" sahut yang lainnya menimpali. Sudah barang tentu ejekan itu membuat Kuraya dan empat orang lainnya menjadi sangat tersinggung. Lalu tanpa banyak basa basi, Kuraya membentak:
"Monyet-monyet putih. Apa pedulimu dengan segala urusan kami? Mau kami habiskan seisi kedai ini kau mau apa...?"
"Mengapa harus banyak kata! Kita gebuk saja monyet-monyet tak tahu adat itu habis perkara...!" Sahut yang lainnya menimpali. Yang di bentak keluarkan tawa tergelak-gelak!
"Hiehe... he... he...! Kalian bisa berbuat apa pada orang-orang dari Catur Tunggal...!" Bentak salah seorang yang berpakaian putih dan bernama Wahana itu dengan sesungging senyum sinis.
"Kampret sialan. Kau kira dengan mengandalkan nama besar Catur Tunggal, lantas kami akan kabur tunggang langgang meninggalkan kalian...! Puih tak sekalipun kami, si Lima Golok Maut akan bertindak sepengecut itu...!" Kata Kuraya, serentak mereka segera meraba bagian gagang goloknya. Ketiga orang dari Catur Tunggal itu pun saling pandang sesamanya. Bagi mereka nama si Lima Golok Maut sering mereka dengar, namun baru sekali ini mereka bertemu muka secara kebetulan. Begitu pun mereka masih menganggap kelima orang itu merupakan kaum persilatan segolongan yang memiliki kepandaian yang masih rendah dan setidak-tidaknya masih berada di bawah mereka. Selanjutnya masih dengan tergelak-gelak. Wahana berkata ketus;
"Baru saja memiliki golok karatan, beberapa ekor tikus coba-coba unjuk gigi di depan Catur Tunggal. Bueeh... majulah kalian semua kalau ingin pada kojor...!" Sela Wahana gusar.
"Sesungguhnya kami tak punya persoalan dengan Catur Tunggal. Berhubung kami masih banyak urusan, maka persoalan ini kami anggap selesai sampai di sini saja. Tapi ingat, di lain hari kami akan mencari kalian, walaupun sampai ke lobang semut sekali pun...!" Berkata Kuraya dan mereka sudah bersiapsiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun mereka terpaksa menghentikan langkah ketika secara tiba-tiba salah seorang dari Catur Tunggal melompat dan menghadang jalan mereka.
"Enak saja kau bicara. Jangan kira kami tak tahu kalau sesungguhnya kalian hanyalah ingin pergi mencari Kitab Jurus Koreng Seribu. Jangan mimpi sobat. Kitab Jurus Koreng Seribu tidak sembarang orang bisa memilikinya. Jangankan kalian yang hanya mengandalkan golok-golok karatan. Sedangkan kami dari Catur Tunggal pun belum tentu dapat merebut kitab yang sangat hebat itu...!"
Akhirnya mengertilah Kuraya dan keempat orang kawannya, kalau sesungguhnya orang-orang dari Catur Tunggal juga mempunyai tujuan yang sama dengan mereka. Lalu muncullah gagasan yang sangat baik dalam pikiran Kuraya. Menurutnya, karena mereka masih terbilang satu golongan, mungkin akan lebih baik dan lebih kuat andai mereka mengadakan semacam perjanjian dan kerja sama. Maka tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, Kuraya kemudian berucap dengan nada merendah; "Tak dinyana kiranya anda semua mengetahui tujuan kami, kebetulan kami memiliki tujuan yang sama. Kita satu golongan, mungkin ada baiknya kalau kita bergabung kemudian sama-sama mencari murid tunggalnya si Bangkotan Koreng Seribu untuk merebut kitab itu dari tangannya...!" Wahana dan dua orang kembratnya angguk-anggukkan kepalanya bagai burung kondor namun hati mereka dengan tegas menolak mentah-mentah semua gagasan yang di berikan oleh Kuraya, bahkan sebaliknya dia merasa mendapat saingan baru yang perlu di bereskan saat itu juga. Lalu dengan tegas dia berkata;
"Wah enak betul. Siapa sudi bekerja sama dengan tikus-tikus badut yang memuakkan...!" Maka mendidihlah darah Kuraya dan kawan-kawannya mendapat penghinaan sedemikian rupa. Ucapan Wahana mereka nilai benar-benar merupakan sebuah penghinaan yang tak dapat di maafkan. Bahkan mereka pun merasa, selama malang melintang di rimba persilatan, baru kali inilah mereka di hina sedemikian rupa. Tak ayal lagi keempat orang kawan Kuraya laksana kilat sudah mencabut goloknya yang berukuran sangat besar sekali.
"Kalian benar-benar monyet keparat yang harus di basmi dari jagad ini. Cepat cabutlah senjata kalian kalau tak ingin kalian mati penasaran...!" Maki Kuraya.
"Menghadapi tikus-tikus rakus tak perlu memakai segala macam senjata. Bagi kami cukuplah tangan kami yang akan mengatasi segala golok karatan yang tiada guna itu...!" Kata Wahana. Selanjutnya dia dan kambratnya sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

 



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Bukan main gusarnya Kuraya demi melihat Wahana yang masih tetap saja meremehkan mereka. Beberapa detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi. Kuraya telah memberi isyarat pada keempat orang kembrat-kembratnya. Masih di dalam kedai itu tanpa dapat di cegah lagi terjadilah pertarungan yang sangat seru. Perempuan pemilik kedai demi melihat gelagat yang tak baik segera pula kabur meninggalkan kedai miliknya. Dalam waktu sekejap saja kedai itu pun jadi berantakan di buatnya. Tetapi nampaknya mereka sudah tiada memperdulikan keadaan di sekitarnya. Dari pihak si Lima Golok Maut dalam pertarungan enam jurus selanjutnya telah pula mengeluarkan jurus-jurus golok mautnya yang sangat dahsyat itu.
Sampai sejauh itu tiga laki-laki dari Gunung Butak masih kelihatan tenang-tenang saja, bahkan berulang kali serangan maupun sambaran golok di tangan lawan yang datangnya menggebu-gebu masih dapat dia elakkan dengan sangat baik sekali. Semakin bertambah gusar sajalah pihak si Lima Golok Maut demi melihat bahwa serangan-serangan gencar yang mereka lakukan masih saja dapat di elakkan oleh pihak lawannya dengan baik. Tak ayal lagi dalam gebrakan selanjutnya, si Lima Golok Maut telah mempergunakan jurus-jurus golok andalan mereka yang sangat ampuh. Sekali kesempatan Kuraya hantamkan telapak tangannya ke depan, dalam pada itu golok di tangannya juga berkelebat menyusul.
"Heiiit! Nguuuung!" Serangan yang bernama Dewa Golok Turun Tangan itu terkenal sangat cepat, dan tahu-tahu sambaran angin dari babatan golok yang sangat tajam tersebut telah mendera pada bagian dada lawan. Salah seorang dari Catur Tunggal keluarkan seruan tertahan, tapi lebih cepat lagi dia menyurut satu langkah sambil berusaha mengkelit serangan yang datang. Sambaran golok lawan luput, tetapi pukulan yang di lepaskan oleh Kuraya masih tetap memburunya. Tak dapat di sangkal dia pun segera pula dorongkan telapak tangannya ke depan.
"Breeees!" Terdengar satu letupan kecil saat mana kedua pukulan yang terisi setengah tenaga sakti itu saling bertemu. Kuraya nampak terhuyung-huyung langkahnya, di pihak lawan hanya tergetar sedikit sambil memegangi dadanya yang terasa berdenyut. Kembrat Wahana dengan kedua jari tangan terpentang langsung kirimkan serangan ke arah bagian mata lawannya. Bersamaan dengan melesatnya tubuh salah seorang dari Catur Tunggal maka keempat jari tangan kirinya meluruk ke arah tubuh lawannya. Sejengkal lebih serangan balasan itu hampir mencapai sasarannya. Namun Kuraya dan kawan-kawannya bukanlah orang-orang persilatan yang baru kemarin sore turun gunung;
Menyadari adanya ancaman bahaya terhadap pimpinan mereka, maka dua orang di antaranya bergerak cepat melindungi ketuanya dengan sambaran golok besar yang datangnya bertubi-tubi.
"Kampret sialan...!" Maki salah seorang Catur Tunggal langsung tarik balik tangannya. Namun di luar dugaan lawan-lawannya dengan sangat cepat pula laki-laki itu kirimkan satu sapuan dengan mempergunakan kaki kanannya.
"Ayaaa...!"
"Gabruk! Gabruk!" Dua orang dari si Lima Golok Maut, jatuh terjerembab dengan wajah mencium lantai kedai. Hidung mereka yang telah mencium lantai yang sangat keras itu pun nampak mengalirkan darah. Caci maki berhamburan dari mulut mereka ini, tapi secepatnya pula mereka bangkit. Dalam kemarahannya itu dengan di pimpin oleh Kuraya mereka segera keluarkan jurus Dewa Golok Membasmi Iblis. Begitu mereka bergerak, maka tahu-tahu ketiga laki-laki dari Catur Tunggal itu pun telah terkurung di tengahtengahnya dalam posisi yang sangat rapat sekali.
"Ciaaat.... Mampus...!" Jerit dan makian tinggi melengking mengawali serangan gencar yang datangnya secara bersamaan. Golok-golok di tangan mereka menderu hingga timbulkan angin bersiuran. Serangan itu benar-benar sangat cepat sekali, bahkan dalam melancarkan serangan terlihat satu variasi kerja sama yang terbina sangat baik. Berulang kali golok-golok yang sangat besar dan tajam ini nyaris menghajar tubuh ketiga orang lawannya. Namun bagaimana pun hebatnya serangan yang di lancarkan oleh si Lima Golok Maut terhadap lawan-lawannya. Tapi nampaknya mereka masih kalah dalam pengalaman dan ilmu silat. Dalam keadaan terdesak hebat seperti itu, tibatiba saja tubuh ketiga laki-laki dari Catur Tunggal sudah melentik ke udara, selanjutnya dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, sekejap kemudian mereka telah keluar dari kepungan. Satu seruan mengejek terdengar, membuat si Lima Golok Maut melakukan serangan membabi buta.
"Segala tikus-tikus sial mau bikin perkara dengan Catur Tunggal! Bueh. Kalau kalian bisa bertahan dalam sepuluh jurus serangan di depan, biarlah hari ini kami dengan rela menjadi budak yang paling patuh terhadap segala perintah kalian!" Tukas Wahana. Lalu detik selanjutnya, mereka sudah mulai menggelar jurus-jurus silat tangan kosong yang di kenal sebagai si Jari Sakti dari lereng Gunung Butak. Begitu mereka keluarkan suara menggembor bagai banteng terluka, sekejap kemudian tubuh mereka telah lenyap dari pandangan lawan-lawannya. Hanya angin sambaran saja yang menandakan bahwa mereka sedang berusaha membuyarkan konsentrasi pertahanan lawannya.
Gerakan Catur Tunggal yang sangat cepat bahkan membuat sakit mata yang melihatnya sudah barang pasti membuat bingung lawan-lawannya. Katakata yang sangat kotor pun berhamburan menyertai caci maki sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Tapi ketika Catur Tunggal telah keluarkan jurus ketiga dari Jurus Tangan Kosong Jari Sakti yang mereka miliki. Di pihak lawan terdengar satu jeritan panjang menyayat hati. Salah seorang dari mereka terkapar dengan kedua mata berlumur darah, sementara pada bagian lehernya terlihat dua lubang menganga. Dari lubang bekas tusukan jari itu mengalirkan darah yang tiada henti. Tubuh salah seorang dari si Lima Golok Maut ini pun nampak berkelojotan untuk beberapa saat lamanya, selanjutnya tiada bergerak untuk selamalamanya. Orang-orang Catur Tunggal sudah tiada memperdulikan keadaan lawannya, tubuh mereka terus berkelebat mencari sasaran berikutnya. Saat itu si Lima Golok Maut yang hanya tinggal empat orang sudah membentuk satu pertahanan yang kuat dengan memutar goloknya melindungi diri masing-masing. Berulang kali orang-orang Catur Tunggal berusaha menerobos pertahanan lawannya. Tapi berkali-kali pula usaha mereka mengalami kegagalan.
"Keluarkan jurus Jari Sakti Baja...!" Teriak Wahana saat mana dia menjejak kakinya tak begitu jauh dari tempat di mana lawan-lawannya berada. Serentak tiga laki-laki dari Catur Tunggal itu pun mengerahkan tenaga, dalamnya mengarah pada kedua telapak tangan mereka. Tubuh orang-orang itu bergetar saat lamanya, wajah mereka nampak menegang dan bersemu merah. Telapak tangan itu pun telah berubah warna menjadi kehitam-hitaman dan menebarkan bau amis menjijikkan.
Kuraya dan kawan-kawannya nampak sangat terkejut melihat perubahan yang tiada mereka duga sebelumnya. Sadarlah mereka, ternyata Catur Tunggal merupakan lawan yang sangat tangguh. Bagi Kuraya mungkin saja Catur Tunggal merupakan lawan yang sangat berat. Tapi dalam sejarahnya, bagi si Lima Golok Maut tiada sejarahnya untuk mundur teratur dalam menghadapi lawan yang sehebat mana pun, sudah menjadi prinsip mereka lebih baik mati mempertahankan nama besar dari pada harus lari meninggalkan pertarungan.
"Ha... ha... ha...! Inikah jurus-jurus Jari Sakti Baja! Kami jadi ingin menjajal apa si hebatnya jurus tangan kosong yang sangat kesohor itu...!" Berkata Kuraya sambil bersiap-siap dengan jurus Golok Maut Pembasmi Iblis-nya yang terkenal sangat ampuh dan dahsyat.
"Ingat tikus-tikus Golok Karatan. Apa yang kujanjikan masih tersisa empat jurus lagi. Jangan sebut si Catur Tunggal andai kalian masih mampu luput dari serangan-serangan yang akan kami lakukan...!" Teriak Wahana. Dan bersamaan dengan teriakannya itu tubuh ketiga laki-laki dari lereng Gunung Bisu tak telah pula melesat laksana kilat.
Di pihak lawan, Kuraya menggembor, lalu bersama-sama dengan kembratnya segera kirimkan serangan-serangan gencar menyongsong datangnya serangan yang di lakukan oleh pihak lawan. Tak dapat di sangkal pertarungan yang terjadi pun semakin seru. Masing-masing lawan telah pula keluarkan jurus-jurus silat yang sangat mereka andalkan. Di lain saat tak segan-segan pula mereka kirimkan pukulan-pukulan keji yang sangat mematikan. Di pihak Catur Tunggal berhadapanlah Wahana dengan Kuraya, sementara dua orang kembratnya berhadapan pula dengan tiga orang si Lima Golok Maut.
"Caiiiit! Wiiiiing...!"
Menderu senjata di tangan tiga orang golok maut mengarah pada bagian perut dan dada dua orang lawannya. Dua orang dari Catur Tunggal tidak ingin mengambil resiko yang lebih besar dan terlalu berteletele. Maka keduanya pun kembang-kan jemari mereka. Tak dapat di elakkan lagi.
"Craaak! Craaak!" Tergetar tubuh kembratkembratnya Kuraya sambil keluarkan seruan tertahan. Nampaknya mereka merasa jerih dengan apa yang baru saja mereka lihat. Bagaimana mungkin jari-jari yang terpentang itu bisa sekeras dinding baja. Bahkan dalam adu tenaga dalam tadi tubuh orang-orang dari Catur Tunggal tiada bergeming sedikitpun. Satu kekuatan yang sangat aneh, kalau tak boleh di kata sebagai ilmu setan. Batin mereka dalam hati. Tetapi mereka sudah tak dapat berpikir panjang lagi, karena kelengahan mereka yang hanya beberapa detik itu telah dipergunakan oleh pihak lawannya untuk melakukan serangan kilat. Cepat sekali gerakan orang-orang Catur Tunggal itu hingga tak sempat bagi tiga orang lawanlawannya untuk menangkis gerakan dan serangan mereka.
"Croook! Jrooos! Jrooos!" Tiga orang kembrat Kuraya menjerit-jerit bagai setan gila saat mana jemari tangan lawan yang dapat berubah sekeras baja itu menembus bagian jantung mereka. Sekejap saja darah telah menyembur dari dua buah lubang yang menganga akibat tusukan jari sakti orang-orang Catur Tunggal. Tak berapa lama, setelah tubuh mereka terhuyung-huyung ke depan, kemudian ambruk di lantai kedai dengan jiwa melayang.
Melihat kematian kawan-kawannya, kecut bercampur marah Kuraya di buatnya. Maka dalam luapan kemarahan yang sudah tiada terbendung itu. Di sertai dengan jeritan yang terasa menggetarkan kedai dan sekitarnya. Mengamuklah tokoh si Lima Golok Maut itu tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Hal itu merupakan satu keuntungan bagi pihak Catur Tunggal, dua orang lainnya turun membantu Wahana. Menghadapi Wahana saja, Kuraya sudah tak mampu berbuat banyak selain hanya bertahan mati-matian, jangankan kini dua orang kawannya datang membantu. Maka sebentar saja Kuraya sudah terdesak hebat. Laki-laki berbadan gemuk bagai karung butut ini putar goloknya ke segala penjuru untuk menangkis serangan-serangan jari sakti lawannya. Tapi itu pun hanya dapat dia pertahankan hanya beberapa detik saja. Hingga akhirnya manakala secara berbarengan Wahana dan kawan-kawannya melakukan serangan gencar. Orang itu pun sudah mati langkah dan sangat sulit untuk mengelakkannya.
"Croook! Blees! Jreees!"
"Arrrrghk...!" Lolongan panjang menyertai ambruknya tubuh Kuraya. Dia mendapat luka-luka yang sangat mengerikan pada bagian mata, dada, serta pangkal lehernya. Dalam keadaan sekarat itu tubuh ketua si Lima Golok Maut menggelepar-gelepar bagai seekor ikan yang terlempar dari dalam air. Selanjutnya manakala darah di tubuhnya telah berhenti menetes pada saat itulah sang maut telah merenggutkan nyawanya dari jasadnya.
Orang-orang Catur Tunggal saling pandang, lalu keluarkan suara mengekeh tanda puas dengan apa yang dikerjakannya. Belum lagi suara tawa itu terhenti, maka tubuh ketiganya pun telah melesat pergi meninggalkan tempat itu.

 



--₪¦ « 6 » ¦₪--

Kaki buntung sebatas betis, wajah maupun sekujur tubuhnya yang tiada memakai baju nampak cacat di sana sini, bekas guratan luka-luka cambukan. Raut mukanya rusak mengerikan, siapa pun yang melihat orang yang sedang melakukan perjalanan yang sangat jauh itu pasti akan lari ketakutan demi melihat keangkeran penampilannya karena bekas luka-luka itu. Walaupun laki-laki renta tersebut hanya tinggal memiliki kaki sebelah saja, namun dia tak pernah merasa terganggu dengan cacat yang di deritanya. Tanpa bantuan tongkat dia terus mengayunkan langkah meskipun sesekali dia harus berlompatan bagai seekor katak yang di kejar-kejar oleh seekor ular. Di lain kesempatan dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, laki-laki renta tersebut mengempos tubuhnya sehingga melesat sedemikian pesatnya. Bahkan sekali waktu dalam melepas lelah dia nampak duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon yang sangat tinggi. Sambil menikmati buah-buahan hutan yang berbuah lebat, kakek renta itu mengitarkan pandangarannya sejauhjauhnya ke depan sana.
Tak terlihat sebuah rumah pun seperti yang dia harapkan. Sejauh-jauh mata memandang hanya kerimbunan hutan, dan ke-dalaman lembah yang tiada terukur dalam-nya. Lalu siapakah laki-laki renta yang berasal dari gua monyet itu? Pada jaman jaya-jayanya kakek Bangkotan Koreng Seribu, laki-laki cacat itu merupakan tokoh sesat yang sangat di takuti oleh kalangan rimba persilatan. Laki-laki cacat yang bernama Wandiro tersebut pada saat itu terkenal sebagai seorang pembunuh berdarah dingin yang sangat di kenal dengan racun Bunga Neraka yang ganas dan mematikan. Karena keganasannya itu, maka dia di juluki sebagai Iblis Pencabut Nyawa dari Gua Monyet. Dia selalu mendewa-dewakan dirinya sebagai manusia paling sakti tanpa tanding di kolong jagat itu. Setiap kali dia mendengar ada orang yang memiliki kepandaian tinggi. Pasti dia akan mendatanginya, di ajak bertarung hingga akhirnya semua saingannya tewas di tangannya secara mengerikan. Satu saat Wandiro atau yang lebih kesohor dengan julukan Iblis Pencabut Nyawa ini ada mendengar kabar tentang seorang kakek sakti yang saat itu telah bermukim di Tanjung Api. Tentang sepak terjangnya di delapan penjuru mata angin dalam membela kebenaran membuat dia tertantang untuk melakukan tanding dengannya.
Satu ketika secara nekad dia datang ke Tanjung Api, lalu di temuinya si Bangkotan Koreng Seribu untuk di ajaknya bertarung. Mulanya kakek sakti itu menolak ajakan tokoh sesat yang haus akan nama harum itu. Tapi karena Wandiro terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang sangat ganas, maka mau tak mau akhirnya demi menjaga keselamatannya sendiri si Bangkotan Koreng Seribu terpaksa melayaninya dengan segenap kemampuan yang di milikinya. Akhirnya Iblis Pencabut Nyawa setelah melalui pertarungan seru yang sangat panjang harus mengakui kehebatan kakek sakti itu. Namun sungguh pun Kakek Bangkotan Koreng Seribu sungguh pun merupakan tokoh yang sudah sangat tua, namun sifat-sifat kesadisannya nampaknya masih melekat dalam dirinya. Maka tanpa ampun lagi-lagi dengan cambuknya yang sangat dahsyat itu, dia melakukan penyiksaan atas diri Wandiro. Bahkan tanpa segan-segan dia terpaksa membuntungi kaki Iblis Pencabut Nyawa.
Sejak kekalahannya itu Wandiro terus berusaha meningkatkan kemampuan ilmu silatnya. Dendamnya terhadap Bangkotan Koreng Seribu benar-benar tak dapat dia padamkan. Bertahun-tahun dia berusaha melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan dan pukulan sakti hasil ciptaannya.
Tetapi akhirnya dia harus kecewa setelah mendengar tentang kabar kematian Bangkotan Koreng Seribu. Berhari-hari dia merenungi kematian musuh besarnya itu, sedihkah dia? Sama sekali tidak! Dia hanya menyayangkan mengapa Bangkotan Koreng Seribu pergi secepat itu. Padahal dia belum sempat menjajal kehebatan ilmu sakti hasil ciptaannya yang baru. Tapi hatinya menjadi sedikit terhibur saat mana dia mendengar bahwa Bangkotan Koreng Seribu memiliki seorang murid yang beberapa tahun belakangan sepak terjangnya membuat gempar dunia persilatan. Dan menurut kabar angin yang sampai ke telinganya yang setengah tuli itu, murid almarhum Bangkotan Koreng Seribu tersebut telah meninggalkan Tanjung Api dengan membawa kitab Jurus Koreng Seribu.
"Hem... masih belum puas hatiku, andai aku tak bertemu dengan gurunya! Tentu muridnya pun merupakan orang yang pantas untuk mendapat hukuman yang setimpal dariku. Aku selalu merasa yakin, walaupun muridnya si keparat itu memiliki kesaktian setinggi gunung, biarpun dia memiliki kepandaian ilmu silat sebanyak buih di lautan. Tidak nantinya dia unggulan bertarung denganku. Eeh... tapi, bocah itu tentu mewarisi Cambuk Gelap Sayuto yang pernah hampir mencelakaiku. Bahkan kudengar dia pun memiliki senjata lain yang sangat ampuh, Pusaka Golok Buntung...! Kehebatan senjata itu hanya kudengar dari cerita orang-orang yang lewat. Aku sendiri tak pernah percaya andai masih belum melihatnya secara langsung." Batin Wandiro. Lalu di luar dugaan dia lambaikan tangannya ke arah empat penjuru mata angin. Satu gelombang angin pukulan yang sangat dingin menderu bagai badai puting beliung. Badai topan itu menghantam pohon-pohon besar yang ada di sekitar tempat itu sehingga roboh tak berketentuan dengan menimbulkan bunyi berisik. Bagai orang sinting Iblis Pencabut Nyawa tergelak-gelak lalu tepuk-tepuk dadanya yang kurus kering. Sesaat dia terbatuk-batuk. Tapi kemudian seorang diri dia berkata; "He... ho... haaa...! Dengan kepandaianku yang sehebat ini, tak seorang pun yang mampu menahan pukulanku. Jangankan hanya muridnya manusia berkoreng itu, sepuluh ekor gajah sekalipun akan binasa di tangan Iblis Pencabut Nyawa andai berani-berani mendekat...!"
Belum lagi dia selesai dengan ucapannya. Mendadak terdengar suara terompet gajah. Tak lama kemudian terlihatlah sosok binatang-binatang yang sangat besar itu. Berjalan lambat ke arah di mana Wandiro berada.
"Ha... gajah? Binatang itu memang tak bisa di rasani, ya ampun besarnya nggak ketulungan. Seumur hidup baru sekali ini aku melihat makhluk sebesar itu, tapi nampaknya binatang itu menuju kemari. Akh, untuk apa takut, tokh aku pun tak pernah mundur menghadapi lawan sehebat mana pun, masa aku kalah!" Batin Wandiro, selanjutnya bersiap-siap melepaskan satu pukulan ke arah makhluk-makhluk yang sangat besar itu.
"Hiaaak... haiiiiit...!" Tak terhindarkan lagi, selarik sinar berhawa dingin luar biasa kembali melesat ke arah binatang-binatang yang jumlahnya tidak kurang dari delapan ekor.
"Bluuuk! Dummmm...!"
"Pruuuung...!" Gajah-gajah itu menguik keras, enam ekor diantaranya rubuh dengan menimbulkan suara berdebum. Dua ekor diantaranya yang sempat luput dari sasaran pukulan nampaknya mengamuk secara membabi buta. Dengan belalai dan gadingnya yang panjang di terjangnya pohon tempat Wandira berpijak. Sekali seruduk maka pohon yang berukuran cukup besar itu pun tumbang. Sebelum pohon itu benar-benar ambruk ke bumi. Tubuh Iblis Pencabut Nyawa telah melesat meninggalkan pohon itu. Tapi nampaknya dua ekor gajah itu terus memburunya dengan kemarahan yang membabi buta. Wandiro tidak ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Lagi-lagi dia lepaskan pukulan Iblis Pencabut Nyawa yang sudah sangat sempurna itu.
"Wuss! Wuuus!" Dua pukulan beruntun di lepaskan sekaligus, nampaknya gajah-gajah itu tidak perduli dengan keselamatan dirinya. Namun juga binatang, pukulan itu menyongsong ke arah mereka.
"Bummm... bummmm!"
"Pruuuung...!" Kembali terdengar suara berdebum saat mana binatang-binatang itu jatuh ke bumi. Tubuh makhluk hutan itu berkelojotan sebentar, kulit tubuhnya sekejap saja telah berubah menghitam, dengan nyawa melayang dari tubuhnya.
Wandiro gosok-gosokkan kedua belah tangannya dengan hati lega di sertai seringai senyum menyeramkan.
"Binatang-binatang malang! Kiranya kalian tidak seberapa juga. Siapa suruh kalian bertemu dengan Iblis Pencabut Sukma. Coba kalau menghindar, tentu kalian masih dapat melihat hari esok!" Kata Wandiro mirip seperti orang sinting.
"Ah, kampret! Seharusnya aku cepat-cepat mencari muridnya si keparat itu di Lembah Selaksa Mayat. Mungkin saja apa yang di katakan orang-orang di jalan benar adanya. Sudah gatal sekali tanganku ini untuk menjajal kehebatan Pendekar Golok Buntung itu...!" Gumamnya lagi. Selanjutnya tanpa menolehnoleh lagi, Iblis Pencabut Nyawa telah melangkah pergi.

* * *



Di bagian kiri Lembah Selaksa Mayat, terdapat sebuah tikungan kecil yang bila di ikuti ke dalamnya semakin sempit dan buntu. Sepanjang lorong tikungan itu merupakan dinding alam yang terdiri dari batu gamping yang penuh dengan tonjolan-tonjolan batu tajam yang licin lagi basah oleh tetesan air yang bersumber dari atasnya. Masih di tikungan yang merupakan jalan buntu itu, terdapat sebuah batu besar yang sangat mirip dengan sebuah bangku bulat. Pagi itu seorang pemuda tampan yang sudah tak asing bagi kita, kelihatan duduk menekur di atasnya. Sementara di atas pangkuannya terlihat sebuah kitab yang tidak seberapa tebalnya dia bolak-balikkan.
"Hhh. Lagi-lagi aku menemui jalan buntu. Kitab ini sangat sulit sekali untuk kupecahkan. Sudah berhari-hari aku mencobanya, hasilnya tetap nihil dan membingungkan. Coretan-coretan yang nyata sudah jelas tak memiliki arti apa-apa selain untuk mengecoh bagi siapa saja yang coba-coba merampas kitab ini. Tapi tulisan-tulisan yang tak terlihat ini pun rasarasanya sangat sulit dan membingungkan. Ah, guru sejak dulu engkau selalu membuatku bingung, aku merasa khawatir sebelum kitab ini berhasil kupecahkan, sudah ada orang lain yang menyantroni daerah ini. Ini bukan berarti aku putus asa. Tapi... ah... yaya... ya... kau terlalu baik padaku, sedangkan aku hingga kini masih tak dapat membalas segala kebaikanmu. Aku ini muridmu yang paling tolol ya, guru...!" Katanya seorang diri. Dan tiba-tiba saja dia menjadi sangat sedih sekali, air matanya pun tanpa dia sadari menetes menuruni pipinya. Walau suara tangisnya tiada pernah terdengar, namun air matanya menetes tiada henti. Di antara sekian banyak air mata yang tertumpah itu sebagian diantaranya jatuh tepat di atas kitab yang berada dalam pangkuannya. Di luar sepengetahuan pemuda itu terjadilah perubahan di dalam kitab tersebut. Huruf maupun tulisan yang tadinya terlihat nyata kini sudah tak terlihat sama sekali. Sebagai gantinya tulisan dan tanda-tanda yang mulanya hanya merupakan bayang-bayang saja, kini terlihat dengan jelas. Sungguh merupakan sebuah kitab yang memiliki keanehan yang sangat luar biasa yang tidak ada duanya di dunia persilatan saat itu.
Sementara itu Buang Sengketa kelihatannya sudah merasa sangat letih sekali, kemudian dia menyeka air matanya. Sambil mengumpat dan memaki dirinya sendiri; "Sial... mengapa aku jadi secengeng ini. Almarhum guru pasti sangat marah andai dia sempat melihat kecengenganku ini...!" Batinnya lalu kembali menekuri kitab yang masih berada di atas pangkuannya. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu saat dia memperhatikan halaman kitab tersebut telah mengalami perubahan yang sangat mengejutkan hatinya. Tulisan maupun coretan yang tadinya hanya nampak samar-samar kini kelihatan semakin nyata dan jelas. Bukan main gembiranya hati Buang Sengketa di buatnya, berulang kali di pandanginya tulisan-tulisan itu dan pada halaman pertama kitab tersebut terdapat tulisan yang berbunyi;
Kepada muridku Buang Sengketa.
Menjelang akhir hidupku telah ku tinggalkan buatmu sebuah ilmu silat yang kuberi nama Jurus Koreng Seribu, intinya adalah ujud kesabaran bagimu yang baharu. Jurus-jurus itu mengajarkan padamu tentang bagaimana seorang titisan raja siluman itu harus berusaha menahan diri dari hawa angkara murka. Menahan nafsu dari amarah, sehingga menjadikan dirimu sebagai seorang ksatria pendekar yang memiliki jiwa welas asih. Tanamkanlah satu keyakinan dalam dirimu, bahwa apapun yang kau lakukan saat ini akan mendapat satu balasan yang sesuai dengan perbuatan, kelak di kemudian hari. Jadikanlah akal sehat merupakan raja yang berkuasa atas nafsu, jangan sampai terjadi hal sebaliknya. Sebab hal itu hanyalah akan menjadikan dirimu sebagai seorang pendekar yang angkara murka. Balaslah setiap kebaikan dengan yang lebih baik. Namun balas pula setiap keburukan dengan sesuatu yang baik.
Muridku yang setengah tolol... mungkin jurusjurus Koreng Seribu agak rumit dari jurus-jurus silat yang telah kau kuasai, tapi hal itu akan mudah kau pahami, karena sifat dari jurus-jurus itu pun sifatnya hanya bertahan dalam lima keadaan dan membalas bila jiwamu dalam keadaan-keadaan terancam.
Kitab ini akan sangat dahsyat bagi jiwa yang dapat menguasai hawa nafsunya. Nah... Buang Sengketa... waktu untuk mempelajari kitab ini hanya Empat puluh hari. Setelah itu, kitab ini akan lenyap, dan dia akan berubah menjadi sebuah kitab yang tiada harganya. Manfaatkanlah waktu yang sangat terbatas itu dengan sebaik-baiknya.

 



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Setelah membaca tulisan itu, Buang Sengketa nampak tercenung beberapa saat lamanya. Teringat pula oleh Buang Sengketa akan segala sepak terjangnya selama ini di dunia persilatan. Sering dia membantai lawannya tanpa kenal ampun hanyalah karena dia merasa terlalu disakiti. Dalam perhitungannya kini, termasuklah hal itu merupakan satu kekejaman, apakah gurunya memang ingin mengarahkan dirinya sebagai seorang pendekar yang memiliki jiwa sebagai seorang begawan? Itu juga satu hal yang sangat tidak mungkin untuk dilakukannya. Sambil merenungi akan pesan-pesan gurunya, Pendekar Hina Kelana ini kembali membuka halaman berikutnya. Hanya terdapat beberapa baris kalimat saja di sana yang berbunyi:
Dalam mempelajari setiap jurus yang terdapat dalam kitab ini, tidak di benarkan mempergunakan tenaga murni secara keseluruhan, sebab sifatnya hanya menahan dan menarik tenaga dalam lawan. Hingga lawan-lawanmu akan menjadi tiada berdaya karenanya. Itu pun bukan berarti kau harus membiarkan dirimu di cincang lawan tanpa perlawanan. Lakukanlah andai tindakan itu benar-benar di luar batas kesabaran mu sebagai seorang manusia....
Kembali Buang Sengketa merenungi akan makna kata-kata yang di tulis oleh si Bangkotan Koreng Seribu. Tak sampai sepeminum teh, pemuda itu angguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya dia mulai mengerti ke mana arahnya dari semua apa yang di pesankan oleh sang guru. Selanjutnya dia membuka lembaran berikutnya, begitu dia memperhatikannya dengan seksama. Maka terlihatlah pembukaan jurusjurus Silat Koreng Seribu. Buang Sengketa kemudian bangkit berdiri, dengan sikap tegak dan tangan terangkap di depan dada pemuda ini mulai memusatkan perhatiannya, sekejap dia melirik ke arah kitab yang dia letakkan di atas batu, maka mulailah dia mengawali pelajaran silat itu dengan satu gerakan yang sulit untuk di duga-duga.
"Hiaaat...!" Jeritan itu mengawali gerakan menggunting pada bagian kaki, sementara kedua tangan mendorong ke arah depan, samping kanan kiri, lalu mendorong ke atas. Satu dasar permulaan telah dia selesaikan, lalu berlanjut dengan jurus-jurus berikutnya.
Kaki kanan menendang ke depan, tangan kiri terkepal dan merapat di bagian perut. Selanjutnya tangan kanan melakukan gerakan membabat dan memukul, di susul dengan satu tendangan kaki kiri, terus berputar-putar dan bersalto ke udara sambil kirimkan satu dorongan mengarah pada batu tempat di mana kitab tadi berada.
"Wuuuut!" Pendekar Hina Kelana setengah memekik heran saat mana kitab tersebut laksana kilat melayang ke arah telapak tangannya kemudian melekat di sana. Cepat-cepat dia daratkan kakinya di atas tanah dengan mulus, sementara kitab tadi menempel erat di bagian telapak tangannya. Secara perlahan dia berusaha melepaskan kitab tersebut dari telapak tangannya. Tapi bagai sebuah magnit saja kedua tangannya menahan kitab tersebut.
"Ah, mengapa begini! Bagaimana cara melepaskannya...? Celaka tanganku tak ubahnya...!" Buang Sengketa tidak meneruskan ucapannya, begitu dia teringat pesan gurunya. Secara perlahan dia menarik balik tenaga saktinya, maka perubahan perlahan pula terjadilah. Mula-mula kitab yang melekat di telapak tangannya itu merenggang. Kemudian jatuh di atas batu tadi. Heran bercampur kagum, Buang Sengketa memperhatikan telapak tangannya sendiri.
"Hemm. Sebuah ilmu yang sangat langka dan tak pernah dimiliki oleh orang lain. Seandainya aku berhasil mempelajari kitab ini sesempurna mungkin, tentu aku tak perlu bersusah payah mengurus tenaga untuk melumpuhkan pihak lawan. Bahkan kalau perlu tak usah mencederainya...!"
Batinnya kagum sendiri. Selanjutnya dia mengerahkan sedikit tenaganya ke arah pohon yang berada tak begitu jauh darinya. Tiada di sangka-sangka tubuhnya melayang tanpa terkendali.
"Wueeee...!"
"Kreeep!" Telapak tangan Buang Sengketa melekat erat pada pohon yang berukuran sangat besar tersebut. Selanjutnya dari telapak tangannya ada sesuatu yang dia rasakan mengalir deras. Pendekar Hina Kelana memperhatikan ke arah bagian atas pohon, dia akhirnya menjadi semakin terkejut sekali begitu melihat bahwa daun-daun pohon yang menghijau itu menjadi layu. Walau pohon tersebut tidak mati maupun kering, namun cukup kuat dugaannya bahwa pohon tersebut telah kehilangan kekuatan untuk memulihkan keadaannya.
"Sebuah ilmu sakti yang sangat mengerikan. Kalau aku tak pandai-pan-dai mengendalikannya. Maka aku bisa menjadi bulan-bulanan jurusjurus silat ciptaan guruku sendiri. Tapi tak mengapa, dalam waktu yang sangat singkat ini aku harus dapat memanfaatkannya dengan baik. Andai tidak, lewat empat puluh hari nanti tentu isi kitab ini akan hilang begitu saja."
Pada kenyataannya memang begitu, siang dan malam Pendekar Hina Kelana terus menggembleng dirinya dengan jurus-jurus peninggalan almarhum gurunya itu. Dia hanya menghentikan latihannya apabila Ayunda putri Bara Seta, maupun Bara Seta dan istrinya datang mengantarkan makanan atau hal-hal lain yang sangat di perlukan oleh pemuda itu. Selebihnya adalah latihan-latihan rutin yang tiada mengenal lelah. Sekali dua dia pun mengalami kesukaran, tapi dia tak pernah mengeluh. Apa yang di lakukannya selama berhari-hari telah menempa dirinya menjadi seorang yang sabar dengan di barengi ketekunannya. Pagi itu merupakan hari yang ketiga puluh bagi Buang Sengketa dalam mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu pun Ayunda mengantarkan sarapan untuk si pemuda. Pendekar Hina Kelana menghentikan latihannya saat mana Ayunda datang menghampirinya. Sambil menyeka peluh yang meleleh di wajahnya, Buang Sengketa segera pula duduk di atas sebuah batu yang tidak seberapa besarnya. Sesaat dia, memandang pada Ayunda, seperti hari-hari sebelumnya jantungnya berdetak keras tiada berketentuan. Dia teringat kembali pada Wanti Sarati yang dia titipkan pada Satria Penggali Kubur.
Mengapa perasaan itu baru timbul saat ini, apakah karena dia melihat bahwa gadis yang bernama Ayunda itu sangat mirip sekali dengan Wanti yang dulu pernah dia selamatkan pada saat berumur belasan tahun?
"Kakang... sepagi ini kok sudah melamun! Sarapan dulu! Ini ada aku bawakan ayam hutan yang di panggang kesukaan mu...!" Ucapnya sambil memperhatikan si pemuda dengan pandangan penuh rasa kagum. Buyar lamunan si pemuda saat itu juga, wajahnya nampak berubah kemerahan saat dia menyadari ketololannya sendiri.
"Eee... ayam hutan! Tentu aku sangat suka sekali...!" Buang Sengketa tersenyum, dan tanpa malumalu lagi dia mencomot potongan ayam tersebut kemudian mengunyahnya dengan lahap.
"Kulihat latihanmu semakin maju, kakang...! Beberapa hari lagi tentu kitab peninggalan kakek Bangkotan Koreng Seribu telah selesai kau pelajari...!" Berkata Ayunda dan kedua matanya mengerling penuh arti.
"Harapanku juga begitu, sebab waktu yang ada pun rasanya sangat terbatas sekali. Aku masih belum tahu mengapa isi kitab Jurus Koreng Seribu umurnya sangat terbatas, walau aku sadar bahwa kitab ini merupakan sebuah kitab yang isinya mengandung jurusjurus yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi waktu yang sangat singkat itu terkadang membuatku bingung...!"
"Benarkah Jurus Koreng Seribu di dalam kitab itu hanya memuat empat jurus saja...?" Tanya Ayunda, sekejap dia memandang si pemuda, namun kemudian segera membuang pandangan matanya jauh-jauh.
"Ya... kenyataannya memang begitu."
"Itu berarti dalam setiap jurus, kakang harus mempelajarinya dalam waktu sepuluh hari...?"
"Benar!"
"Kakang...!" Ujar Ayunda manja. Ah, mesra banget! Kalau dia benar-benar sampai jatuh cinta padaku! Matilah aku. Batin Pendekar Hina Kelana sambil berdoa semoga anaknya Bara Seta itu tidak sampai jatuh hati padanya.
"Ada apa...!?" Tanya Buang Sengketa tanpa menoleh.
"Kau merupakan pendekar yang tangguh. Apalagi kini engkau telah pula memiliki jurus-jurus Koreng Seribu...!" Pujinya tanpa malu-malu.
"Jurus Koreng Seribu belum sepenuhnya ku kuasai, masih ada satu jurus lagi yang harus kupelajari dalam waktu sepuluh hari terakhir...!"
"Semoga kakang dapat melakukannya dengan baik...!" Pendekar Hina Kelana menarik nafas panjangpanjang, dalam hati diapun berharap seperti apa yang di harapkan oleh Ayunda. Sebab dia merasa tak enak bila harus tinggal di tempat itu lebih lama lagi, Buang tak ingin terlalu merepotkan Orang lain. Tanpa menunggu jawaban Buang Sengketa, Ayunda menyambung; "Beberapa hari ini ayah dan ibu melihat beberapa orang berkeliaran di sekitar pinggiran lembah ini, kakang...!" Katanya pelan.
"Nampaknya orang-orang itu membawa maksud-maksud yang tak baik "
"Mungkin mereka hanya merupakan penduduk yang sedang mencari rotan, berburu atau mencari keperluan lainnya !"
Jawab si pemuda berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ayunda cepat-cepat gelengkan kepalanya.
"Sejak kecil aku telah tinggal di lembah ini, kakang...! Aku cukup mengenali daerah tempat tinggalku sendiri. Sebelumnya aku tak pernah melihat seorang pun yang berani berkeliaran di tempat ini, selain jauh dari jangkauan penduduk desa. Daerah ini bagi mereka juga merupakan sebuah tempat yang angker. Ayah dan ibu merasa yakin ada pun keperluan mereka sampai di tempat ini hanyalah ingin merampas kitab itu, sebab menurut ayah orang-orang itu berpenampilan seperti orang-orang kalangan persilatan. Membawabawa senjata sebagaimana layaknya."
"Kalau begitu aku tak membiarkan paman dan bibi begitu saja, bagaimana pun aku harus turun tangan andai mereka sampai berani memasuki lembah ini...!" Katanya tegas.
"Sebaiknya kakang tak usah memikirkan lain hal. Itu cuma membuat kakang terganggu dalam latihan...!"
"Bagaimana mungkin! Siang dan malam mereka menjaga keselamatanku. Masa aku harus membiarkan mereka begitu saja...! Tak seorang pun kubiarkan menyakiti orang tuamu...!" Tegas kata-kata si pemuda tanpa emosi.
"Terserahmulah, kakang...!" Katanya.

 



--₪¦ « 8 » ¦₪--

Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek siang itu kelihatan sudah melewati daerah Pagar Gunung yang merupakan hutan penghubung satu-satunya untuk dapat sampai di Lembah Selaksa Mayat. Panas surya memang terasa terik membakar, masih untung sepanjang semak belukar yang mereka lalui terdapat pohonpohon liar yang menjulang tinggi sehingga mereka tak perlu mengeluh dari sengatan sang surya. Ketiga orang dari Perguruan Catur Tunggal itu terus menelusuri semak-semak belukar, batu-batu yang sangat licin dan juga tebing-tebing yang curam.
"Kakang Wahana! Berhentilah dulu, sejak dua malam yang lalu kita tak pernah istirahat barang sekejap pun...!" Ujar Adi Cilek setengah mengeluh. Saat itu Wahana yang berada di bagian paling depan nampak mengurungkan langkahnya saat mana Adi Cilek memanggilnya.
"Lembah Selaksa Mayat, sesuai dengan keterangan yang kita peroleh tidak begitu jauh lagi dari sini. Mengapa kita harus berhenti...!"
"Ah, kakang... untuk apa kita harus tergesagesa? Pula kita hanya ingin melihat tentang kebenaran adanya kitab itu. Bukan untuk memilikinya...!" Tukas Adi Olo mendukung adiknya yang paling bungsu.
"Apa kalian kata! Untuk apa kita datang dari jauh-jauh, kalau hanya cuma ingin melihat kitab itu...!" Bentak Wahana marah. Adi Olo dan Adi Cilek saling pandang. Jelaslah bagi mereka sudah, bahwa sesungguhnya Wahana kiranya tidak berolok-olok ketika mereka bicara dengan si Lima Golok Maut di Muara Beliti beberapa pekan yang lalu. Padahal sebelumnya Wahana sendiri pernah bicara pada sesamanya bahwa tujuan mereka dalam mencari muridnya Bangkotan Koreng Seribu yang telah membawa kitab tersebut ke sebuah tempat yang sangat rahasia. Wah... wah hal ini benar-benar menjadi runyam urusannya. Batin Adi Olo dan Adi Cilek.
"Jadi kakang juga punya niat untuk mendapatkan kitab pusaka itu... apakah itu bukan berarti kita harus berhadapan dengan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi yang pada dasarnya juga menginginkan kitab tersebut...?!" Menyela Adi Olo dengan perasaan khawatir. Wahana yang sedari tadi hanya memandang ke arah depan kini menoleh dan memandangi tajam pada kembratnya.
"Perduli apa! Kalau kau merasa takut, lebih baik tak usah bergabung dengan Catur Tunggal. Tak pernah kulihat nyali kalian seciut ini, mengapa tibatiba kalian berubah menjadi seorang pengecut...!" Teriak Wahana marah.
"Bukan pengecut kakang! Walau bagaimana pun kita harus menyadari bahwa murid si Bangkotan Koreng Seribu juga bukanlah seorang murid yang bodoh. Sebagai murid tunggal sudah barang tentu dia memiliki kesaktian yang sangat luar biasa...!" Adi Cilek berusaha memberi pengertian. Tapi nampaknya Wahana sudah tak memperdulikan segala penjelasan adik-adik seperguruannya.
"Kalau kalian berdua tak mau ikut! Baiknya cepat-cepat tinggalkan tempat ini! Biarkan aku sendiri yang berangkat ke sana...!" Berkata begitu, tanpa menoleh-noleh lagi Wahana menggenjot tubuhnya. Berloncatan di atas cabang-cabang pohon kemudian menghilang dari pandangan kedua orang kembratnya Adi Olo dan Adi Cilek saling berpandangan. Secara serentak; "Kakang... aku ikuuuut...!" Teriak mereka secara bersamaan. Dengan cara yang sama mereka ini pun akhirnya kabur mengejar Wahana yang sudah tak terlihat lagi.
Setelah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatnya, maka tak begitu lama kemudian Wahana pun telah tersusul. Saat itu mereka sudah berada di pinggiran Lembah Selaksa Mayat. Sejenak lamanya secara seksama mereka memandang ke arah bagian lembah itu. Tak terlihat apapun di sana ter kecuali sebuah rumah gubuk yang sangat kecil.
"Agaknya di sanalah muridnya si Bangkotan Koreng Seribu itu menetap! Mudah mudahan kita masih belum terlambat mendapatkan kitab itu...!" Gumam Wahana tanpa berpaling dari lembah yang berada di bawahnya.
"Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana, kakang...!" Kata Adi Olo, selanjutnya mereka sudah bermaksud mulai menuruni pinggiran lembah yang sangat licin itu saat mana terdengar suara hentakkan seseorang lalu di sertai melesatnya dua sosok tubuh ke arah mereka. Dengan gerakkan yang sangat mengagumkan kedua orang itu menjejakkan kakinya satu tombak di depan orang-orang Catur Tunggal. Melihat cara mereka menginjakkan kakinya di atas tanah dan tanpa menimbulkan suara itu saja sudah merupakan satu tanda bagi mereka, bahwa laki-laki gemuk dan perempuan setengah baya itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna.
"Hei... siapakah kalian ini...?" Tanya Wahana dalam keterkejutannya. Dua orang ini, yang tak lain Bara Seta dan Dewi Wulan adanya kelihatan tersenyum-senyum.
"Seharusnya kamilah bertanya ada maksud apa kalian sampai datang di Lembah Selaksa Mayat ini...!"
"Melihat tampang-tampang kalian, kalau tak salah kalian ini merupakan ketua Perguruan Candak Ginaka dan yang betinanya merupakan penguasa Lembah Selaksa Mayat ini...!" Berkata Adi Olo dengan sesungging senyum mencemooh. Bukan main gusar Dewi Wulan begitu mendengar nada ucapan yang sangat kasar ini. Sebagai orang yang tak pernah atau katakanlah jarang berhubungan dengan dunia luar, sudah tentu kata-kata itu merupakan ucapan yang tak layak dari jiwanya yang terlalu lugu. Tapi dia masih berusaha menahan amarahnya begitu Bara Seta memberi isyarat padanya untuk tidak bicara. Sebaliknya Bara Seta melangkah dua tindak ke depan. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia membentak;
"Jangan bertele-tele! Kalau kalian sudah tahu bahwa aku merupakan penguasa di lembah ini. Cepatlah katakan apakah keperluan kalian hingga dari lereng Gunung Butak sampai ke tempat ini...?" Bentak Dewi Wulan geram. Ketiga laki-laki dari Catur Tunggal itu saling berpandangan, kemudian meledaklah tawa mereka.
"He... he... he....! Kudengar-dengar manusia gemuk seperti ikan buntal di sebelah mu itu merupakan anak angkatnya almarhum si Bangkotan Koreng Seribu?" Tanyanya dengan maksud-maksud yang licik.
"Hemm. Orang-orang ini pasti membawa maksud-maksud yang tak baik. Agaknya aku harus berhati-hati menghadapi orang ini...!" Membatin Bara Seta.
"Hei... mengapa diam! Benarkah kau anak angkatnya orang tua yang sangat kesohor itu...?" Bentak Wahana bagai seorang penguasa saja layaknya.
Memerah wajah Dewi Wulan melihat ulah orang-orang yang itu. Sikap mereka yang kasar membuat perempuan itu menjadi gatal tangannya.
"Kakang... mengapa kita biarkan mereka menjarah daerah kita. Pula iblis-iblis ini terlalu kotor mulutnya...!"
"Tenanglah adi! Aku jadi pengin tau apa tujuan anjing-anjing geladak ini hingga begitu berani memasuki daerah terlarang...!" Tukasnya berusaha menyabarkan Dewi Wulan. Kemudian dengan sikap tenang.
"Kalau kau mau tahu apa yang menjadi tujuan kami ke lembah yang sangat menakutkan ini. Jawab dulu, benarkah kau merupakan anak angkatnya almarhum Bangkotan Koreng Seribu...?" Tanyanya ketus. Tanpa ragu dan tiada pula mengenal rasa takut, Bara Seta membentak marah.
"Bicara saja muter-muter. Kalau memang benar aku merupakan anak angkatnya Bapak Bangkotan Koreng Seribu, kalian mau apa...?" Tantangnya.
"Ha... he... ha...! Kalau kau merupakan anak angkatnya si Bangkotan Koreng Seribu. Tentu kau juga tahu di manakah muridnya saat ini berada...?" Pancing Wahana. Maka mengertilah Bara Seta dan Dewi Wulan, apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang-orang dari Catur Tunggal tersebut.
"Kalau pun aku tahu di mana muridnya bapak angkatku, tidak nantinya kuberitahukan pada kalian...!"
"Lebih baik kau katakan saja monyet gemuk...!" Bentak Adi Olo ikut menimpali.
"Ya... lebih baik katakan saja, untuk apa mengorbankan nyawa hanya demi kepentingan orang lain...!"
Maka meledaklah tawa Bara Seta begitu mendapat perintah yang bernada mengancam dari orangorang Catur Tunggal. Dia pun sudah dapat memastikan bahwa se-benarnya kedatangan mereka hanyalah menginginkan kitab Jurus Koreng Seribu.
"Lebih terkutuk lagi andai aku membiarkan kalian merampas kitab Jurus Koreng Seribu yang bukan hak kalian...!"
"Bagus kalau kau sudah tahu, itu berarti aku tak perlu bersusah payah menjelaskannya padamu... !"Kata Wahana sembari tersenyum-senyum.
"Hemm, sekarang katakan di mana muridnya orang sakti itu bersembunyi...!" Celetuk kembrat Wahana.
"Kalau kau inginkan kitab itu, langkahi dulu mayat kami...!"
"Kakang jangan banyak cingcong, kita hajar saja manusia-manusia iblis ini beramai-ramai...!" Dewi Wulan yang sudah sangat marah itu nampak sudah tak dapat mengendalikan diri lagi. Maka tanpa menunggu persetujuan suaminya, wanita pendekar itu pun langsung membuka serangan dengan jurus-jurus andalannya. Nampaknya Bara Seta pun tidak tinggal diam. Serentak dengan di sertai teriakan menggelegar, laki-laki gemuk itu pun kirimkan pukulan-pukulan mautnya. Orang-orang Catur Tunggal tidak tinggal diam, mereka adalah tokoh-tokoh seangkatan yang memiliki aliran berbeda. Dalam hal tenaga dalam, pukulan-pukulan andalan, nampaknya mereka memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak begitu jauh bedanya. Dalam waktu yang sangat singkat pertarungan itu telah mencapai belasan jurus. Namun kelihatannya keadaan masih tetap seimbang. Masing-masing lawan kini telah mulai mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Maka semakin bertambah seru sajalah pertarungan tokoh-tokoh tinggi tersebut.
Bara Seta nampaknya tidak ingin menyianyiakan waktu, kejab kemudian tubuhnya berkelebat lenyap sambil bersiap-siap lancarkan pukulan Candak Ginaka Menerjang Gunung. Sementara itu istrinya juga telah mencabut pedang mustika yang di bagian gagangnya terdapat ukiran kepala burung Sri Gunting, begitu pedang mustika itu tercabut dari sarungnya, maka pedang itu pun berkelebat dahsyat sehingga timbulkan angin bersiuran. Pihak lawan ternyata juga memiliki ambisi yang sama untuk secepatnya dapat merobohkan musuh-musuhnya. Maka tak pelak lagi, dalam gebrakan berikutnya mereka pun lancarkan pukulan Halilintar Tunggal yang tak perlu diragukan lagi akan kemampuannya,
"Hiaaa.... Hiaaa...!"
Berputar-putar tubuh mereka sembari berjumpalitan bagai tiada memiliki bobot. Saat selanjutnya Wahana dan kawan-kawannya kirimkan pukulan Halilintar Tunggal ke arah tubuh Bara Seta dan Dewi Wulan. Dalam kesempatan itu Bara Seta pun juga telah kirimkan pukulan Candak Ginaka Menerjang Gunung yang menebarkan hawa dingin dan panas. Pukulan Bara Seta yang membersitkan sinar ungu itu pun lebih cepat lagi memapaki datangnya serangan Halilintar Tunggal yang di lepaskan oleh lawan-lawannya. Sementara itu, Dewi Wulan putar pedang mustikanya sedemikian sebat sehingga membentuk satu gulungan sinar pedang yang dapat di jadikan sebuah perisai yang sangat kokoh.
"Nguung! Blaaam! Blaam!"
"Gusraak! Gabruuuk!" Masing-masing pukulan lawan bertubrukan dengan pukulan yang di lepaskan oleh Bara Seta, sementara dua pukulan lainnya yang di lepaskan oleh Wahana membentur pertahanan pedang milik Dewi Wulan. Baik tubuh Wahana, Adi Olo, Adi Cilek terpelanting tiga tombak, dengan dada terasa sesak luar biasa, bahkan tangan mereka juga berdenyut-denyut sakit. Di pihak Bara Seta dan Dewi Wulan keadaan mereka juga tidak begitu berbeda jauh Dewi Wulan; sungguh pun tak sampai terpelanting tubuhnya, tapi malah amblas ke dalam tanah sebatas mata kaki. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Andai saja dia tak memiliki tenaga dalam yang sudah sangat sempurna, sudah barang tentu dia muntah darah atau setidak-tidaknya menderita luka dalam cukup parah. Perempuan itu cepat-cepat berdiri sembari mengembalikan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan yang terasa kesemutan.
Sementara itu Bara Seta yang sempat terjengkang dua tombak sudah nampak bangkit kembali. Berulang kali dia meludah ke tanah rasa benci pada orang-orang Catur Tunggal membangkitkan kemarahannya yang sudah tak mampu dia kendalikan lagi.
"Orang-orang Catur Tunggal. Mampuslah kalian...!" Teriak Bara Seta. Dan ternyata sebelum Bara Seta belum sempat kirimkan pukulan mautnya. Wahana dan kawan-kawannya telah mendesaknya dengan jurus-jurus silat tangan kosong.
Agak kerepotan juta Bara Seta di buatnya, masih beruntung dia merupakan seorang tokoh yang cukup berpengalaman. Sehingga dengan jurus-jurus silat tangan kosong pula dia masih mampu mengelak dan mengkelit serangan-serangan yang di lancarkan oleh ketiga lawannya. Menghadapi keroyokan tokoh-tokoh setingkat, yang kesemuanya memiliki permainan silat yang aneh dan membingungkan. Secepat mana pun Bara Seta bertindak dan menghindar, lama-kelamaan dia kena di desak juga. Masih untung Dewi Wulan cepat tanggap menghadapi kenyataan itu. Maka sekali saja dia melompat, lalu menggempur Wahana dan kawan-kawannya dengan serangan dan tusukan pedang mustikanya yang sangat ampuh.
"Weeeit! Nguuung...!" Babatan yang kesekian kalinya nyaris membuat buntung tangan Adi Olo, kalau saja tak cepat-cepat tarik tangannya yang terjulur dengan maksud menghantam dada Bara Seta, sudah barang tentu Adi Olo sudah kehilangan sebelah tangannya. Usahanya gagal, bahkan nyaris kehilangan sebelah tangan membuat Adi Olo mencaci maki panjang pendek.
"Kerahkan ajian Jari Sakti Baja...!" Teriak Wahana memberi aba-aba pada kembrat-kembratnya.
"Ciaaat...! Giaat...! Ciaaat...!"
Dalam teriakannya itu, dengan gerakan yang sangat lincah tubuh orang-orang Catur Tunggal sudah melompat menjauhi pertarungan. Tetapi nampaknya Dewi Wulan mengetahui gelagat yang tak baik ini, selanjutnya sambil terus memburu lawan-lawannya, dia berteriak memberi peringatan pada suaminya.
"Kakang! Jangan beri kesempatan pada mereka untuk mengerahkan ajian Jari Sakti Baja...!"
Bara Seta bagai tersentak dari lamunannya, selanjutnya dia keluarkan bola berduri yang terikat dengan rantai baja. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia putar bola duri itu sehingga menimbulkan suara menderu-deru. Sampai detik itu kiranya, Wahana dan kawan-kawannya masih belum selesai merapal ajian Jari Sakti Baja. Mengetahui serangan kilat yang sangat membahayakan jiwa mereka, sudah barang tentu mereka urungkan niatnya. Akhirnya mereka pun bergerak mengelak, menghindari datangnya babatan mata pedang dan bola duri yang di lancarkan oleh Bara Seta.
"Keparaat...!" Maki Wahana, lalu berlompatan bagai monyet gila mabuk terasi. Tiada sahutan, sebagai jawabannya, baik Bara Seta dan Dewi Wulan semakin mempergencar serangan-serangan mautnya.
Sementara itu pada saat yang sama di dasar Lembah Selaksa Mayat, Buang Sengketa dengan di temani oleh Ayunda kelihatan sedang terlibat pembicaraan yang serius. Akhir-akhir ini mereka memang kelihatan semakin bertambah akrab antara yang satu dengan yang lainnya.
"Kakang! Apakah engkau benar-benar berniat meninggalkan lembah ini andai nanti Kitab Jurus Koreng Seribu telah berhasil engkau kuasai...?" bertanya Ayunda sementara badannya ngelendot di punggung Buang Sengketa. Sebenarnya Buang Sengketa menjadi risih juga, menghadapi suasana seperti ini. Dia merasa takut bagaimana nantinya kalau keadaan seperti itu sampai diketahui oleh Bara Seta dan istrinya. Tentu semuanya biasa berabe. Memang benar dia akui, bahwa mempelajari kitab jurus-jurus Koreng Seribu sudah tuntas bahkan dengan ketekunannya dia masih mempunyai sisa waktu tiga hari dari empat puluh hari seperti yang tertulis dalam kitab itu. Juga dia sendiri dapat merasakan betapa hebatnya Jurus-jurus Koreng Seribu hasil peninggalan gurunya itu. Tetapi dia juga menghadapi hal lain yang sebenarnya bisa di bilang persoalan yang sangat sepele, namun berhubungan erat dengan hati dan perasaan. Ayunda telah jatuh hati padanya, hal itu juga tak dapat dia sangkal. Gelagat seperti itu sudah dapat dia rasakan sejak mendengar pengakuan itu dari Ayunda. Hal ini juga membuat resah hatinya, apalagi selama berada di lembah itu, gadis cantik itulah yang teramat sering menyediakan segala keperluan yang dibutuhkannya.
Haruskah dia mengatakan hal yang sesungguhnya bahwa dia sudah mempunyai gadis pilihan yang selama ini tak pernah dia balas cintanya. Tidak. Ayunda adalah seorang gadis yang sangat perasa, dia tak ingin putri paman Bara Seta yang telah banyak berkorban untuknya, jadi tersinggung, marah atau bahkan malah berubah membencinya. Tapi bagaimanakah caranya agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan? Buang menjadi bingung, dan berdenyut-denyut kepalanya.
"Kakang! Mengapa kau hanya diam saja...?" Ujar Ayunda setengah merajuk.
"Apa yang harus kukatakan...?"
"Katakanlah apakah kakang bermaksud meninggalkan Lembah Selaksa Mayat...?" Tanya Ayunda sambil menarik nafas dalam-dalam, kemudian di buangnya pandangan matanya jauh-jauh. Hati-hati sekali dia berucap;
"Aku ini hanyalah seorang pengelana, hidupku tiada berketentuan dan tiada siapa-siapa pula yang kumiliki. Apa yang ingin kulakukan untuk hari-hari selanjutnya adalah mencari ayah kandungku, aku harus dapat menemukannya. Tak perduli apapun yang bakal terjadi...!" Ayunda tersentak, wajahnya sedikit memucat dan mendadak dia seperti akan kehilangan, namun untuk mencegah kepergian pemuda yang telah membuat hatinya jatuh cinta, juga tak mempunyai kuasa.
"Kakang andai engkau pergi! Aku di sini sendirian...!"
"Siapa bilang? Bukankah masih ada ayah bundamu...!" kata pemuda itu sekenanya, namun hatinya juga merasa geli.
"Maksud... maksudku... ah mengapa engkau masih tak mau mengerti bagaimana perasaanku padamu, kakang...!" Isak Ayunda, seraya lalu merebahkan kepalanya di atas dada si pemuda yang bidang. Buang mengelus-elus rambut Ayunda, tangis gadis cantik itu semakin keras hingga membuat Pendekar Hina Kelana jadi kelabakan.
"Sudahlah, mengapa harus menangis, bagaimana nanti juga ayah ibumu melihat kita sedang berpelukan seperti ini" katanya, Lugu! Mendadak Ayunda tengadahkan wajahnya, pandangan matanya sendu menatap pada wajah tampan yang tidak begitu jauh dari wajahnya. Hati masing-masing mereka saling bergetar. Lalu secara perlahan kedua wajah mereka saling mendekat, selanjutnya hembusan-hembusan nafas mereka yang terasa hangat membangkitkan gejolak hati yang telah lama tersimpan. Tak dapat di cegah lagi kedua bibir mereka pun saling bertemu dalam gelora cinta yang menggebu-gebu. Ayunda merintih manja. Tetapi hanya sebatas itu, sebab saat itu Buang Sengketa menangkap adanya suara-suara teriakan orang yang sedang terlibat pertarungan. Cepat-cepat dia menjauhkan wajahnya dari wajah Ayunda. Sudah tentu hal ini membuat si gadis terperanjat. Dengan wajah bersemu merah dia pun bertanya;
"Aku mendengar seperti ada pertarungan di atas bukit sana. Jangan-jangan paman Bara dan bibi Dewi Wulan yang sedang bertarung...!" kata si pemuda menduga-duga. Tetapi ternyata memang benar adanya, ketika tak begitu jauh dari mereka nampak Suro bekas murid Bara Seta yang cuma tinggal satu-satunya itu berlari-lari menghampiri mereka.
"Cel... celana... eeh celaka, tuan muda...!" seru laki-laki berumur tiga puluhan itu dengan nafas ngos-ngosan dan suara tergagap.
"Ada apakah, Suro! Berkatalah dengan jelas...!" Ucap si pemuda berusaha meredakan ketegangan yang dialami oleh laki-laki itu.
"Gu... guru sedang bertarung melawan orangorang dari Catur Tunggal...!" Buang Sengketa nampaknya sangat terkejut mendengar laporan Suro, lalu tanpa banyak tanya lagi, pemuda itu pun melesat laksana terbang. Dengan mengerahkan Ajian Sepi Anginnya hanya sekejapan mata saja dia sudah sampai di tempat pertarungan itu. Sementara Ayunda dan Suro jauh tertinggal di belakangnya.
Saat itu Pendekar Hina Kelana dapat melihat bahwa lawan-lawan Bara Seta sedang mendesak dirinya juga istrinya. Mereka kelihatannya sudah mulai jatuh di bawah angin. Bahkan di beberapa bagian pakaian Bara Seta nampak robek di sana sini. Sedangkan apabila dia menoleh pada Dewi Wulan, nampaknya perempuan itu juga mendapat luka di bagian punggung dan dadanya.
"Hhh. Mereka tidak mempergunakan senjata apapun, namun mereka dapat melukai paman dan bibi sedemikian rupa. Mungkin jemari-jemari tangan yang menghitam itulah yang sering di sebut-sebut orang sebagai Jari Sakti Baja. Pantasan saja tangan mereka tak mempan terhadap benturan mata pedang. Hebat luar biasa...!" Serunya. Tiba-tiba dalam kegusarannya yang tertahan dia membentak; "Berhenti...!" Teriakan tinggi melengking yang di sertai dengan lengkingan Ilmu Pemenggal Roh itu membuat mereka yang sedang bertarung hampir terbanting ke tanah. Mereka merasakan gendang-gendang telinganya bagai mau pecah, sakit dan berdenyut-denyut. Andai saja mereka tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, sudah tentu mereka akan menemui ajal secara menyedihkan.
Dengan terdengarnya teriakan Buang Sengketa, maka pertarungan itu terhenti seketika itu juga. Orang-orang dari Catur Tunggal memandang tajam pada pemuda berkuncir ini. Ada rasa jerih menghantui diri mereka, suara teriakan tadi saja sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa pemuda yang sangat asing bagai mereka ini sesungguhnya memiliki ilmu yang sangat hebat. Bahkan mereka pun mulai menduga, andai mereka bertiga maju secara berbareng, belum tentu mereka bakal ungkulan. Namun di samping perasaan kecut tersebut kiranya rasa penasaran lebih menguasai jiwa mereka. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi mereka ini langsung membentak;
"Engkaukah muridnya si Bangkotan Koreng Seribu yang telah mampus itu?" Teriak Wahana penasaran.
"Ya... kau mau apa...?"
"Cepat serahkan Kitab Jurus Koreng Seribu pada kami...!" Perintahnya. Buang Sengketa tersenyum saja demi mendengar kata-kata Wahana, sebaliknya dia malah berkata pula; "Paman Bara Seta dan Bibi Wulan minggirlah. Orang-orang ini merupakan bagianku...!" Bara Seta dan Dewi Wulan, menepi dan bergabung dengan putri dan muridnya.
"Kalau kalian ingin memiliki kitab itu, silakan ambil di dalam periuk ku ini! Tapi ingat, sekali saja kalian coba-coba memaksaku. Maka liang kuburlah tempat kalian untuk selama-lamanya...!" Ancam si pemuda dengan, suara hampir-hampir tak terdengar. Maka mendidihlah darah orang-orang dari lereng Gunung Butak ini. Mereka sadar sekarang mereka sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh. Namun untuk membatalkan niat hal itu adalah pantangan yang tak pernah mereka langgar.
Detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi mereka ini pun langsung menyerang Pendekar Hina Kelana dengan Ajian Jari Sakti Baja yang sangat dahsyat itu.
Pendekar Hina Kelana adalah pendekar yang sangat lihai, apalagi kini dia telah menguasai Jurusjurus Koreng Seribu yang sangat dahsyat itu. Menghadapi serangan itu pun dia masih mengandalkan jurusjurus kesabaran yang sifatnya menyedot tenaga sakti lawannya. Pukulan-pukulan dahsyat mulai di lepaskan oleh lawan-lawannya. Tetapi begitu pukulan itu terlepas dan menghantam tubuh Pendekar Hina Kelana, kelihatannya bagai menembus ruang kosong saja. Pukulan maut mereka amblas ke dalam tubuh lawannya tanpa meninggalkan akibat apa-apa. Hal itu membuat ketiga orang lawan menjadi terheran-heran. Sekali lagi mereka mencobanya, saat mereka pukulkan kedua tangannya ke depan, maka tiga larik sinar yang berkekuatan dahsyat datang menggebu meluruk tubuh si pemuda. Sebaliknya Buang Sengketa tiada mengelak maupun memapaki pukulan yang telah di lepaskan oleh lawan-lawannya.
"Beeees...!" Kembali kejadian pertama terulang. Buang Sengketa tetap tegak tanpa kekurangan sesuatu apapun. Heran, namun panas hati mereka demi melihat semua kenyataan ini.
"Ilmu Siluman...!" Maki Wahana mulai timbul perasaan jeri. Dalam kesempatan itu Buang Sengketa berseru memberi peringatan.
"Kuperintahkan bagi kalian untuk segera meninggalkan tempat ini...!" Wahana dan kembratkembratnya sungguh pun sudah gentar tapi mana sudi menuruti perintah Buang Sengketa.
"Budak jangan kau harapkan kami untuk menuruti perintahmu. Kami hanya meninggalkan tempat ini jika kau mau menyerahkan Kitab Jurus Koreng Seribu...!"
Buang Sengketa hanya angguk-anggukkan kepalanya, tetapi hatinya mulai marah.
"Kalau itulah keinginan kalian. Kesabaran manusia itu ada batasnya, maka jangan kau salahkan aku andai tindakanku nanti benar-benar membuat kalian menjadi sengsara seumur-umur...!"
"Bocah gembel... jangan coba-coba menakutinakuti kami, nih makanlah jari-jari kami...!" Berkata begitu orang-orang Catur Tunggal menerjang si pemuda dengan serangan-serangan jari sakti mereka.

 



--₪¦ « 10 » ¦₪--

Pendekar Hina Kelana menyadari bahwa serangan-serangan jemari mereka tentu lebih berbahaya lagi ketimbang pukulan-pukulan maut yang pernah mereka lepaskan. Maka tak ayal lagi pendekar ini silih berganti mempergunakan jurus si Gila Mengamuk namun di lain kesempatan dia pergunakan pula Jurus Koreng Seribu yang sangat aneh tapi tak pernah di ragukan kedahsyatannya.
"Caiiiit...!" Tubuh Pendekar Hina Kelana yang bergerak tak beraturan itu tiba-tiba saja melesat ke udara, pada saat itu pihak lawan pun di luar dugaan si pemuda melakukan gerakan yang sama. Ketiga lawannya melakukan tusukan secara berbarengan.
"Wuut! Wuut! Wuut!"
"Haiiit...!" Pendekar dari Negeri Bunian tersebut melakukan satu gerakan menangkis dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya.
"Pleeek! Pleek!" Tangan Wahana dan Adi Olo melekat erat di telapak tangan Buang, sementara jemari tangan Adi Cilek terus menderu menghantam bagian dadanya.
"Buuk!" Jemari tangan Adi Cilek pun melekat erat di bagian dada si pemuda. Dalam keadaan seperti itu sudah barang tentu mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan maka begitu tubuh keempat-empatnya melayang turun mereka tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lagi.
"Gabruuk...!" Masing-masing mereka jatuh terduduk dengan keadaan tangan melekat di bagian tubuh lawannya. Kejut di hati Wahana dan kawankawannya bukan alang kepalang, wajah ketiga orang itu sekejap saja telah berubah menjadi pucat pasi.
"Ilmu Setan...!" Rutuk mereka di dalam hati. Sedapatnya mereka berusaha menarik balik tangantangan mereka yang melekat tersebut. Tetapi setiap mereka mengerahkan tenaganya dengan maksud membetot. Mereka merasakan jemari tangan-tangan mereka terasa semakin bertambah erat melekat. Sementara mereka merasakan pula tenaga dalamnya tertarik keluar mengarah pada bagian tangan yang melekat itu.
Maka sadarlah Wahana, apa sesungguhnya yang sedang terjadi, kalau mereka terus mengerahkan tenaga dalamnya tentu berakibat sangat fatal pada diri mereka sendiri. Sebab sama saja artinya secara tak langsung mereka telah menyumbangkan tangan sakti yang sangat besar terhadap pihak lawan.
"Jangan kerahkan tenaga dalam... kita semuanya bisa celaka...!" Teriak orang pertama dari Catur Tunggal tersebut pada kawan-kawannya. Buang Sengketa demi melihat lawannya menyadari keadaan itu hanya tersenyum-senyum saja. Ternyata memang benar apa yang di katakan oleh Wahana, begitu mereka menarik balik tenaga dalamnya, maka mereka merasakan daya lekat itu semakin mengendor. Satu kesempatan yang sangat baik, orang-orang ini menyentakkan jemari tangan yang melekat itu secara bersamaan.
"Hayaaaa...!" Serentak dengan terlepasnya jemari tangan yang melekat tersebut, maka tanpa ampun tubuh mereka pun jatuh terguling-guling. Namun secepatnya pula mereka telah bangkit berdiri. Begitu pun halnya dengan si pemuda. Sesungging seringai menggidikkan membias di bibirnya, sementara sepasang matanya yang sudah berubah memerah itu nampak memandang tajam pada lawan-lawannya yang sudah kembali bersiap-siap untuk melakukan seranganserangan yang sudah barang tentu jauh berbeda dengan serangan terdahulu.
Buang Sengketa yang sejak tadi berusaha meredam kemarahannya, namun demi melihat orangorang Catur Tunggal masih juga, nekad kelihatannya dia sudah tak mampu membendung emosinya. Begitu pun dia masih berusaha memberi peringatan pada orang-orang itu.
"Kuperintahkan sekali lagi pada kalian! Cepatcepat menyingkirlah dari hadapanku. Andai tidak, menyesal pun nantinya sudah tiada guna...!" teriaknya marah. Hanya Wahana saja yang keluarkan suara tawa mengekeh, sedangkan dua orang lainnya semakin bertambah ciut nyalinya.
"Aku tau kau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa dahsyatnya. Tapi jangan kira aku akan lari ketakutan meninggalkanmu!" Maki Wahana semakin membuat sebal hati si pemuda.
"Guru...!" Teriaknya pada dirinya sendiri.
"Setapak jalan sulit yang ku lalui, aku sampai pada dua persimpangan jalan yang membuka pada dua pilihan. Aku memilih mengikuti jalan yang kau tunjukkan padaku. Jangankan kau sesalkan aku, karena sebagai seorang anak manusia aku juga punya pilihan terbaik untuk diriku sendiri...! Pada mereka juga telah kuberikan dua pilihan, namun mereka rupanya memilih jalan yang paling menyakitkan. Mampuslah kalian. Hiaaa."
Di sertai suara mendesis bagai seekor piton yang sedang di landa kemarahannya Buang Sengketa akhirnya membuka jalan darah.
Dengan sekali berkelebat saja, mendadak tubuhnya telah lenyap dari penglihatan lawan-lawannya. Tiada pukulan-pukulan maut yang dia lepaskan, sebaliknya terlihat seberkas sinar merah menyala menyertai berkelebatnya Pusaka Golok Buntung yang sudah tergenggam di tangannya. Udara di sekitar tempat itu mendadak saja menjadi dingin luar biasa, bukan main terkejutnya Wahana di buatnya. Tubuh mereka menggigil dalam rasa kecut dan dingin yang di timbulkan oleh senjata maut di tangan lawannya. Tapi perasaan apapun yang dihadapi oleh pihak lawan-lawan, Buang Sengketa sudah tiada perduli lagi. Senjata di tangannya terus berkelebat menyambar hingga menimbulkan suara mendengung-dengung.
"Wuua!" Senjata itu berkelebat kembali merangsak pertahanan pihak lawan. Namun mereka masih berusaha menangkis dengan Ajian Jari Sakti Baja.
"Creees! Crees! Crees...!"
"Arghh...!" Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek meraung setinggi langit saat mana senjata di tangan Buang membabat tanpa ampun. Tangan mereka yang di pergunakan untuk menangkis serangan Golong Buntung, terbabat hingga sebatas pangkal lengan. Darah menyembur-nyembur dari pangkal lengan yang terpotong itu. Secepatnya mereka menotok jalan darah di bagian pangkal lengan masing-masing. Tak lama kemudian darah pun berhenti mengalir. Adi Olo dan Adi Cilek menggigil ketakutan. Sementara Buang Sengketa nampaknya memang sengaja memberi kesempatan pada lawan-lawannya. Dengan sekali bersalto, maka tubuhnya berjumpalitan, kemudian mendarat tidak begitu jauh dari depan lawan-lawannya.
"Kuberi kesempatan terakhir pada kalian. Cepat-cepat minggatlah dari sini, andai masih juga kalian keras kepala. Maka sekejap lagi golok di tanganku ini akan memenggal kepala kalian...!"
Wahana menoleh pada kembrat-kembratnya...! "Baiklah kita menyingkir saja, kakang...!" rintih Adi Olo dan Adi Cilek menyeringai menahan rasa sakit.
"Ciuh. Mestinya kita harus bertarung dengan budak keparat ini sampai mampus. Tapi baiklah... tapi awas kau Pendekar Golok Buntung. Satu saat kami pasti mencarimu untuk menagih hutang tangan...!"
"Sampai kapan pun aku tetap menantimu, sobat...!" kata pendekar ini. Tanpa menghiraukan jawaban si pemuda, ketiga orang Catur Tunggal bergerak meninggalkan tempat itu, namun kemudian harus berbalik sebentar. Saat mana Buang Sengketa berkata; "Eei... kutungan tangan kalian...!" ucapnya
mengingatkan.
"Oh ya... kakang! Kutungan, tangan kita tertinggal...!" kata Adi Cilek. Setelah memungut kutungan tangannya masing-masing. Tanpa menoleh-noleh lagi ketiga orang itu pun terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Geli hati Buang Sengketa melihat tingkah orangorang Catur Tunggal. Namun rasa geli itu tidak sampai meledak jadi tawa. Hanya Bara Seta, istri dan anaknya saja yang sudah tak dapat membendung tawanya.
Di luar sepengetahuan mereka, tak jauh dari tempat itu, kiranya ada dua orang lain yang sejak tadi memperhatikan sepak terjang Pendekar Hina Kelana. Mereka ini terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang keduanya telah berusia sangat lanjut sekali. Yang perempuan bermata buta, dengan wajahnya yang sangat angker, sedangkan yang laki-laki berambut jarang-jarang berwarna kecoklatan, laki-laki ini seperti manusia yang kurang waras dan tiada pula memakai baju. Tubuh kurus kering dengan kedua mata menjorok ke dalam sehingga menambah keangkerannya. Sejak tadi mereka terus memperhatikan sepak terjang Buang Sengketa, dan laki-laki itu pun harus mengakui bahwa Jurus Koreng Seribu yang baru dipergunakan oleh si pemuda sama sekali belum pernah dikenalnya. Mungkinkah dalam waktu yang relatif singkat bocah muridnya almarhum si Bangkotan Koreng Seribu itu telah mampu menguasai jurus terakhir ciptaan gurunya?
"Ilmu yang sangat langka. Jurus-jurus yang sangat hebat! Andai aku ingin menjadi pemenang dalam pertarungan nanti, maka jalan satu-satunya aku harus menghindari bentrok tangan secara langsung...!" Membatin kakek kurus kering. Tiba-tiba dia memandang pada adik seperguruannya.
"Adi Tambak. Sekarang saatnya kita turun tangan...!" kata laki-laki tua renta tersebut. Wanita buta yang tak lain Nyai Tambak Sari adanya, mengangguk. Lalu dengan sekali lompat, melayanglah tubuh keduanya dari tempat persembunyiannya.
Baik Pendekar Hina Kelana, Bara Seta, istri dan anaknya nampak terkejut demi melihat kehadiran kedua orang itu. Tapi kemudian dia tersenyum-senyum begitu mengenali salah seorang di antara mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Tapi Buang Sengketa tak lama setelahnya segera berkata pelan.
"Aha... selamat bertemu lagi Ketua Beruang Merah. Nampaknya kau mendatang-kan seorang ksatria mu yang kurus kering bagai cacing...!" ejek si pemuda.
"Keparat kau bocah gembel! Dulu kau bisa bertingkah dan membunuhi murid-muridku tapi tidak untuk saat kini...!" Maki Nyai Tambak Sari sangat marah, apalagi bila teringat pada murid-muridnya yang tewas di tangan Pendekar Hina Kelana. (Dalam Episode Badai Selat Malaka). Dari hanya sekedar senyum sinis, kini pendekar itu malah tertawa lebar.
"Hia... haha... haha...! Dengan mengandalkan cacing kurus ini, kau dapat berkoar seenak perutmu. Dulu pun andai kau tidak kabur, kau pun sudah berada di neraka saat ini...!" Merah padam wajah Nyai Tambak Sari, tapi dalam kesempatan itu kakang seperguruannya yang bernama Badak Sangrang sudah membentak dengan suaranya yang tinggi melengking.
"Bocah keparat! Kurang ajar sekali mulutmu, tahukah kau bahwa kedatanganku kemari ini hanya ingin menagih hutang nyawa dan malu pada gurumu yang korengan itu...?"
"Sobat tua. Jumpa dengan tampangmu saja baru kali kini, jangan kau bawa-bawa nama guruku yang sudah tiada...!" geram Buang Sengketa merasa tak rela, laki-laki renta itu menyebut-nyebut gurunya yang telah tiada.
"Keparat betul kau bocah! Kau tanyalah gurumu di liang kubur sana, kesalahan apa yang pernah dia perbuat terhadapku...!"
"Jadi sekarang apa maumu...?"
Badak Sangrang kertakkan rahangnya yang hanya memiliki gigi tinggal beberapa buah saja.
"Karena gurumu sudah mampus! Maka sebagai muridnya kau harus membayar hutang mata adik seperguruanku, membayar hutang malu beberapa tahun yang lalu padaku. Selain itu, kau juga harus menyerahkan Kitab Jurus Koreng Seribu sebagai pembayaran atas nyawa murid-murid adik seperguruanku ini...!" kata Badak Sangrang setengah memerintah.
Mengertilah Buang Sengketa duduk persoalan yang sebenarnya. Dia berfikir Nyai Tambak Sari merupakan tokoh sakti yang sangat licik dan tak mudah di kalahkan. Kalau laki-laki kurus itu pernah berhadapan dengan gurunya, sudah barang tentu orang tua renta itu memiliki ilmu beberapa tingkat di bawah gurunya. Atau setidak-tidaknya dia merupakan lawan yang sangat tangguh.
"Tengkorak hidup, bagiku tiada pilihan lain. Majulah kalian bersama-sama, biar hari ini juga tak usah susah payah aku menggusur dedemit persilatan ke liang kubur...!" kata Buang Sengketa sambil menjaga setiap kemungkinan.

 



--₪¦ « 11 » ¦₪--

"Untuk menghadapi kutu kecil sepertimu tak perlu orang lain ku libatkan. Kalau dulu kepandaianku hanya setingkat di bawahnya. Maka jangan harap hari ini kau mampu mengalahkan aku. Lihat serangan...!" Teriak Badak Sangrang. Begitu membuka serangan dia telah keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling ampuh. Di lain pihak, Nyai Tambak Sari yang buta kedua matanya itu berpaling pula pada Bara Seta dan istrinya.
"He... he... he...! Dari pada kalian bengong bagai monyet pesakitan seperti itu, lebih baik kumampusi saja sekalian...!"
"Sejak tadi pun kesempatan seperti ini selalu ku nanti-nantikan tikus buta!" Ejek Dewi Wulan. Kemudian dengan di bantu oleh Mara Seta, Ayunda dan juga Suro. Bertarunglah Nyai Tambak Sari menghadapi keroyokan keempat orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Begitu bergebrak, Nyai Tambak Sari sudah lancarkan pukulan-pukulan andalan yang di beri nama Beruang Merah Menendang Gunung. Seberkas sinar hitam menderu menerjang ke arah empat penjuru mata angin. Dewi Wulan dan Ayunda memutar pedangnya begitu sebat, pedang itu bergelung-gelung membentuk sebuah perisai yang sangat kokoh.
Dalam pada itu Bara Seta pun tak mau kalah, sekali saja tubuh berlompatan maka dia pun lancarkan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.
"Blumm!" Terdengar satu suara letupan bagai longsoran batu gunung. Nyai Tambak Sari tergetar tubuhnya, tapi Bara Seta, istri, anak dan seorang muridnya terpental beberapa tombak. Nyai Tambak Sari tertawa tergelak-gelak. Sadarlah Bara Seta dan keluarganya, bahwa perempuan buta itu ternyata memiliki kepandaian beberapa tingkat di atas mereka. Begitu pun mereka tiada mengenai rasa takut secara beramairamai mereka mengerubuti perempuan itu. Mau tak mau Nyai Tambak Sari jadi kerepotan juga. Apalagi pedang di tangan Dewi Wulan dan Ayunda terus berkelebat menyambar, di lain pihak bola duri milik Bara Seta juga ikut bicara.
Sementara itu pertarungan antara Buang Sengketa dan Badak Sangrang semakin bertambah seru saja. Apalagi mereka kini telah mengeluarkan segala kemampuan yang dimilikinya. Pertama-tama Badak Sangrang mempergunakan Jurus Dewa Matahari untuk menggempur pertahanan pihak lawan. Namun jurus-jurus ini selalu kandas saat mana Buang menandinginya dengan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang. Badak Sangrang yang bertabiat berangasan itu tak sabar. Lalu kirimkan pukulan Dewa Rembulan Menunggu Kekasih. Buang Sengketa mamapakinya dengan Jurus Empat Anasir Kehidupan. Tapi dia merasa kewalahan, bahkan berulang kali dia sempat terbanting ke tanah, dengan bibir menghamburkan darah kental. Saat itu dia masih berusaha bertahan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan dalam memapaki setiap serangan gencar yang dilancarkan oleh Buang Sengketa. Tapi setelah berulang kali di buat jatuh bangun bahkan terkadang sampai terpelanting sepuluh tombak. Maka begitu Badak Sangrang melepaskan pukulan Dewa Rembulan Menunggu Kekasih, untuk yang kesekian kalinya, dia pun melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana.
Bumi bagai dilanda selaksa gempa manakala dua pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu dengan lainnya. Bahkan di pihak Nyai Tambak Sari yang sedang bertarung menghadapi keroyokan keluarga Bara Seta pun nampak terkejut bukan alang kepalang. Bahkan sesaat mereka menghentikan pertarungan, untuk kemudian berlanjut kembali.
Pada saat itu kedua lawan yang telah samasama melepaskan pukulan sakti tersebut, nampak berusaha merangkak bangun. Baik Buang Sengketa maupun Badak Sangrang sama-sama pula menghapus darah yang meleleh di bibir dan bagian hidung mereka. Wajah mereka sedikit memucat dengan dada terasa sesak luar biasa.
"Kau hebat orang muda. Tapi jangan bangga dulu... aku masih punya pukulan yang sebelumnya tak pernah di lihat oleh gurumu. Dan aku pun punya senjata yang dapat menandingi Cambuk Gelap Sayuto itu...!" kata Badak Sangrang dengan suara tergetar.
"Kau pun lebih hebat dariku orang tua, tapi kau pun harus ingat. Aku pun tak akan membuat malu almarhum guruku dengan sebuah kekalahan...!" Jawab si pemuda. Tapi akhirnya dia jadi sangat terkejut luar biasa saat mana dia memandang kembali pada Badak Sangrang. Dilihatnya kedua tangan laki-laki renta itu telah berubah bagai bara api yang menyala. Wajah Badak Sangrang telah di banjiri dengan keringatnya sendiri, sementara bibirnya menyunggingkan seringai maut, tak salah lagi. Saat itu Badak Sangrang kiranya sedang mengerahkan pukulan Tapak Setan hasil ciptaannya terakhir. Pendekar Hina Kelana tak mengerti banyak tentang bagaimana kekuatan pukulan yang akan di lepaskan oleh pihak lawan. Tapi dia yakin betul bahwa pukulan yang akan di lepaskan oleh Badak Sangrang tentunya merupakan pukulan yang sangat ampuh. Tegang wajah si pemuda bila membayangkan akibatnya. Memapaki pukulan itu dengan pukulan si Hina Kelana Merana? Sifatnya masih untung-untungan. Bagaimana nanti andai ternyata pukulan yang di lepas oleh si renta kurus itu berkekuatan lebih besar dari pukulan sakti yang dimilikinya. Dia cukup sadar bahwa saat itu dia sedang menghadapi lawan yang seangkatan dengan gurunya. Mempergunakan Jurus-jurus Koreng Seribu baginya juga tidak mungkin. Pukulan itu tentunya berhawa panas membakar, kalaupun dia menyedot pukulan yang akan di lepaskan oleh Badak Sangrang. Akibatnya kalau sampai kalah sakti tentu badannya akan hangus terbakar, hemm. Agaknya pukulan si Hina Kelana Merana, dengan di bantu Golok Buntung dapat mengatasi pukulan maut itu...! Membatin pendekar ini dalam keputusan yang mantap.
Saat itu, Badak Sangrang dengan di sertai suara melengking tinggi dan mata melotot sudah lepaskan pukulan Tapak Setan yang sangat berbahaya tersebut. Satu badai topan menyertai bergemuruhnya selarik sinar merah bara menyongsong ke arah tubuh Pendekar Hina Kelana. Angin pukulannya saja dapat di rasakan oleh si pemuda panas bukan main. Kalau sampai terpukul matilah aku! Gumam pendekar ini.
Selanjutnya dengan mengerahkan sebagian besar tenaga saktinya, pemuda ini kembali lepaskan pukulan si Hina Kelana Merana, lalu dibarengi dengan tercabutnya pusaka Golok Buntung sebagai perisai.
"Hiaaat "
"Blaaaar...!" Orang-orang yang bertarung di sekitarnya pun berpelantingan dengan menderita luka dalam yang cukup hebat, Nya Tambak Sari pun tak luput dari akibatnya. Bahkan Lembah Selaksa Mayat terguncang keras. Buang Sengketa dan Badak Sangrang nampak lenyap dari pandangan mereka yang tertatih-tatih. Di luar sepengetahuan mereka kiranya tubuh Badak Sangrang dan Buang Sengketa sama-sama amblas ke dalam tanah hingga sebatas leher, dalam jarak yang tidak begitu berjauhan pula. Berlomba mereka berusaha membebaskan diri dari timbunan tanah yang menghimpit masing-masing tubuh keduanya. Badak Sangrang menggerakkan badannya, lalu mengerahkan segenap kemampuannya.
"Hiaaa...!"
"Brooll!" Laki-laki renta dari Bukit Sambuang itu, sekarang telah terbebas dari tanah yang menghimpitnya. Celinguk kanan, celinguk kiri. Dan sepasang matanya yang menjorok ke dalam membentur tubuh lawannya yang masih berkutetan membebaskan diri. Badak Sangrang tertawa mengekeh begitu melihat keadaan Buang Sengketa.
"Sudah kukatakan hari ini telah di tentukan akulah yang keluar sebagai pemenangnya. Mampussss...!" Maki Badak Sangrang sambil pukulkan kedua tangannya ke depan. Kembali sinar merah bara pukulan Tangan Setan menggemuruh menerjang ke arah bagian tubuh Buang Sengketa yang terbenam. Matilah aku kali ini! Membatin pemuda itu sambil menadahkan pusaka Golok Buntung yang masih tergenggam erat di tangannya. Pemuda itu pejamkan matanya saat mana dia melihat sinar maut itu semakin mendekat ke arahnya.
"Blaaar...!" Begitu sinar merah Pukulan Tapak Setan itu membentur golok pusaka di tangan Pendekar Hina Kelana, sinar itu membalik ke arah tuannya. Badak Sangrang tiada pernah menyangka kalau hal seperti itu bisa terjadi, maka laksana kilat tubuhnya berkelebat berusaha menghindari pukulannya sendiri. Kenyataannya sehebat dan secepat manapun dia menghindar, tak urung sebagian sinar merah menyala itu masih tetap saja menyambar tubuhnya. Laki-laki itu terjengkang di makan pukulannya sendiri. Sempoyongan dia bangkit. Saat itu Buang Sengketa sudah tak terlihat dari pandangan siapa pun. Ternyata tubuhnya semakin amblas ke bumi. Hal ini sudah barang tentu membuat cemas hati Bara Seta dan Dewi Wulan yang kini mulai berada di atas angin. Tapi untuk mencari tahu lebih banyak rasa-rasanya tidak mungkin. Maka sebagai pelampiasan kemarahan mereka mengamuklah Bara Seta dan istri dengan di bantu Ayunda. Nyai Tambak Sari semakin lama semakin terdesak hebat. Hingga pada satu kesempatan yang sangat baik, Nyai Tambak Sari lengah, Dewi Wulan kirimkan satu babatan satu tusukan. Perempuan buta itu berusaha mengkelit serangan tersebut, namun dari samping kiri Ayunda kirimkan satu tusukan, di susul dengan satu pukulan yang telak ke bagian dada.
"Argkh...!" Nyai Tambak Sari menjerit tertahan, pedang di tangan Ayunda menembus bagian lambung, sementara pedang Dewi Wulan menembus pada bagian lehernya. Tubuh perempuan buta itu tergetar sesaat, kemudian berjalan sempoyongan, lalu terjerembab ke depan tanpa mampu bangkit lagi.
Cepat-cepat mereka berbalik dan bermaksud menyerang Badak Sangrang yang masih terlolonglolong memandangi tubuh adik seperguruannya. Namun pada saat itu dari dalam tanah, melesat tubuh Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntung tergenggam di tangannya. Pakaiannya nampak kotor tak karuan, gigi-giginya bergemeletukan menahan marah, sedangkan dari bibirnya keluarkan bunyi mendesisdesis tak beraturan. Tiba-tiba dia membentak garang;
"Badak Sangrang! Kau bilang kau masih memiliki senjata yang sangat ampuh. Cepat kau keluarkanlah sekarang juga, aku tak akan mengampuni jiwamu lagi...!" teriak Buang Sengketa dengan sikap menantang. Dari memandangi jenazah adik seperguruannya, kini Badak Sangrang yang juga sedang di landa kemarahan besar beralih pada keluarga Bara Seta, selanjutnya terpaku pada Pendekar Hina Kelana yang telah siap menanti.
"Kau memang hebat, bocah...! Tapi ingat aku pun masih belum kalah. Kalau kau ingin tahu seberapa hebat senjata maut ku, inilah Cambuk Inti Sukma itu...!" Serentak dengan ucapannya itu, Badak Sangrang mencabut Cambuk Inti Sukma yang dulu juga pernah dia pergunakan untuk menandingi Cambuk Gelap Sayuto ketika melawan si Bangkotan Koreng Seribu. Begitu cambuk di tangan Badak Sangrang terlepas dari pinggangnya, maka cambuk itu pun langsung menderu dan menghantam apa saja yang berada di sekitarnya. Batu-batu berukuran besar pun jadi hancur berkeping-keping saat mana cambuk tersebut menghantamnya.
Buang Sengketa terus berkelebat, mengimbangi serangan-serangan cambuk tersebut, Golok Buntung di tangan Buang Sengketa bergerak lebih cepat mematahkan setiap serangan yang datangnya saling susul menyusul. Pendekar Hina Kelana memang harus mengakui bahwa ternyata Cambuk Inti Sukma itu benarbenar hebat luar biasa. Setiap kali cambuk itu melecut, maka tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Tapi Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntungnya terus bergerak, kadang-kadang tubuhnya lenyap sehingga tinggal merupakan bayang-bayang saja.
"Ciaaaat...! Ngung...!"
"Cter... cter... cter...!" Begitu golok di tangan si pemuda bergerak mendesak lawannya, cambuk di tangan Badak Sangrang datang menyambut.
"Aiiiiih...!" Kalau saja Buang tidak cepat-cepat tarik balik serangannya, sudah barang tentu tangannya hancur dilanda cambuk lawan. Tak begitu jauh dari tempat itu, Bara Seta menyaksikan pertarungan itu dengan hati harap-harap cemas.
Masih di sekitar tempat terjadinya pertarungan, sudah hampir satu jam lebih nampak seorang laki-laki dalam suasana tegang terus memperhatikan jalannya pertarungan. Laki-laki berkaki buntung dengan keadaan tubuh rusak bekas luka-luka cambukan itu merasa bahwa sekarang saat yang sangat tepat untuk membantu Badak Sangrang yang baru saja dia kenali, masih merupakan sahabat lamanya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, begitu dia keluar dari tempat persembunyiannya, laki-laki berkaki buntung itu langsung menyerang Buang Sengketa dengan pukulan-pukulan mautnya. Merasa ada orang lain yang datang membantu dirinya, sejenak tua renta kurus kering itu pun meneliti.

 



--₪¦ « 12 » ¦₪--

Begitu mengenali siapa adanya orang yang datang membantunya, maka masih dalam keadaan bergerak menyerang dia pun berseru;
"Aha... selamat datang sobat lama! Nampaknya kau pun mempunyai keperluan yang sama terhadap muridnya si Bangkotan Koreng Seribu?" Kata Badak Sarang masih dengan tawa mengekeh.
"Tepat sekali dugaanmu, Bangkotan Koreng Seribu mempunyai hutang padaku. Pula dendam lama belum juga terobati. Gurunya sudah kojor, maka tak salah kalau hari ini aku menagih hutang pada muridnya...!" kata Wandiro sambil melakukan seranganserangan gencar.
"Keparat... kalian benar-benar iblis yang sudah bosan hidup...!" Maki Buang Sengketa secara terus menerus berusaha menghindari pukulan maupun lecutan cambuk yang di lakukan oleh Badak Sangrang.
Sementara itu Bara Seta dan istrinya kelihatan saling berbisik sesamanya; "Kakang masakan kita biarkan saja, Buang mendapat keroyokan seperti itu. Ada baiknya kalau kita datang membantu...!" Usul Dewi Wulan tanpa mengalihkan perhatiannya dari pertarungan.
"Kalau kita membantu, hal itu malah merepotkan dia. Kau harus sadar istriku bahwa kita bukanlah lawan mereka. Mereka itu merupakan tokoh tingkat tinggi yang dapat di sejajarkan dengan almarhum bapak. Kalau pun kita turun tangan menggempur tokoh-tokoh sesat tersebut, jangan-jangan jiwa kita sendiri sangat sulit untuk melindunginya...!"
"Tapi ayah... kelihatannya Kakang Kelana sudah sangat kerepotan sekali. Cambuk di tangan Badak Sangrang dahsyat memburu. Belum lagi menghadapi serangan-serangan si kaki buntung yang tak ubahnya bagai gelegar halilintar. Sementara Kakang Kelana hanya mengelak dan menangkis...!" Ayunda ikut mendesak ayahnya dengan hati harap-harap cemas. Namun nampaknya Bara Seta tidak terpengaruh dengan desakan istri dan anaknya, sebab dia merasa yakin, bahwa saat-saat itu Buang Sengketa sedang menerapkan rasa kesabarannya demi mematuhi pesanpesan yang tertulis dalam kitab Jurus Koreng Seribu. Tak perduli walau berulang kali tubuhnya harus jatuh bangun menerima pukulan-pukulan maut yang di lancarkan oleh dua orang lawan-lawannya.
"Kita tak perlu cemas. Itu bukan berarti kita membiarkan bocah itu begitu saja, sudah kukatakan kita-kita ini bukanlah apa-apa bila di bandingkan dengan tokoh-tokoh itu. Aku yakin tak lama lagi pemuda itu akan mengambil tindakan yang sangat tepat...!" Ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Bara Seta, setelah jatuh bangun tak karuan dengan menderita luka dalam yang lumayan. Pendekar Hina Kelana kemudian nampak bertindak sangat cepat. Sementara Pecut Inti Sukma terus bergerak menyambar memburu tubuhnya, Buang Sengketa sambil membabatkan Golok Buntungnya cepat pula melepas Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggangnya.
"Nguung! Ctar... ctaaaar... ctaar...!"
Tak dapat di sangkal, menderulah angin topan yang sangat dahsyat menyertai terdengarnya gelegar petir di angkasa sana. Cambuk di tangan Pendekar Hina Kelana terus melecut ke segala arah, mematahkan Pukulan Halilintar Tunggal yang di lepaskan oleh Iblis Pencabut Nyawa yang berkaki buntung itu. Tiba-tiba saja suasana di sekelilingnya berubah menjadi gelap gulita. Di lain pihak walaupun Badak Sangrang dan Iblis Pencabut Sukma pernah berhadapan dengan situasi itu ketika bertarung dengan si Bangkotan Koreng Seribu pada beberapa puluh tahun yang lalu. Namun keadaan yang mereka hadapi sekarang ini terasa agak lain. Golok Buntung yang memancarkan sinar merah menyala dalam kegelapan yang di timbulkan oleh Cambuk Gelap Sayuto itu benar-benar terasa sangat angker sekali.
Buang Sengketa yang telah sampai pada puncak kemarahannya itu, nampak sudah tak memperdulikan keadaan di sekitarnya.
"Heiiik...!" Jeritnya, sebentar saja gerakan tubuhnya pun sudah berputar sambil melecutkan cambuk di tangannya, dia juga kirimkan satu babatan ke arah tubuh Badak Sangrang.
"Nguuuung...!" Golok Buntung menderu dan timbulkan suara berisik meningkahi gelegar petir dan hujan topan di tempat itu. Namun Badak Sangrang bukanlah tokoh sembarangan, dia merupakan tokoh yang seangkatan dengan si Bangkotan Koreng Seribu. Menghadapi berkelebatnya golok di tangan Buang, maka secepatnya dia menggempos tubuhnya hingga melesat ke udara, dalam suasana gelap seperti itu dia masih sempat lecutkan cambuknya mengarah pada bagian punggung Pendekar Hina Kelana. Si pemuda merasakan ada sambaran angin yang terasa panas bergerak menerjang bagian belakang.
Maka tanpa ayal-ayalan lagi dia putar tubuh, cambuk melecut ke arah tubuh Wandira sedangkan Golok Buntung di tangannya memapasi lecutan Cambuk Inti Sukma milik Badak Sangrang.
"Tersss...! Teeees...!" Badak Sangrang keluarkan seruan tertahan saat mana dia lihat Cambuk Inti Sukma miliknya terbabat putus oleh ketajaman golok pusaka milik si pemuda. Namun dia sudah tak dapat berpikir panjang lagi, sebab saat itu golok di tangan Buang Sengketa menderu kencang ke arahnya. Lagilagi Badak Sangrang berusaha mengkelit datangnya sambaran golok maut tersebut.
"Beeet!" Serangan kilat yang di lancarkan Buang, luput! Dia menjadi sangat penasaran. Kemudian dia ulangi lagi.
"Crees...! Craaas...!"
"Ahhkk...!" Badak Sangrang menekuk tubuhnya, pada bagian leher terlihat luka yang sangat lebar. Melalui luka tersebut mengalir darah yang tiada kunjung henti. Sebentar tubuh Badak Sangrang ambruk dan berkelejat-kelejat selanjutnya diam membeku. Tapi Buang sudah tiada menghiraukannya lagi, sebab saat itu Wandiro demi melihat kematian kawan nya yang sangat mengenaskan itu, langsung menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan mautnya yang diberi nama Halilintar Tunggal Hancurkan Gunung Berapi. Buang Sengketa pun tak kalah gusarnya, cambuk di tangannya terus melecut ke udara, sedangkan golok di tangan kanannya terus berkelebat menyambar, memburu Wandiro dalam kegelapan yang di timbulkan oleh Cambuk Galap Sayuto.
"Wiing... nguuung...!"
"Ctaaar...! Ctaaar...!"
"Caaait...!" Dengan keberanian yang luar biasa Iblis Pencabut Sukma itu berusaha merebut cambuk di tangan Pendekar Hina Kelana. Tapi akal licik itu tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Golok di tangan pemuda itu menderu laksana kilat, Wandiro yang berkaki buntung berusaha membuang tubuhnya ke samping. Tapi celakanya gerakan pertama yang dilakukan oleh si pemuda sesungguhnya hanyalah merupakan gerakan tipuan semata. Begitu melihat tubuh Wandiro miring ke samping kiri, maka dari bagian atas, golok itu menyambar.
"Buuut...!"
"Kampreet sialan!" Maki si pemuda ketika untuk yang kesekian kalinya babatan golok itu pun kembali luput. Wandiro tergelak-gelak merasa menang dalam mengecoh lawan-lawannya. Buang semakin panas hatinya, lain di salurkannya sebagian tenaga dalamnya mengarah ke bagian cambuknya. Tubuhnya bergetaran sekejap lamanya. Lalu dengan disertai jeritan tinggi melengking, pemuda itu kini malah melecutkan cambuknya secara beruntun.
"Ctaaar... ctaaar... ctaaar...!"
Cambuk di tangan Buang terus melecut, bergerak menyambar-nyambar ke mana pun Wandiro berusaha menghindar. Hingga pada satu kesempatan yang sangat baik.
"Jdaaar...!" Wandiro terpelanting tubuhnya dilanda Cambuk Gelap Sayulo ditangan Pendekar Hina Kelana. Sebagian tubuhnya hangus dan bau daging terbakar pun menyebar bersamaan dengan berhembusnya badai topan dan gelegar suara petir yang datang sambung menyambung tiada berkesudahan.
Pemuda itu melangkah perlahan meng-hampiri tubuh lawannya, sekejap dia meme-riksa keadaan orang itu. Begitu dia merabai denyut nadinya, Iblis Pencabut Nyawa kiranya sudah tiada bernyawa pula. Buang menarik nafas pendek, di selipkannya Pusaka Golok Buntung pada tempatnya menyusul Cambuk Gelap Sayuto yang telah menewaskan Wandiro. Tokoh seangkatan dengan gurunya itu. Seiring dengan tersimpannya cambuk di bagian pinggangnya, maka badai topan pun langsung terhenti. Begitu juga gelegar halilintar di angkasa sana. Saat itu Bara Seta, istri dan anaknya sudah datang menghampiri si pemuda, dari cara mereka memandangnya nyatalah bahwa mereka begitu terkesan dengan kesaktian yang di miliki oleh pemuda itu.
"Buang! Kau benar-benar seorang pendekar yang sangat mengagumkan...!" Puji Dewi Wulan sembari menjabat erat tangan Buang Sengketa.
"Aku bukanlah apa-apa tanpa mendapat bimbingan kakek guru...!" Bantahnya begitu lugu.
"Hemm. Tokoh-tokoh sesat itu akhirnya tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Tapi kupikir hal itu malah lebih baik...!" Ucapnya seperti pada dirinya sendiri.
"Ya... kadang-kadang keserakahan terhadap sesuatu yang bukan miliknya, dapat berakibat fatal pada dirinya sendiri...!" Dewi Wulan menimpali.
"Oh ya, kau masih memiliki waktu sekitar dua hari lagi untuk menguasai Jurus-jurus Koreng Seribu yang berada dalam kitab itu...!" Buang hanya tersenyum-senyum saja.
"Kakang Kelana telah berhasil mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu dalam waktu tiga puluh tujuh hari, ayah...!" Ucap Ayunda, kemudian memandang sendu pada pemuda yang sangat di cintainya.
"Benarkah itu, Buang...?" Tanya Dewi Wulan seolah-olah tak percaya.
"Benar, paman dan bibi... dan mungkin aku tak bisa berlama-lama tinggal di Lembah Selaksa Mayat ini...!"
"Hei mengapa harus tergesa-gesa...?" tukas Bara Seta.
"Aku ingin secepatnya bertemu dengan ayahanda ku, paman...!" Jawabnya bersungguh-sungguh.
"Kalaupun memang begitu, tinggallah beberapa hari lagi di rumah kami...!" Kata Dewi Wulan penuh permohonan. Sebenarnya Buang merasa keberatan, tapi demi menyenangkan hati Bara Seta dan istri serta Ayunda. Maka akhirnya dia menyanggupinya juga. Demikianlah setelah menguburkan mayat ketiga orang lawannya, selanjutnya mereka kembali menuruni Lembah Selaksa Mayat.

TAMAT



INDEX BUANG SENGKETA
Badai Selat Malaka --oo0oo-- Dendam Manusia Kelelawar
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.