Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Wiro Sableng. Show all posts
Showing posts with label Wiro Sableng. Show all posts

Kematian Sang Pendekar

INDEX WIRO SABLENG
Bintang langit Saptuning Jagat --oo0oo-- Sabda Pandita Ratu

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


“WIRO TIBA­TIBA MENDENGAR RATU RANDANG MENJERIT LIRIH, SANG PENDEKAR MELIRIK SEKILAS DAN DILIHATNYA SANG NENEK TAMPAK MEMEGANG PUNDAKNYA YANG BERDARAH SEMENTARA ITU BEBERAPA SENJATA TAJAM SEPERTI TOMBAK DAN KERIS TAMPAK SIAP DIHUJAMKAN KE TUBUH RATU RANDANG. SANG PENDEKAR YANG MELIHAT HAL INI MENGGERAM KERAS. SAAT SEORANG WANITA BERKERUDUNG MENYERANGNYA DENGAN MENGGUNAKAN PEDANG, WIRO LANGSUNG MENGGUNAKAN GERAK SILAT MENEPUK GUNUNG MEMUKUL BUKIT UNTUK MEMUKUL DAN MERAMPAS PEDANG DI TANGAN SANG WANITA, SETELAH BERHASIL MEREBUT PEDANG DITANGAN SANG WANITA, WIRO LANGSUNG MENANGKIS HANTAMAN KAPAK MAUT NAGA GENI YANG DI BACOKKAN OLEH SINTO GENDENG KEARAHNYA! WIRO MENYADARI KEHEBATAN KAPAK MILIKNYA SEHINGGA MENANGKIS MENGUNAKAN TENAGA LUNAK AGAR PEDANG DI TANGANNYA TIDAK HANCUR ATAU TERPOTONG. KEMUDIAN DENGAN MENGGUNAKAN TENAGA LONTARAN HASIL BENTURAN PEDANG DAN KAPAK, SANG PENDEKAR LANGSUNG MELENTING MENINGGALKAN ARENA PERTEMPURAN MENUJU KEARAH RATU RANDANG YANG SEDANG TERANCAM BAHAYA! SANG PENDEKAR MELESAT DENGAN PEDANG TERACUNG, UJUNG MATA PEDANG NAMPAK BERGETAR DAN MENGELUARKAN SUARA NYARING KALA SANG PENDEKAR MENGELUARKAN JURUS MALAIKAT MENUNDUKAN SILUMAN (LO HAN CIANG YAU) YANG MERUPAKAN JURUS KEDUA DARI ILMU PEDANG YANG DIAJARKAN OLEH LONG SAM KUN ATAU YANG LEBIH DIKENAL SEBAGAI PENDEKAR PEDANG AKHIRAT!“

Wiro Sableng telah terdaftar di Departemen Kehakiman dan merupakan Milik serta Hak cipta dari Bastian Tito seorang, Tokoh Panutan dan Inspirator Penulis, Lanjutan Wiro Sableng ini dibuat tanpa maksud apapun sekedar Wujud Kecintaan Penulis terhadap tokoh yang telah menemani Penulis dalam suka dan duka. Oleh karenanya penulis memohon maaf yang sebesar­besarnya jika ada pihak yang merasa berkeberatan dilanjutkannya kisah Wiro Sableng ini.
SALAM 212!!!
BASTIAN TITO
1
Getaran keras dibarengi tiupan angin laksana topan tiba­tiba menderu di pelataran Keraton Mataram.
“Wahai kalian orang­orang Raja mataram dan Kau Ksatria Panggilan, bersiaplah untuk Mampus!”bentak satu suara berat memecah keheningan malam. Wiro yang saat itu masih terhenyak karena kepergian arwah Sakuntaladewi dan Ni gatri, tiba­tiba tersadar kala Kunti Ambiri menarik tubuhnya keras.
“tidak ada waktu untuk bersedih lagi! keselamatan Raja Mataram dan para penghuni keraton kini terancam! apa yang harus kita perbuat…?” Wiro tampak berpikir keras
“Kita harus membawa pergi Raja dan keluarganya keluar dari keraton terlebih dahulu, ada baiknya jika kau dan Ratu Randang membawa Raja dan keluarganya kembali ke Sumur Api melalui pintu belakang keraton…” ucap Sang Pendekar yang tiba­tiba terputus oleh ucapan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
“aku dan keluarga sudah lelah harus hidup dan terus berlari di pengasingan aku sebagai Raja tidak ingin berlari lagi dan terus bersembunyi sementara rakyat dan orang­orang ku harus hidup menderita…!” kakek Kumara Gandamayana yang berdiri di sebelah Sang Raja mengerutkan keningnya mendengar perkataan Sang Raja.
“maaf Yang Mulia, namun apa yang dikatakan oleh Ksatria Panggilan ada benarnya… Keselamatan Yang Mulia dan Keluarga Yang Mulia harus diutamakan terlebih dahulu…!”ucap sang Kakek cemas. namun Sang Maha Raja nampak hanya menggelengkan kepalanya. Kumara Gandamayana kembali hendak mengeluarkan perkataan namun terhenti kala terjadi satu letusan besar yang membuat tanah didepan keraton berhamburan! kemudian dari tanah yang terbongkar terlihat gulungan asap kelabu mengebul dibarengi lesatan ratusan bayangan putih yang mengeluarkan suara jeritan keras! gulungan asap kelabu yang keluar dari dalam lubang perlahan membentuk satu kabut pekat yang cukup menghalangi jarak pandang, sementara semakin lama bayangan putih yang terus mengeluarkan suara­suara nyaring tersebut semakin banyak melesat keluar dari lubang di tanah dan memenuhi alun­alun depan pelataran keraton. Makhluk berjubah putih ini memiliki wajah yang polos tanpa hidung, mata dan mulut!
“Jin Putih Muka Licin anak buah Raja Jin Hutan Roban!” seru Ratu Randang kala mengenali ratusan sosok putih yang masih samar­samar tampak mengambang sejengkal diatas tanah ini.
“tapi bukankah Raja Jin Hutan Roban bersahabat dengan kerajaan..? dan bukankah belum lama ini mereka sudah membantu memperbaiki istana keraton? sekarang mengapa mereka kembali dan menunjukkan sikap tidak bersahabat…?” Sambung Kunti Ambiri. (perihal Jin Putih Muka Rata dan Raja Jin Hutan Roban, Harap baca episode: Dewi Dua Musim)
“perhatikan baik­baik…! ada keanehan pada diri mereka… Lihat! ada orang yang menempel di punggung mereka…! Astaga…! anak buah Raja Jin Hutan Roban dijadikan tunggangan…!” seru Wiro dengan mata terbelalak. semua mata kemudian memandang lebih seksama lagi kedalam keremangan kabut dimana ratusan makhluk putih anak buah Raja jin hutan Roban berada. Dan tampaklah benar seperti yang dikatakan oleh Sang Pendekar, samar­samar dibelakang punggung setiap makhluk jin berjubah putih ini berdiri satu orang yang memegang tali berbentuk kekang yang disambungkan pada sepasang kait baja hitam yang secara kejamnya dikaitkan di pipi kiri dan kanan tepat disamping tempat dimana seharusnya mulut makhluk­makhluk ini berada! hal inilah yang membuat makhluk­makhluk malang ini menjerit­jerit tak berkeputusan!
“Kejam sekali…!” desis Ratu Randang kala melihat Nasib Para Jin Putih Muka Licin yang diperlakukan lebih buruk dari pada binatang tersebut. Sementara itu Wiro edarkan pandangannya menggunakan Ilmu menembus pandang yang diberikan oleh Ratu Duyung kepadanya kearah kabut dimana orang­orang yang menunggangi tubuh Ratusan Jin putih muka licin berada. Sang Pendekar terkejut besar kala di antara orang­orang yang mengendarai Jin putih dilihatnya seorang nenek dengan dandanan coreng moreng dengan tiga benjolan besar dikening tampak duduk memegang kekang kendali dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terlihat memegang Senjata kapak Maut Naga geni miliknya!
“Eyang Sinto…!” tanpa sadar Sang Pendekar berteriak keras. Kunti ambiri yang berada di dekat wiro menatap kearah dimana sang pendekar memandang.
“gurumu tampaknya masih dalam pengaruh ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak milik Sinuhun Merah Penghisap Arwah… lihatlah masih ada tiga benjolan di kening gurumu!” tunjuk Kunti Ambiri yang dibalas dengan anggukan oleh Wiro.
“aku harus mendekatinya dan menggunakan ilmu menahan darah memindah jasad untuk melepaskan dan menghilangkan benjolan di keningnya…”ucap sang pendekar yang keburu dipotong oleh Ratu Randang
“tapi bukankah hal itu tidak gampang! tidak mustahil sebelum kau mendekatinya kau yang lebih dahulu di bunuhnya Wiro! ingat peristiwa di bukit batu hangus tempo hari? dia nyaris saja membunuhmu dengan sepasang sinar yang keluar dari matanya!” ucap Sang nenek sembari delikkan matanya yang juling bagus. (untuk lebih jelasnya mengenai peristiwa ini silahkan baca episode : Sepasang Arwah Bisu) Sang Pendekar hendak memberi sanggahan namun tiba­tiba dari Lubang dimana melesat makhluk­makhluk berjubah putih melesat satu makhluk tinggi besar yang langsung berdiri dihadapan Wiro dan kawan­kawan! makhluk ini memakai sebuah jubah hitam terbuat dari ijuk, sepasang telinganya terlihat runcing berdiri melewati kepalanya sementara keningnya pun terlihat diikat oleh tali terbuat dari ijuk.
“Sangkala Darupadha…!” seru Wiro kala mengenali makhluk yang berdiri dihadapannya. sementara itu Makhluk yang dikenal sebagai Raja Jin hutan Roban tampak memandang sayu kearah Sang Pendekar. matanya yang sebelumnya sudah disembuhkan oleh Wiro kini tampak bergundal­gandil kembali, keadaan Makhluk jin satu ini juga tampak mengenaskan. tubuhnya terlihat babak­belur dipenuhi noda darah namun yang membedakan dengan anak buahnya adalah tidak nampak tali kekang maupun kait baja terlihat terkait pada tubuhnya...... “Sangkala Darupadha… apa yang terjadi pada dirimu…? Siapa pula mereka yang memperlakukan anak buahmu sekejam itu..?” tanya Ratu Randang dengan suara keras. Sebagai jawaban tiba­tiba terdengar satu tawa yang membahana. Kemudian dari bahu lebar Sangkala Darupadha atau Raja Jin Hutan Roban perlahan mencuat satu kepala tengkorak bertanduk berwarna Hitam. kepala tengkorak berwarna hitam terus bergerak naik keluar memperlihatkan tulang­belulangnya yang berwarna hitam dari dari bahu Sang Raja Jin Hutan Roban hingga sebatas tulang Belikat. Sungguh amat mencengangkan! dari dalam tubuh besar Raja Jin Hutan Roban bisa keluar makhluk hitam berbentuk tengkorak bertanduk, namun yang lebih mengherankan lagi adalah bagaimana kulit daging dari Sang Raja Jin tak nampak sedikitpun terluka maupun mengeluarkan darah!
“Ha.ha.ha. Wahai Ksatria Panggilan akhirnya kita bisa juga berjumpa…! Sungguh benar­benar pertemuan yang menggembirakan…!” ucap makhluk di bahu Sangkala Darupadha. Wiro pandangi sosok yang berbicara padanya dengan seksama.
“Aku tidak mengenalmu…! tapi mengapa kau perlakukan Sangkala Darupadha dan anak buahnya seperti ini…? Sesungguhnya apa keinginanmu…?” ucap Sang Pendekar dengan kening berkerut. Makhluk tengkorak hitam nampak tertawa keras kala mendengar pertanyaan Wiro.
“kau memang tidak mengenal ku… tapi aku sangat mengenalmu… bahkan sangat mengagumimu… terutama tubuhmu…” ucap Makhluk yang tidak lain Lakarontang Sang Jenazah Simpanan sembari menatap Tubuh Wiro dengan seksama dari atas sampai ke bawah.
“Hemm… Pemuda ini benar­benar memiliki Jasad tubuh sempurna yang kuidam­idamkan… aku harus bisa mendapatkan Tubuhnya…!” batin Lakarontang dalam hati.
“Mengenai Sangkala Darupadha dan anak buahnya… kau tak perlu memikirkannya karena akulah penguasa seluruh isi Perut Bumi termasuk para Jin dan Setan di dalamnya! sesukakulah bagaimana caranya memperlakukan mereka…!” ucap Lakarontang sembari mempermainkan sebuah bola Mata Raja Jin Hutan Roban yang bergundal­gandil. Raja Jin Hutan Roban yang matanya dipermainkan hanya bisa mengeluarkan suara merintih kesakitan. hal ini tentu saja membuat Hati Wiro geram. sementara itu Ratu randang yang berada didekatnya memegang Wiro dan berbisik pelan.
“Aku punya firasat… jangan­jangan makhluk satu ini adalah biang racun dari segala kekacauan yang terjadi selama ini…”
sementara wiro menganggukan kepalanya mendengar bisikan Ratu Randang.
“aku juga berpikir begitu, aku sudah mencoba melihat melalui ilmu menembus pandang namun anehnya aku tidak melihat Sinuhun Merah maupun Dirga Purana di barisan orang­orang di belakang makhluk di pundak Sangkala Darupadha itu…” ujar Sang Pendekar membalas bisikan Ratu Randang. Tiba­tiba Makhluk di pundak Raja Jin Hutan Roban perdengarkan suara keras lalu dibarengi suara dengusan.
“Kalian berdua tidak perlu berbisik­bisik dihadapanku! akupun tidak akan menyangkal apa yang sudah ku perbuat! Memang akulah orang yang berada dibalik segala kekacauan yang terjadi di Bhumi Mataram… semua kekacauan yang ditimbulkan dua Sinuhun, Delapan sukma Merah Maupun Dirga Purana termasuk peristiwa Malam Jahanam di Mataram merupakan hasil dan buah pikiranku! Dan bukan saja di Bhumi Mataram… semua kekacauan yang terjadi jauh sebelumnya juga merupakan hasil perbuatanku! Ha.ha.ha. apakah ada yang kurang jelas bagimu Wahai Ksatria Panggilan? atau harus kupanggil kau dengan sebutan Wiro Kencing Kuda…?”Ucap Makhluk terngkorak Membuat Sang Pendekar terperangah! Bagaimana tidak! Sableng dalam Bahasa di Latanahsilam berarti Kencing Kuda! Jika makhluk satu ini mengetahui perihal arti Nama Wiro di Latanahsilam maka jelas sudah bahwa Makhluk ini sudah ada sejak Jaman Latanahsilam! Gila Betul! Pikir sang pendekar dalam hati.
“Kau tak perlu heran wahai ksatria Panggilan…! Aku mengetahui segalanya tentang dirimu… tentang gurumu… termasuk perjalananmu dan seluruh perbuatanmu di Latanahsilam…!”Lanjut Lakarontang
“apa maksudmu…! Siapa kau sebenarnya…? aku tidak merasa pernah berbuat jahat padamu baik di sini maupun di Negeri Latanahsilam, jadi aku harap kau segera melepaskan guruku karena kalau tidak…” teriakan Wiro terputus oleh kekehan tawa Lakarontang.
“Kalau tidak kenapa…? apa kau pikir kau sanggup mengalahkan aku… dengarkan baik­baik Wahai Kstaria Panggilan! Tidak ada seorangpun di bumi ini yang mampu menandingiku! akulah orang yang membumi hanguskan keempat Negeri besar termasuk Negeri LatanahSilam! Aku juga orang yang pernah naik ke langit dan membakar habis Negeri Para Peri! Aku adalah Yang Mulia Junjungan tertinggi Jenazah Simpanan! Akulah Dewa di bumi yang sesungguhnya!” ucap Lakarontang keras.
“Buntalan kentut Anjing…! Aku tidak percaya ucapanmu…! Aku minta untuk terakhir kali cepat lepaskan guruku dan Lakasipo!” bentak Wiro mulai kehilangan kesabarannya. Mendengar makian Wiro, bukannya marah makhluk tengkorak ini malah semakin tergelak­gelak.
“Ha.ha.ha. lucu sekali…! masih ingat rupanya kau pada saudara angkatmu itu…? Kupikir setelah meninggalkan Latanahsilam kau tidak lagi pernah memikirkan orang­orang yang kau tinggalkan… bukankah di tanah jawa di masa depan kau memiliki banyak teman dan memiliki banyak gadis­gadis cantik…?” wajah Wiro terlihat menggelap.
“keparat…! apa maksud perkataanmu…?” Sang Pendekar mulai tak bisa mengendalikan diri. sementara itu Makhluk yang dikenal sebagai Jenazah Simpanan ini tak henti­hentinya memanaskan hati Sang Pendekar.
“he.he.he… aku hanya ingin memberikan sedikit gambaran padamu mengenai kondisi Latanahsilam selepas kau dan kedua temanmu itu tinggalkan…” ucap Lakarontang sembari berkacak pinggang.
“Tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagiku selain membunuhi seluruh kawan­kawanmu dan menyimpan seluruh jasad mereka… Lakasipo… Luhsantini… dan Luhcinta… Amboi…! mengingat kembali Luhcinta membuat tubuhku yang sudah tak mempunyai darah ini kembali terasa panas…!” ucap Lakarontang sembari mempermainkan telunjuknya yang berbentuk tulang dalam genggaman tangannya! sesungguhnya Wiro tidak benar­benar mempercayai apa yang diucapkan makhluk tengkorak didepannya namun mengingat kemuculan Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus di Bhumi Mataram membuat Sang Pendekar mulai ragu­ragu dan perlahan mulai mempercayai ucapan Jenazah Simpanan dan kala Makhluk tengkorak tersebut menyebut nama Luhcinta maka Kemarahan Sang Pendekar pun langsung meledak tak terbendung!
***
2
Sembari mengepalkan tangannya yang mulai berwarna keperakan hingga ke siku Sang Pendekar langsung menerjang kearah makhluk di pundak Sangkala Darupadha.
“Jahanam…! apa yang kau perbuat pada Luh Cinta…?” teriak Sang pendekar sembari melepaskan pukulan Matahari kearah Jerangkong hitam yang seolah­olah tumbuh di Pudak Raja Jin Hutan Roban namun belum lagi Pukulan Sinar Matahari yang dilepasnya melabrak sosok Jenazah Simpanan, Makhluk ini terlihat bersuit keras kearah kumpulan ratusan orang yang mengendarai Jin Putih Muka Rata.
“Bunuh mereka semua dan jangan biarkan satu orangpun lolos…!” teriak Jenazah Simpanan yang langsung disambut suara gemuruh laskar Para Roh yang dijadikan budak oleh Lakarontang dan jenazahnya di simpan sebagai koleksi di dasar kawah gunung salak. Sementara itu pukulan Matahari yang dilontarkan Wiro sesaat lagi akan menghantam tubuh Lakarontang namun tiba­tiba dibarengi desiran bayangan berwarna putih satu sinar gelombang panas yang serupa dengan sinar pukulan matahari milik Wiro melabrak dengan cepatnya menghantam pukulan yang dilepaskan Wiro. Satu dentuman besar dibarengi cahaya yang menyilaukan terdengar memekakkan telinga. Wiro terlihat terdorong Mundur beberapa tombak sembari mengelus dadanya yang berdenyut Sakit. sementara di hadapannya terlihat Seorang nenek dengan dandanan coreng­moreng tampak berlutut menjeplok di tanah dengan rambut tergerai lepas dari sanggulnya dan dengan nafas memburu. Didekatnya tampak Jin Putih yang semula dikendarainya tergeletak mengepulkan asap!.
“Anak Setan…! berani­beraninya kowe kurang ajar terhadap junjungan tertinggi Jenazah Simpanan…! Kowe memang harus di kasih mampus..!” ucap nenek yang bukan lain adalah Sinto Gendeng guru Sang Pendekar sembari bangkit dan melesat kearah Wiro dengan kapak teracung! dan bukan hanya Sinto Gendeng, nampak tidak kurang sepuluh orang dengan menggunakan jin Putih muka rata sebagai tunggangan melesat kearah Wiro dengan berbagai senjata terhunus! kalau Wiro kala itu sedang sibuk menghadapi gurunya di tambah sepuluh orang berkepandaian tinggi yang mengepungnya, maka sahabat­sahabat Wiro termasuk kakek Kumara Gandamayana dan Sang Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala juga mengalami nasib yang kurang lebih sama! Ratu Randang dan Kunti Ambiri terlihat sibuk melayani sepuluh orang yang mengeroyoknya. sementara Kakek Kumara Gandamayana dan Raja Mataram tampak sibuk menghadapi serangan bertubi­tubi yang dilancarkan tidak kurang dua puluh orang berkepandaian tinggi! Kunti Ambiri yang bertarung saling beradu punggung dengan Ratu Randang tampak sesekali mengeluarkan pukulan jarak jauh berbau amis kearah orang­orang yang mengeroyoknya. Setiap kali ada orang yang terhantam pukulannya langsung jatuh dan tidak bergerak lagi, namun beberapa saat kemudian posisi orang tersebut kemudian digantikan oleh orang lain lagi yang menyerang Kunti ambiri secara bergantian dan membabi buta!. Ratu Randang yang berada di belakangnya juga mengalami nasib serupa, beberapa kali Nenek cantik ini berhasil merobohkan lawannya namun datangnya serangan laksana banjir yang tidak pernah surut membuat Sang nenek yang masih terlihat cantik ini cukup kelabakan! Sementara itu Kakek Kumara Gandamayana tampak mengebutkan sorban yang dipakainya untuk menghalau serangan seorang Paderi botak yang menggunakan senjata semacam Symbal (alat musik terbuat dari kuningan yang berwujud sepasang piring besar) yang dilemparkan kearah Raja Mataram. Symbal itu akhirnya terpukul mundur dan berputar kembali ke tangan Paderi botak tersebut. Kumara Gandamayana walaupun harus disibukkan melawan musuh yang sangat banyak namun masih selalu memperhatikan kondisi keselamatan Sang Raja Mataram. sementara Raja mataram sendiri terlihat sibuk melancarkan serangan dengan menggunakan keris Widuri Bulan miliknya kearah seorang kakek bermuka pucat yang sebelumnya menyerangnya dengan menggunakan sebuah tombak berwarna biru gelap.
“Yang Mulia..! Biarlah hamba yang menahan mereka Semua…! cepatlah Paduka lari melalui jalan belakang membawa keluarga yang mulia…!” teriak Kumara Gandamayana sembari Melepaskan sebuah pukulan jarak jauh berwarna kebiruan yang dengan telak menghantam dua orang Pemuda yang berusaha membokong Raja Matram dengan sepasang senjata berbentuk Kaitan. Sang kakek memang berhasil menyelamatkan Raja Mataram dari bokongan namun usahanya ini harus dibayar mahal kala seorang gadis cantik berpakaian putih berhasil membacok punggung sang kakek dengan pedangnya sehingga punggung Sang kakek langsung bersimbah darah.
“Emban buyut…!” teriak Sang raja kala melihat sang kakek tampak terhuyung sementara dibelakangnya lusinan senjata tajam tampak hendak bersarang di tubuh sang kakek! Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala mendorong kedua tangannya kearah orang­orang yang hendak membantai Kumara Gandamayana. cahaya ungu berbentuk payung besar tampak membuat senjata­senjata yang hendak menembusi tubuh sang kakek bermentalan! Sang raja rupanya telah mengeluarkan pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai! tidak hanya sampai disitu kemarahan Sang Raja Mataram, setelah membaca aji kesaktian Sepasang Tangan Dewa Menebar Pahala tiba­tiba sepasang tangan Raja Mataram tersebut berubah membesar hingga sepuluh kali lipat! dengan sepasang tangan yang sangat besar dan berotot itu Sang Raja Mataram kemudian terlihat mengamuk membabi buta! kedua ilmu ini pernah digunakan Sang Raja kala mencari petunjuk mengenai keberadaan empat mayat aneh. (silahkan baca episode: Empat Mayat Aneh). sementara Wiro yang saat itu sedang menghadapi gempuran Sinto Gendeng gurunya dan beberapa tokoh anak buah Jenazah Simpanan tampak terdesak hebat. beberapa kali sang pendekar tampak mengeluarkan ilmu kepandaian yang di dapatnya dari kitab putih Wasiat Dewa maupun ilmu­ilmu yang didapatnya dari Sinto Gendeng untuk menghadapi keroyokan orang­orang yang mengendarai jin putih. namun beberapa kali pula nyawanya hampir melayang kala Kapak Maut Naga geni dua satu dua ditangan Sinto Gendeng nyaris memapas tubuhnya. keringat deras tampak membasahi kening dan tubuh Wiro. Biar bagaimanapun Wiro adalah anak yang sangat berbakti, dia tahu bahwa gurunya melakukan hal tersebut diluar keinginannya sehingga Sang Pendekar tidak berani mengeluarkan ilmu­ilmunya yang dahsyat guna menghadapi serangan Sang nenek. Wiro hanya menghadapi sang nenek menggunakan jurus­jurus langkah orang gila yang didapatkannya dari Tua Gila.
“Celaka… kalau begini terus aku pasti akan mati tak bersisa… aku harus segera mendapatkan jalan bagaimana menghadapi Eyang Sinto…” batin Sang Pendekar sembari menghindari larikan Sinar hijau yang dilepaskan seorang Resi bermuka Hijau kearahnya.
“Resi ini cukup tangguh juga…” batin Sang Pendekar sembari menggunakan jurus Kincir Padi Berputar. Serangan tangan Sang pendekar dengan telak menghantam dagu Sang resi yang masih berdiri Diatas punggung tunggangannya. sementara pada saat itu Wiro tiba­tiba mendengar Ratu Randang menjerit kesakitan, Sang Pendekar melirik sekilas dan dilihatnya Sang nenek tampak memegang pundaknya yang berdarah sementara itu beberapa senjata tajam seperti Tombak dan keris tampak siap dihujamkan ke tubuh Ratu Randang. Sang Pendekar yang melihat hal ini menggeram keras. saat seorang wanita berkerudung menyerangnya dengan menggunakan pedang, Wiro langsung menggunakan gerak silat Menepuk Gunung Memukul Bukit untuk memukul dan merampas pedang di tangan Sang Wanita, setelah berhasil merebut pedang ditangan sang wanita, Wiro langsung menangkis hantaman Kapak Maut Naga Geni yang di bacokkan oleh Sinto Gendeng kearahnya! Wiro menyadari kehebatan Kapak miliknya sehingga menangkis mengunakan tenaga lunak agar pedang di tangannya tidak hancur atau terpotong. kemudian dengan menggunakan tenaga lontaran hasil benturan pedang dan kapak Sang Pendekar langsung melenting meninggalkan arena pertempuran menuju kearah Ratu Randang yang sedang diancam bahaya! Sang Pendekar melesat dengan pedang teracung. ujung mata pedang nampak bergetar dan mengeluarkan suara nyaring kala Sang pendekar mengeluarkan jurus Malaikat Menundukan Siluman (Lo Han Ciang Yau) yang merupakan jurus kedua dari ilmu pedang yang diajarkan oleh Long Sam Kun atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Akhirat! (silahkan baca episode: Pendekar Pedang Akhirat). Ujung pedang di tangan Wiro tampak berputar dan melenting­lenting seakan hidup dan memapas semua senjata yang bertubi­tubi membanjir hendak membinasakan Ratu Randang.
“Wiro… terima kasih kau sudah menolongku…
“ ucap Ratu Randang dengan pandangan mesra dan mulut termonyong­monyong! Wiro menggaruk kepalanya melihat kelakuan sang nenek.
“Dasar nenek edan…! sekarang bukan saatnya buat begituan! nanti saja kalau urusan sudah kelar…
“ ucap Wiro sembari menangkis serangan senjata rahasia berbentuk pisau kecil yang disambitkan seorang nenek berjubah ungu kearahnya. Sementara Itu Sinto Gendeng tampak kembali merandek menyerang muridnya yang kini bertarung bertiga bersama Ratu Randang dan Kunti Ambiri. Sang nenek terlihat berjumpalitan di udara sebelum akhirnya dari sepasang mata sang nenek mengeluarkan sinar berwarna biru terang!
“Sepasang Sinar Inti Roh…!” teriak Wiro kala melihat sinar yang keluar dari Mata gurunya. inilah kali kedua Sinto Gendeng menggunakan ilmu sepasang sinar Inti Roh untuk menamatkan riwayat muridnya! sementara itu di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat Wiro berada Raja Rakai Kayuwangi dyah Lokapala nampak mengamuk hebat! dengan sepasang tangannya yang berukuran raksasa Sang Maharaja ternyata mampu membuat para pengeroyoknya kocar­kacir berserabutan! entah berapa puluh mayat baik mayat anak buah Raja Jin Hutan Roban maupun mayat Laskar Jenazah Lakarontang terlihat menggunung dalam bentuk yang tidak karuan lagi akibat dihantam sepasang tangan raksasa milik Sang Maharaja. hal ini benar­benar membuat Lakarontang geram.
“Saka Gendewa…! lekas kau habisi Raja Keparat itu…!” seru Jenazah Simpanan sembari menunjuk seorang pemuda yang mengenakan pakaian pemburu dan menyanding busur di pundaknya. Pemuda ini kemudian terlihat menyentak tali kekangnya kuat­kuat membuat makhluk jin yang dikendarainya melolong setinggi langit! Makhluk jin muka rata ini kemudian melesat tinggi ke angkasa. pada ketinggian tertentu Sang Pemuda terlihat menginjak pinggang makhluk malang yang dikendarai sehingga makhluk tersebut berhenti dan tegak diam diangkasa. sang pemuda kemudian terlihat meloloskan busur yang tersampir di pundaknya lalu membidikkannya kearah Raja mataram! tak terlihat anak panah sebuahpun pada busur yang direntangkannya dengan kencang, namun kala tali panah dijepretkan serangkum cahaya hitam berpendar berbentuk anak panah yang menerbitkan angin bersiutan melesat dengan kecepatan tinggi mengarah ke jantung Raja Mataram!.
“Yang Mulia… awas Serangan…!
“Teriak Kumara Gandamayana memperingatkan kala melihat dari kejauhan diangkasa selarik sinar hitam tampak memburu dengan kecepatan luar biasa kearah Maharaja Mataram!
***
3
Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang kala itu terlihat mengamuk hebat seolah­olah tidak mendengar apa yang diteriakkan oleh Kumara Gandamayana. Dirinya baru menyadari saat dari atas kepalanya terasa serangkum Hawa tajam tak terlihat yang seakan hendak menindih dan merobek­robek tubuhnya! sesaat lagi Hawa berbentuk anak panah hitam menembus jantung Sang Maharaja, tiba­tiba dari balik pinggang Sang Maharaja melesat satu benda bercahaya yang membentuk serangkum cahaya berputar berbentuk kipas pelangi yang langsung menghantam Panah Hawa yang dilepas Saka Gendewa dari atas langit! Terdengar dentuman keras mengguncang pelataran istana! Dentuman yang sama kembali terjadi selang beberapa saat setelah dentuman pertama terdengar! apa yang sebenarnya terjadi? ternyata saat sinar berbentuk pelangi yang bukan lain sinar yang keluar dari keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang melesat dari Pinggang Raja Mataram bentrok dengan Hawa Panah hitam, Hawa berbentuk anak panah tersebut langsung terhempas keras dan secara kebetulan menghantam ilmu Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng kearah Wiro dan kawan­kawan! Wiro dan Ratu Randang tampak berpandangan sementara Kunti Ambiri terlihat menyeka lelehan darah yang menetes di sudut bibirnya ketiganya terlihat menjeplok di tanah akibat terjengkang karena kekuatan bentrokan Ilmu Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng dengan hawa berbentuk panah yang dilepas dari atas langit!
“Wiro…! Orang diatas sana sangat berbahaya bagi keselamatan Raja Mataram! Kau harus bisa menjatuhkannya…! Biar kami tangani gurumu dan yang lainnya!” ucap Kunti Ambiri sembari memegang lengan Sang Pendekar.
“Wiro pandangi Kunti Ambiri dan Ratu Randang
“baik aku mengerti… aku akan mencoba menjatuhkan orang diatas sana, namun berjanjilah kalian tidak akan melukai Eyang Sinto…” ucap Sang pendekar dengan pandangan memelas. Kunti ambiri dan Ratu Randang saling pandang sejenak kemudian Ratu Randang terlihat tersenyum
“kami tidak bisa berjanji tidak akan melukai gurumu mengingat tingkat kepandaiannya. namun kami berjanji tidak akan membuat gurumu meninggal saat bertarung melawan kami berdua.
“ucap sang nenek bermata indah. Wiro anggukan kepalanya
“baiklah kurasa itu juga sudah cukup…! aku pergi dulu, tolong lindungi aku…” ucap Sang pendekar sembari secara tiba­tiba mengecup bibir sang Nenek! Ratu Randang tampak kelabakan saat dicium oleh Sang Pendekar, sementara itu Wiro setelah mengecup bibir sang nenek segera hendak melesat namun tangannya tertahan oleh tangan Kunti Ambiri.
“Curang… aku kan juga ingin…!” desis sang gadis sembari memandang Wiro dengan Pandangan merajuk! Wiro tertawa sembari menggaruk kepalanya, namun hanya sebentar kemudian sang pendekar terlihat menundukan kepalanya lalu mengecup bibir Kunti Ambiri.
“Aku pergi sekarang… tolong kalian lindungi aku untuk sementara..” ujar Wiro sembari berlari menuju dinding keraton.
“Mau kemana kowe Anak setan…! Jangan lari…!” teriak Sinto Gendeng sembari melepas pukulan Matahari kearah Wiro.
“Maaf Eyang…! saat ini aku tidak bisa meladenimu…! nanti saja kalau kau sudah sadar!” teriak Wiro sambil berjumpalitan menghindari serangan Sinar Matahari yang di lepas oleh gurunya Sinto Gendeng. Sinar matahari yang dilepas oleh Sinto Gendeng langsung melabrak sebuah pendapa yang langsung roboh dalam kobaran api! Sementara itu beberapa saat kemudian Wiro terlihat berlari­lari diatas dinding luar istana. hal ini tentu saja membuat dirinya menjadi sasaran empuk serangan puluhan senjata rahasia dan berbagai macam pukulan jarak jauh dilontarkan kearah tubuh sang Pendekar, namun dengan entengnya wiro memapak semua senjata rahasia yang dilemparkan kearahnya dengan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih sementara pukulan jarak jauh yang dilepaskan kearah dirinya hanya dielakkan kesana kemari menggunakan ilmu silat orang gila! Alhasil sembari berlari diatas tembok kadang­kadang sang pendekar terlihat berjumpalitan, lalu bertiarap, senggol kiri, senggol kanan melompat, berjongkok lalu meloncat lagi sembari berlari menghindari derasnya pukulan jarak jauh yang datang membanjir!
“Dasar pemuda Gila…!” ucap Ratu Randang sembari tersenyum melihat tingkah laku Sang Pendekar. Tanpa sadar sang nenek mengelus bibirnya yang tadi dikecup oleh Wiro.
“Hemm… masih sisa berapa yah…” batin sang nenek dalam hati sembari menghitung sisa jumlah janji kecupannya dengan Wiro.
“Awas lehermu nek…!” teriak Kunti ambiri memperingatkan Sang Nenek kala dilihatnya sang nenek tersenyum­senyum sendiri tanpa menyadari kala seorang pemuda yang mengendarai Jin putih hampir saja berhasil membacokkan goloknya ke leher sang nenek. Untung saja Kunti ambiri memperingatkannya sehingga sang nenek masih sempat menunduk dan menyelamatkan diri.
“Terima kasih Kunti…!” teriak Sang nenek sembari kembali bertempur.
“Mikir apaan sih…?” sebal Kunti Ambiri dalam hati. Sementara itu Wiro yang terus berlari seperti orang gila semakin lama semakin mendekati tempat Kumara Gandamayana dan Raja Mataram Bertarung.
“Paduka yang mulia…! aku butuh bantuanmu…!” seru Sang Pendekar sembari berlari menghindari pukulan­pukulan jarak jauh yang terus membanjir kearah dirinya.
“Jangan sekarang Ksatria Panggilan…! Saya lagi sibuk…! Dicatat saja dulu…!” jawab Sang Raja datar sembari menepuk tubuh seorang kakek kerdil yang berhasil ditangkapnya dengan tangan raksasanya. Malang nian nasib sang kakek, tubuhnya langsung gepeng pipih dihempas tepukan tangan raksasa Raja Mataram!
“Kampret sialan…! apanya yang mau dicatat…?” maki Wiro dalam hati.
“Yang Mulia! tolong lemparkan aku keatas …! Aku akan coba jatuhkan pemanah diatas langit sana..!” seru Sang Pendekar sembari menunjuk keangkasa. Raja Mataram pun memandang keatas dan melihat diatas sana pemuda yang dipanggil oleh Lakarontang dengan sebutan Saka Gendewa ini tampak kembali merentangkan busurnya!
“Baiklah Ksatria Panggilan…! cepat lompat kemari…!” seru Sang Raja sementara itu terlihat Keris Kanjeng Sepuh pelangi berputaran melindungi tubuh Sang Raja dan Kumara Gandamayana. Wiro yang mendengar teriakan Sri Maharaja Mataram langsung melompat dari atas tembok kearah Sang Raja. Raja Mataram ini pun langsung menyambut dengan tangan raksasanya.
“perlahan­lahan yang mulia…!” ucap Wiro kala merasa gamang karena tubuhnya tergenggam oleh sepasang tangan raksasa milik Raja Mataram!
“Kau siap ksatria Panggilan…?” ucap raja Mataram pada Wiro yang berada dalam genggaman tangannya.
“Beluuummm…! saya belum siap…! Sabar dulu yang muli…AAAAAAAA….!” teriak Wiro keras kala dirinya yang belum bersiap­siap, secara tiba­tiba langsung dilempar oleh Raja Mataram ke angkasa! Tubuh sang pendekar pun dengan cepatnya melejit keangkasa mengarah kearah Saka Gendewa yang sedang merentangkan tali busurnya! Sementara itu Saka Gendewa yang kala itu sedang membidik Raja Mataram dibawah sana terkejut besar kala melihat seseorang berbaju putih dengan kecepatan tinggi melesat kearahnya! Sang pemuda inipun mengarahkan busurnya dan langsung menjepretkan tali busurnya kearah Wiro yang melesat kearahnya dengan kecepatan tinggi! Sementara itu Sang pendekar yang melihat lesatan tiga sinar berwarna hitam secepatnya melepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan tangan kiri guna memapak tiga buah anak panah yang meluncur deras kearahnya sementara tangan kanannya yang masih menggenggam pedang langsung melancarkan jurus terakhir ilmu pedang yang di pelajarinya dari Pendekar Pedang Akhirat yakni jurus Setan Meratap Malaikat Menangis (Kui Gok Sin Ki). Langit kelam tiba­tiba memperdengarkan bunyi guruh dan kilat tampak bersahutan seolah­olah terdengar bagai suara­suara ratapan dan tangisan yang bergantian kala Sang Pendekar mengeluarkan jurus ini dengan kekuatan penuh! Kehebatan jurus ini pun terbukti kala mata pedang akhirnya mampu membuat patah busur yang dipegang Saka Gendewa sekaligus menembus tenggorokan Sang pemuda! namun sayangnya hal ini juga ditebus cukup mahal oleh Wiro kala Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepasnya hanya mampu menangkis dua panah hawa yang dilepas oleh Saka Gendewa sementara sebuah panah yang tersisa berhasil menembus pukulan Wiro dan bersarang di pundaknya! Wiro mengeluh kala merasakan panah yang menancap di pundaknya seakan­akan tersedot kedalam tubuhnya.
“Panah hawa beracun…” desis sang pendekar sembari memegang pundaknya yang terluka sementara pedangnya tampak terlepas dan jatuh bersamaan dengan luruhnya tubuh Saka Gendewa dari tunggangannya. Wiro menutup mata dan menggertakan giginya kala merasakan tangan kiri dan pundaknya terasa lumpuh. Sang Pendekar kemudian mencoba menotok jalan darah di pangkal pundak dan dadanya guna menghambat peredaran racun lebih luas namun tubuhnya sontak seakan tak bertenaga.
“Gusti Allah… aku belum mau mati di tempat ini… aku masih harus menyembuhkan Eyang Sinto dan membawanya kembali ke Tanah Jawa…
“Desis Sang Pendekar kala merasakan tubuhnya turut Luruh kebumi dengan derasnya!
“Apakah riwayatku memang benar­benar sudah ditakdirkan berakhir di tempat ini…? Jika itu memang kehendakmu, maka aku hanya bisa berserah padaMu Ya Gusti Allah…” ucap Sang Pendekar pasrah. saat Wiro melesat jatuh dengan derasnya pada ketinggian ribuan tombak dari permukaan bumi, tiba­tiba Sang Pendekar merasakan tubuhnya terhempas pada satu benda lembut. Sang Pendekar membuka mata dan melihat ternyata ada satu makhluk yang menyambut tubuhnya yang terhempas dengan menggunakan punggungnya.
“Apa kau tidak apa­apa Pendekar? mari aku bawa kau kebawa sana…!” ucap sang makhluk yang ternyata bukan lain adalah Jin Putih bermuka rata yang tadinya ditunggangi oleh Saka Gendewa!
“Terima kasih…” ujar Wiro sembari menahan Sakit, namun hatinya tak henti mengucapkan syukur ke hadirat Yang Kuasa
“kau terluka…! Apakah panah pemuda jahanam itu melukaimu…?” Tanya Sang makhluk Jin. Wiro hanya menganguk pelan. Tanpa disangka Sang Pendekar, Kepala Makhluk tanpa wajah tiba­tiba berputar seratus delapan puluh derajat menghadap wajah Wiro! Lalu tanpa disangka­sangka Jin tersebut langsung mendekatkan wajahnya ke pundak Wiro yang terluka dan ditempat diwajah sang Jin yang seharusnya terdapat mulut itu tampak menyedot luka di pundak Wiro!
“Ya Allah… ternyata kau memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang…PertolonganMu datang selalu dalam bentuk yang tak pernah terduga… Engkau benar­benar Maha Pemurah…!” batin Wiro dengan mata berkaca­kaca sembari beristigfar. Selang beberapa lama kemudian Makhluk tersebut tampak berhenti menyedot dan memalingkan wajahnya ke arah Sang Pendekar.
“Apakah masih terasa sakit? Coba kau gerakkan tanganmu…” ucap Sang Makhluk Jin. Wiro coba gerakkan tangannya dan dia tidak merasa sakit Lagi…! Tubuhnya yang sebelumnya terasa lemas juga kini sudah kembali bertenaga!
“Kau telah menolongku..! Kau benar­benar diutus Gusti Allah untuk menolongku…!” girang Sang Wiro sembari memeluk Tubuh Sang Jin kencang.
“Berpeganganlah pada tali kekang itu agar kau tidak terjatuh…”ucap Sang Jin sembari melayang kebawah.
“Tidak… tidak… kau adalah penolongku… aku tidak akan menyakitimu dengan menggunakan kekang kendali itu…” ujar Sang Pendekar sembari menggunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk melepaskan Kait Baja hitam yang mengait kedua pipi sang makhluk jin. Terdengar suara seperti tangis menggeru kala Wiro berhasil melepas kekang kait baja hitam dari wajah Jin Putih Muka Rata.
“Terima kasih Pendekar… sekarang bersiaplah…! Kita akan segera turun kebawah…” Ucap Sang Jin anak Buah Sangkala Darupadha pada Wiro yang terlihat berdiri dengan gagahnya di punggung Sang Jin sembari menatap jauh ke bawah dimana pertarungan dahsyat masih berlangsung sementara rambut dan pakaiannya terlihat berkibar kencang ditiup angin subuh Mataram Kuna!
***
4
Sementara itu di Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya, Mimba Purana terlihat asyik menimang Bintang Langit Saptuning Jagat. Bayi dalam guci ini sudah tidak menangis lagi setelah beberapa saat di timang oleh bocah utusan Dewa ini. Dewi Langit Bunga tanjung yang melihat kelakuan sang bocah nampak tersenyum sebelum memalingkan wajahnya kearah Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya.
“Datuk, tugas kami untuk menjemput Bintang Langit Saptuning Jagat telah kami jalankan, sebentar lagi kami akan meninggalkan ruangan ini dan kembali ke Istana Langit. aku hanya menyampaikan pesan dari Junjungan Simpul Agung Para Dewata untuk kalian agar berhati­hati dan berwaspada akan apa yang akan terjadi delapan Ratus tahun kedepan. oleh karenanya Beliau berharap agar kalian segera mempersiapkan diri sebaik­baiknya guna menghadapi malapetaka yang mungkin kelak tidak bisa dihindari…” ucap Sang Dewi lembut.
“Waktu kalian sangat terbatas, saat ini hawa kejahatan Lakarontang sudah mulai menancapkan kukunya di Bhumi Mataram. Walaupun kekuatan yang dimilikinya hanya sampai menjelang mentari terbit namun apa yang bisa dilakukannya pada saat itu justru akan sangat menentukan tindak­tanduknya di masa yang akan datang! Oleh karena itu nampaknya sudah saatnya bagi kalian untuk segera turun dan membantu Sri Maharaja Mataram dan kawan­kawannya menghadapi kejahatan Lakarontang…” sambung Dewi.
“Kami mengerti yang mulia Dewi… sekarang juga kami akan segera turun dan membantu raja mataram…” ucap Datuk Rao Basalaung Pitu seraya memberi menangkupkan tangan memberi hormat pada Dewi Langit Bunga Tanjung. Dewi Langit Bunga Tanjung kemudian membalas penghormatan yang di berikan oleh Sang Datuk dengan anggukan kepala lalu beberapa Saat kemudian tubuhnya dan tubuh Mimba Purana yang sedang menggendong bayi Bintang Langit Saptuning Jagat nampak melayang naik ke angkasa menuju langit biru yang terlihat tersibak. Setelah beberapa saat sepeninggal Dewi Langit Bunga Tanjung dan Mimba Purana, Datuk Rao Basaluang Pitu pandangi keempat orang yang berdiri di hadapannya.
“Tampaknya sudah saatnya bagi kita untuk kembali ke Mataram, namun seperti yang kujanjikan sebelumnya ada beberapa barang yang ingin kuberikan kepada kalian…” ucap Sang Datuk seraya pandangi keempat orang dihadapannya satu persatu membuat keempat orang yang dipandang oleh Sang Datuk menjadi serba salah. sang Datuk alihkan pandangannya kearah Nenek Katai Ning Rakanini sembari mengeruk sesuatu dari kantung kulit tempat penyimpan saluang yang tergantung di pinggangnya. Beberapa saat kemudian Sang Datuk menyodorkan tangannya ke arah Sang Nenek membuat Sang Nenek terperangah! Ternyata di tangan Sang Datuk terlihat Lima Buah Tusuk Kundai perak yang berkilauan!
“Aku memberikan Tusuk Kundai Perak Mentari ini padamu Wahai Ning Rakanini… aku harap kau bisa mempergunakannya sebaik mungkin mengganti tusuk kundai batu merah milikmu itu…” ucap Sang Datuk Lembut. Nenek Ning Rakanini terlihat tersipu saat mengambil tusuk Kundai di tangan Sang Datuk. Wajahnya terlihat memerah saat melepas Tusuk Kundai batu miliknya dan menggantinya dengan Tusuk Kundai Perak Pemberian Sang Datuk.
“Sebenarnya apa maksud Sang Datuk memberikan perhiasan ini padaku… apakah dia…?” batin Sang Nenek seraya berpikir yang bukan­bukan! Namun lamunannya terputus saat Datuk Rao Basaluang Pitu tiba­tiba melepaskan Tusuk Kundai di kepalanya.
“caranya bukan begitu…” ujar Sang Datuk lembut semakin membuat merah pipi Sang Nenek sementara Arwah Ketua terlihat mendehem­dehem membuat Sang Nenek menjadi jengkel.
“Caranya pakainya bukan begitu melainkan begini…!” ucap Sang Datuk tiba­tiba sembari menancapkan kelima tusuk Kundai Perak ke batok kepala Sang Nenek! Sang Nenek menjerit keras saat kelima tusuk kundai melesat dan menancap di batok kepalanya! Arwah Ketua, Resi Kali Jagat Ampusena dan Lor Pengging Jumena pun terhenyak tak menyangka akan apa yang dilakukan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu! Sementara itu nenek Ning Rakanini pandangi Datuk Rao Basaluang Pitu dengan mata melotot! Perlahan­lahan dirabanya tusuk kundai perak yang menancap dikepalanya, terasa kepalanya yang biasanya berat kini benar­benar terasa ringan! Hawa sejuk dingin terasa berputar disekujur tubuhnya!
“Tusuk Kundai itu bukan tusuk kundai biasa, dengan menancapkan Kelima tusuk Kundai Perak Mentari langsung dikepalamu hal itu akan memperlancar seluruh jalan darah dan menambah tenaga dalammu… disamping itu Tusuk Kundai itu juga merupakan senjata yang sangat ampuh dan berbahaya… aku harap kau bisa menggunakan sebaik­baiknya…”ucap Sang Datuk sembari tersenyum. Nenek Ning Rakanini langsung berlutut di kaki Sang Datuk kala mendengar ucapan Sang Datuk tersebut.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar­besarnya kepada Datuk…” ucap Sang Nenek sembari berlutut. Sementara Sang Datuk terlihat tertawa pelan sembari membangunkan Sang Nenek.
“bangunlah… tusuk Kundai itu memang sudah ditakdirkan untukmu dan mereka yang nanti akan menjadi penerusmu… dimasa depan nanti Tusuk Kundai itu akan menjadi milik seorang tokoh kosen yang amat disegani di dunia persilatan, jadi aku sungguh berharap kau mau berjanji tidak akan menghilangkan Tusuk Kundai itu walau hanya sebuah…” ucap sang Datuk yang langsung dibalas anggukan oleh Sang Nenek.
“Saya berjanji Datuk… saya akan menjaga baik­baik Tusuk Kundai ini dan akan menurunkannya kepada para penerus saya nantinya…” ucap Sang Nenek yang dibalas anggukan oleh sang Datuk.
Sang Datuk kemudian terlihat mengambil sesuatu lagi dari dalam kantung kulitnya, setelah tangannya keluar nampaklah bahwa barang yang berada di tangan sang datuk adalah sepucuk bibit pohon beringin.
“Terimalah bibit Beringin Dewa ini untuk mengganti pohon beringin yang terbakar habis di candi kediamanmu…” ucap Sang Datuk sembari menyerahkan bibit Beringin Dewa tersebut kepada Ning Rakanini yang langsung disambut oleh Sang Nenek.
“Aku masih ada permintaan untukmu… jika kau sempat aku harap kau mau mengambil Sisa beringin yang terbakar di tempatmu lalu membuatnya menjadi sebuah Papan Nisan Kayu Hitam! Setelah itu kuburkanlah Papan Nisan Hitam itu di Pegunungan Iyang dan biarlah papan nisan itu bersemayam disana hingga suatu hari nanti akan ada orang yang mengambilnya…” ucap Sang Datuk yang dibalas dengan Anggukan oleh Ning Rakanini walaupun Sang nenek sebenarnya tak mengerti apa tujuan Sang Datuk menyuruhnya melakukan hal tersebut. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian memandang kearah Lor Pengging Jumena seraya berucap sesuatu yang membuat semua orang yang ada disitu melengak kaget.
“Lor Pengging Jumena… apakah kau keberatan kalau aku meminta sepasang bola matamu…?” Resi Kali Jagat Ampusena dan Arwah Ketua saling pandang bahkan Ning Rakanini nampak mengkirik ngeri! Sementara itu Lor Pengging Jumena hanya nampak termangu sesaat sebelum akhirnya tertawa panjang.
“Sebelum bertemu Datuk, tubuh ku ini hanya berupa jerangkong dengan tengkorak kosong melompong! Dengan alunan Tembang Mulih Smaradhana milik Datuk akhirnya aku bisa mendapatkan tubuhku yang sempurna kembali, kalau kini Datuk meminta sepasang bola Mataku rasanya juga bukan masalah besar…!” ucap Lor Pengging Jumena sembari menggerakan kedua tangannya cepat kearah mata! Sesaat kemudian nampaklah sepasang Biji Bola Mata diatas telapak tangannya! Datuk Rao Basaluang Pitu tersenyum melihat sepasang Bola Mata Di tangan Lor Pengging Jumena. Sang Datuk pun kemudian terlihat mengambil sepasang bola mata tersebut. diperhatikannya sepasang bola mata tersebut dengan seksama, lalu terlihat Sang Datuk mengusap Lembut kedua Bola Mata tersebut dan tampaklah bahwa kedua bola mata tersebut kini sudah tidak memiliki manik mata! Sang Datuk kemudian terlihat mengambil sesuatu dari dalam kantung kulitnya yang ternyata berupa dua helai daun tembus pandang yang tampak mengeluarkan sinar terang! dua daun itu kemudian ditempelkan diatas sepasang bola mata tersebut! Lalu keanehan terjadi, sepasang daun tersebut kemudian terlihat mengeluarkan asap tipis dan langsung lumer kedalam dua bola mata di tangan Sang Datuk! Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat mendekat kearah Lor Pengging Jumena dan memasangkan sepasang bola mata Lor Pengging Jumena kembali keasalnya maka nampaklah kalau kini Lor Pengging Jumena memiliki sepasang mata berwarna Putih! Lor Pengging Jumena pandangi kesekelilingnya dengan pandangan aneh. Ada sesuatu yang lain dirasakan di dalam dirinya, sesuatu yang membuat dirinya seakan terlahir kembali! beberapa saat kemudian Lor Pengging Jumena pun tampak berlutut di hadapan Datuk Rao Basaluang Pitu.
“Aku tahu apa yang kau rasakan Wahai Lor Pengging, kau kini memang sudah tidak dapat melihat lagi dengan sepasang matamu, namun tentunya kau kini bisa merasakan mata lain yang jauh lebih terang dalam dirimu yakni mata hatimu bukan…?” tanya Datuk Rao yang dibalas dengan anggukan oleh Lor Pengging Jumena.
“ketahuilah bahwa sepasang daun yang kumasukan kedalam sepasang bola matamu adalah Daun Pohon Sastra Langit, satu­satunya pohon yang tumbuh di Pelataran langit yang selalu disiram oleh para Dewa dan Dewi dengan sari pengetahuan dan lintang kebajikan… kini dengan sepasang matamu itu kau akan mengembara ke seluruh pelosok negeri dan menyingkap segala tabir serta membaca pertanda yang terbaca dilangit dan tertiup hembusan Alam… dengan kemampuanmu itu kau akan banyak menolong mereka yang tersesat dan mereka yang membutuhkan petunjuk dan nasehat…” ucap Datuk Rao seraya membangunkan Lor Pengging Jumena.
“Seperti halnya Ning Rakanini, kau pun harus berjanji untuk menurunkan sepasang matamu itu pada penerusmu tepat sesaat penerusmu itu dilahirkan… biarlah nantinya para penerusmu akan menjalani hidup dengan mata tertutup namun hati terbuka…” ujar Sang Datuk kembali.
“Saya berjanji Datuk apa yang Datuk ucapkan akan saya lakukan dan taati…”ucap Lor Pengging Jumena seraya membungkuk memberi hormat.
“Satu hal lagi… untuk selanjutnya hidupmu dan para penerusmu harus kau abdikan dalam pengembaraan… kau Akan hidup dengan mengemis dan meminta­minta… biarpun nantinya kau akan selalu dicaci dan dimaki tapi kau akan selalu memberikan petunjuk dan wejangan bagi mereka yang membutuhkan. Biarlah hanya untuk mereka yang sudi berkorban dan berusaha mencari tahu akan segala pengetahuan yang mereka butuhkan sajalah yang akan menemukanmu! Oleh karenanya mulai hari ini kau tidak usah lagi menggunakan Nama Lor Pengging Jumena… biarlah nanti sampai seterusnya orang­orang akan memanggilmu dan para penerusmu dengan panggilan Si Segala Tahu…!”
***
5
Sang Datuk kemudian kembali mengambil sesuatu dari dalam kantung kulitnya dan ajaib! Dari kantung kulit sekecil itu kemudian keluar sebuah Caping bambu, sebuah tongkat butut, sebuah kaleng rombeng dan sebuah kitab kumal. Entah dengan cara apa Datuk Rao Basaluang Pitu mampu membuat Kantung kecil itu mampu mengisi berbagai barang dengan ukuran yang bahkan jauh lebih besar dari mulut Kantung kulit tersebut. Caping bambu tersebut kemudian dipasangkan ke kepala Lor Pengging Jumena sementara tongkat dan kaleng rombeng di dipasangkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu ke tangan kiri serta kitab kumal ke tangan kanan Sang Kakek yang mempunyai Nama baru yakni Si Segala Tahu.
“Caping ini hanyalah caping biasa, tongkat dan kaleng rombeng ini juga hanyalah tongkat dan kaleng rombeng biasa sementara kitab kumal ini juga hanyalah sebuah kitab tembang dan senandung biasa… dengan barang­barang inilah kau dan para penerusmu nantinya mengembara dan memberikan petunjuk dan wejangan bagi mereka yang membutuhkan…” sambung Datuk Rao Basaluang Pitu. Si Segala Tahu mengelus caping dikepalanya lalu kemudian turun mengelus tongkat bututnya, setelah itu Sang kakek menggoyang­goyangkan kaleng ditangannya yang langsung mengeluarkan suara keras! saat Sang kakek meraba kitab kumal ditangan kirinya tiba­tiba dirasanya huruf­huruf timbul keluar dari sampul luar kulit tersebut, tidak sampai disitu Sang Kakek kemudian membuka halaman­halaman didalam buku dan merasakan hal yang sama saat huruf­huruf Jawa Kuna terasa muncul sehingga bisa diraba dan dibaca oleh Sang Kakek.
“Aksara Kidung Langgeng Smaradhana…!” desis Si Segala Tahu dengan tubuh bergetar dan kembali jatuhkan lutut yang langsung disambut oleh Datuk Rao.
“Bangunlah…” ucap Datuk Rao seraya membangunkan Si Segala Tahu. Si Segala Tahu nampak menyusutkan air mata penuh keharuan karena tahu bahwa Aksara Kidung Langgeng Smaradhana merupakan satu kitab yang amat langka yang sangat sulit dicari tandingannya! Walaupun hanya berisi beberapa buah tembang dan senandung namun keampuhannya bisa dilihat kala isi kitab itu digunakan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu saat menghadapi barisan makhluk api dan saat mengobati Ning Rakanini, Arwah Ketua dan dirinya sendiri saat terluka. (silahkan baca episode: Si Pengumpul Bangkai) Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian alihkan pandangannya ke arah Arwah Ketua! Arwah Ketua yang tahu urusan langsung saja dingin tengkuknya!
“Tidak Datuk… terima kasih sebelumnya, tapi saya belum butuh apa­apa…! Saya masih belum mau buta…! Saya juga gak bakalan lebih cakep kalau kepala saya ditancepin tusuk Konde…!
“Ucap Arwah Ketua sembari memegangi kepalanya yang Plontos! Hal ini membuat Ning Rakanini dan Si Segala Tahu tertawa lepas. Datuk Rao Basaluang Pitu pun hanya tersenyum melihat tingkah Arwah Ketua.
“Aku tidak akan mencongkel matamu ataupun menancapkan tusuk kundai ke kapalamu Arwah Ketua! jadi legakanlah hatimu… aku hanya ingin menitipkan sesuatu padamu…” ucap Sang Datuk kembali seraya kembali mengeruk kedalam kantung kulitnya yang ajaib dan saat tangan sang datuk keluar dari dalam kantung terlihat sebuah kitab ditangan Sang Datuk, namun yang membuat semua orang tercengang adalah diatas kitab tersebut tampak bergelung dua ekor naga bersisik kuning! Dua ekor Naga tersebut berukuran sangat kecil! Hampir menyerupai anak belut namun sosoknya yang bertanduk dan mempunyai sepasang kaki menegaskan bahwa dua ekor makhluk yang bergelung itu sama sekali bukan anak belut melainkan sepasang Naga Yang sesungguhnya!
“Kitab ini adalah sebuah kitab yang bernama Kitab Wasiat Malaikat! Bersama kitab ini aku sertakan juga sepasang Naga Kuning kecil. Seekor Naga akan kuberikan kepadamu sedangkan naga satunya beserta Kitab Wasiat Malaikat kuharap bisa kau jaga untuk sementara waktu sebelum nantinya kau serahkan pada seseorang didasar Telaga Gajahmungkur…” Arwah Ketua pun mengambil Kitab dan Naga sembari menghembuskan Nafas Lega.
“Untung Datuk tidak meminta mataku atau menancapkan tusuk kundai ke kepalaku” ucap Sang Kakek namun tiba­tiba Sang Kakek merasakan sesuatu keanehan kala Sepasang Naga dan kitab berada dalam genggamannya. Sang Kakek merasakan satu hawa panas silih berganti dengan hawa dingin sejuk berputaran di dalam tubuhnya! Sang kakek berlonjak kegirangan! Sang kakek tahu kalau saat itu tenaga dalamnya juga telah bertambah seperti halnya tenaga dalam Ning Rakanini dan Si Segala Tahu.
“terimakasih Datuk…! terimakasih…!
“seru Sang Kakek sembari tertawa riang namun beberapa saat kemudian tawanya hilang seakan direnggut setan kala merasa suatu keanehan terjadi pada tubuhnya sebelah bawah lalu… seeerrrr… tanpa bisa ditahan oleh sang empunya barang, Sang Kakek tanpa sadar mengeluarkan air kencing dicelana!
“Datuk…! apa yang terjadi…! kenapa aku tidak bisa menahan… anu… itu… Moncor terus…! Ampuuun…!” kaget Arwah Ketua sampai terbata­bata sembari mendekap bagian bawah celananya yang mulai basah! Melihat hal ini Nenek Katai Ning Rakanini dan Si Segala Tahu tertawa terpingkal­pingkal! Datuk Rao Basaluang Pitu hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Seharusnya hal itu tidak terjadi jika saja pikiranmu tidak terpecah saat kau memegang Kitab dan Sepasang Naga itu…” desah Sang Datuk.
“Jadi bagaimana ini Datuk…?” ucap Arwah Ketua dengan pandangan memelas dan terus­terusan mendekap bagian bawah perutnya.
“Tampaknya ini memang sudah suratan takdirmu wahai Arwah Ketua… penyakitmu ini tampaknya akan terus serta bersamamu hingga nantinya kau teruskan pada penerusmu…” sambung Datuk Rao Basaluang Pitu. Datuk Rao Basaluang Pitu hendak melanjutkan ucapnnya namun terputus saat satu suara terdengar berucap
“Dan untuk seterusnya kau serta para penerusmu akan dipanggil orang dengan sebutan…” Si Segala Tahu terdengar menyeletuk tiba­tiba.
“Arwah Ngompol…!” seru Nenek Ning Rakanini dan Si Segala Tahu kompak membuat Arwah Ketua keki dan langsung memeperkan kedua tangannya yang basah kuyup karena air kencing kearah mereka berdua! Hal ini tentu saja membuat Ning Rakanini dan Si Segala Tahu memaki panjang pendek. Datuk Rao hanya tertawa lepas melihat kelakuan mereka bertiga. Setelah itu Datuk Rao Basaluang Pitu kini memalingkan wajah kearah Resi Kali Jagat Ampusena lalu berucap lembut.
“ Ampusena, mungkin dari semua amanat yang kutitipkan, amanatmu lah yang paling berat…” ucap Sang Datuk seraya memandang Resi Kali Jagat Ampusena. Sang Resi pun mnejura hormat sembari berucap
“walaupun sesungguhnya diri saya amat menyadari rendahnya kepandaian yang saya miliki, namun adalah suatu anugerah yang besar bagi saya jika mendapatkan amanat dari Datuk, seberapa besarnya amanat yang Datuk titipkan ke pundak saya akan saya terima dan jalankan sebaik mungkin…” Sang Datuk tersenyum cerah mendengar ucapan Sang Resi.
“Ucapanmu menandakan kerendahan hatimu dan aku sangat senang mendengarnya Wahai Ampusena. Tinggi Ilmu tidaklah berarti jika dibarengi dengan Tinggi Hati, hanya kerendahan hati dan keluhuran budi yang mampu membawa manusia ke Jalan menuju Swargaloka…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu. Sang Datuk kemudian terlihat mengambil kembali sesuatu dari dalam kantung kulit ajaibnya, saat tangan Sang Datuk keluar terlihatlah sebuah kitab dalam genggamannya. Kitab itupun langsung diberikan oleh Sang Datuk kepada Resi Kali Jagat Ampusena.
“Ampusena, kitab dalam genggamanmu adalah Kitab yang bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa… kitab ini adalah satu kitab dari dua buah kitab yang nantinya akan menentukan nasib umat manusia di tanah Jawa Delapan Ratus Tahun kedepan. untuk saat ini aku ingin kau menyimpannya sebaik mungkin. sampai pada masa sepuluh tahun kedepan carilah seorang bayi yang baru lahir di daerah selatan Trowulan. Bayi tersebut terlahir dengan Nama Manik Aryana dan memiliki rembang tanda lahir berbentuk Bintang Yang Dilingkari Sepasang Naga Di Atas Tengkuknya. Perlu kau ketahui bayi bernama Manik Aryana tersebut pada dasarnya adalah anak yang akan menjadi ketitisan dari Bintang Langit Saptuning Jagat! Karena kau rupanya berjodoh dengan bayi itu, maka kau harus mengangkatnya menjadi murid! Berikanlah dia makanan rohani dan pelajaran akan hidup! Lalu bersama­sama dengan muridmu itu pergilah dan lakukanlah perjalanan menuju sebuah Padang Pasir bernama Padang Pasir Thar di barat Laut India. temukanlah sebuah Goa ditengah padang pasir tersebut yang diberi nama Goa Binaker lalu berikanlah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang kau miliki tersebut kepada sesorang Resi yang menanti disana… setelah itu berjalanlah terus ke arah utara menuju Tanah Arab, Tanah seribu gurun, ke tanah orang­orang berjubah dan bersorban putih. Sesampainya disana tempalah dirimu dan muridmu disana dengan segala bentuk kebajikan dan ilmu pengetahuan… serta temukanlah kebenaran hidup yang hakiki di bawah naungan batu Hajar Aswad…!”Tutup Datuk Rao Basaluang Pitu. Yang dibalas anggukkan dan salam hormat Resi Kali Jagat Ampusena. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian pandangi keempat orang dihadapannya.
“Sebelumnya aku meminta kalian untuk berpegangan tangan selama berada di Dalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya namun mungkin kalian tidak menyadari kalau kalian sudah tidak berpegangan tangan lagi…” ucap sang datuk yang membuat semua yang ada baru menyadari hal tersebut.
“Hal ini dapat terjadi karena masing­masing dari kalian telah memegang barang yang merupakan bagian dari milik istana langit. Dengan memiliki barang pusaka istana langit kalian tidak akan tersesat lagi dan bisa menginjakkan kaki ke ruangan ini kapanpun kalian inginkan…” sambung Sang Datuk.
“Kini rasanya sudah waktunya untuk kembali… tampaknya…” Ucapan Sang Datuk terputus kala terasa satu goncangan keras terjadi di tempat itu! Pemandangan awan dan langit biru tiba­tiba berubah menjadi gelap kala satu getaran keras kembali melanda Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya! sesungguhnya apa yang sedang terjadi? ternyata di luar Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya sedang terjadi pertempuran seru! Satu Sosok Kelelawar Raksasa nampak menyerang Datuk Rao Pangeran Peto Alam dengan Dahsyatnya! Binatang peliharaan Datuk Rao Basaluang Pitu ini mengeluarkan lenguhan keras sembari melancarkan tendangan berulang kali kearah kelelawar besar yang menyerangnya dengan gencar! Dirinya benar­benar kerepotan menghadapi makhluk bersayap tersebut karena kedua tangannya dipakai untuk memanggul bola lingkaran Saluang dipundaknya! Sementara itu Makhluk bersayap ini juga tidak datang sendiri, bersama dengannya turut serta ratusan makhluk berjubah dan berwajah hitam dan putih yang secara bergerumbul menghantam bola lingkaran Saluang yang sedang dipikul oleh Datuk Rao Pangeran Peto Alam! Hal inilah rupanya yang menyebabkan guncangan keras dalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya!
“Kembalikan Bayi Pemimpin Kami…!” bentak Kelelawar raksasa sembari menyerang Datuk Rao Pangeran Peto Alam dengan sepasang cakar dan taringnya. sementara itu di dalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya Ning Rakanini nampak memegang tangan Si Segala Tahu erat sementara Datuk Rao Basaluang Pitu mengkerutkan keningnya kala merasakan getaran yang melanda tempat itu.
“Ada kekuatan yang mencoba untuk mendobrak masuk ke dalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya…” ucap Sang Datuk membuat mereka yang berada dalam ruangan tersebut saling berpandangan. Saat getaran ketiga kembali melanda Sang Datuk terlihat berseru keras.
“Wahai Tujuh Saluang Dewa…! Harap tunjukkan jalan bagi diriku dan kerabatku untuk keluar dari Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya…!” begitu ucapan Sang Datuk selesai tedengar kembali suara alunan kidung yang berasal dari ketujuh Saluang Dewa yang berputar keras.
“bersiap­siaplah…!” seru Sang Datuk kala melihat putaran Saluang semakin melambat dan kala Putaran Ketujuh Saluang akhirnya berhenti Sang Datuk yang kala itu melayang diatas langit bersama keempat orang lainnya kontan jatuh menderu kebawah! Ning Rakanini perdengarkan suara teriakan ngeri kala melihat dirinya lolos ke bawah sementara itu Datuk Rao Basaluang Pitu perlihatkan satu gerakan indah kala merasakan tubuhnya merosot kebawah. Sang Datuk terlihat melenting keatas sembari menginjak dua buah saluang yang sedang berputar tak menentu sementara tangannya meraih sebuah Saluang lainnya yang melesat tak jauh dari dirinya. Sesaat kemudian terlihat Sang datuk memainkan sebuah kidung dengan saluangnya sembari berdiri diatas dua buah Saluang lain yang berputar kencang! Empat sinar beraneka warna yang terpancar dari empat buah saluang kemudian nampak bergerak mengejar empat tubuh yang merosot kebawah! Nenek Katai Ning Rakanini tiba­tiba hentikan teriakannya kala dirasa tubuhnya tidak lagi merosot kebawah, saat diperhatikannya ternyata dirinya saat itu sedang diputari oleh sebuah saluang berwarna kuning.
Saluang tersebut berputar kencang di sepanjang pinggangnya dan rupanya hal inilah yang membuat dirinya dapat melayang diangkasa. Saat Ning Rakanini menengok keadaan ketiga rekannya ternyata merekapun mengalami hal yang sama yaitu dikelilingi oleh masing masing sebuah Saluang sehingga mampu melayang dan tidak terjatuh kebawah!
“Bukan main…!” desis Sang Nenek mengagumi kesaktian Saluang Dewa milik Datuk Rao Basaluang Pitu. Saat dirinya memandang keatas matanya langsung melebar terkagum­kagum! Bagaimana tidak, saat itu dilihatnya Datuk Rao Basaluang Pitu tampak berdiri gagah diatas sepasang Saluang yang berputar kencang dibawah telapak kakinya, sementara tubuhnya terlihat berputar mengelilingi kawanan Kelelawar Raksasa dan gerombolan Ratusan Jin Pengawal Hitam­Putih sembari memainkan saluangnya! Rambut dan Janggut putih Sang Datuk nampak menjela­jela tertiup angin kala Sang Datuk dengan tubuh berputar­putar laksana gasing kembali mengeluarkan kehebatannya memainkan Sebuah Tembang dari Kitab Aksara Kidung Langgeng Smaradhana! Kelelawar Raksasa dan Ratusan Jin Hitam­Putih Pengawal Istana Atap Langit nampak diam membeku tersirap satu kekuatan dahsyat kala mendengar bunyi tembang yang keluar dari Saluang yang dimainkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu!
***


6
Lakarontang pandangi langit Mataram di ufuk timur dengan perasaan gelisah. Semburat merah kini nampak mulai menghiasi malam yang kelam sementara di kejauhan kokok ayam jantan terdengar bersahutan membuat resah hati Jenazah Simpanan. Sementara itu pertempuran semakin lama berlangsung semakin dahsyat! Nampak Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala bertempur habis­habisan dengan menggunakan seluruh kemampuan yang mereka punyai. Sementara itu Kakek Kumara Gandamayana nampak bersandar di satu pecahan pilar penyangga keraton. Nafas Sang Kakek sudah terlihat tak beraturan akibat luka bacokan dipunggungnya, namun Sang Kakek nampaknya belum mau berniat untuk menyerah! Walaupun dalam keadaan seperti itu Sang kakek masih terlihat memainkan Sorban Panjangnya guna menghadapi serangan­serangan yang ditujukan pada Raja Mataram. Perlawanan yang diperlihatkan keempat orang ini benar­benar menakjubkan dan diluar perkiraan Jenazah Simpanan! Ratu Randang dan Kunti Ambiri yang masing­masing sebenarnya sudah terluka cukup parah nampak tidak mengundurkan serangan mereka terhadap banjir serangan yang datang dari Laskar Lakarontang, sementara itu Raja Mataram terus terlihat mengamuk hebat menggunakan sepasang tangannya yang berukuran raksasa! Setiap kali ada musuh yang mendekat pasti langsung dilumatnya dengan sepasang tangannya itu sementara pukulan­pukulan jarak jauh yang dilancarkan kearahnya selalu dipatahkan oleh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang selalu berkelebat melindungi Sri Maharaja Mataram! Lakarontang benar­benar geram! Apalagi saat dilihatnya beberapa orang anak buah Raja Jin hutan Roban yang terlepas dari kendali mayat­mayat hidup peliharaannya juga bertempur membantu rombongan Raja Mataram guna membantu melepaskan rekan­rekannya yang dijadikan budak tunggangan laskar Jenazah Simpanan! Apa yang diperbuat oleh keempat orang itu mengingatkan Lakarontang akan penyerbuan keempat kepala negeri yang pada saat itu nyaris saja membuatnya terbunuh! perlawanan yang diberikan oleh Sri Maharaja mataram dan kawan­kawannya benar­benar serupa dengan perlawanan yang ditunjukkan oleh Lanawi, Lakawung, Hantu Labatu Rengkah dan Luh Pingkan Matindas kala menghadapi barisan mayat hidupnya beberapa ratus tahun lalu di Hutan Lasesatbuntu! Kenyataan ini membuat Lakarontang marah! Dengan amarah yang meluap­luap Lakarontang kemudian memimpin puluhan laskarnya yang tersisa guna masuk ke gelanggang pertempuran!
“Bunuh…! Bunuh mereka semua…! Segarkan tubuh kalian dengan bermandikan darah Raja Mataram dan kawan­kawannya! Jangan sisakan setetes pun darah mereka mengalir di tanah Mataram!” teriak Lakarontang keras. Maka melesatlah Ratusan orang yang menunggangi Jin Putih Muka Rata kearah Raja Mataram dan rombongannya dengan Lakarontang yang menggunakan tubuh Sangkala Darupadha sebagai pimpinannya! Raja Mataram dan rombongannya dan mengeluh dalam hati melihat gelombang serangan yang datang. Sementara itu Lakarontang kali ini tidak mau berpangku tangan! Walaupun sebagian besar kepandaiannya masih terkunci, namun setelah menghisap seluruh saripati dan inti tenaga Bocah Dirga Purana maka Makhluk satu ini memiliki cukup tenaga untuk melakukan serangan­serangan yang sangat mematikan walaupun tak sehebat kemampuannya yang sesungguhnya! Lakarontang nampak menggerakkan kepalanya dan dari lubang di matanya melesat sepasang sinar berbentuk kilat hitam menggidikan yang menghamparkan hawa panas! Sesaat lagi sinar kilat hitam akan melabrak tubuh Ratu Randang dan yang lainnya tiba­tiba dari kegelapan melesat satu bayangan yang langsung memapas sinar kilat hitam dengan kedua tangannya! dan ajaib! kedua tangan jenjang mulus tersebut terlihat memutar­mutar pukulan kilat lakarontang dan kemudian membalikannya kearah laskar Lakarontang yang menyerbu bersamaan!
“Hik..Hik..Hik.. Petir Hitam yang nakal…! kalau masih ada lagi aku masih ingin bermain­main!” ucap seorang gadis yang berdiri tegak di hadapan Kunti Ambiri dan yang lainnya.
“Jaka Pesolek…! dari mana saja kau…?” bentak Kunti Ambiri kesal. Gadis yang ternyata adalah Jaka Pesolek Penangkap Petir ini hanya tersenyum saat dibentak oleh Dewi Ular.
“Maafkan aku kawan­kawan, aku ada sedikit urusan jadi datang sedikit terlambat… ngomong­ngomong dimana gerangan Wiro? kenapa aku tidak melihatnya ya..? ucap sang gadis sambil celingukan kiri kanan. ‘Wiro ada diatas sana..!” dengus Kunti Ambiri sebal sembari menunjuk keangkasa dimana pada saat terlihat di kejauhan Sang Pendekar sedang turun dengan mengendarai Jin Putih Muka Rata. Sementara itu di sisi lain Lakarontang benar­benar murka! Tak disangkanya akan ada orang yang bisa memapas dan mengembalikan sinar Bara Moksa Geni yang dimilikinya bagaikan sebuah permainan saja! Sang jenazah Simpanan menggeram keras dan kembali melancarkan pukulan­pukulan jarak jauh berupa sinar­sinar hitam kearah Rombongan Raja Mataram.
“Hantu Bara Kaliatus…! Dirga Purana…! Lakukan tugas kalian!” bentak lakarontang sembari terus melepaskan pukulan Bara Moksa Geni dengan gencarnya! Melihat hal ini Ratu Randang, Kunti Ambiri beserta Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala langsung melepaskan Pukulan jarak jauh masing­masing untuk menghadang datangnya Pukulan Lakarontang! Kunti Ambiri terlihat melepaskan Pukulan sakti berwarna hitam yang diberikan oleh Ratu Ular Kepadanya yakni Pukulan Kobra Karang Penghancur Tulang. Sementara Ratu Randang melepaskan Pukulan berwarna Kuning yang dinamakan Jagat Semu Pelepas Nyawa. tak ketinggalan ketinggalan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala menggerakkan kedua tangannya yang berukuran raksasa guna melepas sebuah pukulan yang bernama Dewa Kembar Membalik Gunung! Satu sinar berwarna hijau kebiruan melesat disertai suara guruh laksana gunung meledak! Ketiga larik pukulan ini dengan deras meluncur kearah pukulan­pukulan Bara Moksa Geni yang dilancarkan Lakarontang! Namun ketiga orang ini terhenyak kala tiba­tiba berkelebat satu bayangan yang langsung menggulung ketiga sinar pukulan menjadi satu!
“Jaka Pesolek…! Kau sudah gila! Apa yang kau Lakukan..?” jerit Kunti Ambiri melihat tingkah Jaka Pesolek yang menggulung tiga sinar pukulan! Semua tidak mengerti apa yang dilakukan gadis yang bisa laki dan bisa perempuan ini, namun mereka semua terperangah kala gabungan pukulan yang digulung oleh Sang Gadis kembali dilepaskan dalam bentuk yang maha dahsyat! Satu sinar berukuran raksasa dengan warna gabungan hitam kuning dan biru kehijauan melabrak serangan sinar­sinar Bara Moksa Geni yang dilancarkan Lakarontang dan terus menghantam tubuh Sangkala Darupadha! Satu Dentuman yang amat besar kini terdengar membahana melebihi suara­suara dentuman sebelumnya! Jaka Pesolek terjengkang keras kearah Kunti Ambiri! Sepasang tangan sang gadis terlihat bergetar keras!
“Kau benar­benar gila Jaka Pesolek…!” jengkel Kunti Ambiri melihat kenekatan Sang Gadis. Sementara gadis dalam pelukannya hanya tertawa ringan. Apa yang dilakukan Sang Gadis memang benar­benar mengagetkan sekaligus membuat orang terkagum­kagum! kepandaian menangkap sinar pukulan dan menggulungnya menjadi satu memang didunia ini tidak ada yang bisa melakukan selain Jaka Pesolek Penangkap Petir! dan yang lebih mencengangkan lagi adalah kenyataan bahwa gadis ini tidak memiliki tenaga dalam maupun kepandaian lain selain gerakannya yang cepat dan kemampuannya menangkap petir! Ratu Randang berjalan mendekati Jaka Pesolek dan berucap.
“Heran baru hari ini kau bertindak benar… aku jadi salut padamu…” ucap Ratu Randang sembari menepuk kening sang gadis. Namun baru saja Ratu Randang hendak menyambung perkataannya tiba­tiba mereka dikejutkan oleh teriakan Raja Mataram saat dari dalam tanah tiba­tiba menyembul sepasang tangan yang langsung menarik tubuh Sang Raja Kedalam tanah! Raja Mataram terdengar membentak keras dan berusaha melepaskan cengkraman yang membelit kakinya namun usahanya sia­sia saat satu sentakan membuat tubuhnya amblas kedalam tanah! Kumara Gandamayana yang berada paling dekat dengan Raja Mataram tidak bisa melakukan apa­apa karena sekujur tubuhnya terasa lemas akibat kehilangan banyak darah karena luka di punggungnya. Sang kakek hanya bisa mengerang Kala melihat Raja Mataram hilang amblas ke dalam Tanah! sementara itu apa yang terjadi dibawah sana semua bisa dilihat dengan jelas oleh Wiro. Sang Pendekar benar­benar khawatir akan keselamatan Raja Mataram sekaligus keselamatan para sahabatnya dibawah sana. Sang Pendekar pun kemudian memutuskan untuk melompat terjun kebawah! Saat Sang Pendekar sudah membulatkan tekadnya, tiba­tiba didengarnya satu suara berseru diatas kepalanya.
“Yang Mulia Pimpinan…! kami datang membantumu…!” Wiro memandang kearah atas lalu berseru girang.
“Kelelawar Hantu… kau datang disaat yang tepat…! aku memang membutuhkanmu!” ucap Sang Pendekar kala melihat diatas kepalanya sesosok kelawar raksasa turun beserta ratusan Makhluk berjubah dan bermuka hitam dan putih. Sang pendekar juga melihat empat orang yang tak dikenalnya datang bersama makhluk yang dikenalnya sebagai Arwah Ketua melayang bersama dengan makhluk­makhluk yang dikenal Wiro Sebagai para Penjaga Istana Atap Langit. karena tidak memiliki waktu lagi, Sang Pendekar berkata selekasnya.
“Kelelawar Hantu sahabatku… aku minta tolong padamu dan para pengawal untuk membantu empat orang dibawah sana! Aku masih harus menyelamatkan Raja Mataram, karenanya aku benar­benar membutuhkan bantuanmu!” ucap Sang Pendekar sembari melompat dari Punggung Jin tunggangannya!
“Terima kasih atas tumpangannya…! Dan terima kasih juga kau sudah mengobatiku…!”Seru sang pendekar pada jin tunggangannya sembari melesat ke bawah. Sementara itu Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek yang sedang sibuk bertarung berteriak ngeri kala melihat Wiro melompat dari punggung Jin putih muka rata!
“Anak itu sudah menjadi gila…! Lihat dia melompat ke bawah…!” teriak Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek bergerak cepat hendak menangkap tubuh Sang Pendekar yang sesaat lagi akan membentur tanah, namun gerakan keduanya terhenti kala melihat Sang Pendekar menyengir sembari mempermainkan mata!” Wiro…!” teriak keduanya tak tertahan kala melihat tubuh Wiro meluncur deras ke dalam tanah dan menghilang! Keduanya terdiam sesaat sampai akhirnya Kunti Ambiri berteriak kesal sembari membanting­bantingkan kaki!
“Sialan…! Kita berdua tertipu…! Anak setan itu menguasai ilmu menyusup kedalam tanah..! Dasar pemuda gila…!” gemas Kunti Ambiri sambil memaki­maki sementara Jaka Pesolek yang semula juga terkejut juga akhirnya turut membanting­bantingkan kaki sebal dan keki! sementara itu didalam tanah Sang Pendekar melihat seorang yang dikenalnya sebagai Hantu Bara Kaliatus tampak sedang berusaha mencekik Sri Maharaja Mataram sementara seorang lagi yakni bocah yang dikenalnya sebagai Dirga Purana tampak sedang bertarung hebat dengan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi Milik Sang Raja! Kemarahan Sang Pendekar langsung menggelegak melihat dua orang yang telah membunuh Sakuntaladewi dan Ni Gatri ini.
“Berikan nyawa kalian berdua…! Teriak Sang Pendekar seraya melepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Api kearah Dirga Purana sementara dengan kecepatan luar biasa Sang Pendekar mengeluarkan jurus Dibalik Gunung Memukul Halilintar untuk menghantam Hantu Bara kaliatus yang sedang mencekik Raja Mataram. Terdengar teriakan dahsyat dari Hantu Bara Kaliatus kala pukulan yang memang diciptakan untuk memukul musuh yang bersembunyi ini dengan telak menghantam pelipis Hantu Bara Kaliatus yang kontan membuat cekikannya pada leher Raja Mataram terlepas. Sang Pendekar sebenarnya ingin kembali mengeluarkan pukulan jarak jauh guna membinasakan kedua orang yang membunuh Sakuntaladewi dan Ni Gatri ini, namun hal itu batal dilakukan kala melihat kondisi Raja Mataram yang nampak kesulitan bernafas!
“Celaka! Raja Mataram nampaknya tidak memiliki kemampuan menyusup ke dalam tanah!” seru Wiro sembari melesat dan memapah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala kembali ke permukaan tanah. Sesampainya diatas tanah dilihatnya Ratu Randang dan kawan­kawan lainnya sedang bertempur bersama Kelelawar Hantu dan para Pengawal Istana Atap Langit melawan Lakarontang dan anak buahnya. dilihatnya juga empat orang yang turun bersama dengan Arwah Ketua dan Kelelawar Hantu tampak turut serta menggempur kekuatan Laskar Lakarontang! Sang Pendekar kemudian memapah Sri Maharaja Mataram kedekat Kumara Gandamayana yang nampak memejamkan mata.
“Bagaimana keadaan Yang Mulia…? Apakah Yang Mulia terluka…?” tanya Sang Pendekar sembari memperhatikan Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang nampak terbatuk­batuk.
“Aku tidak apa­apa Ksatria Panggilan… nafasku hanya sedikit sesak akibat cekikan makhluk keparat itu! Sebentar lagi aku akan segera bergabung dengan kalian… cepatlah pergi bantu kawan­kawanmu… biarkan aku beristirahat sebentar disini…” ucap Sang Raja seraya menyandarkan punggungnya ke dinding keraton. Wiro memandang suasana pertempuran yang berlangsung. Dilihatnya kawan­kawannya beserta Kelelawar Hantu dan laskar Pengawal Atap langit dibantu Lima orang yang lainnya perlahan­lahan mampu menekan bahkan mendesak Lakarontang dan Laskarnya. Sang Pendekar memalingkan wajahnya kearah Sang Raja.
“Aku harus membalas kematian Sakuntaladewi dan Ni Gatri Yang Mulia…” desis Sang Pendekar. Sang Raja tampak mengagukkan kepalanya.
“Keadaan sudah agak membaik, memang sudah seharusnya kau membunuh kedua orang itu Ksatria Panggilan…” ucap Sang Raja. Sang Pendekar pun langsung melesat menyelusup kedalam tanah dengan menggunakan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana. Namun sejauh yang dapat ditembusnya tidak dilihatnya bayangan Dirga Purana maupun Hantu Bara Kaliatus. Sang Pendekar pun mengerahkan ilmu menembus pandang pemberian Ratu Duyung namun keberadaan Dirga Purana dan Hantu Bara Kaliatus tetap tidak dapat ditemukannya. Sang Pendekar menggeram kesal lalu segera melesat keatas.
namun saat tubuhnya baru melesat keluar dari dalam tanah, tiba­tiba didengarnya Jaka Pesolek berteriak keras kearahnya.
“Sang Hyang Jagatnatha…!” Sementara itu Sang Pendekar pun melihat Ratu Randang, Kunti Ambiri serta Raja Mataram memandang dirinya dengan pandangan terpana!
“Wiro…!” teriak mereka bersamaan seraya berlari memburu kearahnya. Sang Pendekar mengkerutkan kening saat melihat kelakuan mereka yang dianggapnya aneh. Wiro hendak berucap namun dirasanya mulutnya terasa penuh. Rasa asin bercampur asam terasa memenuhi mulutnya hingga tanpa sadar Sang Pendekar tersedak.
“Darah…” desis Sang Pendekar seraya menyeka mulutnya yang belepotan. Wiro tiba­tiba merasakan sesuatu mengalir dalam tubuhnya. Sesuatu yang hidup! Saat Sang Pendekar menundukkan wajahnya kebawah, dilihatnya ujung runcing sebuah karang tajam berwarna kebiruan yang anehnya memancarkan warna merah berpendar terhujam keluar menembus ulu hatinya.
“Gusti Allah…” desis Sang Pendekar menyebut Nama Sang Khalik!
TAMAT
Episode Berikut:
SABDA PANDITA RATU


INDEX WIRO SABLENG
Bintang langit Saptuning Jagat --oo0oo-- Sabda Pandita Ratu

Teluk Akhirat

INDEX WIRO SABLENG
Srigala Perak --oo0oo-- Nyawa Pinjaman

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

I. TANTANGAN DI KAMAR

PENDEKAR 211 WIRO SABLENG garuk-garuk kepala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang duduk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutra.

Walau kamar besar itu hanya diterangi lilin kecil namun ketipisan pakaian yang berlaku Pelangi Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk tubuh si gadis. Wiro ingat kembali ucapan Eyang sinto Gendeng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu Kesaktian Sepasang Inti Roh itu. Kini bukan saja dia tengah ditantang dalam satu tes sangat besar, tetapi juga berada dalam kondisi bingung karena tidak mengetahui dimana berada Eyang sinto Gendeng dan apa yang terjadi dengan Sang guru.

Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan sosok Pelangi Indah yang menggairahkan. Dalam hati dia membatin. "Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bisa bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diinginkan gadis cantik ini. Budi pertolonganku menemukan kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. Jangankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan padaku ". Wiro menghela napas dalam.

"Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba- tiba Pelangi Indah bertanya. "Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin mengabulkan permintaanmu... "

"Aku mengajukan beberapa permintaan padamu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau kabulkan? "kembali si gadis bertanya.

"Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai pagi. Aku harus segera pergi. Aku harus berterima kasih padamu dan semua gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berutang budi dan nyawa .... " Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa. Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu harkat hidup manusia ...

Mengapa kau tidak bersedia menghabiskan malam ini bersamaku Wiro?

Kau harus segera pergi. Pergi ke mana.? Wiro menggaruk kepalanya kembali. "Pelangi Indah, sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan keselamatan guruku Eyang sinto Gendeng. Nenek sakti itu lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama Tawang Alu itu ..!

Pelangi Indah menatap dalam dalam ke mata pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis. "Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keamanan gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi kobaran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 orang pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku rupanya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutukan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala srigala tetap aman di tanganku".

"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini karena kau tak ingin mengkhianati Anggini? " Murid sinto Gendeng terkejut mendengar ucapan Pelangi Indah itu. "Kau kau kenal dengan gadis itu? "Pelangi Indah menggeleng." Melihatnya-pun aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang gadis sangat cantik ..." "Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu bagaimana ..?"

Beberapa waktu itu dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini. Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan muridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan banyak waktu untuk mencarimu ... "

"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik didunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu berharap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap, tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan.

"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul se- kelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya."Wiro apakah kau juga menolak permintaanku untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Tawang Alu? "Kau memberikan satu kehormatan dan kepercayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demikian besarnya sampai aku tidak berani menerima permintaanmu ...

"Bayangkan rasa kecewa tampak di wajah cantik Pelangi Indah. "Ketahuilah, permintaan yang satu itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mereka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan mereka setinggi langit sedalam lautan ..."Aku mohon maaf. Mungkin ... Mungkin kita bisa bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan Eyang sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri ... Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212. Diam sesaat lalu seperti tidak ingin berpisah selamanya, dipeluknya sang pendekar. Kepalanya disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid sinto Gendeng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jantung mereka seolah berdetak menjadi satu. "Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan datang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini ... "

Wiro membelai punggung si gadis lalu mencium keningnya. "Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi punya perasaan ingin memiliki mu, "kata Pelangi Indah tapi hanya terucap di dalam hati. Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat. Lalu perlahan-lahan dinas rangkulannya. Dua tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap dibalik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas ikat kepala sutra hitam yang bertempelkan sebuah mutiara hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata.

"Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring seLamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau usap, maka akan ada satu getaran gelombang sambung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di depan mu ... "Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan itu. Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bisa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala?

"Wiro hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata."Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa me- lindungi dirimu ... "Aku ... Ini benda sangat berharga. Aku tidak bisa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat berguna untuk dirimu ... " "Juga untuk dirimu," bisik Pelangi Indah. Wiro terpaksa menyimpan ikat kepala sutra hitam itu dibalik pakaiannya.

.....
II. MISTERI NYAWA KELELAWAR PEMANCUNG ROH

SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutra ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata. "Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa gurumu Eyang sinto Gendeng berada dalam kondisi lumpuh akibat terkena Seribu Hawa Kematian. Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh ..."Wiro mengangguk.

"Mahluk itu memiliki kesaktian luar biasa. Para gadis anak buahmu memberikan beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya! " Mahluk apa itu bisa dikatakan tidak mempunyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam tubuhnya. Di apakan-pun dia tidak bakal bisa menemui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di ta- nah ...

"Mahluk apa itu? Setan, Jin ...?" tanya Wiro. "Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin disingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan mengantar nyawa mencari kematian ... "

"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat? "Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak sampai kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis, kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratusan bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk Akhirat. Tempat kediaman iblis bernama Kelelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi tidak mudah menemukan Kelelawar Pemancung Roh. Satu hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh. Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan menguliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam beberapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati-hati ... "

"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi tergetar dadanya. "Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap kau mau bilang sendiri pada mereka. Bahwa kau tidak bersedia bergabung dengan kami ... "Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si gadis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pelangi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata sigadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu. Di halaman depan rumah panggung besar, belasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari batang kelapa segera bangkit berdiri ketika melihat Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mereka. Di depan sekali terlihat Mentari Pagi dan Rembulan. Di sebelah kiri mereka berdiri fajar menyingsing dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu dengan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium Pendekar 212.

Semua mereka tidak satupun yang mengenakan kerudung hitam sampai wajah mereka yang cantik terlihat jelas. "Agaknya pimpinan kita tidak berhasil menahan Pendekar 212 ... "berbisik Rembulan. "Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi. "Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pelangi Indah? "Sekilas wahah Rembulan terlihat kemerahan. Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pendekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa disalahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah menaruh hati pada sang pendekar. "Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau bahkan pemimpin kita Pelangi Indah. Kini tingkat Mentari Pagi yang terlihat kemerah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Sebenarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat hatinya pada murid sinto Gendeng itu. Tetapi dia terlalu sombong untuk mau mengakui.

Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hadapannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah, gadis ini anggukkan kepala memberi sinyal. Wiro garuk kepala, disambut senyum oleh semua gadis. "Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi kikuk, susah bicara ...Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh. Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja berdiam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah kikuk! "Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar. Membuat murid sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala.

"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan tidak bakal melupakan budi baik kalian ... Lembayung yang tadi bicara kembali membuka mulut. "Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami ingin tahu adalah apakah kau menerima permintaan pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu, menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?!

"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pelangi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehormatan dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua tahu. Guruku Eyang sinto Gendeng diculik oleh Ki Tawang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari dan nenek itu ... "

"Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah belakang kembali membuka mulut. "Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan Eyang sinto Gendeng, aku muridnya memiliki kewajiban dan tanggung jawab seluruh tangan mencari dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan diri ... "Kami justru senang dibikin repot olehmu! Hik ... hik! "Kembali Lembayung berucap. Kembali pula tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis. Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis. "Pimpinan," Rembulan maju dua langkah ke depan Pelangi Indah."Jika benar Ki Tawang Alu yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis. "Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Sebenarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena sudah punya rencana sendiri dia tidak mau mengungkapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala.

"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah Belibis itu, "Wiro berkata seraya memandang pada Rembulan. Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menjawab pertanyaan Pendekar 212. “Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pelangi Indah berkata. Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerangkan."Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali kecil. Ikuti pula itu, kau akan sampai ke sebuah lembah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya karena di situ banyak burung-burung belibis. "Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sana ...Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara.

"Pendekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu menculik gurumu bukan untuk maksud jahat? Sepasang mata Wiro Sableng membesar sementara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya memandang tajam ke arah Lembayung. "Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi Indah."Mati aku, aku tadi cuma mau bercanda!" kata Lembayung dalam hati."Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras."Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pendekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia suka pada Eyang sinto Gendeng ... Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata memandang pada Lembayung yang diam-diam jadi ketakutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah. Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya. Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa keluar dari mulut itu. Pertama pelan, lalu makin keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah sendiri tidak dapat menahan diri. Gelak tawa untuk kesekian kalinya terdengar riuh. Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan tahu-tahu menyusup menjewer telinganya."Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu selalu usil! Dasar gadis nakal!


III. GOA KEMATIAN SEPERTI

YANG dijelaskan Rembulan, di kaki gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beterbangan rendah. Wiro berjalan terus, bahkan kini mulai berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian dia hentikan larinya. Di balik tanah tinggi itu terbentang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu besar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya bertengger di cabang pohon, mendekam di atas bebatuan atau berjalan berombongan di tanah.

"Lembah Belibis. Lembah aneh ..." membatin Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. "Dimana aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu itu?! "Wiro kembali memperhatikan kondisi sekitar lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang dilihatnya. "Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!" pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak.

"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi! Perlihatkan dirimu! " Suara teriakan Wiro mengumandang di seantero lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru lenyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri. "Jahanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut lembah ini! "Wiro memaki. Dia melompat ke satu mil besar. Dari pada batu dia memandang berkeliling. Tiba tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua tombak. Dari sela-sela batu terlihat asap mengepul tipis. "Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada manusia di tempat itu! "Tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja melompat dari satu batu ke batu lain. Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti. Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada. Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang. Asap ternyata berasal dari balik susunan batu.

"Aku harus menyelidik ke belakang dinding batu ini! "Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu paling rendah. Dari sini dia naik ke urutan batu yang lebih tinggi-Di tempat paling tinggi, ketika dia memandang ke bawah, terlihat sebuah goa batu. Tersebenarnya asap yang menembus susunan dinding batu berasal dan keluar dari dalam goa ini. "Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah-mudahan aku tidak.terlambat! Kalau Eyang sinto Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam bernama Tawang Alu itu! Wiro menuruni gundukan susunan batu, langsung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat turun dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu suara bergelak mengumandang di tempat itu. Kembali Wiro menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa. Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding batu.

"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini. Mengapa aku tidak melihatnya! "Memaki Pendekar 212 Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti perak, berkilauan terkena sorotan sang surya. Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak kelangit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wiro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya kelihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah. Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. "Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergunakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjukkan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga!

Wiro gerakkan tangan kanannya. Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tangan kanannya yang dibalut diangkat ke atas."Pukulan Sinar Matahari! Kau ingin menyerangku dengan pukulan itu! Ha ... ha ... ha! Aku siap menerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa! Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu dari renggutan maut! Ha ... ha ... ha! "Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guruku?! "teriak Wiro."Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan membantu gurumu? Ha ... ha ... ha! ikuti aku anak muda! Ikuti aku! Ha ... ha ... ha! Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat ke arah mulut goa yang dari dalam keluar bergelung asap putih. Dimulut goa kakek muka putih ini berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak.

Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut goa, memandang padanya dengan tampang geram. "Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gurumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya itu hal lain! Ha ... ha ... ha! Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa. Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak. Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya terang merambat ke bawah. Lalu ada udara panas menerpa. Wiro memandang ke depan. Ada tungku perapian raksasa di ujung goa ..."Wiro hentikan langkah. Udara kobaran api yang menyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu menoleh.

"Mengapa berhenti anak muda Ha ... ha ... ha!? Kau takut pada panasnya api? Ha ... ha ... ha! Lanjutkan langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?! "Jahanam!" rutuk Wiro. "Aku mencium sesuatu. Bau pesing! Eyang sinto Gendeng pasti disekap di goa celaka ini!


IV. SINTO GENDENG DIGANTUNG

TAWANG ALU melanjutkan langkahnya lalu berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyeringai. "Kau ingin melihat gurumu atau tidak?! "Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Tiba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya bergoyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar suara benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu bukan lain sosok Eyang sinto Gendeng, digantung ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan. Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang matanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini masih hidup tetapi berada dalam kondisi sangat mengenaskan. Wiro saran gurunya berada dalam satu totokan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa bergetar hebat. Dia ingin melompat menyerang Ki Tawang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa.

"Jangan kesusu ingin menyerang atau membunuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kakimu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedikit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu, batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau coba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi! "Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wiro.

"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku katakan! "Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki kirinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang mengikat dua kaki sinto Gendeng bergeser turun. Sosok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal! Sepasang mata sinto Gendeng mendelik. Panasnya api di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepalanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki habis-habisan. Kau lihat? Ha ... ha ... ha! Masih tak percaya, anak muda? Silahkan pindahkan tanganmu. Tak usah banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang terjadi ... "

Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sana rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah! "Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang guru ... Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu!

Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar seruan Wiro itu. "Pendekar 212! Gurumu bisa punya kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi, bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun! "Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membunuhmu! "teriak Wiro. "Seribu sumpah bisa saja kau ucapkan! Tapi kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nyawa sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya sendiri! Ha ... ha ... ha! "Tua bangka jahanam! Lepaskan guruku! Aku bersedia melakukan apa saja yang kau minta! Sepasang mata sinto Gendeng melotot dan berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Sebaliknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak.

"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat berbakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk menyelamatkan gurumu?! "Kau bisa ambil nyawaku asal kau bersumpah membebaskan guruku! Kembali dua bola mata sinto Gendeng membesar dan berputar. Ki Tawang Alu tertawa lagi. "Hebat! Kau murid hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh begitu saja! Ha ... ha ... ha! "Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin mencungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Lakukan! "Teriak Wiro. Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng kepala."Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan."Kau telah menghancurkan tangan kananku! Kau juga membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut balas sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha ... ha ... ha! Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua tangannya ke depan.

"Kau inginkan dua tanganku! Ambillah! Gerakan yang dilakukan Wiro menyebabkan lantai yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghubungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku api raksasa! "Tenang Pendekar 212! Kau tak usah bersusah payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku yang melakukan! Dengar, aku akan mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha ... ha ... ha! Sepasang mata sinto Gendeng terlihat berkilat memancarkan udara kemarahan. Melihat hal ini Wiro tiba-tiba ingat. "Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh! "Wiro berteriak. "Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa? Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi juga tidak mampu mengerahkan udara sakti atau tena- ga dalam! "Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk Wiro.

Kalau saja sinto Gendeng telah mewariskan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu padanya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 tahun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal kalau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup menghadapi tantangan Pelangi Indah pasti sinto Gendeng akan berubah pikiran. Wiro menghela napas dalam. Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya yang tergantung. "Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar 212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba! Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan mata, kau dan gurumu bakal mampus gratis!

Kalaupun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur- umur! "Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu! Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi awas kalau kau berani menipu! "Aku juga memperingatkan, awas kalau kau berani memperdayaiku! "balas mengancam Ki Tawang Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak dua langkah dari hadapan si pemuda. Wiro memperhatikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu sedang Tawang Alu di sebelah luar. Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulurkan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek muka putih ini. Saat ini meskipun dibalut keadaannya masih parah. Bukan satu hal yang mudah untuk Tawang Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengambil Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wiro. Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari-jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak kaku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di atas sana, dalam kondisi tergantung kaki ke atas kepala ke bawah, sinto Gendeng memaki habis-habisan. "Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa! Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan diriku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu, terus apa artinya hidup dengan dua tangan buntung?! Tolol! benar-benar tolol!

"Dengan susah payah Tawang Alu berhasil mencekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya. Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka iblis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik Tangan kakek ini mampu memegang dan membabatkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancarkan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan hamparan udara panas. Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang mata sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Namun tidak ada kekuatan atau udara sakti yang bisa dikerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali merutuk dalam hati. "Anak setan itu mengapa dia berlaku setolol itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan mati gratis! Bahkan nyawaku sendiri belum tentu bisa diselamatkan!


V. TOTOKAN SERIBU SYARAF

HANYA sekejapan lagi tangan kiri Wiro Sableng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlangsung serba tidak terduga dan sangat cepat. Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu gelombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya, jatuh berkerontang di lantai goa.

Tidak sadar Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lantai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat rahasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan kepala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku api raksasa! "Celaka!" Wiro sadar.Tapi sudah terlambat! Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Darahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang ketika dia melihat benda apa yang menancap di pergelangan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah gemetar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkerudung hitam tegak berkacak pinggang di depannya. Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa. Benda yang menancap di pergelangan tangannya tersebenarnya adalah pisau hitam bergagang berbentuk kepala srigala terbuat dari perak.

"Racun srigala ...... Nyawaku tidak tertolong! Kecuali jika ada yang memberikan obat penawar ...Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke arah kepala orang berkerudung. "Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta setengah meratap. Dari balik kerudung terdengar suara mendengus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas diketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain adalah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari Gunung Merapi.

"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya dasar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk bertobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak dipergunakan?! "Ketua!" Suara Ki Tawang Alu tercekat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud. "Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik- baik, menempuh jalan kebenaran! "Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi Indah.

Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melompat ke hadapan Ki Tawang Alu. "Ada cara mati lain yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini! Satu tangan yang kokoh menjambak rambut putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesakitan. "Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!" teriak Ki Tawang Alu. Dia coba lepaskan diri. Menjerit, memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sentakkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat keatas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit-jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksasa. "Wuuttt! Bluusss!" Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti dengan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Lidah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi seantero goa.

Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro salah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang turun dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementara Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat suatu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu membawanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tungku maut! Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berjubah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus Sinto Gendeng. "Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya berjongkok di samping Sinto Gendeng.

Sekilas dia melirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin juga Mentari Pagi. Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan tampang asam. Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih berada dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian untuk melepas totokan itu. Yang pertama sekali adalah membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng. Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengking aneh, cepat sekali. sulit dimengerti.

"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...! Wauu! Kik...kik...kik! "Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wiro tersentak kaget." Kau bicara apa?! Suaramu seperti monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia memandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan. Dibalik kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum. Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis sepertinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di beberapa bagian tubuh gurunya. Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh terduduk saking kagetnya.

"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya habis-habisan. Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. Tiba-tiba ser.... Dari bawah perut Sinto Gendeng mengucur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa kelihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah kaprah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kencing habis-habisan! "Owalahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung mena- han sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk kepala pulang balik! "Kau kelewatan nek. Ditolong malah kencing seenaknya!.


VI. BEKAS CUPANGAN DI LEHER

SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah mendatangi. "Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya dengan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa tinggi..."Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong. Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan-jangan dia berak! Aku.." Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samping si nenek berusaha menahan tawa. "Jangan khawatir Wiro. Kami membebaskan gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan kepalanya ke arah orang berjubah yang berjongkok disamping kiri Sinto Gendeng.

"Rembulan, musnahkan totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelentu- ran tubuhnya!" Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggota Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan segera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang, kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari telunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Mata sesaat dipejamkan. Dia seperti merapal sesuatu dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu di- tusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Satu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak menggeliatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan suaranya terbuka. Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bisa bicara mulai merocos.

"Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku ya?! "Nek, aku justru.."Diam! Tutup mulutmu! Kau sebut aku monyet terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya. Kau bilang aku mau berak.."Eyang, aku minta maaf. Maksudku..."Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku tampar! "Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah menyelamatkan dirimu dan juga diriku..."Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa-apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam. Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibirnya, yang satu lagi picak matanya! Hik...hik..hik!

"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!" Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan tenang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum-senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid itu. "Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak keberatan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan pada guruku siapa adanya kalian...Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu. "Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buktinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto Gendeng pula.

"Wajahku walau sudah tua begini, mungkin lebih cantik dari mereka! Hik...hik..hik!" "Nenek edan!" maki Wiro dalam hati. Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama-sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka tersingkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gendeng, enak saja dia bicara.

"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi kalian..."Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan sang guru. "Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenyataan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada Pelangi Indah dan Rembulan?" "Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya! "Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepasang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pada Wiro.

"Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mulus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh padamu!" "Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya. Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita...Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkukkan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi Indah seraya berkata. "Pada kalian berdua, aku mengucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian telah menyelamatkan jiwaku..."

"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala macam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih ada kepentingan lain. Kami minta diri...Pelangi Indah melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti. "Tunggu!" Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya. "Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng menghaturkan banyak terima kasih karena kalian telah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur membalasnya." Pelangi Indah tersenyum.

Dia membungkuk lalu berkata. "Kami sendiri merasa senang dapat bertemu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan kami meminta diri untuk pergi lebih dulu...Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba-tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga dalam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Namun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya bergeser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin. "Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati. Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya merunduk ke bawah mendekati wajah si nenek. "Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat bersama muridku, si anak setan itu?!"

Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau diucapkan secara berbisik. "Apa maksudmu, Nek?"" Si gadis balik bertanya, juga dengan berbisik. "Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemuda lajang, bisa saja lupa diri.."Aku... kami tidak berbuat apa-apa..." "Jangan berdusta! " "Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai selatan!" Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan bercahaya. Lalu nenek ini tertawa lebar.

"Kau boleh pergi..."katanya. Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto Gendeng berseru lagi. Hai! Tunggu!" Walau agak kesal dua gadis itu hentikan langkah, memandang pada si nenek. "Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah. "Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku tanyakan." Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. "Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sinto?" tanya Pelangi Indah. Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang masih belum ditutupi kerudung itu.

"Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada muridku si anak setan ini?!" "Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan-bukan?!" Wiro berseru. Tapi si nenek cuma menyengir. Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala. Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tutup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sama-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika melewati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah berbisik dia berkata. "Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!" Wiro diam saja. Rembulan menyambungi. "Belum pernah aku menemui nenek-nenek seusil gurumu...Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia cuma bisa menggaruk kepala.

Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggalkan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu tertawa panjang. "Tua bangka edan! Apa yang di tertawakannya..." maki Wiro dalam hati. "Nek, memangnya ada yang lucu?!" tanya Wiro. "Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu masakan aku tertawa!" "Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro pula. "Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berarti......Berarti... Hik...hik..hik!" "Berarti apa Nek?" tanya Wiro. "Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu! Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik...hik..hik! Wiro tak menjawab.

Sang pendekar melangkah ke pintu goa. "Eh, kau mau kemana anak setan? Mau menyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gendeng menegur lalu tertawa lagi. "Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana-mana!" jawab Wiro. "Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!" tukas Sinto Gendeng. "Jangan kau berani meninggalkan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau mulai!" Wiro hentikan langkah. "Tugas apa Nek?" "Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku! Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gendeng.

Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212 Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bisa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gendeng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh sinenek digendongnya di atas pundak. Sambil melangkah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul-siul seenaknya. "Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!" "Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya! Ucapkan saja Nek! "Nek." "Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana yang kau sukai?" "Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menjawab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaanmu?" ujar Wiro pula.

Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Mereka tidak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri. Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah mendapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Betul, hik...hik...hik?!" "Apa maksudmu Nek?" Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pangkal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan. "Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit manusia seperti ini! Hik...hik...hik..." Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat. Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang melakukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepalanya!.


VII. MAUT MENANTI DI TELUK AKHIRAT

PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di laut gelombang bergulung deras, menghampar memecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh. Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali suara gelepar sayap mereka terdengar aneh menggetarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara melengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga menggidikkan. Sekelompok kelelawar sekitar tiga puluh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur. Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, melayang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan suara melengking keras. Gerakan mereka berubah beringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa ditawar, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hidup, kecuali kelelawar! Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan berputar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik ke bawah ke arah dua ekor elang besar. Dua elang besar rupanya sudah melihat kedatangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang. Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang dis- aksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka. Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, jatuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah pantai.

Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kelapa. Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlantai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh. Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh, lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, membentuk sosok seekor kelelawar yang tengah merentangkan kedua sayapnya. Orang di atas batu memiliki daun telinga mencuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar bi- asa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mencelakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita lumpuh dari pinggang ke bawah. Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah duduk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata terpicing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak sedikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Beku mati.

Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gubuk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar, bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seo- rang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwarna hitam. Dua telinga mencuat lancip. Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung Roh, menunggu. Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan memandang sipit pada mahluk di hadapannya.

"Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa kabar yang aku harapkan? Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Pemancung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar sember ketika bicara. "Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di ujung teluk. Mereka muncul berdua..." "Apakah mereka menunggang kuda? "Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu mendukung lainnya dipundak! Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit.

"Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh. Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya. "Yang mendukung seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka 212......" "Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelelawar Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat-ingat. "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pemancung Roh menyeringai. "Lanjutkan keteranganmu. bagaimana ciri-ciri orang yang didukung? "Seorang nenek berpakaian hitam dan kain panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur. Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti tengkorak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde dari perak... Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk.

"Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat? "Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah. "Tuyul orok, ini adalah aneh...! "Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang bertanya. Apakah yang aneh? "Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Tetapi..."Tetapi apa pemimpin? "Nenek itu sudah mampus beberapa waktu yang lalu!" "Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdiri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata tingginya hanya se pusar Kelelawar Pemancung Roh yang duduk di batu.

"Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan racun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas kekasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didukung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk Akhirat ini! "Demi segala setan dan jin penghuni Teluk Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon maafmu, aku tidak tahu menahu..."

Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap-usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampangnya yang angker tampak menggelap. Matanya dipejamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu. "Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu berucap dengan suara bergetar. "Empat puluh tahun lalu kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tubuh busukmu! Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sandaran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus. Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan tanah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan suara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari teluk.


VII. SINTO GENDENG LENYAP LAGI

PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. "Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan dirimu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil terus berjalan. "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Disebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kukira tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu! "Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng mendengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate. "Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?! Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua-duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. "Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro. "Geblek! Ku pelintir-pun belum! Sudah menjerit setinggi langit! Mana tusuk konde ku?!" "Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya. Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan ke atas. Dua mata Sinto Gendeng mendelik. "Kurang ajar! Mengapa jadi bengkok?! "Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam batu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Tawang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro tertawa gelak-gelak. "Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wiro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung disisipkannya di atas kepala.

Bukan disisipkan di antara rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit kepalanya! "Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu! Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita kejadiannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka putih bernama Tawang Alu itu? "Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku api itu! "Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Tapi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau yang sengaja minta diculik...Aduh!" Wiro menjerit ketika telinga kiri kanan dipelintir si nenek. "Jangankan aku! Orang gilapun tidak ada yang minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih pucat seperti kain kafan itu! "Muka atasnya memang pucat jelek Nek.

Tapi belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengkilap. Hua...ha...Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu berganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek memelintir dua daun telinganya. "Ampun Nek, kau memang diculik, bukan minta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan bergantian mengusap telinganya yang perih pedas. "Aku tanya lagi Nek. Boleh...?" Sinto Gendeng diam. Wiro menyeringai. "Kau diam. Berarti boleh!" Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. "Waktu kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam telaga? "Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng. "Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf!

Begitu kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja menculik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung kepala srigala perak! "Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. Angin bertiup sejuk. "Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak perahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat semua itu..." Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti orang membaca syair. "Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini..."Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati.

Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa bahagianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kemana-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek! "Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba menegur. "Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan. Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak, mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!" Sinto Gendeng tertawa pendek.

Tanpa perdulikan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut "Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih! "Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan tambah dengan omongan yang membuat aku tambah bergidik..." Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan muridnya. "Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawarnya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik...hik! Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu.

Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini. Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro. Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga! Hik...hik...hik! Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit disebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia melihat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih suara deburan ombak. "Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek! Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini! "Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke arah kita!" Wiro berteriak. "Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindahkan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya. "Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar-besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro lagi. Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di tempat terbuka. "Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pemancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mereka menyerbu kita! "Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan sesuatu!" Sinto Gendeng membentak.

"Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bukan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jengkelnya. Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusaha mencari selamat yakni lari ke arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlin- dungan dari serbuan kelelawar. Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu benar-benar menggidikkan. Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak per- duli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada dipundaknya. Si nenek terhempas jatuh, terguling berkelukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gubuk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di atas tanah keras lantai gubuk.

Sementara itu pada saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak. Wiro menelungkup sama rata dengan tanah. Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan. Rerumputan liar terbongkar. "Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!" Kulit keras batang pohon kelapa hancur berkeping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang-binatang ini menguik keras karena tak berhasil menghantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela pohon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan untuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementara Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gubuk, kembali terdengar memaki pendek. Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar lagi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan satu pukulan sakti untuk membentengi diri dari seran- gan, sekaligus merupakan serangan untuk menghantam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ratusan kelelawar mengeluarkan suara menguik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Puluhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa. Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar biasanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua pukulan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212!

"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku! Wiro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri. Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar-kelelawar itu tidak satupun yang cidera, malah kini kembali siap melancarkan serangan! "Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku tidak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek dan bau pesing?!

"Berrr..... berrrr!" Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang keluar dari mulut mereka pekak menggidikkan. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya diangkat, berubah memutih laksana perak. Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Cela- kanya kini mereka tidak datang dari arah; yang sama, tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan! Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut-turut. "Wussss!" "Wussss!" Dua larik sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus, menebar bau menegakkan bulu roma! "Brettt!" "Craaaass!" Wiro mengeluh kesakitan.

Ketika dia meneliti pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena sambaran sayap kelelawar. Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk beberapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon-pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan-kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang-binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka ten- gah menunggu sesuatu! Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara menguik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu binatang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak, hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan memandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap mereka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu.

Tak selang beberapa lama dari arah teluk kelihatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon kelapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan. Ketika Wiro memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Darahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar. Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar biasa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mulut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu barisan gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar. Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki kepala dihias sebuah gambar bintang hitam d ubun-ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bintang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala licin botak plontos! Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula.

"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro memanggil. Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat. "Kau mencari nenek jelek itu? Ha...ha...ha! Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa. "Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki kanannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangankan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berkelebat ke kiri lalu plaakk.... Sayapnya menyambar kedepan. Wiro terpekik

Memandang ke bawah dilihatnya celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengucurkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul memutih. Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelantungan di pohon kelapa balas bersuit. "Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menikmati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tunggu apa lagi?!" Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahului suara menguik dahsyat binatang-binatang itu kepakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!


TAMAT


INDEX WIRO SABLENG
Srigala Perak --oo0oo-- Nyawa Pinjaman
Newer Posts Older Posts Home

Berita Top News - ANTARA News

Loading...

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Loading...
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers