Iblis Pulau Hantu
tanztj
September 27, 2015
INDEX BUANG SENGKETA | |
Bencana Pedang Asmara --oo0oo-- Misteri Sepasang Pedang Setan |
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
--₪¦ « 1 » ¦₪--
Wira Atmaja terduduk lesu di ruang depan rumahnya yang besar. Baru saja siang tadi penduduk memilihnya kembali menjadi kepala desa. Namun tidak seperti biasanya, pemilihan itu dikacaukan oleh tewasnya salah seorang warga dengan cara yang amat mengerikan. Wajah Sugianta rusak bagai disayat-sayat senjata tajam. Ususnya terburai ke mana-mana. Tak seorangpun yang mengetahui, perbuatan siapa itu. Tiba-tiba saja mayat itu terlempar di kakinya, tepat saat pemilihan usai dan orang-orang bersorak kegirangan karena dia terpilih kembali. Saat itu juga orang-orang berkerumun sambil bertanya-tanya, apakah ini awal malapetaka yang menimpa mereka? Dan satu-satu meninggalkan tempat, kembali ke rumah masing-masing sambil mengunci pintu dan jendela rapat-rapat.
Laki-laki berumur sekitar limapuluh tahun itu mondar-mandir sesaat dan kembali duduk dengan wajah gelisah. Pandangannya menatap lurus-lurus ke depan. Gerimis mulai reda, namun lolongan serigala semakin nyaring terdengar. Dia kembali menghela nafas sesak.
"Siapa itu?!" bentaknya dengan suara yang agak keras saat satu bayangan berkelebat. Lakilaki itu coba menegaskan sambil kucek-kucek mata. Tak ada apa-apa! Ranting-ranting pohon di depan rumahnya yang terlihat lewat lobang angin bergerak-gerak ditiup angin. Dia coba menegaskan sambil melangkah pelan mengintai ke luar. Terlihat sepi. Angin dingin menyapu wajahnya. Laki-laki itu menghela nafas lega. Tapi baru saja dia putar tubuh dan kembali ke tempat semula, tiba-tiba!
"Bruak!"
Pintu depan hancur berantakan. Seseorang menerobos masuk dan berdiri garang di ambang pintu. Tubuhnya pendek dan gempal, serta agak buncit perutnya. Kepalanya botak dengan wajah rusak teramat mengerikan. Telinganya lebar, dan sepasang matanya seolah hendak keluar. Sekilas orang itu seperti setan pencabut nyawa. Tanpa sadar, kepala desa itu mundur dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Si... siapa kau...?"
Orang itu menyeringai sesaat. Terlihat barisan giginya yang runcing kehitam-hitaman. Terlihat seram dan menakutkan sekali.
Mendengar suara keras tadi, seorang perempuan setengah baya tergopoh-gopoh keluar kamar.
"Paaak...! Ohh..."
Tubuhnya langsung ambruk dan pekiknya menghilang seketika saat beradu pandang dengan orang yang berada di depan pintu. Perempuan setengah baya itu agaknya ketakutan sekali melihat wajah orang itu, dan tanpa sadar dia langsung pingsan. Wira Atmaja ingin memburu perempuan itu.
"Diam di tempatmu, Wira!" bentak orang itu. Sang kepala desa langsung hentikan langkah. Wajahnya kian pucat saat orang itu mendekat dengan perlahan-lahan.
"Si... siapa kau se... sebenarnya dan ma... mau apa...?"
"Ha... ha... ha... ha...! Mungkin kau tak mengenaliku lagi, bukan? Aku Burisrawa yang sepuluh tahun lalu kau siksa bersama kembratkembratmu di desa ini!" kata orang itu dengan suara nyaring bagai perempuan.
"Aku datang ke sini menuntut balas, Wira! Menuntut balas atas perlakuan kalian padaku!"
"Hah?! Tak mungkin! Tak mungkin! Kau sudah tenggelam di telaga itu?!" sahut kepala desa itu sambil terus mundur ketakutan. Terbayang di benaknya peristiwa sepuluh tahun lalu. Seorang gelandangan buruk rupa berkeliaran di desa mereka. Penduduk menganggapnya sebagai biang bencana dan malapetaka. Sebagai kepala desa, tentu saja dia turun tangan untuk mengatasi keresahan masyarakat. Secara baik-baik dia menyuruh gelandangan itu untuk pergi dari desa mereka. Tapi karena tak mau menurut, kepala desa itu kesal juga, kemudian menyuruh beberapa pemuda desa untuk bertindak dengan cara apapun. Namun secara tak disangka-sangka, orang itu melawan. Sudah tentu pemuda-pemuda desa itu mengeroyoknya beramai-ramai, dan hal inilah yang tak diperhitungkan kepala desa itu. Karena kalap dan amarah yang meluap, beberapa orang pemuda itu melakukan tindakan diluar peri kemanusiaan dengan merajam seluruh tubuh orang itu dan menenggelamkannya ke dalam sebuah telaga di ujung desa setelah tubuhnya diikat dengan batu besar agar tak mengapung. Lalu mereka tinggalkan begitu saja.
"Kenyataannya aku masih hidup Wira, dan kaulah kini yang harus mati!" Orang itu menyeringai sinis. Tangan kirinya meraih sesuatu di balik pinggang. Kepala desa itu tergagap dan keringat dingin mengucur deras saat melihat orang itu acungkan senjata. Sebuah tombak sepanjang dua depa dan di ujung sisinya terdapat bentuk seperti clurit tajam mengkilat.
"Parjo! Diman...!" teriaknya keras memanggil penjaga. Namun tak ada sahutan. Dia mulai panik dengan tubuh menggeletar hebat.
"Percuma kau memanggil mereka. Keduanya telah kukirim ke akherat. Kau tahu, Wira? Semua orang-orang yang ikut menenggelamkanku saat itu akan mati dengan cara yang mengerikan. Bukankah siang tadi kau telah melihat si Sugiarta? Nah, karena di desa ini kulihat cuma kau saja yang masih ada, maka kaulah yang mendapat giliran. Yang lain akan mendapat giliran. Akan kucari di manapun mereka berada!"
"Tidak! Tidaaaaaaaaaak...!".....
Kepala desa itu menjerit-jerit ketakutan dan berusaha lari ke dalam. Namun sekali bergerak, orang itu telah berada di depannya. Kemudian dengan bengis ayunkan senjatanya. Sebentar saja terdengar jeritan kematian yang menyayat. Wajah kepala desa itu habis disayat-sayat. Perutnya robek bagai dicabik-cabik. Ususnya berceceran di ruangan itu. Orang itu terus membabatkan senjatanya dengan sadis, dan... astaga! Tubuh kepala desa itu dipotong-potongnya menjadi beberapa bagian!
Tak puas dengan itu, kembali dia beraksi menyayat-nyayat tubuh perempuan setengah baya yang dalam keadaan pingsan. Terdengar lenguhan pendek. Tubuh perempuan itu tewas dengan cara yang sama. Kemudian orang itu mengobrak abrik seluruh ruangan dan menghancurkan segalanya hingga porak poranda. Setelah puas melakukan itu, dia berteriak nyaring bagai kerasukan setan.
"Ha... ha... ha... ha...! Semua akan mendapat bagian! Semua akan mendapat bagian dari Iblis Pulau Hantu! Kalian yang dulu menyiksaku habis-habisan! Kalian yang menendangku bagai anjing kurap saat aku mengemis-ngemis ingin menjadi murid di perguruanmu! Kalian yang dulu mengejekku dan menistaku karena wajahku buruk rupa! Kalian akan terima balasan! Kalian akan terima balasan dari Iblis Pulau Hantu! Ha... ha... ha... ha...!"
Setelah puas berteriak-teriak sambil keluarkan tawa panjang yang nyaring bagai suara perempuan dan mendirikan bulu roma, orang itu melesat cepat. Gerakannya bagai kilat, sebentar saja telah hilang dari pandangan. Tempat itu kembali sepi. Orang-orang desa yang mendengar suara itu dari rumahnya, tak ada yang berani keluar. Masing-masing bersembunyi di kolong ranjang atau di balik lemari.
Lolongah serigala dari kejauhan semakin senyap terdengar. Serangga malam seakan malas bersuara. Sebentar saja suasana desa itu seperti di pekuburan. Sunyi senyap!
--₪¦ « 2 » ¦₪--
"Hamba juga tak mengetahuinya, guru," sahut Bomantara.
"Orang-orang tak ada yang mengenalinya. Orang itu datang dan pergi bagai setan gentayangan," lanjut salah seorang murid tertua itu.
"Masalah ini harus segera dituntaskan, kalau tidak, apa kata orang-orang persilatan terhadap perguruan kita? Perguruan Bulan Terbelah hanya berpangku tangan melihat bencana di sekitarnya!"
"Jadi apa yang harus kita perbuat, guru?" tanya Dasagriwa.
"Pertanyaan yang bagus Dasagriwa!" sahut orang tua itu.
"Untuk inilah kalian berlima kukumpulkan. Aku ingin kalian mencari orang itu dan mengambil tindakan terhadapnya!"
"Maksud guru kami harus menumpasnya?" tanya Aditya meyakinkan.
"Jalan terakhir begitu. Tapi menurutku tak ada jalan lain. Orang ini harus cepat-cepat dienyahkan sebelum dia membuat kekacauan yang lebih parah!"
"Kami siap melakukannya, guru!" sahut kelima orang itu sambil menjura hormat.
"Bagus! Kalian boleh berangkat sekarang!" Belum lagi mereka bangkit, terdengar suara ributribut dari halaman depan. Seseorang masuk ke ruangan itu dengan tergopoh-gopoh.
"Ampun, guru...!" katanya dengan nafas terengah-engah.
"Di luar ada pengacau. Kami telah berusaha mencegahnya sekuat tenaga, tapi dia berilmu sangat tinggi. Banyak kawan-kawan yang telah binasa di tangannya. Mohon petunjuk, guru "
Tanpa menunggu perintah gurunya, kelima murid utama itu melesat ke halaman dengan cepat. Mereka melihat sesosok tubuh yang amat mengerikan sedang membantai murid-murid Perguruan Bulan Terbelah yang mengeroyoknya. Tubuhnya pendek gempal dengan perut buncit dan bekas-bekas luka sayat yang mengerikan. Kepalanya botak dengan telinga lebar dan sepasang mata yang seolah hendak copot dari sarangnya. Orang itu memakai baju putih agak besar dengan gambar bola-bola sebesar kepalan tangan berwarna hitam. Di tangan kanannya terlihat sebatang tombak berujung lancip sepanjang dua depa. Pada sisi ujung tombaknya itupun terdapat lengkungan tajam bagai clurit, berkilat-kilat ditimpa sinar matahari siang ini. Untuk sesaat kelima orang itu terpaku di tempatnya melihat pemandangan itu. Namun mereka cepat sadar manakala jeritan-jeritan kematian mulai riuh terdengar. Kelimanya cepat lompat mendekati dan membentak keras.
"Setan keparat mana yang berani mengacau di Perguruan Bulan Terbelah ini?!"
Mendengar bentakan itu, orang berwajah rusak ini palingkan wajah. Beberapa murid yang tadi mengeroyoknya, cepat menyingkir manakala melihat kelima murid utama itu turun tangan.
"Hmmm... kaliankah murid-murid utama si tua celaka itu?!"
"Siapa kau, kisanak? Dan kenapa membuat kekacauan di sini?!" sahut Bomantara.
"Siapa aku tak jadi masalah! Suruh si tua bangka Giri Dharma itu keluar menemuiku. Kalau dia tak berani, biarkan aku masuk ke dalam dan menggorok lehernya."
"Keparat!" maki Aditya garang.
"Orang sepertimu memang patut mampus. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba membuat kekacauan dan ingin membunuh guru kami!"
"Menyingkirlah kalian sebelum kutebas batang leher kalian satu-satu!"
Bomantara masih bisa bersikap sabar meladeni kata-kata tamu yang tak diundang itu.
"Kisanak, kalau ada sesuatu rasanya lebih baik dimusyawarahkan. Siapa tahu ada jalan keluar yang terbaik. Kenapa harus melalui kekacauan seperti ini?"
"Kakang Bomantara, kenapa harus beramahtamah pula?" sahut Dasagriwa tak sabar.
"Sudah jelas maksud orang ini, dan dia telah membuktikannya dengan membantai murid-murid perguruan. Apa yang kita tunggu?!"
"Nah, menyingkirlah!"
Mendengar ucapan orang itu, tentu saja Bomantara tak bisa berlama-lama lagi. Lebih-lebih saat orang berwajah rusak itu telah pasang kudakuda dan siap menyerang mereka berlima.
"Sheaaaa...!"
Dengan teriakan nyaring, tiba-tiba tangan kanannya yang memegang senjata unik itu telah berkelebat cepat membabat kelima orang di depannya. Tentu saja mereka berkelit dan balas menyerang. Masing-masing telah mencabut pedang dan mengurung lawan dengan ketat.
"Yeaaaa...!!"
"Trang! Trang!"
"Wuuuut!"
Kelima orang itu tersentak kaget manakala senjata mereka beradu. Terasa tenaga lawan menindih tenaga dalam mereka. Tangan mereka bergetar hebat dan kesemutan. Ini sudah membuktikan bahwa tenaga dalam lawan berada dua tingkat di atas mereka. Kalau saja dia mau, tentu mereka telah dibuat tak berdaya dalam segebrakan tadi. Agaknya orang itu memperingati dengan cara begitu. Tapi mana mau kelimanya mundur dan mengaku kalah. Apalagi lawan telah membantai belasan murid-murid perguruan. Tentu pamor mereka akan jatuh dan lebih penting lagi, tujuan orang ini harus dicegah sekuat tenaga.
"Tikus-tikus got tak berguna, apa kalian pikir bisa ungkulan melawan Iblis Pulau Hantu? Sebentar lagi nyawa kalian akan lepas, dan berikutnya si keparat Giri Dharma itupun akan terima bagiannya pula!" kata orang itu menggeram. Selesai dengan kata-katanya, tubuhnya kembali mencelat ke arah lima murid utama Perguruan Bulan Terbelah dengan kecepatan yang sulit diikuti mata.
Bomantara dan kawan-kawannya tak mau berlaku ayal-ayalan lagi. Mereka segera mainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Kilat Pedang Membelah Malam. Jika seorang saja yang memainkan jurus ini, hebatnya luar biasa. Kelebatan pedang bagai ribuan mata pedang, yang memotong-motong tubuh lawan. Itulah sebabnya Ki Giri Dharma dijuluki si Pedang Mata Seribu. Kini jurus itu dimainkan oleh lima orang dengan kompak. Tentu saja hebatnya bukan kepalang.
Namun bagi orang bermuka buruk bernama Burisrawa itu, kelebatan pedang lawan hanya disambutnya dengan kekehan kecil mengejek dan menganggap enteng. Sambil mendengus sinis kesudahannya, dia mainkan jurus terhebatnya pada tingkat ketiga yang diberi nama Memutus Urat Membuang Hidup. Kehebatannya segera dibuktikan dengan mendesak pertahanan lawan. Berkalikali ujung senjatanya yang melengkung bagai clurit tajam itu digunakan untuk mengait pedang lawan. Begitu gagal, ujung tombak yang runcing berkelebat menyambar tubuh kelimanya.
"Trang! Trang! Breeet!"
Bomantara dan Aditya berhasil memapaki serangan lawan. Namun salah seorang menjerit kesakitan manakala perutnya robek dibabat ujung senjata lawan yang berbentuk clurit. Ususnya langsung terburai. Tubuhnya limbung sesaat dan akhirnya ambruk dengan menggelepargelepar bagai ayam dipotong. Sesaat kemudian nyawanya pun lepas!
"Keparat busuk!" maki Dasagriwa kalap. Dengan sejadi-jadinya dia menyerang lawan. Seorang lagi segera membantunya. Bomantara dan Aditya coba mencegah. Namun tak keburu!
"Cras! Cras!"
"Prol! Prol!"
Dengan sekali bergerak, senjata di tangan lawan terayun ke pangkal leher kedua penyerangnya. Tak dapat dihindari. Kedua orang itu tak sempat berteriak manakala kepala mereka jatuh menggelinding.
"Jahanam!" maki Aditya dengan tubuh menggigil. Dengan hati-hati dia menyerang lawan. Bomantara pun sudah tak bisa lagi menahan sabar. Sebagai murid utama, dia bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa perguruannya. Maka meski telinganya mendengar bentakan nyaring untuk menahan niatnya, dia tetap menyerang orang berwajah buruk itu.
"Heaaaaaaaaaaat...!"
"Wuk! Wuk!"
"Cras! Cras!"
Nasib mereka tak lebih baik dari keduanya. Pinggang Aditya dibabat hingga tubuhnya terbelah dua. Tubuh Bomantara ditusuk senjata lawan bagai disate hingga menembus bagian punggung. Dan ketika orang berwajah buruk itu menarik senjatanya, terlihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh Bomantara di bagian dada dan perut hancur. Usus dan daging-dagingnya berserakan di tempat itu, sebab lawan menarik senjatanya dengan cara memutar-mutarnya.
"Biadab…!" maki Giri Dharma yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Sepasang matanya nyalang menatap orang bertubuh pendek itu. Kedua bibirnya terkatup rapat dan rahang bergemeletukan. Hawa kesadisan menyatu dalam jiwanya saat itu juga.
"Hmm.... Giri Dharma!" dengus orang itu dengan sorot mata yang tak kalah sadis.
"Kaupun akan mengalami nasib yang sama seperti kelima murid-murid utamamu itu!"
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Sepuluh tahun yang lalu, kau mengusirku bagai anjing kurap saat aku mengemis-ngemis ingin belajar ilmu silat di perguruan bututmu ini! Kau masih ingat peristiwa itu?"
Orang tua itu berusaha mengingat-ingat. Keningnya berkerut beberapa saat.
"Jadi kau orang yang bernama Burisrawa itu?"
"Tak salah! Ingatanmu ternyata masih tajam. Seharusnya aku tak mendendam padamu atau murid-muridmu. Tapi kalian mengusirku dan memperlakukanku seperti binatang. Maka hari inipun aku telah bersumpah akan memperlakukan kalian seperti binatang pula!"
"Burisrawa, keinginanmu untuk belajar ilmu silat tempo hari adalah ingin mencelakai orang. Kau ingin membunuh orang-orang yang telah menghinamu. Tentu saja keinginan seperti itu kami tolak!"
"Jangan banyak omong, keparat! Aku bersumpah akan membunuh orang-orang sepertimu!"
Selesai berkata, Burisrawa kirim satu serangan pada orang tua itu. Tentu saja Giri Dharma yang sejak tadi telah bersiaga dapat menghindarinya dengan manis dan balik menyerang lawan dengan satu sabetan pedang. Melihat lawan dengan mudah membunuh kelima murid-murid utamanya, pasti dia berilmu tinggi. Orang tua itu tak mau berlaku sungkan lagi. Dia segera mainkan jurus terhebatnya yaitu, Kilat Pedang Membelah Malam. Pedang di tangannya bergulung-gulung mengimbangi kelebatan senjata lawan.
"Trang! Trang!"
Giri Dharma terkejut kaget. Tangannya terasa kesemutan akibat benturan dua senjata itu. Tahulah dia bahwa tenaga dalam lawan setingkat lebih tinggi di atasnya. Dengan menggeram hebat dia kembali menyerang dengan menggunakan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi dan sebisa mungkin menghindari bentrokan senjata. Tentu saja hal ini dapat dengan mudah diketahui lawan. Burisrawa yang menyebut dirinya sebagai Iblis Pulau Hantu, mainkan jurus pamungkasnya tingkat kedua yang diberi nama Menampar Dingin Membakar Luka. Kehebatannya bukan kepalang. Meski tubuhnya terlihat berat namun dia mampu bergerak seringan kapas. Lebih-lebih senjata di tangan itu berkelebat dengan kecepatan luar biasa. Kadang mengait tangan atau kaki lawan, di lain saat menikam ke arah jantung dengan tiba-tiba. Tentu saja hal ini membuat ketua Perguruan Bulan Terbelah terdesak hebat. Kelebatan-kelebatan pedangnya mampu dihindari lawan dengan gerakan manis.
"Crat! Crat!"
Giri Dharma tersentak kaget. Dari kelima jari lawan, mencelat selarik sinar berwarna hitam menghantam tubuhnya. Dengan pontang panting dia berusaha menghindarkan diri.
"He... he...he...!" Burisrawa terkekeh kegirangan.
"Ingin kulihat, apa kau bisa menghindar dari pukulan Angin Hitamku ini!"
"Wuk!"
Saat orang tua itu jungkir balik hindari pukulan saktinya, Burisrawa sabetkan senjata di tangan kanannya. Masih untung Giri Dharma merasakan angin sabetan lawan hingga bisa menghindar. Namun saat orang bertubuh gempal itu tusukkan mata tombak, terlihat paha kiri orang tua itu keserempet. Dia mengeluh kecil. Saat itu juga dari kelima jari kaki kiri lawan melesat kembali sinar hitam.
"Crat! Crat!"
"Tras! Tras! Tras! Tras!"
"Wuaaaaaa...!!"
Giri Dharma menjerit setinggi langit dengan tubuh ambruk dan menggelepar-gelepar. Dari dahi, leher, jantung, dan perut, serta kemaluannya terlihat berwarna hitam dan mengepulkan asap yang berbau sangit. Kelihatannya bukan sekedar pukulan biasa, sebab tubuh orang tua itu seperti ditusuk dengan besi membara dan tembus pada bagian belakang tubuh. Nyawanya melayang dalam beberapa saat.. Burisrawa tertawa panjang, nyaring bagai perempuan. Kepalanya tengadah ke atas dengan wajah puas.
Perbuatannya tentu saja tak bisa didiamkan murid-murid Perguruan Bulan Terbelah. Tanpa dikomando lagi, serentak mereka mengurung orang berwajah buruk itu dan menyerangnya habis-habisan. Tapi apalah artinya jumlah mereka yang banyak namun punya kepandaian jauh di bawah lawan. Dalam sekejap saja Burisrawa berpesta pora membantai mereka. Senjata di tangannya berkelebat, dan dari kelima jari tangan kiri melesat pukulan Angin Hitam. Teriak kematian menggema dari tempat itu. Sebentar saja muridmurid perguruan Bulan Terbelah, habis dibantai. Sisanya yang punya nyali kecil, melarikan diri.
Burisrawa kembali tertawa panjang, dan cepat tinggalkan tempat itu setelah tiada seorang pun yang tersisa hidup!
--₪¦ « 3 » ¦₪--
Pandangannya menyapu ke setiap sudut desa ini. Sepasang alisnya berkerut melihat pemandangan yang menyedihkan. Di mana-mana terlihat mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan yang mengerikan. Ada yang kepalanya terpisah, tubuhnya tersayat-sayat. Ada lagi ususnya terburai ke mana-mana. Lalu tak kalah seram pula, seluruh tubuhnya terpisah-pisah. Pemuda yang merupakan anak si Piton Utara, alias raja dari negeri Bunian itu, menggeram hebat.
"Manusia laknat mana pula yang tega melakukan perbuatan seperti ini...?" katanya dengan rahang bergemeletuk.
"Tentulah dia sebangsa setan berujud manusia. Betul-betul sadis dan tak berperikemanusiaan!" Pendengarannya yang tajam mendengar suara lirih seseorang. Dengan cepat pemuda itu berbalik. Dari sebuah rumah yang porak poranda dan sebagian tiang-tiangnya berpatahan, terlihat seseorang berusaha merayap ke luar. Seluruh tubuhnya penuh darah. Buang Sengketa cepat melompat ke sampingnya, dan berjongkok sambil memeriksa nadi orang itu.
"To... to... long "
"Tenanglah, Pak. Saya akan berusaha menolong. Apa yang telah terjadi di sini, Pak?" tanya pemuda itu. Sebenarnya dia tak tega untuk mengatakan bahwa umur orang itu tinggal beberapa saat lagi saja. Kedua kakinya buntung dan mengeluarkan banyak darah. Punggungnya pun habis disayat-sayat. Nafasnya megap-megap, dan batok kepalanya retak mengeluarkan darah.
"I... iblis.... Pu... lau Han... tu !" sahut orang itu. Selesai berkata begitu, kepalanya terkulai di pangkuan Buang Sengketa. Nyawanya pun lepas saat itu juga. Si pemuda dari negeri Bunian itu bertanya-tanya.
"Iblis Pulau Hantu? Apakah bangsat itu. yang membuat malapetaka ini?" pikirnya sambil berucap lirih.
"Ser! Ser!"
Buang Sengketa cepat bersalto beberapa kali saat telinganya mendengar desir angin dari belakang. Baru saja dia jejakkan kaki, satu se-rangan tiba-tiba menghantam tubuhnya. Cepat pemuda itu berkelit dan kirim satu tendangan. Namun lawan agaknya mampu menghindar. Saat itu pula Buang Sengketa kembali melompat mundur untuk memastikan siapa penyerangnya itu. Namun sungguh tiada diduganya. Orang itu adalah gadis jelita yang mengenakan pakaian serba biru. Rambutnya yang panjang diikat pita biru pula.
"Siapakah engkau, Nona? Kenapa tiba-tiba menyerang tiada ujung pangkal?"
"Huh, orang sepertimu pantas untuk mampus!" sahut gadis itu sinis. Di tangan kanannya tergenggam sebilah keris berlekuk sembilan. Di tengahnya terdapat ukiran bunga tanjung.
"Sabar dulu, nona. Aku tak mengerti apa yang engkau maksudkan?"
"Maksudku sudah jelas. Untuk apa lagi engkau coba memutar balikkan persoalan!? Bukankah engkau yang membunuh orang-orang desa ini!?"
"Engkau menuduhku membunuh orangorang desa ini?!" sahut pemuda dari negri Bunian itu terbelalak kaget.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Aku baru saja tiba dan menemukan orang tua itu tergeletak tak berdaya dengan luka parah di tubuhnya!"
Untuk beberapa saat gadis itu tak berkata apa-apa. Namun wajahnya masih tetap menunjukkan kegarangan dan rasa tak percaya. Pandangannya menyapu Pendekar Hina Kelana dari ujung rambut kepala hingga kaki. Ada perasaan geli di hatinya. Apakah pemuda ini kurang waras? Membatin gadis itu. Wajahnya yang tampan, polos seperti bocah usia lima tahun. Rambutnya yang gondrong dikuncir. Dan yang lebih aneh lagi, dia membawa-bawa periuk besar. Bagaimana mungkin orang seperti itu bisa berbuat kejam? Pastilah yang dikatakannya tadi benar. Dia pendatang juga sepertiku! Lanjut batinnya. Tapi tunggu dulu! Banyak orang-orang jahat yang punya wajah tampan atau cantik. Siapa tahu yang satu ini adalah diantaranya!
"Percayalah, Nona!" lanjut Pendekar Hina Kelana coba meyakinkan.
"Aku sama sekali tak tahu menahu soal kejadian di desa ini. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat saja."
"Kalau begitu, siapa kau ini sebenarnya?!" tanya gadis itu masih dengan suara garang. Mendengar pertanyaan itu, murid si Bangkotan Koreng Seribu ketawa geli.
"Kenapa engkau malah tertawa?!" lanjut gadis itu dengan suara kurang senang.
"Bagaimana aku tak tertawa. Kau menanyaiku seperti aku ini anak-anak saja. Tapi baiklah. Pertanyaanmu itu akan kujawab. Namaku Buang Sengketa."
"Buang Sengketa...?" Gadis itu tertegun sesaat.
"Namamu aneh sekali. Baru sekarang aku mendengar nama seaneh itu. Tapi... tunggu dulu! Guruku pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang selalu membawa-bawa periuk "
Dia berpikir sejenak. Tiba-tiba wajahnya berubah kaget.
"Apakah engkau yang bergelar Pendekar Hina Kelana?!"
"Nona, itulah sebenarnya julukanku. Seorang gembel yang tiada berguna..." sahut Buang Sengketa merendah.
"Ah, maafkanlah aku..." kata gadis itu sambil sarungkan kembali keris di tangannya.
"Kukira engkau adalah orang yang belakangan ini sering membuat kekacauan itu."
"Apakah maksudmu si Iblis Pulau Hantu?"
"Jadi...? Jadi engkau mengetahuinya juga?!"
"Orang tua tadi sempat memberitahu sebelum dia tewas." sahut Pendekar Hina Kelana.
"Nona, apakah engkau dapat memberi keterangan padaku, siapa iblis itu sebenarnya?"
Gadis itu melangkah pelan mendekati pemuda itu.
"Entahlah. Akupun kurang jelas. Mengenai orang itu. Hanya saja belakangan ini kekejamannya semakin meningkat. Pertama kali dia membuat kekacauan didesa Randu Alang dan membunuh kepala desa serta keluarganya. Lalu membunuh beberapa orang tertentu di desa-desa yang lain. Kemudian perguruan Bulan Terbelah pun menjadi korbannya pula. Ketua serta seluruh murid-murid perguruan itu habis dibantainya. Dan belakangan ini kekejamannya semakin meningkat. Dia membunuh orang-orang tak berdosa, memperkosa perempuan-perempuan desa, dan menewaskan banyak pendekar-pendekar golongan putih. Bahkan belakangan ini guruku mendengar, bahwa dia tak perduli apakah orang itu baik atau jahat. Yang pasti kalau dia tak suka, orang itu akan dibunuhnya tanpa ampun. Korban-korbannya selalu tewas dengan keadaan tubuh yang mengerikan sekali "
"Benar-benar biadab!" maki Buang Sengketa.
"Agaknya orang itu sinting!. Nona, tadi engkau? mengatakan bahwa cerita ini engkau peroleh dari gurumu. Bolehkan aku mengenal beliau?"
Wajah gadis itu tersipu malu.
"Guruku pastilah tak sehebat gurumu si Bangkotan Koreng Seribu." sahutnya.
"Siapa yang tak kenal dengan orang tua yang pernah menggegerkan dunia persilatan puluhan, bahkan ratusan tahun lalu? Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai legenda."
"Ah, engkau hanya melebih-lebihkannya saja. Nona, guruku hanya manusia biasa seperti kita juga. Melihat dari gerakan ilmu silatmu, tentu gurumu adalah tokoh hebat pula."
"Orang-orang menjulukinya sebagai Siluman Betina Bertangan Biru "
"Ah, ternyata aku sedang berhadapan dengan murid tokoh wanita yang sangat terkenal itu!" sahut Buang Sengketa dengan wajah kagum. Dalam hati sebenarnya dia tertawa geli juga. Pemuda itu terpaksa berbohong agar lawan bicaranya merasa bangga. Padahal sedikit pun dia belum pernah mengenal nama yang disebutkan gadis itu. Wajahnya dibuat agar meyakinkan sekali.
Tapi gadis itupun ternyata tak bodoh. Dia tersenyum-senyum sendiri melihat ulah pemuda dari negeri bunian itu.
"Kenapa engkau tersenyum-senyum, Nona?"
"Aku tahu engkau berbohong, Kelana," sahutnya menyebut nama pemuda itu. Buang Sengketa merasa bahwa gadis ini cepat merasa akrab walau mereka baru saja berkenalan. Melihat wajahnya yang cantik jelita, tentu saja pemuda itu lebih senang lagi. Lebih-lebih saat dia tersenyum manis dan wajah garangnya hilang entah kemana.
"Bohong? Apa yang kubohongkan?" tanyanya berpura-pura.
"Engkau sebenarnya tak tahu menahu tentang guruku. Bagaimana mungkin engkau bisa mengatakan bahwa guruku sangat terkenal? Beliau jarang turun gunung, dan selama pengembaraanku, tak seorangpun yang pernah mendengar namanya. Kalaupun beliau banyak mendapat berita, itu tak lain karena beliau paling rajin menyuruh murid-muridnya untuk turun gunung," kata gadis itu menerangkan. Mendengar itu Buang Sengketa cengengesan.
"Sudahlah. Itu tak penting!" tukas si gadis akhirnya melihat wajah pemuda itu tersipu malu.
"Saat ini yang penting adalah, aku harus mencari sarang iblis itu dan secepat mungkin membereskannya. Sesuai dengan perintah guruku!"
"Hei! Hei! Tunggu dulu!" sahut pemuda berkuncir itu.
"Bukan engkau saja yang ingin membereskan manusia berkelakuan iblis itu. Apakah engkau pikir aku tak mempunyai niat yang sama?" ku?"
"Jadi engkaupun berniat sama sepertiku?"
"Apakah engkau tak memerlukan bantuan Gadis itu tersenyum, dan langsung putar tubuh sambil berkata, "Lalu kenapa sekarang buang-buang waktu? Lebih cepat menemukan sarang iblis itu, lebih baik!"
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang tak gatal melihat ulah gadis itu lagi. Tadi garangnya minta ampun. Lalu setelah kenal, senyumnya tak pernah hilang. Dan sekarang sorot matanya melirik genit saat tadi berpaling. Huuuu,. perempuan cantik memang ada-ada saja kelakuannya! Membatin pemuda itu sambil gelengkan kepala. Tak lama dia menyusul gadis itu sambil mengerahkan ajian Sepi Angin. Tubuhnya melesat cepat menyusul gadis itu.
--₪¦ « 4 » ¦₪--
Di atas pedati itu terlihat sepasang muda mudi yang kelihatannya sedang asyik bercanda.
Si lelaki seorang pemuda gagah berusia sekitar duapuluh tahun. Di pinggangnya terselip dua buah kapak bermata ganda. Rambutnya gondrong hingga ke punggung. Si gadis seorang dara berparas elok dengan wajah kekanak-kanakan. Di pinggangnyapun terselip sepasang kapak bermata dua. Sesekali nampak dia menyandar tubuhnya pada si pemuda dengan sikap manja. Tangan kanan si pemuda kemudian memeluknya, sementara tangan kirinya memegang tali kendali kerbau penarik pedati.
"Kakang Teja Pura, apakah engkau bahagia setelah perkawinan kita ini?" tanya si gadis. Pemuda itu mengecup keningnya sesaat.
"Kenapa pula aku tak bahagia? Bertahuntahun kutunggu-tunggu saat seperti ini, dan sekarang engkau telah sah menjadi istriku. Tentu saja aku sangat bahagia?"
"Oh, benarkah itu, kakang?"
"Apakah engkau tak percaya, Lastri?"
"Aku percaya, kakang! Aku percaya padamu!" sahut gadis itu sambil sandarkan kepalanya di dada si pemuda. Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Pemuda bernama Teja Pura sesekali mempermainkan anak rambut di kening gadis itu.
"Kakang, ada satu permintaanku padamu...?" lanjut gadis itu dengan suara lirih.
"Apa itu?"
"Ng... apakah engkau sudi mengabulkannya?"
Teja Pura tertawa kecil.
"Bagaimana aku bisa mengabulkannya kalau engkau tak menjelaskannya?"
Gadis itu ikut tersenyum.
"Aku ingin kita hidup mengasingkan diri saja dari dunia ramai. Atau lebih baik kita bertani saja. Apakah engkau setuju, kakang? Rasanya dunia yang sekarang kita jalani tak sesuai dengan hati nuraniku "
Pemuda itu tak langsung menjawab. Dia terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Bagaimana kakang? Apakah engkau setuju?" Pemuda itu menghela nafas panjang. Kemudian katanya dengan suara yang hati-hati sekali, "Lastri, bapakku adalah seorang pendekar pembela kebenaran yang namanya dikenal oleh masyarakat. Begitupun dengan kakekku dan keturunanku di atas. Dalam menjalani hidup seolah telah digariskan bahwa keluarga kami dilahirkan untuk berjuang membela kebenaran ini. Aku suka menjalani hidup seperti itu. Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, kejahatan seolah merajalela di mana-mana. Bagaimana mungkin aku bisa berpangku tangan melihat itu? Lalu apa gunanya ilmu silat yang bertahun-tahun kupelajari selama ini kalau tak digunakan pada jalan yang benar?"
"Kakang, dunia persilatan itu kejam dan tak kenal kompromi. Penuh dengan keadaan yang tak terduga. Salah-salah malah jiwa kita yang melayang. Aku tak mau hal ini terjadi padamu atau keturunan kita kelak "
"Ada hal yang perlu engkau ketahui. Kematian yang datang pada manusia bukan hanya oleh senjata tajam atau pukulan lawan, tapi bisa datang kapan saja secara tak terduga "
"Kakang, itu tak termasuk hitungan!" potong si gadis dengan wajah cemberut.
"Tapi dalam perkelahian sesungguhnya, seseorang tewas kemungkinannya lebih banyak ketimbang hal-hal lain yang membuatnya mati."
Pemuda itu terkekeh pelan.
"Lalu untuk apa engkau belajar ilmu silat di perguruan kami?"
"Yang jelas bukan keinginanku!" sahut si Kadis masih dengan wajah cemberut.
"Engkau sendiri mengetahui bahwa orang tuaku yang memaksa. Kalau bukan karena mereka, tentu aku mana mau mempelajari ilmu silat segala macam."
"Dan engkau tak bertemu denganku, bukan?" ledek si pemuda sambil tersenyum.
"Bukankah ini yang dinamakan jodoh? Takdirmu telah ditentukan bahwa engkau harus belajar ilmu silat. Selain untuk menjaga diri, engkau juga mendapat hikmah yang lain. Contohnya engkau mengenalku dan akhirnya kita menjadi sepasang suami istri!"
Si gadis yang mendengar jawaban itu mendongkol betul. Dengan gemas dia memukuli bahu si pemuda.
"Hei! Hei! Nanti kita bisa terbalik dari pedati, ini!"
"Biarin! Biar sekalian mati!" sahut si gadis ngambek.
"Kalau tercemplung ke dalam danau itu?"
"Biarin! Biarin!"
Baru saja si gadis berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bagai perempuan. Serentak mereka terdiam. Dua pasang mata itu mencari-cari sesuatu di balik cabang-cabang pohon atau tempat-tempat yang tersembunyi. Tak terlihat seorang pun!
"Ha... ha... ha... ha...! Alangkah mesranya dua anak manusia bercumbu di daerah kekuasaanku. Tiada tahu bahwa Iblis Pulau Hantu bisa murka bila daerah kekuasaannya dilalui meski oleh seekor semut sekalipun...!"
"Kisanak, siapakah engkau? Maafkanlah kami yang tiada tahu menahu bahwa ini daerah kekuasaanmu!" sahut Teja Pura dengan suara hormat.
"Ha... ha... ha... ha...! Tak seorang pun yang pernah kumaafkan atas kelancangan seseorang, kecuali dia harus... mati!"
"Huh, bangsat betul orang itu!" dengus Lastri kesal.
"Seenaknya mengatakan bahwa ini daerah kekuasaannya dan membunuh setiap orang yang lewat. Apa dia itu sebangsa setan pencabut nyawa?!"
"Lastri, jangan berkata seperti itu," larang Teja Pura.
"Orang ini adalah tokoh dunia persilatan tingkat tinggi. Kau dengar suaranya? Dia mampu mengerahkan tenaga dalam tinggi melalui suaranya."
Gadis itu bukannya tak merasakan telinganya agak sakit mendengar suara itu, tapi diapun bukan sebangsa orang yang berilmu rendah. Kapak kembar yang terselip di pinggang mereka menandakan bahwa kedua orang ini berasal dari Perguruan Kapak Kembar. Perguruan yang dipimpin oleh seorang tokoh sakti bernama Gajadruma atau dalam dunia persilatan lebih dikenal sebagai Malaikat Kapak Kembar, telah kesohor ke mana-mana. Tak sembarangan orang bisa menjadi murid di perguruan itu. Selain dilihat bakat dan kemauan keras, juga dilihat dari segi fisik, seperti memiliki tulang-tulang bagus, dan sebagainya. Kalaupun gadis itu bisa masuk, karena dia memiliki bakat dan fisik yang baik meski kemauannya kurang. Disamping itu dia anak seorang bupati yang dihormati di mana-mana. Sudah pasti Gajadruma tak bisa menolaknya begitu saja. Tapi bukan berarti si gadis lantas dimanja. Dia tetap mendapat perlakuan seperti murid-murid yang lain. Itulah sebabnya ilmu silat yang dimilikinya tak rendah. Begitu pula dengan tenaga dalamnya.
"Ha... ha... ha... ha...! Sungguh galak dan bersemangat engkau punya kekasih. Tapi sebentar lagi dia akan kehilanganmu, sebelum akhirnya dia sendiri kubuat mampus setelah kucicipi kehangatannya. Hak... hak... hak... ha...!!"
"Kurang ajar!" maki gadis itu kembali.
"Kakang, orang ini harus diberi sedikit pelajaran agar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini!"
Teja Pura panas hatinya. Wajahnya berubah garang. Bukan karena ucapan istrinya, melainkan kata-kata orang tanpa ujud itu yang dinilainya sangat keterlaluan dan berkesan merendahkan mereka.
"Kisanak, perlihatkan wajah kalau engkau benar-benar ingin mencabut nyawaku! Biar kutahu, orang seperti apa yang akan berbuat begitu padaku!" katanya dengan suara dingin dan menusuk.
"Hak... hak... hak... hak...! Iblis Pulau Hantu tak pernah tunjukkan wajah. Kalau itu dilakukan, maka orang itu tak akan bisa bernafas lagi!" sahut suara orang itu.
"Tapi karena engkau kelihatannya sudah kepingin sekali mati, biarlah kuperlihatkan diri!"
Tiba-tiba di hadapan mereka melesat satu bayangan. Kerbau yang menarik pedati melenguh ketakutan dan mulai beringas. Kedua orang di atas pedati itu cepat melompat saat kerbau itu tak lagi bisa dikendalikan.
"Hak... hak... hak.... hak...! Alangkah lucunya sepasang muda-mudi terjerembab dari atas pedati bulan madu. Hak... hak... hak... hak...!"
Kedua orang itu cepat bangkit dan mendengus sinis. Pertama kali melihat wajah orang itu yang berdiri lima tombak dari mereka, si gadis berseru kaget sambil memeluk suaminya. Bagaimana tidak? Wajah orang yang dilihatnya itu sangat mengerikan. Tubuhnya pendek dan gempal, serta perut yang buncit. Seluruh tubuhnya rusak seperti disayat-sayat. Wajahnya sangat mengerikan. Sepasang matanya hendak keluar, telinganya lebar, dan tulang pipi serta di sekitar bibir terlihat jelas.
"Alangkah mesranya! Alangkah enaknya! Hak... hak... hak... hak...! Akupun nanti akan
mengalaminya. Hak... hak... hak... hak...!"
"Kisanak, siapakah engkau? Bicaramu semakin ngawur!" bentak Teja Pura. Tapi orang itu bukannya menyahut, malah mengeluarkan sebuah tombak sepanjang dua depa. Ujungnya runcing, dan di sisinya pun terdapat clurit yang bersambung langsung. Dia berjalan pelan mendekati mereka dengan wajah beringas. Melihat itu tentu saja si pemuda bersiap-siap menggenggam sepasang kapak dan menggeser tubuh istrinya ke dekat pedati yang terbalik akibat diamuk kerbau yang telah lari entah kemana.
"Heeaaaaaaaaa…!!"
Dengan satu teriakan keras, orang berwajah buruk itu menyerang si pemuda. Tentu saja Teja Pura tak mau tinggal diam. Tubuhnya berkelit cepat dan balas menyerang dengan sepasang kapak di tangan.
"Yeaaaaaa...!!"
"Trang! Trang!"
"Akh!"
Pemuda itu keluarkan jerit tertahan saat senjata mereka beradu. Kulit telapak tangannya terkelupas. Itu menandakan tenaga dalam lawan jauh berada di atasnya. Melihat keadaan itu, cepat dia berteriak pada istrinya saat lawan kembali ayunkan senjata.
"Lastri, menjauh dari sini! Lari sekuat tenagamu. Ayo, cepat lari!!"
"Tidak, kakang. Biar kita hadapi iblis ini bersama-sama!" sahut gadis itu sambil mengeluarkan sepasang kapaknya.
"Lari kataku! Ayo, lari!!" bentak Teja Pura kesal.
"Tidak!" bantah gadis itu tak kalah garang.
"Apapun yang terjadi aku akan tetap bersamamu di sini."
Pemuda itu tak sempat lagi membentak manakala dia harus meladeni serangan lawan yangbertubi-tubi. Dengan mengandalkan ilmu pamungkasnya yang diberi nama Membelah Angin Menebang Hutan, menandakan si pemuda betulbetul menganggap tinggi pada lawan dan tak mau berlaku ayal-ayalan.
Sementara itu si gadis memberanikan diri untuk mengeroyok lawan meski kadang-kadang perutnya mual melihat wajah lawan yang mengerikan itu. Tapi hal ini bukannya menguntungkan Teja Pura. Justru dia yang harus repot, melindungi gadis itu dari serangan lawan yang agaknya berusaha menotok gadis itu.
Siapakah orang berwajah buruk rupa ini sebenarnya? Tak lain dari Burisrawa, atau seperti yang disebutkannya tadi yaitu, Iblis Pulau Hantu. Seperti diketahui, ilmu silat dan kesaktian orang ini tinggi tiada terkira. Oleh sebab itu, lepas jurus pertama, dia segera mainkan jurus Memutus Urat Membuang Hidup yang merupakan jurus pamungkasnya tingkat ketiga. Tak sembarangan orang bisa menandingi jurus dahsyatnya ini. Maka tak heran meski Teja Pura sekalipun yang dalam perguruan Kapak Kembar termasuk murid tertua, mulai kerepotan menghadapinya. Bahkan mulai terlihat pelan-pelan dia terdesak.
Dalam keadaan begitu, Burisrawa terus mendesaknya dan seolah mengabaikan seranganserangan yang dilancarkan Lastri. Namun saat posisi Teja Pura dalam keadaan yang tak menguntungkan, secepat kilat Lastri berteriak kencang ayunkan sebuah kapak ke batok kepala lawan. Burisrawa berguling ke bawah bagai trenggiling dan meletik bagai ikan. Tangan kirinya bekerja cepat menotok punggung gadis itu. Tak ampun lagi! Tubuh Lastri ambruk dalam keadaan kaku. Orang berwajah buruk itu dengan cepat merangkulnya sambil menyeringai sadis. Tangan kirinya kembali bergerak menotok urat suara si gadis hingga tak mampu mengeluarkan caci maki. Melihat keadaan itu, tentu saja Teja Pura marah bukan kepalang. Dengan cepat dia bangkit sambil ayunkan kapaknya.
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!"
"Crat! Crat!"
Dari jari telunjuk dan jari tengah Burisrawa melesat seberkas sinar berwarna hitam yang langsung menghantam tubuh Teja Pura di kening dan jantung. Tapi pemuda itu mampu bersalto untuk menghindari. Namun dua berkas sinar itu kembali melesat seakan saling susul menyusul. Teja Pura tak mampu menghindari. Batok kepala bagian belakang dihantam selarik sinar hitam itu dan langsung menembus ke jidatnya membuat lobang sebesar jempol kaki. Sebuah sinar yang lain menghantam punggung kiri dan terus menembus jantung. Pemuda itu ambruk sambil keluarkan jerit kematian. Mata Lastri mendelik garang melihat suaminya tewas dengan cara itu. Namun dalam keadaan begini dia tak mampu berbuat apa-apa. Tanpa sadar air matanya jatuh bercucuran menahan pedih hati serta amarah yang meluap.
"Hak... hak... hak... hak...! Suamimu telah mampus. Sekarang tak ada lagi yang akan mengganggu kita. Hak... hak... hak... hak...!" teriak orang berwajah buruk itu sambil tertawa keras. Tiba-tiba matanya mendelik garang sambil menatap gadis di pangkuannya. Lastri merasa tersirap darahnya melihat itu. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Dari dekat ini jelas sekali bagaimana bentuk wajah orang itu semakin menyeramkan. Urat-urat di bola matanya yang seakan-akan keluar dari sarangnya berwarna merah dan berakar ke seluruh permukaannya.
Tulang-tulang tengkorak kepala terlihat jelas sekali. Gadis itu menutup matanya dengan perasaan ngeri yang teramat sangat. Tapi alangkah kagetnya dia manakala orang itu mencabik-cabik pakaiannya seperti orang kesetanan.
"Hak... hak... hak...! Siapa yang bisa menghalangi kehendak Iblis Pulau Hantu?! Ha... ha... ha...!" Burisrawa ketawa panjang.. Kemudian dengan penuh nafsu dia menggumuli gadis itu. Lastri tak tahu harus bagaimana berbuat lagi.
Hatinya penuh dikecam ketakutan dan marah yang meledak-ledak. Rongga dadanya seakan bergema teriakan-teriakan memaki. Air matanya mulai meleleh menahan pedih. Saking tak kuat menahan gejolak perasaan hati, gadis itu pingsan tak sadarkan diri. Suara tawa Iblis Pulau Hantu semakin bergema panjang.
--₪¦ « 5 » ¦₪--
Sebentar-sebentar dilihatnya gadis itu berlari kencang dan meninggalkannya jauh beberapa tombak sambil ketawa renyah meledek.
"Ayo, Kelana! apakah engkau tak bisa menyusulku?"
Pemuda murid si Bangkotan Koreng Seribu itu gelengkan kepala kesal. Gadis ini sudah cukup-cukup menguji kesabarannya. Sikapnya jinak-jinak merpati, namun bisa berubah ketus dengan seketika. Lagi pula sombongnya kelewatan. Sengaja dia mengerahkan ilmu lari cepatnya seperti meledek pemuda itu. Dan yang lebih membuatnya kesal lagi, sampai saat ini, dia tak tahu siapa nama gadis itu.
"Ayo! Apakah engkau tak bisa lagi mempercepat larimu?!"
"Untuk apa menyusulmu? Toh dengan mudah aku akan mengalahkanmu," sahut pemuda dari negeri Bunian itu balas memanasi. Dan ternyata pancingannya mengena. Suara gadis itu berubah tinggi dengan nada sengit.
"Mana mungkin engkau bisa mengalahkan ilmu lariku! Guruku telah membuktikannya selama ini, dan tiada seorang pun yang pernah menang dalam hal ilmu lari dengannya!"
"Bagaimana kalau aku bisa mengalahkanmu?"
"Aku mengaku kalah padamu!"
"Buat apa taruhan seperti itu," sahut Buang Sengketa dengan suara malas-malasan dan mengejek.
"Baik. Aku akan penuhi apapun permintaanmu!"
"Betul?!"
"Seumur hidup aku tak pernah ingkar janji."
"Baiklah. Nah, engkau berlarilah lebih dahulu. Engkau lihat hutan di ujung sana? Ke sana arah kita. Kalau engkau bisa mendahuluiku, biarlah aku akan menjadi budakmu yang setia selamanya," sahut pemuda itu lebih memanasi dengan mengecilkan kemampuan si gadis. Sudah barang tentu hal ini membuat gadis itu lebih bersemangat mengalahkan pemuda itu. Tanpa menunggu waktu lagi, tubuh rampingnya dengan cepat melesat bagai anak panah. Tak tanggungtanggung, gadis itu mengerahkan seluruh ilmu lari cepat yang dimilikinya. Maka tubuhnya hanya terlihat kelebatannya saja.
Hutan yang ditunjuk si pemuda, dari sini hanya terlihat gundukan berwarna hijau saja.
Jaraknya masih ratusan tombak lagi. Kalau gadis itu kalah, dia bukan hanya menjatuhkan pamor guru dan perguruannya saja, melainkan harga dirinyapun ikut jatuh. Namun dia terlalu yakin bahwa ilmu lari cepatnya tiada tanding. Gurunya sendiri mengatakan hal itu. Jadi meski mengetahui bahwa pemuda itu murid si Bangkotan Koreng Seribu yang telah kesohor itu, sama sekali tak membuatnya jatuh mental. Malah semangatnya semakin menggebu-gebu. Bukankah dengan mengalahkan murid orang tua yang telah melegenda itu adalah suatu kehebatan luar biasa?
Tapi alangkah kagetnya gadis itu manakala sesampainya di sana, dilihatnya pemuda berkuncir itu sedang bersandar pada sebuah pohon sambil tersenyum kecil. Wajahnya langsung cemberut.
"Bagaimana nona? Bukankah engkau telah kukalahkan? Aku telah membuktikan kata-kataku, dan sekarang giliranmu untuk membuktikan ucapanmu."
"Apa yang engkau inginkan...?" sahut gadis itu lesu sambil buang pandang.
"Tadi engkau berkata, apapun yang kuminta akan engkau penuhi. Nah, sekarang aku akan meminta tiga hal padamu "
"Jangan bertele-tele! Sebutkan apa maumu?!" sahut gadis itu ketus. basi.
"Pertama, siapa namamu?"
"Tanjung Sari!" sahut gadis itu tanpa basa
"Nama yang bagus...!" kata Buang Sengketa bergumam.
"Berapa usiamu saat ini?"
"Apa itu perlu?"
"Ingat! Engkau telah berjanji. Jawab saja pertanyaanku!"
"Tujuh belas tahun!" sahut gadis itu semakin gondok.
"Nah, yang ketiga. Wajahmu cantik, pasti banyak pemuda yang tertarik denganmu. Begitu juga aku. Namun melihat tingkahmu, pastilah tak seorangpun yang berani dekat denganmu "
"Cepat katakan jangan berputar-putar begitu!"
Buang Sengketa terkekeh pelan.
"Baiklah, Aku ingin engkau menjadi kekasihku."
"Apa?! Gila!! Apa engkau pikir aku suka padamu?!"
Buang Sengketa garuk-garuk kepala yang tak gatal sambil melangkah pelan dari tempat itu.
"Yaaaah, kalau engkau tak suka, aku tak memaksamu. Hanya saja perlu engkau ingat janjimu tadi, dan suatu saat bila bertemu dengan gurumu yang mulia itu, akan kukatakan pada beliau bahwa muridnya yang bernama Tanjung Sari adalah seorang yang ingkar janji..." katanya dengan suara perlahan. Mendengar itu, bola mata si gadis semakin lebar dan wajahnya langsung berubah garang.
"Gila! Gila! Kalau engkau lakukan itu kubunuh engkau!!" teriaknya tak karuan sambil mengikuti pemuda itu dan berteriak-teriak kembali di depannya.
"Nona, kenapa harus berteriak-teriak segala? Bukankah tadi engkau yang mengatakan akan memenuhi apa saja yang kuminta kalau engkau kalah? Lalu kenapa engkau sekarang ingkar janji?"
"Tapi permintaanmu tak bisa kuterima dan tak masuk akal!" bantah si gadis.
"Engkau boleh saja meminta hal lain daripada itu."
"Bagaimana kalau akhirnya aku malah meminta yang bukan-bukan? Contohnya, aku memintamu melakukan hubungan suami istri. Apakah engkau akan suka?"
"Plaaak!"
Secara tak diduga, telapak tangan gadis itu melayang ke pipi Buang Sengketa. Pemuda itu mengusap pipinya yang terasa pedas dengan wajah bengong tak mengerti. Gadis itu sendiri tergagap sambil pandangi tangannya. Entah kenapa, tiba-tiba dia berlari dari tempat itu dengan sesegukkan. Buang Sengketa semakin bingung saja jadinya. Kenapa pula gadis itu tiba-tiba menangis?
"Sudahlah, nona. Kalau engkau tak suka pada permintaanku itu, yah kuanggap tiada saja..." kata pemuda itu sambil melangkah pelan mendekati si gadis yang menangis kecil. Wajahnya dihadapkan pada batang pohon. Buang Sengketa paling tidak tahan melihat sikap perempuan seperti itu. Saking tak tahu apa yang harus dilakukannya, dia berputar-putar pelan di tempat itu, dan akhirnya melangkah ke satu arah.
Pendengarannya yang tajam, mendengar suara rintihan kecil. Dengan cepat tubuhnya melesat ke arah itu. Terlihat seorang gadis tergolek tak berdaya di atas rerumputan. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kelihatan lemah sekali. Selintas saja pemuda itu mengetahui bahwa gadis itu dalam keadaan tertotok. Tapi dia tak tahu harus berbuat bagaimana, sebab gadis itu dalam keadaan bugil. Dengan untung-untungan dia menotok pada bagian pinggang agak ke atas. Syukur berhasil. Gadis itu bangkit dan palingkan wajah sambil menangis keras. Buang Sengketa sendiri tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa palingkan wajah, sebab gadis itu seolah tak memperdulikan kehadirannya di situ.
"Oh, Kakang Teja Pura. Sungguh malang benar nasibnya. Bukankah sudah kukatakan tiada guna hidup dalam dunia persilatan. Tapi engkau tak menurut kata-kataku. Akhirnya beginilah jadinya," kata gadis itu sambil mengeluh. Kemudian terdengar tangisannya dengan suara agak keras. Buang Sengketa memberanikan diri untuk melirik. Tahulah dia kenapa gadis itu menangis seperti itu. Seorang pemuda terlihat terbujur kaku di hadapannya. Pada kening dan jantungnya ada lobang sebesar jempol kaki. Dari situ menetes darah satu-satu. Sebagian kelihatan telah mongering. Belum lagi pemuda itu berpikir apa yang sebaiknya dia lakukan, tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa panjang.
"Hi... hi... hi... hi... hi...! Kakang, coba lihat! Lihat anak kita sebentar lagi akan lahir. Kakang, ayolah! Kenapa engkau tidur lama sekali? Apakah engkau sudah tak sayang lagi padaku?!"
Buang Sengketa kerutkan dahi. Dalam sangkaannya, gadis ini tentu sudah gila. Belum tentu pemuda yang tergeletak itu kekasih atau suaminya. Berpikir ke situ, dia putar tubuh dan berniat kembali ke tempat Tanjung Sari. Namun baru saja melangkah dua tindak, tiba-tiba gadis itu mengejar dan memeluknya erat-erat sambil berteriak histeris.
"Kakang Teja Pura...!! Akan ke manakah engkau?! Apakah engkau tega meninggalkan aku begitu saja setelah jahanam itu menodaiku?! Oh, engkau sungguh kejam. Lihatlah, Kakang?! Aku sedang mengandung anakmu, bukan anak si jahanam itu?! Lihat, Kakang?!"
Pemuda dari negeri Bunian itu jengah sendiri. Si gadis menunjuk-nunjukkan perutnya. yang sedikit menggunung. Bukannya dia tak mau menghiraukan, tapi harus bersikap bagaimana? Gadis itu sama sekali tak sadar bahwa tubuhnya tak terbungkus sehelai benang pun. Sehingga terlihat jelas daerah terlarangnya.
Buang Sengketa hanya bisa mendorongnya sedikit agar menjauh.
"Nona, sadarlah! Aku bukan siapa-siapamu. Aku cuma seorang pengelana biasa. Sadarlah, nona!"
"Apa? Engkau pura-pura tak mengenaliku lagi, Kakang? Oh, sungguh malang betul nasibku," sahut gadis itu sambil menggigit jemarinya dengan wajah masghul. Tapi tiba-tiba wajahnya kembali riang dan merangkul pemuda itu lebih erat lagi.
"Kakang, lihatlah! Aku masih hidup. Iblis itu meninggalkan aku begitu saja tanpa sebab setelah mendengar bunyi pluit dari arah danau sana," tunjuknya ke satu tempat.
"Ta... tapi, Kakang. Iblis itu sempat menodaiku. Engkau tentu tak marah, bukan? Aku... aku dibuatnya tak berdaya sama sekali. Engkau pun saat itu sedang bertarung habis-habisan dengannya. Engkau pasti tak marah, bukan?" lanjutnya dengan suara merajuk.
"Nona, sadarlah! Aku bukan apa-apamu!
Aku bukan Kakang Teja Pura yang engkau sebutsebut. Namaku Buang Sengketa...." sahut pemuda itu. Belum lagi dia selesaikan ucapannya, tibatiba terdengar seseorang menyahuti dengan nada sinis.
"Huh, Buang Sengketa atau Teja Pura, siapa perduli?! Yang jelas dia cuma sebangsa lelaki hidung belang. Dengan seenaknya menodai seorang gadis, dan meninggalkannya begitu saja!" Buang Sengketa mendongak kaget. Si gadis bernama Tanjung Sari pasang wajah sinis sambil bersandar di batang pohon.
"Ah, Tanjung Sari! Untung engkau cepat datang. Maukah engkau menjelaskan pada gadis ini bahwa aku bukan Teja Pura yang dimaksudnya? Tentu sesama gadis engkau pasti memahaminya?"
"Huh, jangan berpura-pura! Dasar laki-laki hidung belang. Engkau hanya sejenis tikus pemetik bunga yang mencari mangsa gadis-gadis desa tak berdaya. Untung aku belum masuk perangkapmu!"
"Tanjung Sari, apa-apaan ini?! Apakah engkau tak percaya padaku?!"
"Percaya padamu!? Huh, nanti dulu! Uruslah gendakmu itu, biar kuurus persoalanku sendiri!" sahut gadis berbaju biru itu ketus. Kemudian dia putar tubuh dan berlalu secepatnya dari tempat itu.
"Tanjung Sari, tunggu! Aku akan jelaskan persoalannya!" teriak pemuda itu. Namun baru saja dia akan bergerak, pelukan gadis itu semakin bertambah erat. Dia berusaha meloloskan diri, namun agaknya gadis itu memiliki tenaga dalam lumayan, hingga membuatnya sedikit kerepotan.
"Nona, maafkanlah aku sedikit berlaku kasar padamu! Tapi sungguh, aku bukan Teja Pura yang engkau maksud. Namaku Buang Sengketa," kata pemuda dari negeri Bunian itu. Tangannya menarik tangan gadis itu dengan mengerahkan seperempat tenaga dalamnya. Begitu terlepas, tubuhnya melesat cepat sambil mengetrapkan ajian Sepi Angin menyusul Tanjung Sari. Gadis yang ditinggalkannya itu menangis tersedu-sedu sambil tetap berteriak-teriak memanggilnya Teja Pura.
Siapakah sebenarnya gadis itu? Tak lain dari Lastri, istri dari Teja Pura yang telah binasa di tangan Burisrawa alias si Iblis Pulau Hantu. Setelah orang berwajah buruk itu menodainya, tadinya dia sekalian akan membunuhnya, namun mendadak dari arah danau terdengar suatu isyarat. Dia buru-buru meninggalkannya begitu saja.
Sementara itu Buang Sengketa, kelabakan mencari arah mana yang ditempuh gadis bernama Tanjung Sari. Untuk sesaat dia celingukan. Namun tiba-tiba berkelebat satu bayangan dari arah samping. Pemuda itu langsung mengempos ajian Sepi Angin untuk mengejar bayangan itu.
"Kelana...! Tolong...! Toloooong...!" teriak satu suara. Pemuda itu mengenali betul siapa yang mengeluarkan suara itu. Datangnya dari arah bayangan yang sedang berkelebat. Hatinya mulai was-was. Apa yang terjadi pada Tanjung Sari? Apakah dia dalam keadaan bahaya?
Bayangan itu hampir tersusul oleh Buang Sengketa. Kini dia dapat melihat dengan jelas. Tanjung Sari sedang dipanggul oleh seseorang bertubuh pendek. Tak jelas rupa orang itu dari belakang. Tapi ilmu larinya sungguh hebat luar biasa. Dan pemuda itu terpaksa mengerahkan ajian Sepi Angin sampai tingkat yang tertinggi. Kalau tak tersusul dalam beberapa saat ini, sudah bisa dipastikan gadis itu yang berteriakteriak ketakutan akan dibawa orang itu ke tempatnya, dan pemuda itu hampir setengah yakin bahwa orang itu bersarang di sekitar danau yang selalu ditutupi asap itu.
Tapi alangkah kagetnya Buang Sengketa karena dugaannya salah besar. Melihat orang itu berlari menuju danau, dia mengira sarang orang itu tak jauh dari tempat ini. Tapi siapa sangka dia malah melesat cepat di atas permukaan air danau yang berwarna hitam itu. Seolah-olah permukaan danau itu seperti tanah dataran saja layaknya. Pemuda itu menyumpah-nyumpah habis-habisan. Bagaimana mungkin, dia bisa melakukan itu?! Berjalan di atas air? Suatu hal yang mustahil. Tapi orang itu malah berlari kencang dan lenyap ditelan asap hitam yang menyelimuti seluruh permukaan danau itu.
"Jahanam keparat! Lepaskan gadis itu...!" teriak Buang Sengketa dengan suara melengking tinggi dialiri tenaga dalam. Sepasang matanya coba menerobos lewat celah-celah asap, tapi tiada berguna. Asap putih itu bagai kabut tebal dan menghalangi pemandangan. Siapa yang tahu bahwa di tengah-tengah danau ini ada tempat rahasia? Tiba-tiba pikiran cerdiknya melintas dan cepat dilakukannya, yaitu mengitari danau yang lebar ini. Mana mungkin ada sesuatu di tengahtengah danau. Kalau orang itu punya kesaktian yang membuatnya mampu berjalan di atas air, pastilah itu hanya tipuan. Dengan menembus danau berkabut ini, dia akan mudah mengecoh lawan, dan terus berlalu dari tempat ini, serta membiarkan pengejarnya menduga-duga bahwa sarangnya berada di tengah danau.
Namun sampai dua kali dia mengelilingi danau itu, tak terlihat tanda-tanda bahwa buruannya lolos dari danau ini. Pemuda itu terduduk lesu. Pastilah orang itu mempunyai tempat di tengah-tengah danau ini, pikirnya. Tapi bagaimana mungkin aku bisa ke sana untuk membebaskan Tanjung Sari? Membatin si pemuda dari negeri bunian itu.
"Hak... hak... hak...! Sungguh hebat engkau punya ilmu lari, anak muda. Tapi sayang, gadis ini tak akan bisa kembali lagi padamu, setelah masuk ke dalam Istana Pulau Hantu. Biar engkau punya ilmu setinggi langit, tak nanti engkau mampu menerobos ke sini. Ha... ha... ha... ha...!"
"Keparat! Lepaskan gadis itu! Perlihatkan engkau punya muka biar bisa kulihat bagaimana tampangmu yang pengecut itu!"
"Hak... hak... hak... hak...!"
Tiada jawaban selain suara tawa panjang yang terus menggema di tempat itu, dan lama kelamaan hilang. Buang Sengketa penasaran betul dengan ucapan suara itu. Apa betul dia tak bisa berenang di danau ini? Ada bahaya apa sebenarnya? Diambilnya sebatang ranting dan coba mencelupkannya ke permukaan pinggiran danau. Alangkah kagetnya pemuda itu manakala melihat ular-ular sebesar jempol kaki sepanjang satu tombak, dengan cepat melilit di ranting dan terus menjalar ke tangannya. Buru-buru dicampakkannya ranting itu ke air danau.
"Bangsat keparat! Kalau hanya bisa ular saja barangkali aku tak harus takut, tapi kalau seluruh danau ini dipenuhi dengan hewan melata itu, bagaimana aku bisa selamat ke sana?" katanya memaki-maki. Dengan kesal diputarinya lagi. danau itu sambil mencari-cari jalan rahasia ke sana. Namun sampai matahari mulai tenggelam, belum juga ditemukannya apa yang dicari. Pemuda itu tak henti-hentinya memaki.
--₪¦ « 6 » ¦₪--
"Sudahlah, Bu. Yang penting saat ini orang itu harus diganjar sesuai dengan perbuatannya. Aku bersumpah akan menggantung orang itu di alun-alun!" katanya sambil membujuk perempuan setengah baya itu.
"Kita tunggu saja utusan itu tiba membawa si keparat itu!"
Perempuan itu tak menyahut. Tangisnya semakin keras manakala mendengar seseorang bernyanyi-nyanyi dari arah kamar. Sebentar kemudian terdengar orang itu berteriak-teriak histeris, lalu disusul dengan suara mengiba-iba.
Laki-laki separuh baya itu kepalkan tinju berkali-kali. Kemudian menghantam meja dengan sekuat tenaga. Beberapa orang yang hadir di ruangan itu tersentak kaget. Sepasang mata bupati itu menatap mereka satu persatu.
"Triman!" panggilnya pada seorang laki-laki bertubuh besar. Orang itu cepat berdiri dan menjura hormat.
"Saat ini juga kerahkan orang-orang berkepandaian silat tinggi untuk membantu pasukan yang sedang menuju ke sana. Aku tak perduli siapapun dia! Yang penting orang yang menamakan diri sebagai Iblis Pulau Hantu itu harus dapat ditangkap hidup-hidup!"
"Tapi Tuanku, bukankah kita sudah mengirim utusan pada Perguruan Kapak Kembar? Sebagai besan, tentu mereka tak mau tinggal diam melihat keadaan ini. Apalagi cucu Ki Gajadruma yaitu, Denmas Teja Pura tewas di tangan orang itu "
"Aku tak perduli!" bentak bupati itu memotong pembicaraan orang bertubuh tinggi besar itu.
"Cari beberapa orang berilmu tinggi dan katakan, aku akan memberi hadiah besar bagi siapa saja yang bisa menangkap bajingan itu hiduphidup. Kalau tak bisa, bawa kepalanya ke hadapanku! Kau mengerti?!"
"Ya, iya! Hamba mengerti, Tuanku..,." sahut orang itu cepat.
"Nah, laksanakan cepat!"
Tanpa banyak membantah lagi orang itu segera mengajak kawan-kawannya berlalu dari ruangan ini. Bupati itu memperhatikan mereka dari balik pintu, dan kembali mondar mandir sambil kepalkan tangan. Tangis istrinya masih belum selesai. Dia duduk dengan lesu sambil hempaskan pantat. Namun sesaat kemudian kembali bangkit. Baru sekali ini terlihat dia begitu gelisah bercampur amarah yang meluap. Selama ini tak seorang pun yang berani berbuat macammacam padanya. Baru kali ini ada orang yang betul-betul kurang ajar padanya. Seolah-olah wajahnya dikentuti dan tak memandang sedikitpun pada kedudukannya. Bagaimana mungkin dia bisa memaafkan orang yang telah menodai putri satu-satunya, dan bahkan membunuh menantunya?
Bupati yang tak lain dari bapak gadis bernama Lastri itu, kembali kepal-kepalkan tinju. Seakan-akan hendak melumatkan orang yang telah menodai anaknya itu tanpa sisa!
--₪¦ « 7 » ¦₪--
"Anakku...! Anakku...! Kau tak boleh mati! Engkau tak boleh mati! Tidaaaaaak...!"
Orang tua itu cepat mengelus rambutnya dan berbisik pelan.
"Sudahlah Wulandari. Biar kita selesaikan urusan ini nantinya. Sekarang ikhlaskan anakmu Teja Pura kembali kepada Yang Maha Kuasa. Barangkali sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati dengan cara seperti ini."
"Bapak...." Perempuan berumur sekitar tiga puluh delapan tahun itu memburu si orang tua dan memeluknya erat-erat sambil menangis sesegukkan.
"Tabahkanlah hatimu, Nak. Ini adalah cobaan kedua setelah suamimu tewas sepuluh tahun lalu. Bapak pasti akan membereskannya. Kemanapun orang itu bersembunyi, aku bersumpah akan memburu!" kata orang tua itu pelan namun mengandung tekad yang kuat.
"Sekarang lebih baik kita urus dulu anakmu."
Perempuan setengah baya itu mengangguk. Matanya kuyu menatap mayat anaknya dibawa beberapa orang murid perguruan ke halaman belakang. Dengan langkah pelan dia mengikuti orang tua itu ke ruang dalam. Beberapa orang murid tertua mengikuti dari belakang.
Orang tua itu duduk bersila di atas sehelai tikar. Matanya tajam menyapu pandang pada mereka yang hadir di ruangan ini. Suaranya terdengar berat.
"Murid-muridku, seperti kita ketahui, hari ini cucuku tewas dengan cara keji di tangan orang yang menamakan diri sebagai Iblis Pulau Hantu. Hal ini tak bisa didiamkan begitu saja. Setahuku Teja Pura tak pernah mempunyai musuh sebab dia sendiri baru saja turun gunung. Untuk menyelesaikan masalah ini, aku akan turun tangan sendiri "
"Tapi, Guru..." sahut Wisnu Prada, murid tertua di perguruan itu.
"Bukankah masih ada hamba. Biarlah hamba yang mewakili guru untuk mencari orang itu dan meminta pertanggung jawabannya."
"Tidak, Wisnu!" sahut orang tua berusia sekitar enam puluh tahun itu tegas.
"Persoalan ini tak semudah yang engkau pikirkan. Teja Pura bukan anak kemarin sore. Ilmu silatnya pun tak dibawahmu. Kalau sampai lawan dapat membunuhnya dengan mudah, itu berarti dia memiliki ilmu tinggi. Aku tak mau diantara kalian ada yang menjadi korban secara sia-sia."
"Guru..." panggil pemuda berusia dua puluh lima tahun itu kembali, "Bukankah guru sendiri mengatakan bahwa tugas kita adalah mengamalkan ilmu yang didapat untuk menegakkan keadilan?"
Orang tua itu tersenyum pahit.
"Apa yang engkau katakan tak salah. Tapi menegakkan keadilan tanpa dasar yang kuat adalah perjuangan sia-sia belaka. Puluhan tahun nama Gajadruma dikenal dalam dunia persilatan sebagai si Kapak Kembar, bukanlah nama kosong. Selama itu tak seorang pun yang memandang sebelah mata padaku. Tapi orang satu ini seolah meremehkanku. Kalau dia tak punya andalan, tak mungkin dia berani berbuat seperti itu. Dan bila kuserahkan persoalan ini pada kalian, berarti kalian hanya berjuang secara cuma-cuma. Lagipula biarlah nyawa tuaku ini dipertaruhkan untuk menumpas orang seperti Iblis Pulau Hantu. Memang belakangan ini namanya menjadi momok yang menakutkan banyak pihak, dan sebagai pendekar golongan putih, sudah tentu aku tak bisa berdiam diri saja."
Ruangan itu sepi untuk beberapa saat. Tak ada sahutan, seolah mereka yakin, alasan apa pun yang dikemukakan agar mereka saja yang turun tangan pastilah akan ditolak orang tua itu.
"Nah, selesai pemakaman cucuku, kau Wisnu, pimpinlah perguruan ini sebaik-baiknya. Kupercayakan engkau menjabat sebagai ketua. Kalau kelak aku tewas, secara langsung engkau menduduki jabatan ketua resmi atas ijinku saat ini!"
"Guru, hamba tak bisa menerima jabatan ini..." sahut pemuda itu. Orang tua bernama Gajadruma itu pelototkan mata. Wisnu Prada jadi salah tingkah.
"Kalau engkau tak berani menerima keputusan ini apa yang bisa engkau lakukan untuk meneruskan perjuanganku?" tanya Ki Gajadruma pelan tapi menusuk.
"Kalau engkau tugaskan hal lain, barangkali hamba akan melakukannya sekuat tenaga dan kemampuan. Tapi yang satu ini berat rasanya "
"Wisnu, aku tak suka mendengar bantahanmu!"
Pemuda itu tundukkan kepala dan tak tahu harus berbuat apa. Lama dia berbuat begitu sampai kembali terdengar suara orang tua itu.
"Ini sudah keputusan dan engkau tak boleh menolaknya!"
Selesai berkata begitu, si orang tua bangkit meninggalkan ruangan menuju halaman belakang untuk mengurus mayat cucunya. Beberapa orang murid tertuanya yang hadir di ruangan itu segera mengikuti.
--₪¦ « 8 » ¦₪--
Saat ini perempuan setengah baya itu terlihat gelisah terus sejak tadi. Tiada nafsu makan, dan tak bicara sepatah katapun sejak kemarin. Tentu saja hal ini membuat murid-muridnya merasa heran sekali. Biasanya guru mereka ini selalu riang dan memperhatikan mereka berlatih. Namun sudah dua hari ini kelihatan terus mengurung diri di kamarnya. Tak seorangpun yang berani mengganggunya, sebab mereka tahu kebiasaan gurunya. Meski perempuan itu menyayangi mereka, tapi kalau melanggar peraturan pastilah hukuman akan menimpa mereka. Dan salah satu peraturan itu adalah larangan untuk mengganggu saat perempuan itu sedang berada di kamarnya.
Maka ketika mereka dipanggil untuk berkumpul, tanpa diperintah dua kali, semuanya bergerak cepat memenuhi ruang utama di pondok sederhana mereka.
Kelihatan perempuan setengah baya itu menghela nafas panjang beberapa saat kemudian. Lalu berkata pelan, "Anak-anakku, tahukah kalian kenapa hari ini ibu kumpulkan?" tanyanya.
"Apakah ada sesuatu yang sangat penting, bu?" sahut seseorang dengan suara hati-hati.
"Itulah yang sebenarnya. Seperti kalian ketahui, ibu sering menyuruh kalian untuk turun ke dunia ramai dan mendengar berita apa yang sedang hangat akhir-akhir ini. Kemudian kalau ada sesuatu yang bisa kalian lakukan, kerjakanlah! Seperti membantu si lemah, dan sebagainya. Tapi hal ini adalah untuk anak-anak yang telah mempunyai ilmu silat yang cukup. Sedang untuk mereka yang belum, jelas ibu tak akan mengijinkannya. Dunia luar penuh dengan kekejian dan kecurangan yang tiada terduga. Dan kalian sendiri pernah mengalaminya, bukan? Untuk itulah ibu tak mau kalian kembali mengalami kekecewaan."
Untuk sesaat perempuan setengah baya yang disebut sebagai Siluman Betina Bertangan Biru, menyapu pandang ke arah murid-muridnya satu persatu. Ada keakraban yang tersirat. Seperti apa yang diciptakannya dalam panggilan kepada mereka dan cara murid-muridnya memanggil ibu padanya. Hal itulah yang di inginkannya agar murid-muridnya bebas mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut.
"Lalu apakah yang mengganjal perasaan ibu dua hari belakangan ini?" tanya seorang perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Anak-anakku, sebenarnya ibu tak pernah membedakan kalian satu sama lain. Apalagi kalian sudah mampu mengontrol diri sendiri sejalan dengan usia kalian. Tapi untuk Tanjung Sari kalian semua pun mengetahui. Hanya dialah satu-satunya yang sengaja ibu pungut dari sebuah perkampungan yang saat itu dilanda kebakaran hebat. Ibu mengasuh dia sejak bayi. Tapi bukan berarti kasih sayang ibu padanya berbeda terhadap kalian. Dia paling muda di antara kalian dan kelakuannya pun paling susah diatur. Sejak kita membicarakan tentang teror yang dilakukan Iblis Pulau Hantu beberapa hari yang lalu, sore harinya dia telah lenyap entah ke mana. Ibu yakin bahwa dia ingin menunjukkan diri dan kemampuan untuk mencari tokoh sesat itu. Tapi ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya sekali. Tokoh itu berilmu tinggi dan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Ibu khawatir terjadi apa-apa dengannya "
"Jadi apa yang harus kami lakukan saat ini, bu?" tanya seorang laki-laki yang seusia dengan perempuan yang pertama tadi.
"Apakah ibu menginginkan kami mencarinya?"
"Begitulah kira-kira," sahut perempuan setengah baya itu.
"Tapi tidak semua dari kalian yang harus pergi mencarinya. Cukup lima orang saja."
"Bu, kami akan berangkat sekarang juga" kata perempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Seolah mengerti apa yang dimaksud guru mereka, empat orang yang usianya sebaya, bergabung dengan perempuan itu. Tiga laki-laki, dan seorang lagi perempuan.
"Seperti apa yang kalian laporkan pada ibu saat ini banyak tokoh-tokoh persilatan yang mencari tokoh bernama Iblis Pulau Hantu itu sehubungan dengan teror yang dilakukannya. Kalian bisa menggalang persatuan dengan mereka. Ingat! Tak seorangpun yang boleh gegabah menghadapi lawan itu."
"Kami akan selalu ingat pesan, ibu!" sahut mereka serentak, perempuan itu mengangguk. Dia mengambil sebuah kotak kecil sepanjang satu depa dari bawah sebuah meja. Ketika dibuka, terlihatlah sebuah keris berlekuk dua belas berwarna hitam kebiru-biruan. Dilihat sepintas pamor keris itu bagai barang pusaka yang mengandung kekuatan hebat. Semua murid-muridnya mengetahui, senjata yang diperlihatkan gurunya itu adalah Ni Chandranila. Sebuah keris pusaka yang sangat jarang sekali digunakannya kalau tidak dalam keadaan terpaksa.
"Lestari, mendekatlah..." kata perempuan setengah baya itu kepada murid perempuannya yang berusia tiga puluh tahun itu.
"Kupercayakan padamu untuk membawa senjata pusaka ini. Engkau tahu bukan, senjata ini sangat beracun dan tak sembarangan senjata mampu mengalahkannya. Engkau simpanlah baik-baik, dan pergunakan dalam keadaan terdesak."
"Ibu, aku tak berani menerima kepercayaan begitu besar dengan membawa Ni Chandranila..." sahut perempuan bernama Lestari itu.
"Lestari, engkau tahu bukan? Ibu paling tak suka berkata dua kali. Terima senjata pusaka ini baik-baik, dan berangkatlah kalian sekarang juga. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa melindungi niat baik kalian."
Karena tak mampu lagi menolak, akhirnya dengan tangan gemetar Lestari menerima senjata pusaka itu dan menyelipkannya ke pinggang dengan takzim. Tak berapa lama kelimanya segera mohon diri dari ruangan itu. Siluman Betina Bertangan Biru mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Mudah-mudahan kalian kembali dengan selamat..." bisiknya lirih. Kelima muridnya itu dengan cepat berkelebat, dan sebentar saja telah lenyap dari pandangan.
--₪¦ « 9 » ¦₪--
"He... he... he... he...! Betul sekali dugaanku. Engkau betul-betul hebat sekali! Tiada percuma aku mendapatkan mu, dan tiada percuma pula aku melepas pantangan membunuh. Hanya engkau satu-satunya korban yang tak kubunuh!" teriak Burisrawa terkekeh panjang. Tiba-tiba dia hentikan suara sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Ya, ya...!" lanjut nya seperti berkata pada diri sendiri, "Jadi dua dengan gadis itu. Tapi, ah, dia sama sekali tiada sebanding dengan engkau. Lagi pula dia sudah tak perawan lagi. Kalau engkau sungguh-sungguh asli. Kalau pada saat itu guru tak memanggil. Tentu dia sudah kuhabisi!"
Gadis itu tak menyahuti sepatah pun. Tubuhnya terlihat diam tak bergerak bagai mayat. Burisrawa tinggalkan kamar sambil kembali tertawa lebar
"Nanti setelah urusanku selesai dengan guru, kita akan bersenang-senang lagi!" katanya dari jauh.
Orang berwajah buruk itu memasuki satu ruangan yang agak besar dan luas. Di dalamnya terdapat barang-barang beraneka ragam. Namun pada sisi kiri, setengah dari luas ruangan ini, kosong melompong. Seseorang nampak sedang duduk bersila di atas sebuah permadani. Tubuhnya kurus dan rambutnya pendek namun berdiri bagai landak. Sepasang matanya lebar, dan hidungnya rata memperlihatkan dua bolongan kecil. Kulit di tubuhnya bagai menyatu dengan tulangbelulang yang bertonjolan dan jelas terlihat memperlihatkan ruas demi ruas. Orang ini betul-betul mirip dengan tengkorak hidup. Siapakah orang ini? Konon puluhan tahun lalu ada seorang tokoh sakti yang tiada pernah menemukan tandingan. Tindakannya kejam dan telengas. Namun sejak dikalahkan oleh seseorang, dia langsung mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tak berani menampakkan diri secara terang-terangan. Orang itu menamakan diri sebagai Siluman Lembah Neraka!
Sementara itu Burisrawa bersujud di depan orang itu dengan takzim dan hormat sekali. Ketika bangkitpun wajahnya tak berani beradu pandang, melainkan tunduk dalam-dalam.
"Hmm, jadi engkau sedang bersama gadis itu saat kupanggil, Burisrawa? Pantas engkau tak langsung menghadap!"
"Ampun, guru! Aku sedang menikmati hal yang tiada pernah kudapatkan selama hidupkusebelum engkau memungutku sebagai murid "
"Diam engkau!!" bentak orang bagai jerangkong itu dengan wajah berang. Burisrawa langsung tertunduk ketakutan.
"Ingat sumpahmu, Burisrawa! Engkau harus mendahulukan kepentingan gurumu diatas kepentinganmu sendiri. Ada yang perlu engkau lakukan dan ada yang tidak boleh engkau lakukan!"
"Ma... maksud guru..,?"
Orang bergelar Siluman Lembah Neraka itu tarik nafas panjang. Raut kesadisan masih terlukis di wajahnya yang tak pernah tersenyum. Kemudian katanya pelan namun menusuk telinga Burisrawa.
"Sepanjang petualanganku di dunia persilatan, aku adalah tokoh sesat yang paling ditakuti oleh siapapun. Kubunuh musuh-musuhku, dan tak pernah kuberi ampun orang-orang yang menghinaku. Tapi akupun manusia yang masih punya perasaan kasihan meski tersisa sedikit. Tiada pernah aku membantai orang-orang yang tak punya urusan denganku! Tak pernah aku membantai perempuan-perempuan yang tak tahu apa-apa! Tak pernah aku membantai bayi-bayi yang tak mengerti apa hidup ini! Aku tak pernah melakukan itu semua! Sebab orang seperti itu sama dengan iblis keparat!" Suaranya merangkak meninggi. Sorot matanya semakin garang menatap orang bertubuh pendek di depannya.
"Tapi apa yang engkau lakukan di luaran sana? Kelakuanmu benar-benar seperti iblis! Engkau membantai orang seenak hatimu, seakan-akan engkau merasa bahwa hanya engkaulah manusia yang patut hidup, sedang mereka adalah binatang. Engkau tak punya prinsip! Dan jangan kira aku tak mengetahui niat busukmu untuk menyingkirkanku suatu saat..."
"Gu... guru. Itu tidak benar!" sahut Burisrawa cepat.
"Mana mungkin aku berani berkhianat padamu. Kalau engkau tak ada, tentulah nasibku tak seperti ini, dan hidupkupun telah lama mati."
"Tidak, Burisrawa! Di hatimu penuh dengan setan. Engkau dikuasainya, dan bukan menguasai setan. Itu yang aku tak suka. Engkau menjadi budak, bukan tuan bagi dirimu sendiri!" sahut gurunya tegas.
"Pertama kali kuselamatkan engkau dari dalam telaga itu akibat perbuatan orangorang kampung, aku berpikir bahwa semangat dendammu sangat berguna untuk meneruskan perjuanganku. Tapi manakala kulihat bakatmu hanya seorang budak dari nafsumu sendiri, engkau bukanlah lagi orang yang kuharapkan!"
"Ja... jadi apa yang harus kuperbuat, guru...?"
"Burisrawa, akibat perbuatanmu, kini telah banyak orang berkumpul di pinggir Danau Wisa Ireng ini. Bertahun-tahun aku bersembunyi di tengah danau ini, karena kulihat tempatnya bagus untuk mengembangkan ilmu silat dan kesaktian untuk menaklukkan orang yang mengalahkanku dulu. Kubuat racun yang mematikan di dalam air danau ini. Kupelihara ular-ular yang sangat beracun, dan kubuat air danau selalu menyemburkan kabut, agar tak seorang pun mengetahui di mana persembunyianku. Tapi karena kecerobohanmu, maka semuanya jadi berantakan. Engkau harus menebus hal itu...!"
"A... aku tak mengerti, guru...?" sahut Burisrawa kebingungan.
"Burisrawa, mereka datang ke sini mencarimu. Engkau harus menghadapi mereka dengan jantan!"
"Eh... ng, aku harus menghadapi mereka semua, guru?"
"Betul! Tapi jangan pandang enteng, mereka adalah orang-orang yang berilmu sakti dan bukan mustahil tingkatan ilmunya di atasmu. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu pada mereka. Aku tak mau ikut campur dalam hal ini. Engkau yang merasakan senangnya, kini engkaupun yang harus menanggung pahitnya."
"Apakah guru betul-betul tak mau membantuku lagi?"
"Tidak, Burisrawa! Urusan kita telah selesai. Engkau sangat mengecewakanku. Pertama sekali engkau berjanji hanya akan membunuh orangorang yang menghina dan mengganggumu, tapi itu engkau langgar. Kedua, secara langsung ataupun tidak, engkau mengundang tokoh-tokoh persilatan kelas satu datang ke sini untuk menuntut balas atas perbuatanmu yang berdasar pada kesenangan pribadi."
"A... apakah guru takut menghadapi mereka semua...?"
Mendengar pertanyaan itu, sepasang mata orang seperti jerangkong itu terkuak lebar seakan hendak keluar. Wajahnya berubah tegang dan hawa amarah menyelimutinya dengan segera. Burisrawa ciut nyalinya seketika itu juga. Tiba-tiba gurunya itu tertawa lebar.
"Ha... ha... ha... ha...! Kurang ajar sekali engkau mengejekku, Burisrawa. Apalah artinya orang-orang itu bagi Siluman Lembah Neraka! Sekali kuperintahkan ular-ular dalam danau ini bergerak menyerang, mereka bisa berbuat apa?! Tak seorang pun di dunia persilatan ini yang mampu mengalahkanku selain dari orang tua super sakti yang bernama Bangkotan Koreng Seribu. Tapi jangan sekali-kali engkau mempergunakan ular-ular di danau ini untuk menyerang mereka. Ular-ular itu bahkan akan menyerangmu sampai tak bersisa lagi. Engkau tahu itu Burisrawa?!"
Orang bertubuh gempal dengan perut buncit itu anggukkan kepala.
"Nah engkau temuilah mereka dan hadapi dengan sekuat tenagamu. Kalau engkau bisa lolos, engkau boleh pergi dari sini dan jangan injak lagi Istana Pulau Hantu ini. Tapi kalau engkau kalah terhadap mereka, engkau membuatku malu, Burisrawa. Dan sebagai hukumannya, aku akan perintahkan ular-ular di danau ini untuk menyeret tubuh busukmu hingga ke dasarnya yang paling dalam. Engkau boleh menemui malaikat maut yang akan mengganjarmu lebih kejam lagi!"
"Guru...!" Burisrawa terperanjat kaget mendengar kata-kata gurunya itu.
"Apalagi yang engkau tunggu?!" bentak Siluman Lembah Neraka sambil pelototkan mata.
"Pergi dari sini dan bawa gadis itu, lalu kembalikan pada mereka. Engkau pikir aku butuh dengan segala macam perempuan?! Huh, aku tak pernah memikirkannya seumur hidupku!''
Dengan wajah lesu, Burisrawa bangkit dari ruangan itu dan melangkah pelan keluar. Dendamnya mulai tumbuh terhadap gurunya sendiri. Rasanya ingin saat ini dihantamnya orang bertubuh seperti jerangkong itu dengan sekuat tenaga, kemudian mencabik-cabiknya seperti yang sering dilakukannya terhadap korban-korbannya. Tapi mengetahui bahwa gurunya itu mempunyai ilmu dari kesaktian yang tak terukur, dia hanya bisa memaki-maki dalam hati.
Dengan membawa gadis yang masih diam tak memberikan reaksi, Burisrawa keluar dari pulau kecil di tengah danau itu. Dengan mengetrapkan ajian Berlari Di Atas Air, tubuhnya dengan enak melayang di atas permukaan air. Menembus kabut tebal yang menyelimuti tempat ini.
--₪¦ « 10 » ¦₪--
Kebanyakan dari orang-orang itu sebenarnya tak mengetahui di mana sebenarnya sarang orang yang mereka cari itu. Namun sejak kejadian yang menimpa putri Bupati Tenggala serta suaminya yang tewas, dari situlah mereka tahu bahwa orang yang dicari itu bersembunyi di balik danau Wisa Ireng yang selalu diliputi asap tebal itu. Namun setelah mengelahui bahwa di dalam danau itu terdapat ribuan ular-ular berbisa, serta air danau itu sendiri mempunyai racun yang hebat, akhirnya mereka bingung sendiri bagaimana cara menerobos tempat itu.
Ardisoma, yang memimpin tiga puluh prajurit pilihan atas perintah Bupati Tenggala, lebih pusing lagi. Lima orang prajuritnya yang menganggap enteng air danau itu, terpaksa menjadi pelajaran bagi yang lain untuk waspada sebab mereka tewas dengan cara yang amat mengerikan Diseret oleh ular-ular ke dasar danau dan tak ketahuan bagaimana nasibnya.
"Bagaimana ini, Kang Ardisoma?" tanya salah seorang utusan bupati yang lain, terdiri dari orang-orang persilatan yang datang belakangan.
"Kita tak bisa menembus ke tengah danau begitu saja."
"Entahlah. Aku pun bingung. Kalau kita kembali dengan tangan hampa, Kanjeng Bupati pasti akan lebih murka dan memberi hukuman pada, kami!"
"Apakah Ki Gajadruma telah dihubungi?"
"Sudah. Tapi beliau pun bingung, bagaimana cara menembus ke tengah danau. Seandainya ada yang memiliki ilmu terbang pun tak mungkin, sebab asap yang menyelimutinya mengandung racun pula. Dia pasti tewas sebelum menemukan tempat itu"
"Jadi apa yang akan kita lakukan di sini?
Menunggu orang itu keluar? Sampai kapan?"
"Jangan tanya padaku, sobat!" sahut Ardisoma bingung.
"Kalau engkau tak suka, engkau bisa saja pergi dari sini dan melupakannya. Tapi kalau aku beda. Kalau kami tak bisa membawa kepala bangsat itu, nyawa kami taruhannya!"
Orang itu terdiam sambil angguk-anggukkan kepala. Dari jauh terlihat rombongan berjumlah lima orang. Dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Di pinggang masing-masing mereka terselip sebatang keris. Melihat dari pakaian mereka yang berwarna biru semuanya tentulah akan menarik perhatian orang-orang di situ. Tapi tidak. Orang-orang di pinggir danau ini malah tak perdulikan mereka. Hati orang-orang itu penuh dengan amarah sekaligus kebingungan, karena tak tahu, bagaimana mereka melampiaskan dendamnya pada orang bernama Iblis Pulau Hantu itu. Jangankan melihat bentuknya, untuk tiba di tengah danau itu saja rasanya tak mungkin. Tak satupun jalan rahasia menuju ke tengahnya kecuali menyebrangi lewat permukaan airnya. Dengan sebatang rakit yang terbuat dari batang pohon, atau perahu yang sengaja mereka bawa, bahayanya akan sama. Selain ular yang mampu merambat dengan cepat, asap putih yang menyelimuti permukaan danau itupun sangat beracun. Walhasil mereka hanya bisa berteriak-teriak kesal.
Tapi ada seorang pemuda yang menaruh perhatian pada rombongan ini. Pemuda dengan rambut dikuncir dan selalu membawa-bawa periuk yang tak lain dari Buang Sengketa itu, bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka. Ada yang menarik perhatiannya. Meski kedua perempuan dalam rombongan itu agak tua, namun dandanannya sama betul dengan gadis yang telah dilarikan orang bernama Iblis Pulau Hantu itu ke tengah danau. Mereka memakai baju biru, rambutnya dikucir ke belakang, dan menyelipkan sebilah keris masing-masing di pinggang. Pemuda murid si Bangkotan Koreng Seribu itu menduga kelima orang ini pasti punya hubungan, atau paling tidak mereka berasal dari satu perguruan yang sama.
"Maaf, aku mengganggu perjalanan kalian," katanya sambil menjura hormat.
"Apakah kalian berlima murid Siluman Betina Bertangan Biru?"
Kelima orang itu mengernyitkan kening dan saling pandang satu sama lain. Apa yang dikatakan pemuda berperiuk itu tak salah. Tapi dari mana dia tahu? Selama ini mereka tak pernah menggembar gemborkan ke dunia luar tentang nama gurunya itu. Tiba-tiba saja seorang pemuda tak dikenal, mengenali guru mereka. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan kecurigaan mereka. Tapi sebagai orang-orang yang telah banyak makan asam garam kehidupan tentu mereka tak mau menunjukkan sikap itu lewat sorot matanya.
"Kisanak, maafkanlah. Kami tak tahu menahu soal orang yang barusan engkau sebut itu," sahut perempuan berusia tiga puluh tahun yang tersenyum kecil pada pemuda itu.
Buang Sengketa palingkan wajah ke arah danau sambil berkata masghul, "Ah, sungguh malang nasibmu Tanjung Sari "
"Eh, kisanak! Apa yang barusan engkau sebut tadi?!" sahut perempuan itu yang tak lain dari Lestari dengan wajah kaget.
"Kenapa? Apakah nama itu sangat berarti buat kalian?"
"Apakah engkau bertemu dengannya?!"
"Nisanak, maafkanlah. Aku sama sekali tak mengenal orang itu," sahut Buang Sengketa dengan wajah polos. Sengaja dia berkata begitu untuk membalas perlakuan mereka, sebab dia yakin betul, antara Tanjung Sari dan kelima orang ini pasti ada hubungan. Tapi entah dasar apa, mereka coba menyembunyikannya. Terbukti bahwa perempuan ini sangat penasaran sekali untuk mengetahuinya.
"Kisanak, katakanlah secara jujur, apakah engkau mengenalnya?"
"Apakah itu sangat perlu bagi kalian? Dia murid Siluman Betina Bertangan Biru, sedang kalian sama sekali tak mengenal gurunya itu. Untuk apa aku harus menerangkannya pada kalian?"
"Baiklah, aku tadi berbohong padamu. Sengaja kami sembunyikan nama guru kami itu sebab beliau tak suka namanya dikenal orang. Beliau mengutus kami berlima untuk mencari adik seperguruan kami yang pergi secara diam-diam itu. Beliau sangat khawatir terhadap keselamatannya. Nah, Kisanak, maafkanlah sikap kami tadi. Apakah engkau benar-benar pernah bertemu dengannya?" tanya Lestari berharap.
"Ah, syukurlah akhirnya aku bertemu dengan kalian," sahut Buang Sengketa. Namun wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berubah murung manakala dia mulai menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan Tanjung Sari yang akhirnya dilarikan Iblis Pulau Hantu ke tengah danau itu."
"Maafkanlah aku. Aku tak mampu melindunginya..." lanjutnya mengakhiri cerita.
"Jadi dia dilarikan iblis keparat itu?!" tanya Lestari meyakinkan pendengarannya.
"Begitulah "
"Keparat! Aku bersumpah akan membunuh iblis itu!" kata Lestari geram. Wajahnya kelam membesi.
"Percuma, Nisanak," sahut Buang Sengketa lesu. Sudah dua hari ini aku berusaha mencari jalan masuk ke tengah danau ini, namun sia-sia. Tak ada satupun pintu rahasia yang menuju ke tengah-tengah danau ini. Selain airnya mengandung racun, juga terdapat ribuan ular-ular di dalamnya. Asap tebal yang menyelimutinya pun mengandung racun yang tak kalah ganasnya."
"Apakah tak ada jalan lain atau dengan cara lain?" tanya Lestari.
"Kalau iblis itu tak mau keluar, kita paksa dia untuk keluar dari sarangnya?"
"Percuma..." sahut Buang Sengketa alias Pendekar Hina Kelana masghul.
"Engkau lihat orang-orang itu? Mereka sejak tadi berteriakteriak mengeluarkan tantangan, tapi orang bernama Iblis Pulau Hantu itu tak kunjung ke luar..." lanjutnya. Tiba-tiba pandangan pemuda dari negeri Bunian itu tertumbuk pada prajuritprajurit yang membawa senjata panah di tangannya.
"Api! Ya, api!" katanya girang.
"Kisanak, apa maksudmu?" tanya Lestari bingung.
"Prajurit-prajurit itu membawa senjata panah. Kalau ujungnya diberi api dan dipanahkan ke tengah danau, mau tak mau pastilah orang itu akan keluar."
"Ah, ide yang baik!" cetus Lestari.
"Sebaiknya cepat-cepat saja kita memberitahu mereka."
Dengan bergegas mereka menemui Ardisoma dan menerangkan rencananya. Kepala pasukan prajurit dari kediaman Bupati Tenggala itu yang sedang kebingungan, tiba-tiba saja berubah gembira. Dengan cepat diperintahkannya prajuritprajurit itu membungkus anak panah mereka dengan kain dan membakarnya dengan api. Tapi baru saja mereka bersiap-siap melepaskan anak panah ke tengah danau, tiba-tiba melesat satu bayangan dari balik kabut tebal itu. Semua yang berada di situ segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
--₪¦ « 11 » ¦₪--
"Tanjung Sari...!"
Sepasang mata orang yang mengaku bernama Iblis Pulau Hantu itu berpaling pada rombongan yang berjumlah lima orang. Ketika salah seorang dari mereka berlari mendekati, dengan cepat diayunkannya tubuh itu pada mereka.
Lestari bersalto dengan indah, dan saat dia jejakkan kaki di tanah, tubuh Tanjung Sari telah berada dalam bopongannya. Keempat saudara seperguruannya cepat mengerubung Buang Sengketa pun tak urung mendekat.
"Serang...!" teriak Ardisoma memberi perintah bersamaan dengan orang itu melempar gadis yang dikepitnya. Puluhan prajurit yang telah bersiap dengan panah api segera mematuhi perintahnya. Iblis Pulau Hantu atau Burisrawa putar senjatanya yang berbentuk tombak sepanjang dua depa dengan sisi ujungnya berbentuk clurit.
"Trak! Trak! Trak!"
Tubuh Burisrawa berkelebat cepat mengbantam puluhan anak panah berapi. Belasan batangdapat dipatahkannya, dan sisanya dihindari dengan gerakan manis. Beberapa orang-orang persilatan yang merupakan orang upahan Bupati Tenggala tanpa membuang waktu lagi, menyerang Burisrawa dengan senjata terhunus. Sementara tokoh-tokoh persilatan kelas satu yang merasa bahwa menyerang secara keroyokan akan merendahkan pamor mereka, menunggu situasi yang tepat untuk lakukan serangan.
"Ciaaaaaaaaath.!"
"Yeaaaaaaaaaaa...!"!"
"Trang! Trang! Trak!"
"Aaaaaaaaaaakh!"
Sebentar saja di pinggiran danau itu terdengar suara hiruk pikuk dari pertempuran yang terjadi secara tak seimbang. Burisrawa dikurung belasan orang-orang persilatan yang memiliki ilmu silat dan kesaktian yang lumayan. Sementara belasan prajurit pun ikut mengeroyoknya dengan penuh nafsu. Kalau orang-orang biasa, tentu sebentar saja akan dapat diringkus, atau menemui ajal dengan keadaan mengerikan. Tapi tak percuma Burisrawa menjadi murid seorang tokoh sesat nomor satu yang bergelar Siluman Lembah Neraka kalau musti gentar menghadapi keroyokan itu. Senjata di tangannya berkelebat ke sana sini.
Meski pertarungan itu tak seimbang, namun sekali Burisrawa bergerak tiga atau empat prajurit-prajurit itu tewas menemui ajal di ujung senjatanya. Sementara dari jari-jari tangan kirinya, tak henti-henti berkelebat lima larik sinar berwarna hitam yang menghantam orang-orang itu. Jerit kematian mulai terdengar di antara pengeroyok itu. Tapi bagai benteng ketaton, mereka terus menyerbu seolah tak mengenal takut. Burisrawa pun semakin gencar mengumbar kematian lawan. Banyak di antara tokoh-tokoh persilatan yang diupah Bupati Tenggala tewas di tangannya. Orang bertubuh pendek itu tak ubahnya bagai menepuk lalat menghadapi orang-orang itu. Tentu saja hal ini tak bisa didiamkan terus menerus, kalau tidak mereka akan tewas secara percuma. Ki Gajadruma dari perguruan Kapak Kembar segera memerintahkan Ardisoma untuk menarik pasukannya mundur.
"Kenapa, Ki? Sebentar lagi tentu si jahanam itu akan dapat diringkus?"
"Dia bukan tandingan prajurit-prajuritmu!" sahut orang tua itu.
"Kalau dibiarkan terus, prajurit-prajurit itu akan tewas satu persatu. Biar aku yang menghadapi, sebab secara langsung dia punya sangkutan hutang nyawa padaku!" lanjut orang tua itu tegas. Ardisoma tak bisa membantah. Dia segera memerintahkan pasukannya untuk mundur. Melihat itu, tertawalah Iblis Pulau Hantu.
"Ha... ha... ha... ha...! Kenapa?! Apakah kalian takut mati?! Majulah semua! Ayo, maju! Hadapi si Iblis Pulau Hantu. Atau kalian semua merasa gentar?!"
"Iblis keparat! Akulah lawanmu!" teriak Ki Gajadruma sambil berkelebat dengan ringan ke arah orang itu. Tanpa basa basi lagi, orang tua itu langsung mengeluarkan sepasang kapak mustikanya dan menyerang lawan dengan ganas. Dia tak mau bekerja tanggung-tanggung lagi. Mengetahui lawan berilmu tinggi, orang tua itu mainkan jurus pamungkasnya yang diberi nama Sepasang Kapak Membuat Bencana. Melihat gerakan lawan yang cepat dan mengandung tenaga dalam kuat, Burisrawa mengetahui bahwa lawannya ini berilmu tak rendah. Dia mengimbanginya dengan mainkan jurus Menampar Dingin Membakar Luka, yang merupakan jurus terdahsyatnya di tingkat kedua. Maka sebentar saja terlihat pertarungan dua tokoh sakti yang seru sekali. Gerakangerakan mereka sulit diikuti kasat mata. Hanya tokoh-tokoh sakti yang berada di situ dapat dengan jelas mengikuti jalannya pertarungan itu. Sedang bagi yang lain mereka cuma melihat kelebatan-kelebatan yang memusingkan kepala saja.
Sementara itu melihat keadaan Tanjung Sari yang menyedihkan, Lestari dan keempat saudara seperguruannya kepalkan tinju sambil kertakkan rahang menahan geram. Begitu juga dengan Buang Sengketa. Apa yang mereka lihat pada gadis itu, cuma sesosok tubuh dengan mata yang menatap kosong. Tanjung Sari seperti orang lupa ingatan. Diam tak mau bicara. Bahkan dia seperti tak mengenal mereka seorangpun
"Bangsat! Keparat itu pasti telah memperkosa adik Tanjung Sari berkali-kali dan membuatnya tertekan batin seperti ini. Dia harus kubunuh dengan kedua tanganku!" kata Lestari dengan suara geram. Sepasang matanya menyipit melihat ke arah pertarungan. Wajahnya kelam membesi, dan raut kesadisan menyatu dalam jiwanya. Dia segera bangkit dan mencabut keris pusaka Ni Chandranila. Sinar berwarna hitam kebiru-biruan segera terpancar dari keris itu. Keempat saudara seperguruannyapun berbuat serupa. Tepat pada saat itu, terdengar jerit kesakitan dari arena pertarungan. Ki Gajadruma tersungkur dengan perut robek terkena senjata lawan. Sepasang kapak kembarnya mental entah ke mana. Agaknya orang tua itu kalah segalanya dari lawan. Baik itu ilmu silat dan tenaga dalam. Padahal selama ini tak sembarangan orang mampu menjatuhkan tokoh ini. Itu sudah cukup membuat tokoh-tokoh sakti lain yang berada di situ terkejut untuk beberapa saat.
"Heaaaaaaaaaaa...!" Lestari berteriak nyaring sambil mencelat dan menyerang lawan dengan bertubi-tubi ketika dilihatnya orang-orang yang berada di situ belum beraksi. Keempat saudara seperguruannyapun bergerak susul menyusul. Tadinya Burisrawa akan menganggap enteng lawan. Apalagi karena yang dilihatnya hanya seorang perempuan. Tapi dia kaget sendiri setelah menyadari serangan lawan ganas luar biasa. Terlebih-lebih keris yang berada di tangan Lestari. Pada jarak dua jengkal dari tubuhnya, seakan mengiris-iris kulit. Tentu saja Burisrawa tak mau berlaku ayal-ayalan lagi.
Kalau Burisrawa akhirnya bertindak hatihati, itu sudah pantas. Meski nama Siluman Betina Bertangan Biru jarang dikenal orang, tapi ilmu silat dan kesaktiannya tak bisa dipandang enteng. Lestari sendiri sebagai murid tertua, sudah hampir menguasai seluruh ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki gurunya, kalau tidak, mana mungkin gurunya mempercayai untuk turun gunung mencari adik seperguruan mereka dengan resiko berhadapan si Iblis Pula Hantu.
"Heaaaaaaaaa. !"
"Trang! Cras! Cras!"
"Aaaaaaakh!"
Lestari kaget setengah mati saat keris pusakanya beradu dengan senjata lawan. Telapak tangannya lecet dan berdenyut. Namun lebih terkejut lagi perempuan itu saat mendengar teriakan dua saudara seperguruannya. Pada kening dan jantung mereka terdapat lobang sebesar jempol kaki dan mengucurkan darah. Kedua orang itu tewas setelah menggelepar-gelepar bagai ayam dipotong. Sudah barang tentu hal ini membuat Lestari semakin geram. Meski mengetahui bahwa tenaga dalam lawan dua tingkat di atasnya, tapi mana mau dia mundur begitu saja. Begitu pun dengan dua orang saudara seperguruannya yang tersisa.
Sementara itu, melihat kesaktian lawan, beberapa tokoh yang tadinya cuma menunggu keadaan, kini tanpa malu-malu mulai ikut membantu mengeroyok Iblis Pulau Hantu. Tentu saja hal ini agak merepotkan Burisrawa. Setelah mencelat beberapa kali, dia mainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Siluman Menendang Bumi. Jurus ini lebih mengutamakan kecepatan bergerak yang dibarengi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini tak bisa dipandang enteng lawan-lawannya. Tapi buat Lestari yang sedang kalap itu, mana dia mau perduli. Sambil kertakkan rahang menahan geram, dia pun meladeni lawan dengan jurus pamungkasnya yaitu Merangkul Bintang Sembunyikan Malam.
"Heaaaaaaaaaa...!"
"Trang!"
"Bret! Craaaas!"
Perempuan itu menjerit kecil manakala pinggangnya yang ramping disabet senjata lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum terjerembab jatuh. Agaknya inilah yang kurang diperhitungkannya. Selain tenaga dalam lawan yang tadi menindih saat senjata mereka beradu, senjata lawan pun mengandung racun hebat yang tiada tercium. Begitu terkena, tubuh perempuan itu mulai berubah hitam, dan tubuhnya letih bagai tak bertenaga. Tapi bukan berarti Burisrawa tak terima akibat. Dadanya robek sepanjang satu jengkal disabet keris lawan. Keris Ni Chandranila yang mengandung racun hebat itu mulai menunjukkan reaksi. Tubuh Burisrawa terasa panas dingin. Tapi dia sempat lancarkan Pukulan Angin Hitam lewat kelima jari kirinya manakala beberapa pengeroyoknya mencelat serentak ke arahnya.
"Crat! Crat!"
"Tras! Pras! Crab!"
"Wuaaaaayyyaaaa...!"
Dua orang terhajar sinar berwarna hitam pada kening dari jantungnya. Mereka langsung ambruk dengan tubuh menggelepar-gelepar sebelum akhirnya menemui ajal. Pada saat terdesak begitu pun, Burisrawa masih sempat ayunkan senjata. Tiga orang kembali melolong se-tinggi langit manakala senjatanya menemui korban. Tubuhnya dengan cepat mencelat beberapa kali ke belakang. Sementara beberapa orang pengeroyok yang tersisa mulai ragu, apakah mereka mampu mengalahkan lawan? Burisrawa telah mengempos tenaga dalam pada posisi bersiap menghadapi serangan lawan berikutnya. Mereka melihat dari ubun-ubun orang bertubuh pendek itu keluar asap putih yang bergulung, dan disusul dari bibirnya menetes darah kental berwarna kehitamhitaman. Sesungguhnya Burisrawa sedang mengeluarkan racun akibat goresan keris pusaka Ni Chandranila tadi. Padahal gurunya selama ini telah meminumkan ramuan anti racun apapun ke dalam tubuhnya. Tapi menghadapi keris pusaka Ni Chandranila, agaknya itu tak berguna. Sedang mereka yang melihat kejadian itu mulai heran dan menyangka lawan terkena serangan gelap. Maka dengan bersemangat, kembali para pengeroyoknya menyerang lawan.
Namun sebenarnya hal itu ternyata berakibat fatal buat mereka, sebab setelah Burisrawa berhasil mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya, dia merasa lebih segar. Dengan berteriak nyaring, dia melesat memapaki serangan mereka.
"Heaaaaaa...!"
"Crat! Crat!"
"Tras! Tras!"
"Aaaaaaaaaaaaakh...!"
Kembali dua orang terkena hantaman pukulan Angin Hitamnya. Dua orang lagi menyusul tewas dengan kepala terpenggal. Senjata di tangan Burisrawa kembali melesat menghajar empat orang lawan yang tersisa. Kali ini dua atau tiga diantara mereka pasti tak akan mampu mengelak dari serangannya. Apalagi saat dia kembali mengumbar pukulan Angin Hitam.
"Crat! Crat!"
"Blaaaaaaaaaar!"
Tak diduga-duga, selarik sinar berwarna merah menyala memapaki pukulan itu. Terdengar ledakan hebat yang disusul terhuyunghuyungnya dua sosok tubuh. Apa gerangan yang terjadi?
--₪¦ « 12 » ¦₪--
Sementara itu Burisrawa pun bukannya tak mengalami hal yang sama. Jantungnya berdebar tak lebih kencang dan kini terasa lebih berdenyutdenyut sakit. Selama pertarungannya menghadapi tokoh-tokoh sakti, belum pernah dia menghadapi lawan setangguh ini. Manakala dia melihat siapa orang itu sebenarnya, sungguh membuatnya agak kaget. Dia mengetahui benar, siapa pemuda berkuncir yang memakai baju merah lusuh dan membawa-bawa periuk besar itu. Dialah yang mengejarnya ketika membawa kabur Tanjung Sari.
"Heh, tenaga dalammu hebat juga, anak muda. Tapi menghadapi Iblis Pulau Hantu, engkau harus mimpi dulu baru bisa mengalahkanku!" katanya merendahkan lawan
"Tak perduli siapa engkau, tapi tindakanmu sungguh kejam dan terkutuk! Aku patut mengirimmu ke neraka!"
"Nyalimu sungguh besar anak muda. Biarlah hitung-hitung aku menghormatimu sebagai lawan yang cukup lumayan bagiku. Siapakah engkau sebenarnya? Biar aku bisa mengingatmu sepanjang hidupku kelak."
"Iblis Pulau Hantu engkau tak akan bakal hidup lagi setelah sepenanakan nasi nanti. Aku si Hina Kelana bersumpah akan menebas batang lehermu!" sahut Buang Sengketa.
"Hmmm, jadi engkau ini yang bergelar Pendekar Hina Kelana? Bagus! Bagus! Baru kali ini aku mendapat lawan yang sepadan. Kalau tak salah, engkau murid si Bangkotan Koreng Seribu, bukan? Sungguh kebetulan sekali. Kalau guruku tak mampu mengalahkan gurumu, biarlah hari ini kutebas dengan mempersembahkan kepalamu!" Burisrawa ketawa lebar. Buang Sengketa tak mengerti ke mana arah pembicaraan lawan. Hatinya telah dipenuhi amarah yang meluap. Lebihlebih saat lawan mengecilkan keberadaannya. Maka tanpa buang-buang waktu lagi, dia mencabut Pusaka Golok Buntung dan menyerang lawan dengan sebat. Begitu golok di tangannya terayun, maka terdengar suara menggaung bagai puluhan harimau terluka. Warna merah menyala dari golok itu membuat Burisrawa terkejut beberapa saat.
Mengetahui lawan berilmu tinggi, Burisrawa tak segan-segan mainkan jurus pamungkasnya yaitu, Siluman Menendang Bumi. Seranganserangannya terasa berat luar biasa. Buang Sengketa terpaksa meladeninya sambil memainkan jurus tangkisan yang ampuh, yaitu Membendung Gelombang Menimba Samudera. Tubuhnya berkelebat seperti bayang-bayang, sementara pusaka Golok Buntung berkali-kali menggaung mencari sasaran.
"Tras!"
"Wuuut!"
"Crat! Crat!"
"Blaaaaaaaar!"
Burisrawa terkejut setengah mati manakala dia coba memapaki ayunan senjata lawan yang akan menyabet lehernya. Senjatanya kutung jadi dua, dan pusaka Golok Buntung terus menderu ke pangkal lehernya. Masih untung karena memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah sangat sempurna, tubuh Burisrawa menunduk setinggi satu depa dari tanah. Tangan kirinya hantamkan pukulan Angin Hitam. Buang Sengketa memapakinya dengan pukulan Si Hina Kelana Merana. Tak dapat dielakkan lagi. Benturan dua pukulan sakti yang dilakukan pada jarak dekat itu membuat tubuh keduanya terpental lima tombak. Dari mulut Burisrawa terlihat darah segar menetes yang lama kelamaan berubah menjadi kehitamhitaman. Sementara itu Buang Sengketa bukannya tak mengalami akibat yang sama. Namun karena di tangannya tergenggam pusaka Golok Buntung yang mampu memberikan tenaga yang hebat, keadaannya tak seperti yang dialami lawan. Tapi tetap saja dadanya semakin berdenyut kencang.
Keduanya coba memperbaiki diri sambil mengerahkan hawa murni untuk melancarkan aliran darah yang kacau balau karena benturan tadi. Dan kesudahannya, kembali Burisrawa keluarkan suara melengking nyaring sambil lancarkan pukulan Angin Hitam ke arah lawan. Sepuluh larik sinar sebesar jari-jari yang berwarna hitam, melesat dari kesepuluh jarinya. Untuk beberapa saat Buang Sengketa agak kerepotan juga. Di sinilah kelebihan lawan yang tadi diperhitungkannya. Begitu senjatanya dibabat kutung, jarijarinya yang melancarkan pukulan Angin Hitam lebih berbahaya lagi. Berbeda seperti pukulanpukulan yang sejenis seperti yang dimiliki Buang Sengketa. Pukulan lawan mampu mengurung posisi lawan dari jarak jauh sekalipun. Seandainya dia coba memapaki dengan pukulan si Hina Kelana Merana yang dialiri tenaga dalam tinggi, paling-paling hanya bisa memapaki dua atau tiga larik sinar pukulan lawan. Sisanya akan menembus tubuhnya bagai sate kalau tak sempat mengelak. Kalau tadi lawan mengerahkannya dengan lima jari, masih bisa dipapakinya, dan sisanya dihindari. Tapi saat ini posisi Buang Sengketa betulbetul sulit sekali.
"Yeaaaaaaaaat...!"
"Crat! Crat!"
"Pras!"
Dia keluarkan jerit tertahan manakala se larik sinar pukulan lawan menghantam betis kirinya. Amarahnya segera meluap. Wajahnya kelam membesi dan hawa kesadisan menyatu dalam jiwanya.
"Bangsat rendah! Kiranya engkau meminta ku untuk cepat-cepat mencabut nyawamu. Rasakanlah ini!" kata si pemuda sambil keluarkan sebuah cambuk pusaka yang diperoleh dari gurunya si Bangkotan Koreng Seribu. Apalagi kalau bukan Cambuk Gelap Sayuto? Sekali dia kibaskan, terdengar lecutan dahsyat.
"Cletaaaaaaaaaaar...!!!"
Saat itu juga suasana di sekeliling tempat ini menjadi gelap gulita yang diiringi menggelegarnya bunyi petir dan gemuruh angin topan. Burisrawa terpaku barang beberapa detik dalam keadaan bingung. Saat itu pula melesat sinar merah menyala yang bergulung-gulung ke arahnya. Tak dapat dihindari lagi.
"Craas!"
Burisrawa alias Iblis Pulau Hantu tak sempat keluarkan suara, manakala kepalanya menggelinding ke tanah. Buang Sengketa memandang sinis pada tubuh tanpa kepala yang masih menggeletar-geletar sebelum akhirnya ambruk tak bergerak lagi. Namun bersamaan dengan itu, terdengar tawa panjang yang memekakkan telinga.
''Hak... hak... hak... hak...! Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa diduga, siapa sangka engkau akhirnya muncul juga. Aku tak bersusah payah mencari-carimu. Hei, Bangkotan Koreng Seribu! Apakah engkau masih ingat kepadaku? Siluman Lembah Neraka kini akan menjajal kemampuanmu lagi. Kali ini akan kita tentukan pertarungan hidup mati!"
Buang Sengketa agak kaget mendengar suara itu. Lebih-lebih karena dialiri tenaga dalam yang sangat tinggi. Meski telah mengeluarkan tenaga dalam pada tingkat tertinggi, namun tetap saja gendang telinganya bergetar hebat dan menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Lebihlebih saat lawan lipat gandakan kekuatan suara tawanya yang panjang seperti tiada henti, Buang Sengketa merasa tubuhnya bergetar hebat dan mulai limbung.
Kalau pemuda murid si Bangkotan Koreng Seribu itu sampai demikian, lebih menderita lagi mereka yang berada di sekitar tempat itu. Belasan prajurit-prajurit yang tersisa, tewas seketika dengan keadaan yang mengerikan. Dari seluruh poripori mereka mengucur darah segar akibat pembuluh darah yang pecah. Ardisoma sendiri telah menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih. Beberapa tokoh sakti yang masih berada di situ, berguling-gulingan menahan sakit. Dari mata, hidung, telinga mereka, keluar darah segar.
Buang Sengketa tak bisa mendiamkan begitu saja. Dengan sisa tenaganya, dia segera mengerahkan lengkingan ilmu Pemenggal Roh untuk menindih suara tawa lawan yang seperti tiada habis-habisnya.
"Heiiigggkkh...!"
Tapi akibatnya sungguh hebat bagi mereka yang berada di sekitar tempat ini. Teriakan kesakitan dan lolong kematian kian menjadi-jadi. Si pemuda cepat menyadari kekeliruannya. Kalau dia melawan tenaga dalam lawan yang dialirkan lewat tawa, dengan lengkingan ilmu Pemenggal Roh, sama artinya membunuh mereka yang berada di tempat ini semakin cepat. Menyadari hal itu, dia segera hentikan pengerahan ilmu itu dan lecutkan cambuk yang masih berada di tangan kirinya ke arah datangnya suara tawa itu.
"Cletaaaaataaar...!"
Seperti tadi, kembali keadaan di sekeliling tempat ini menjadi gelap gulita diiringi menggelegarnya bunyi petir dan gemuruh angin topan.
"Ha... ha... ha... ha... ha...! Sungguh hebat engkau pemuda. Kusangka engkau adalah si Bangkotan Koreng Seribu. Tapi menilik dari cambuk yang engkau pegang itu, pastilah di antara kalian ada pertalian. Tapi aku tak perduli. Yang pasti engkau harus mampus!"
Selesai berkata begitu, tiba-tiba terasa sambaran angin dari arah belakang pemuda itu. Buang Sengketa lecutkan cambuk. Pusaka Golok Buntung di tangannya segera memburu sambil keluarkan sinar merah menyala.
"Wuuuut! Wuut!"
Tapi serangannya hanya mengenai tempat kosong. Pemuda itu kesal bukan main. Belum pernah serangannya yang luput apabila Cambuk Gelap Sayuto dan Pusaka Golok Buntung telah keluar. Tapi lawan satu ini luar biasa. Gerakannyapun sulit diikuti mata. Angin serangannya kuat sekali, nyaris pemuda itu terdorong.
"Wussss!"
Buang Sengketa kembali terkejut. Kali ini bukan lagi serangkum angin yang menghantamnya, melainkan angin kuat yang berbentuk dinding baja yang menghantamnya ke mana saja dia bergerak. Inilah salah satu kehebatan ajian Din– ding Waja yang dimiliki Siluman Lembah Neraka. Meski lawan mampu berkelit dan bergerak secepat kilat, namun dinding angin yang kuat itu, seakan melebar ke segala arah dan menghantam lawan bagai terkena hajaran godam.
Sudah barang tentu hal ini membuat Buang Sengketa murka sekali. Pusaka Golok Buntungnya sama sekali tak berguna dan hanya menebas tempat kosong belaka. Begitu pula Cambuk Gelap Sayuto, tak mempengaruhi lawan sedikitpun. Jangankan mempengaruhi lawan, dia sendiri tak tahu, bagaimana bentuk lawannya saat ini saking cepatnya orang itu bergerak. Kalau terus-menerus begini, lama-lama pemuda itu bisa tewas dengan tubuh hancur. Dengan cepat disimpannya kedua senjata pusaka itu, dan mulailah Buang Sengketa alias Pendekar Hina Kelana mengetrapkan jurusjurus Koreng Seribu. Wajahnya yang tadi garang, perlahan-lahan berubah dalam keadaan pasrah seperti tak mempunyai daya apapun. Tubuhnya yang tadi reflek dalam menerima serangan lawan, kini hanya tegak berdiri dalam sikap tak perduli dan seakan-akan bukan sedang menghadapi lawan yang akan mencabut nyawa.
"Bocah, aku tak perduli engkau mau pasrah mati atau tidak. Tapi jangan kira aku akan kasihan melihat sikapmu itu. Terimalah kematianmu saat ini!" teriak suara tadi. Baru saja habis katakatanya, tiba-tiba terdengar angin kencang bergulung-gulung yang menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Angin kencang itu jelas menuju pada si pemuda yang masih dalam sikap pasrah. Orang-orang yang melihat keadaan itu, sama tercekat. Si pemuda pasti akan tewas beberapa saat lagi, pikir mereka. Tapi alangkah terkejutnya beberapa pasang mata yang melihat, bahwa pemuda itu sama sekali tak terpengaruh dengan hantaman angin itu. Bahkan keanehan lain terjadi. Angin itu seakan sirna begitu menyentuh tubuhnya yang menyedot kencang pada di mana angin itu berasal tadi.
"Aaaaaaakh...!"' Terdengar jerit kecil tertahan yang disusul terhentinya pusaran angin tadi. Dari jauh terdengar lapat-lapat suara.
"Pemuda, dari gurumu aku menerima kalah, kini dari muridnya pun aku dapat dikalahkan juga. Tapi setidaknya aku masih punya kebanggaan sebab tak seorangpun diantara kalian yang mampu membinasakanku. Ha... ha... ha...!"
Orang-orang yang melihat pertempuran itu mendecah kagum. Betapa tidak? Jelas mereka lihat si pemuda mengerahkan ilmu aneh yang mampu menyedot kekuatan tenaga dalam lawan. Kalau yang dihadapinya bukan orang sakti, niscaya dia tak akan mampu melepaskan diri dari pengaruh ilmu itu. Yang lebih aneh dan mengherankan lagi, tak seorang pun diantara mereka yang mengetahui, siapa lawan pemuda itu dan bagaimana bentuknya. Jangankan mereka, Pendekar Hina Kelana sendiri tak tahu, siapa lawannya tadi. Yang diketahuinya hanya satu, yaitu dia menamakan dirinya sebagai Siluman Lembah Neraka! Orang-orang baru tersentak manakala mereka menyadari bahwa si pemuda berkuncir yang membawa-bawa periuk besar itu sudah tak ada lagi di tempat. Lenyap seperti lawannya tadi tanpa diketahui. Beberapa orang menggeleng sambil mendecah kagum.
"Betul-betul luar biasa pemuda itu!"
"Tentu saja! Bukankah dia murid si Bangkotan Koreng Seribu?!" sahut seorang lagi.
"Lagipula namanya telah menggetarkan dunia persilatan akhir-akhir ini. Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Kelana?!"
Mereka mengangguk-angguk dan mulai tinggalkan tempat itu satu persatu sambi mengurus beberapa kawan-kawannya yang tewas. Tak berapa lama tempat itu kembali sepi seolah tak terjadi peristiwa apa-apa. Sementara itu Buang Sengketa telah melesat jauh sambil mengetrapkan ajian Sepi Angin. Ada yang muncul dalam benaknya untuk beberapa saat. Tapi akhirnya dia hanya bisa berkata lirih, "Kasihan engkau, Tanjung Sari..." Dan kemudian melesat lebih jauh lagi dari tempat itu.
TAMAT
INDEX BUANG SENGKETA | |
Bencana Pedang Asmara --oo0oo-- Misteri Sepasang Pedang Setan |