Wasiat Dewa
tanztj
March 22, 2009
INDEX WIRO SABLENG | |
83.Wasiat Iblis --oo0oo-- 85.Wasiat Sang Ratu |
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
SATU
LIDAH Tiga Bayangan Setan terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk dengan mata basah memerah.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Elang Setan.
“Aku bersumpah akan membunuh Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Jangan tolol! Tingkat kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini dia memiliki Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Kita harus pergunakan akal! Cari kesempatan waktu dia lengah!”
“Kalau begitu kita terpaksa mengikuti kemana dia pergi!” kata Elang Setan pula.
“Aku benar-benar tidak suka ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan kukupas! Kulitmu kujembreng kujadikan mantel!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Aku yakin bisa membunuhnya. Ilmu Tiga Bayangan Setanku pasti bisa menaklukannya….Ayo kita ikuti dia!”
Kedua orang itu segera mengejar Pangeran Matahari. Tahu orang mengikuti sang Pangeran menghentikan langkah dan berbalik.
“Kenapa kalian mengikutiku?!” tanya Pangeran Matahari membentak dengan mata melotot.
“Maafkan kami. Bukankah kami merupakan anjing-anjing pengawalmu? Jadi kemana Pangeran pergi kami harus mengikuti.” jawab Tiga Bayangan Setan.
Pangeran Matahari menyeringai. Dalam hati dia berkata. “Siapa percaya pada kalian! Menurut mauku sebaiknya kubunuh saja keduanya saat ini daripada menyusahkan dikemudian hari. Tapi hemmm…. Sebelum mereka mampus ada baiknya kuperalat lebih dulu….” Sang Pangeran lalu dongakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda dia tengah berfikir keras. Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua orang di depannya.
“Kalian berdua tak usah mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.
“Lalu… lalu apa yang kami lakukan? Menunggu sampai datangnya saat kematian seratus hari dimuka tanpa kau memberi obat penawar? Pangeran harap kasihani selembar nyawa kami…” kata Elang Setan setengah meratap.
“Kalian kembali ke sumur batu itu! Aku akan mengatur kedatangan seseorang….”
“Kembali ke sumur batu…?” ujar Elang Setan sambil memandang pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa… apa yang kami lakukan di sumur itu?” Tiga Bayangan Setan ajukan pertanyaan.
“Tunggu sampai orang yang kumaksud itu datang!”
“Siapa dia adanya Pangeran?” tanya Elang Setan.
“Seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hampir bersamaan dengan muka berubah.
“Begitu dia muncul di sumur batu dia harus segera kalian bunuh!”
“Pangeran…. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan….”
“Jika dia bukan manusia sembarangan apa berarti dia setan? Rupanya kalian takut…?
“Selama hidup kami tidak mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan seperti ini sulit bagi kami….”
“Setan alas! Aku tidak perduli apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan! Aku punya seribu! Dan dengar, ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Pendekar 212 harus tidak tahu kalau aku yang menyuruh kalian untuk membunuhnya! Kalian dengar?!”
“Kami dengar,” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagus! Aku pergi sekarang!”
“Pangeran! Tunggu…!” seru Elang Setan.
“Kau tidak dapat memastikan kapan Pendekar 212 muncul. Jika sampai lewat seratus hari dia tidak datang, kami sudah mati konyol akibat racun dalam tubuh. Kemana kami harus mencarimu?”
“Manusia anjing! Kau tidak layak mengatur diriku! Jika aku tidak memberimu obat penawar dalam waktu seratus hari berarti itu nasib kalian yang jelek! Ha… ha…ha…!”
Pelipis Tiga Bayangan Setan menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup rapat-rapat tanda kedua orang ini tengah berusaha menahan meledaknya amarah yang saat itu membakar diri masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal itu. Sambil menyeringai dia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu lama menunggu kematian sampai seratus hari di muka, aku bersedia mengirimmu ke liang neraka saat ini juga!” Lalu sang Pangeran mendongak dan angkat tangan kanannya......
“Tunggu!” seru Tiga Bayangan Setan.
“Jangan!” ujar Elang Setan cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan berjaga-jaga di sumur batu itu!”
“Bagus! Sekarang menggonggonglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran Matahari balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menggonggong beberapa kali. Sambil keluarkan suara menyalak seperti anjing itu tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua tinjunya. Dengan cepat dua kepalan itu diangkat ke atas lalu saling diadu di atas kepala. Tiga bayangan seperti asap mengepul di kepalanya. Dia hendak keluarkan ilmu kesaktiannya yaitu melepas tiga makhluk raksasa jejadian tapi Elang Setan cepat menarik dan menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga bayangan raksasa serta merta lenyap.
“Jangan tolol! Kau mungkin bisa membokongnya dari belakang! Tapi kita berdua tidak bakalan lolos dari kematian! Kau saksikan apa yang terjadi dengan Ratu Pesolek!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan bergoncang keras akibat menahan kekuatan sakti yang tadi dilepas dan kini terpaksa masuk kembali ke dalam tubuhnya.
“Apa kau percaya dia bakal muncul memberi obat penawar racun yang ada di tubuh kita?” sentak Tiga Bayangan Setan.
“Aku memang tidak percaya padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik menghabiskan sisa hidup seratus hari sambil mencari jalan dari pada langsung mampus saat ini juga!” jawab Elang Setan.
Dengan menghentakkan kaki Tiga Bayangan Setan kembali ke sumur batu. Saking kesalnya tongkat sakti Wesi Ketatton yang tergeletak di tanah milik Jarot Ampel yang mati dibunuhnya beberapa waktu lalu diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah.
“Aku bersumpah akan mengorek jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan Setan. Lalu kita santap bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang Setan setengah membujuk sambil pegang bahu saudara angkatnya itu.
“Aku akan bersamadi,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru yang ada di dalam sumur bisa memberi petunjuk.”
“Aku memilih tidur saja…” kata Elang Setan pula lalu duduk bersandar pada kaki sebatang pohon.
DUA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil dongakkan kepala menghirup udara pagi dalam-dalam.“Aneh… di rimba belantara begini ada bau harum,” katanya dalam hati sambil terus menghirup dan mencium. Hidungnya kelihatan kembang kempis dan mulutnya termonyong-monyong. “Mungkin ada bidadari yang kebetulan turun ke hutan ini? Heh…. Aku rasa-rasa pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya….”
Murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat tangan kanannya ke atas. Telapak dikembangkan dan diputar-putar ke berbagai jurusan. Di satu arah dia hentikan gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari arah sana. Berarti bau harum itu datang dari situ.”
Wiro melangkah ke jurusan yang diduganya sebagai sumber datangnya bau harum. Pada langkah kedua belas telinganya menangkap suara air mengucur. “Mungkin ada pancuran di sebelah sana…” pikir Wiro. Dia berjalan terus hingga langkahnya sampai di hadapan batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan bau harum justru datang dari balik batu. Lalu sesekali terdengar suara orang menyanyi. Suara perempuan. Wiro bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun keladi hutan disibakkannya, sang pendekar hampir keluarkan seruan tertahan. Cepat Wiro tutup mulutnya dengan tangan kiri tapi sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar.
“Di dalam hutan ada pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!”
kata Wiro dalam hati lalu dia mencari tempat yang lebih baik agar bisa melihat lebih jelas.
Di bawah sana, hanya sejarak kurang dua puluh langkah dari tempat Wiro mengintai ada sebuah telaga kecil. Pada sisi kanan telaga terdapat dinding batu yang tak seberapa tinggi. Dari bagian atas batu mengucur air membentuk sebuh air terjun kecil. Telaga kecil itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah satu batu berdiri seorang gadis tinggi semampai yang sambil menyanyi-nyanyi kecil membuka gulungan rambutnya. Ternyata dia memiliki rambut berwarna pirang, digerai lepas sampai ke pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian, tubuh dan rambutnya menebar bau harum yng tercium sampai ke hidung Wiro.
“Rambut dan bau wangi itu…” desis Wiro. “Sayang dia membelakangi. Aku tak dapat melihat wajahnya. Tapi jika melihat pada bentuk dan warna pakaiannya… aku hampir pasti dia adalah….”
Ucapan membatin murid Sinto Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras dilihatnya sambil terus bernyanyi-nyanyi kecil gadis itu mulai membuka pakaian birunya. Si gadis hanya membuka bagian atas lalu membiarkan pakaian itu lepas dan merosot jatuh ke atas batu. Wiro tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan. Sepasang matanya melotot tidak berkesip dan seperti mau melompat dari rongganya.
“O ladalah! Benar-benar polos. Bagaimana aku bisa tahan menyaksikan pemandangan ini. Apakah aku harus ikut-ikutan membuka pakaian dan menyebur ke dalam telaga? Memandang terus-terusan bisa membuat aku jadi setengah gila!” murid Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika dia coba menggeser kakinya, tiba-tiba tanah yang dipijaknya bergerak longsor.
“Celaka!” Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan berusaha menggapai batu di sampingnya tapi batu itu licin. Tangannya luput sementara tanah di bawah kedua kakinya semakin keras longsornya. Tak ampun lagi sang pendekar jatuh terperosok. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh langkah, ketika dia coba melompat tubuhnya terpelanting karena tanah yang dipijaknya ternyata basah dan licin. Tak ampun lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling. Wiro tergeletak jatuh tepat di samping batu di mana gadis berambut pirang baru saja menanggalkan pakaiannya. Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia menyambar pakaian dan mengenakannya kembali. Pada saat sosok Wiro tergeletak di samping batu di bawahnya si gadis keluarkan teriakan marah.
“Pemuda lancang! Minta mati berani mengintai orang mandi!”
Begitu berteriak si gadis hantamkan tumit kanannya ke leher Wiro. Ini merupakan satu serangan maut yang dalam keadaannya seperti itu tak mungkin dielakkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng hanya bisa berteriak dan coba lindungi lehernya dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan oleh ujung batu!
“Tamat riwayatmu pengintai lancang!”
Wiro hanya bisa melotot menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan serangan maut tahan gerakan kaki kanannya. Matanya masih mendelik dan wajahnya yang cantik masih terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar seruan.
“Kau!”
Kalau tadi Wiro merasa nyawanya seolah sudah terbang dan wajahnya sudah sepucat mayat, kini dia menarik nafas lega dan berusaha bangkit dengan cepat.
“Wiro Sableng! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Wiro sesaat tertegun lalu balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!”
“Demi Tuhan! Aku tidak menyangka kalau kau orangnya yang berlaku kurang ajar! Berani mengintip perempuan mandi!”
Wiro berdiri. “Tunggu…. Jangan salah sangka!”
“Kau sudah tertangkap tangan! Masih hendak mungkir?!”
Wiro garuk-gruk kepala. “Tidak, tunggu dulu. Biar aku jelaskan. Aku tadi berada di hutan sebelah sana. Ketika berjalan aku mencium bau harum. Aku ingat betul bau itu adalah harumnya tubuh, rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wiro hentikan ucapannya. Wajah gadis cantik di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia lalu meneruskan. “Kemudian kudengar ada suara air mengucur, juga suara perempuan menyanyi. Aku sampai dekat batu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah kulihat sosok tubuhmu. Karena kau membelakangi aku tak segera mengenali. Lalu tibatiba tanah yang kupijak longsor. Aku jatuh sampai ke sini…. Percayalah aku tidak berbuat kurang ajar mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”
“Kau tidak berdusta?” tanya si gadis.
“Aku bersumpah tidak berdusta!” jawab Wiro seraya angkat kedua tangannya ke atas. “Lagi pula kalaupun hal ini terjadi, mengingat hubungan kita dimasa lalu kurasa kau bisa memaafkan….”
Si gadis diam saja. Dalam hati Wiro jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya gadis itu tersenyum dan rapatkan pakaian birunya.
“Kalau kau mau mandi silahkan saja. Aku akan pergi dari sini sampai kau selesai….”
“Ada apa kau tahu-tahu bisa muncul di tempat ini Wiro?” tanya si gadis.
“Aku sengaja mengambil jalan pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di pantai laut selatan. Kau sendiri mengapa berada disini?”
Si gadis menarik nafas panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jarijari tangan kanan dia berkata. “Dunia ini sempit juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu secara tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke Kartosuro….”
“Hemm…. Rupanya kau punya urusan penting di sana.”
“Sangat penting Wiro. Aku harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kartosuro. Ada satu tugas maha besar yang harus kuselesaikan….”
Pendekar 212 ingat akan pertemuannya dengan Si Raja Penidur, Sinto Gendeng dan Kakek Segala tahu di puncak Merbabu beberapa waktu lalu. Sambil tersenyum Wiro berkata. “Rasanya aku tahu urusan apa kau pergi ke bukit kecil di pinggiran Kartosuro itu.”
“Hah?! Kau malang melintang kemana-mana. Punya banyak kenalan orang-orang pandai. Tidak heran kalau kau mungkin tahu apa urusanku. Tapi aku mau menguji. Coba kau sebutkan!” kata si gadis pula.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku mendengar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Iblis. Kabarnya berada di bukit itu. Tersimpan secara aneh dalam sebuah sumur….”
Paras si gadis berubah.
“Parasmu berubah, berarti dugaanku betul!” kata Pandekar 212.
“Kau memang hebat! Aku tidak akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga begitu tepat….”
“Mencari sebuah benda keramat atau benda sakti sama saja dengan mengadu nyawa. Kau harus hati-hati kalau memang bermaksud mendapatkan kitab itu.”
“Eh, mengapa kau bilang begitu Wiro?”
“Aku yakin bukan kau saja yang menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak orang-orang lain berkepandaian tinggi. Jika satu benda dicari oleh banyak orang berarti akan terjadi perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”
“Hemmm…. Kau mungkin betul. Tapi aku tidak takut mengadu nasib!”
“Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhatihati. Karena kalau kau bisa mendapatkan kitab itu, yang lain-lain bisa bergabung dan mengeroyokmu untuk merampas kitab itu.”
“Terima kasih atas nasihatmu. Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab sakti itu?” tanya si gadis pula.
Wiro garuk-garuk kepala “Tentu saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang bersamaan ada hal lain yang lebih penting harus dikerjakan….”
“Aku tidak secerdikmu. Jadi tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau mengatakan…?”
Wiro Sableng tertawa. Lalu menjawab. “Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengatakannya padamu.”
“Juga mengingat hubungan kita di masa lalu?” ujar si gadis.
Wiro garuk-garuk kepala. “Sampai saat ini kau tidak pernah memberitahu siapa namamu. Aku memberi panggilan padamuu Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik bidadari dan gerakanmu secepat angin….”
“Kau boleh terus memanggilku dengan nama itu…”ujar si gadis seraya tersenyum. (Siapa adanya gadis yang diberi nama Bidadari Angin Timur ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)
Wiro tatap lekat-lekat wajah yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…”
katanya dalam hati. “Kecantikanmu sejak dulu tak pernah kulupakan. Justru pada pertemuan ini mendadak rasa rinduku menggelora. Gila betul!” Di hadapannya si gadis masih tersenyum. “Senyum itu menimbulkan munculnya dua lesung pipit di wajahnya. Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”
“Kau seoleh termenung memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku dengan sebutan Bidadari Angin Timur itu?”
“Ah, tentu saja mau!” jawab Wiro cepat. Lalu dengan polos dia berkata. “Terus terang aku tidak pernah melupakan dirimu sejak pertemuan kita gara-gara Guci Setan itu….”
Satu getaran aneh yang tak pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Gila, mengapa aku tiba-tiba begitu kangen pada gadis ini. Ingin memeluknya, ingin menciumnya. Apakah aku sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah! Bagaimana ini!” Wiro lagi-lagi garuk-garuk kepala.
Apa yang ada dalam pikiranmu Wiro…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan seraya menatap dalam-dalam ke mata sang pendekar membuat Wiro jadi salah tingkah.
“Aku… aku juga gembira mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wiro.
“Pertemuan ini satu hal yang sangat berarti bagiku.”
“Bagiku juga… Lalu, apakah kau mau menyertaiku ke Kartosuro?”
“Tentu…tentu saja aku mau…. Tapi….” Wiro ingat akan tugas dari tiga tokoh silat yang salah satu adalah gurunya sendiri.
“Ah, hatimu bimbang. Aku tak ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau berjalan bersamaku lagi….” Suara Bidadari Angin Timur terdengar sedih. Hati Pendekar 212 jadi luluh. Ketika si gadis membalikkan tubuhnya Wiro cepat pegang tangannya dan berkata.
“Saat ini kau lebih penting bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”
“Sungguh?” tanya Bidadari Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari tangan sang pendekar.
Wiro anggukkan kepala. Si gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wiro lalu perlahan-lahan menarik wajah sang pendekar hingga akhirnya dua bibir mereka saling bertemu.
“Aneh… Mengapa dia jadi begini berani? Karena gembira aku mengantarkannya ke Kartosuro? Atau karena kangen. Atau….”
Murid Sinto Gendeng tak bisa berfikir lebih lama karena saat itu pelukan dan ciuman Bidadari Angin Timur membuat dirinya serasa terbakar. Ketika dia balas merangkul tubuh si gadis, Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping hingga tak ampun lagi keduanya masuk ke dalam telaga.
TIGA
AKU mencium bau busuk…” kata Wiro. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya. Dia mendongak sebentar lalu menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari kita selidiki….”Kedua orang itu dengan cepat bergerak menuju datangnya sumber bau busuk di lereng bukit kecil. Tiba-tiba si gadis hentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Ada mayat yang sudah tak karuan rupa bergeletakan di sana….”
Wiro sibakkan semak belukar dan memandang ke arah yang ditunjuk Bidadari Angin Timur. “Bukan hanya satu mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah membusuk. Dikerubungi belatung dan lalat….” Wiro meludah ke tanah. “Sebagian hanya tinggal tulang belulang belaka….”
“Mengerikan sekali keadaan di tempat ini….”
“Sebaiknya kita pergi saja,” kata Wiro.
“Tunggu! Wiro lihat…” suara gadis di sebelahnya terdengar bergetar.
“Apa…?”
“Di sebelah sana. Sumur batu…. Aku merasa pasti itu sumur yang aku cari. Tempat tersembunyinya Kitab Wasiat Iblis,” bisik si gadis.
Wiro memandang ke arah sumur batu itu. Lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi kecuali suara lalat yang beterbangan di atas bangkai-bangkai manusia itu.
“Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik. Jika kuberi tanda baru bergerak.” Si gadis anggukkan kepala dan berbisik. “Hati-hati. Jangan kau biarkan aku sendirian terlalu lama disini.” Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wiro.
Wiro cepat mendekati sumur batu, melangkahi mayat-mayat yang membusuk.
“Gelap, berkabut…. Sumur ini pasti dalam sekali.” Kata Wiro dalam hati begitu dia berdiri di tepi sumur dan memandang ke dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini? Bangkai-bangkai manusia itu. Siapa mereka? Korban saling bunuh antara pemburu kitab sakti?” Wiro perhatikan bagian sebelah atas sumur yang agak terang. Dia melihat ada ulir berbentuk tangga menurun sepanjang dinding sumur.
“Aku tidak berminat mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya mudah apa salahnya menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur aku mencium bau busuk. Pasti ada mayat di dalam sana….”
Wiro berpaling ke arah semak-semak tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. “Sahabatku cantik! Silahkan datang ke sini! Wiro memanggil. Tak ada jawaban.
“Bidadari Angin Timur! Aku di sini!” seru Wiro. Dia menunggu sesaat. “Eh, apa gadis itu sudah dicekik hantu bisu hingga tak bisa menjawab?!” Wiro memanggil lebih keras. “Bidadari Angin Timur!”
Tiba-tiba dari balik semak belukar terdengar suara tawa bergelak, membuat Pendekar 212 terkejut bukan main.
“Ada sesuatu yang tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia cepat melangkah ke arah semak belukar tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun belum sempat dia mencapai tempat itu dari balik semak belukar muncul dua orang bertampang angker.
Orang pertama mengenakan jubah hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar sebaliknya mata kiri hampir tertutup. Kepalanya botak aneh karena hanya yang sebelah kiri sedang bagian kanan memiliki rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.
“Manusia apa ini, jelek angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada orang kedua. Yang pertama sekali diperhatikannya adalah bentuk sepasang tangan orang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu tidak berbentuk tangan manusia tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging wajah orang ini hancur seperti dicacah sedang hidungnya tinggi bengkok. Sepasang matanya mengerikan karena bagian bawahnya menggembung merah dan selalu basah . “Aku rasarasa kenal dua kadal angker ini”, membatin Wiro.
Yang membuat Pendekar 212 jadi tersentak kaget ialah karena dua manusia tak dikenal itu keluar dari semak belukar sambil menyeret bidadari Angin Timur.
“Bidadari!” seru Wiro seraya hendak melompat. Tapi dua orang yang menyeret si gadis lebih dulu menyongsong menghadang, melepas si gadis begitu saja hingga jatuh tertelungkup di tanah.
“Dia tidak bergerak, juga tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah membokongnya dengan totokan hebat!”
“Siapa kalian?!” Bentak Bentak Wiro.” Apa yang kau lakukan terhadap sahabatku?!”
Dua orang yang dibentak menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban pertama aku yang menjawab. Aku datuk dunia persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan Setan!”
“Cocok!” seru Wiro.
Tiga Bayangan Setan kerenyitkan kening dan pelototkan matanya yang gembung.”Apa maksudmu cocok?!”
“Mukamu memang seperti setan!”
“Kurang ajar!” Tiga Bayangan Setan menggembor marah dan langsung hendak menyerang Wiro. Tapi teman disebelahnya berkata.”Kau belum memperkenalkan diriku…”
Mulut Tiga Bayangan Setan komat-kamit sebentar baru bicara. “Dia dikenal dengan julukan Elang Setan!”
“Aha! Juga cocok! Muka seperti setan tangan seperti cakar elang. Boleh aku bertanya…?”
“Bangsat!” Kau mau tanya apa?!” bentak Elang Setan.
“Dengan tangan seperti itu bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi…bagaimana kau cebok?! Lalu kulihat cakar kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu kau ngupil?!”
“Setan alas minta mampus!” Elang Setan berteriak keras lalu melompat sambil tangan kanannya membeset kearah leher Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam dan merah bertabur keluar dari tangan kanan Elang dia cepat mundur dua langkah sambil dorongkan tangan kanan melepas pukulan “benteng topan melanda samudera”.
Elang Setan Keluarkan seruan tertahan ketika merasakan ada satu gelombang angin laksana tembok yang tak kelihatan menahan gerakannya. Ketika dia kerahkan tenaga untuk menembus kedua kakinya malah terangkat ke atas.
“Kurang ajar!” Kau kira aku tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak Elang Setan. Dia melesat dua tombak ke atas lalu jungkir balik di udara. Di lain kejap tubuhnya meluncur laksana sebatang tombak. Dua tangan terpentang lurus. Satu diarahkan ke muka Wiro, satunya lagi ke bagian dada tepat di arah jantung. Sebelum serangan sampai dua larik sinar merah bercampur hitam menerpa lebih dahulu!
“Serangan ganas! Dia hendak mencakar hancur mukaku dan menjebol dadaku!”
Wiro kertakkan rahang. Cepat dia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin menggidikan menampar mukanya sebelah sewaktu serangan cakar elang lawan lewat di samping kepalanya.
Ternyata serangan Elang Setan kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja memperlambat gerakan serangannya agar mudah dihindar. Namun bersamaan dengan itu cakar setan tanmgan kanannya melesat ke dada.
“Serahkan jantungmu!” teriak Elang Setan sambil tertawa bergelak karena dia yakin serangan mautnya itu akan berhasil. Sadar kalau dia tak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan maka Wiro cepat kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. Dua lengan beradu keras.
“Bukkk!”
Suara tawa Elang Setan mendadak sontak terputus berganti dengan seruan kesakitan. Tubuhnya terpental sampai empat langkah lalu terjengkang di tanah. Walau sangat kesakitan tapi dia cepat melompat berdiri. Dalam hati dia merasa tidak percaya. Sepasang lengannya itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran Matahari menghantamkan tangannya ke sumur batu, justru bibir sumur batu yang gompal sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentrokan dengan lengan Wiro dia merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati, di hadapannya dilihatnya Wiro masih tetap berdiri walau lengan kirinya tampak membengkak merah.
Elang Setan melompat ke samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia ini benar-benar berbahaya. Sesuai tugas kita harus membunuhnya saat ini juga!”
Apa yang dibisikan Elang Setan sempat terdengar oleh Wiro. Sang Pendekar serta merta membentak.
“Siapa yang menugaskan kalian membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”
EMPAT
TIGA Bayangan Setan dan Elang Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga rupanya!” ujar Tiga Bayangan Setan. “Siapa yang menugaskan kami membunuhmu tak usah kau tanyakan. Jika masih penasaran nanti tanyakan saja pada setan kuburan! Ha…ha… ha…!”Elang Setan pegang bahu saudara angkatnya itu lalu berkata. “Tapi mungkin kita akan mempertimbangkan untuk tidak membunuhnya kalau dia menyerahkan barang berharga yang dimilikinya….”
“Apa maksudmu?!” bertanya Wiro sambil melirik ke arah sosok Bidadari Angin Timur yang tertelungkup tak berdaya, tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dalam hati Wiro membatin. “Setahuku gadis itu memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya laksana kilat. Kalau dia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua manusia keparat ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku hati-hati.”
“Kami mendengar kau membekal satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata dua berikut pasangannya batu api hitam mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua benda itu pada kami, kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara adalah Tiga Bayangan Setan. Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wiro segera maklum kalau dua orang di hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya. “Apa yang kumiliki tidak untuk dipertukarkan. Tapi jika kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua benda itu aku tukar dengan dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
Tiga Bayangan Setan maju selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia pentang dada dan menantang. ”Kau mau berbuat apa unutuk ambil nyawaku silahkan lakukan! ”Pilih tempat yang empuk agar nyawaku enak keluarnya. Ha…ha…ha!”
“Manusia jelek gundul sebelah! Kau akan menyesal berani bicara keliwat takabur!” Begitu selesai bicara Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke depan. Tangan kanannya melesat dalam jurus ”kepala naga menyusup awan.” Yang di arah adalah dada Tiga Bayangan Setan, tepat di bagian jantung.
“Bukkk!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan mencelat sampai dua tombak. Sesaat dia terkapar dan tersandar ke dinding sumur batu. Wajahnya yang angker sama sekali tidak menunjukkan bayangan rasa sakit, malah melontarkan seringai mengejek. Dari mulutnya tak ada darah yang mengucur.
“Seharusnya jantungnya pecah dan saat ini sudah konyol! Gila! Ilmu kebal apa yang dimiliki setan alas gundul sebelah ini?!” ujar Wiro dalam hati sambil perhatikan tinju kanannya.
Tiga Bayangan Setan keluarkan tawa bergelak lalu berdiri: Dia berpaling pada Elang Setan dan berkata. “Berikan tombak Wesi Ketaton itu padanya…”
Elang Setan mengambil tombak besi yang separuh amblas di tanah lalu melemparkannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Cara Elang Setan melemparkan Senjata itu tidak sembarangan. Salah tangkap atau kurang cepat memegangnya bagian runcing atau bagian yang berbentuk pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wiro. Sambil merunduk Wiro tangkap tombak yang dilemparkan dengan tangan kiri.
“Astaga! Setahuku ini adalah senjata Tubagus Kasatama, orang tua bergelar Dewa Berjubah Kuning Berongkat Besi!” membatin murid Sinto Gendeng begitu dia pegangi dan perhatikan tongkat besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan orang tua kepercayaan Keraton itu?”
“Kau mengenali senjata itu Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Dan kau ingin tahu dimana pemiliknya sekarang berada, apa yang telah terjadi dengan dirinya?!” menimpali Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit akibat bentrokan dengan Wiro tadi.
“Apa yang telah kalian lakukan terhadap orang tua itu?!” sentak Wiro.
Tiga Bayangan Setan tertawa panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan orang tua itu. Saat ini pasti dia sehat-sehat dan tenang-tenang berada di dalam akhirat!”
“Jadi kalian telah membunuhnya?!” Wiro melotot besar.
“Saudara angkatku hanya mengorek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau dia kemudian menemui kematian mana bisa kami dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan lalu tertawa terbahak-bahak.
“Jahanam!” rutuk Wiro. Sebagai orang yang punya hubungan dekat dengan Keraton di barat dan timur, Wiro kenal baik dengan Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Bertongkat Besi. Saking marahnya Wiro kerahkan tenaga dalam dan siap untuk lepaskan ”pukulan sinar matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana, sambil bersandar ke dinding sumur Tiga Bayangan Setan kembali menantang.
“Pukulanmu tadi terlalu empuk! Sungguh memalukan karena dilepas oleh orang yang katanya punya nama besar dalam dunia persilatan dan sampai dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ternyata kau tidak punya kepandaian apa-apa! Bagaimana selama ini kau bisa menipu dunia persilatan?!”
Murid Sinto Gendeng merasa terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan Setan.
“Nah, nah! Ternyata kau masih punya nyali untuk melawanku. Silahkan pergunakan tombak sakti itu! Kau boleh menusuk tubuhku dengan ujung yang runcing, atau membabat putus leherku dengan bagian yang bulat pipih setajam mata pisau!”
“Manusia sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Wiro pindahkan tombak Wesi Keraton ke tangan kanannya. Karena tangan itu telah dialiri tenaga dalam penuh maka tombak sakti sampai mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Kau boleh pilih bagian yang kau suka! Mukaku, dada atau perut! Atau kau suka bagian di bawah perutku?!” Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak. Dia memandang tak berkesip ketika Wiro dengan kecepatan kilat melompat ke hadapannya. Tongkat besi di tangan kanan ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana terdapat tiga guratan aneh!
Kepala Tiga Bayangan Setan seolah terlontar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak beranjak dari dinding sumur batu. Bersamaan dengan kilatan aneh keluar dari tiga guratan di keningnya. Lalu terdengar suara berdentrang. Ujung runcing tombak yang ditusukkan Wiro ke kening orang itu patah. Wiro sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan seolah memegang besi panas hingga dia terpaksa lepaskan senjata itu. Menyaksikan tombak sakti bisa patah sedang kening Tiga Bayangan Setan tidak cedera sedikitpun, Pendekar 212 ambil keputusan untuk lancarkan serangan sakti berupa “pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit dicari tandingannya dan merupakan pukulan sakti dikenal paling mematikan dalam rimba persilatan.
Sebagai tokoh silat golongan hitam yang menjadi menjadi momok dimana-mana tentu saja Tiga Bayangan Setan segera menduga pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan lawan begitu dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 berubah menjadi putih berkilau laksana perak mendidih!
“Pukulan sinar matahari! Aku sudah lama mendengar kehebatannya. Tapi kalau tidak dibuktikan mana aku mau percaya!” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Manusia setan ini benar-benar sangat takabur!” kata murid Sinto Gendeng yang jadi kalap karena dipandang enteng begitu rupa. Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke tangan kanan. Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!
“Wusss!
Sinar putih menyilaukan disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga Bayangan Setan yang saat itu masih berdiri bersandar ke dinding sumur batu. Meski percaya diri namun Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal. Tubuhnya melesat ke atas setinggi dua tombak. Dua tangannya mengepal lalu diadukan satu sama lain di atas kepala.
Pukulan sinar matahari menghantam sumur batu hingga hancur berkeping-keping. Walau pukulan sakti itu tidak mengenai sasarannya namun hawa panas membuat kaki jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur bertebar ke berbagai penjuru menutupi pemandangan.
“Jahanam! Pukulan sakti itu benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan walau tubuhnya tidak cidera sedikitpun.
Mau tak mau hati Pendekar 212 Wiro Sableng diam-diam jadi tergetar juga melihat lawan sanggup meloloskan diri dari pukulan saktinya. Dua kepalan Tiga Bayangan Setan meletup keluar tiga sosok yang mula-mula berupa asap namun dalam waktu sekejapan saja berubah menjadi tiga sosok makhluk berbentuk raksasa, rambut riap-riapan, taring mencuat dan mata merah. Ketiganya keluarkan suara menggereng lalu serentak ulurkan tangan kanan, memukul kearah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
Seumur hidup baru sekali ini murid Sinto Gendeng melihat ilmu hitam begitu hebat. Dia melompat jauhkan diri. Ketika Tiga Bayangan Setan berusaha menyergap dan tiga raksasa jejadian lancarkan serangan Wiro langsung menghantam dengan “pukulan sinar matahari”!
Wusss!”
Sinar putih dan panas berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga makhluk raksasa keluarkan raungan keras.
“Bummmm!”
“Bummmm!”
Dua ledakan keras menggelegar.
Tiga Bayangan Setan jatuh terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan mental seolah-olah tanggal dari batok kepalanya, berubah jadi asap. Tapi makhluk raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan keras dia melesat ke depan. Kalau sebelumnya sosoknya sampai sedada kini makhluk rakasasa jejadian ini keluar utuh dari batok kepala Tiga Bayangan Setan sementara dua temannya tadi musnah akibat hantaman pukulan sakti yang dilepaskan Wiro perlahan-lahan kembali ke bemtuknya semula!
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.
Makhluk raksasa yang di tengah menghantam kearah Wiro.
“Jin dan segala macam makhluk jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Wiro. Secepat kilat dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Mata kapak kalau diadu dengan batu hitam akan mengeluarkan lidah api. Inilah yang dilakukan segera oleh Wiro. Namun sebelum tangannya bergerak Tiga Bayangan Setan berteriak memberi perintah.
“Rampas!”
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa yang sebelah tengah berubah menjadi panjang dan menyambar kearah dua senjata mustika yang dipegangnya.
Wiro cepat menghindar dengan melompat ke belakang. Begitu ada kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro sengaja menerobos diantara dua tangan yang terjulur. Yang diarahnya adalah batok kepala raksasa di sebelah tengah. Namun alangkah kagetnya murid Sinto Gendeng ini ketika lebih cepat dari gerakannya, tangan raksasa jejadian sebelah kanan bergerak mendahului mencengkram mata kapak sedang tangan kiri memukul kearah batok kepalanya!
Pendekar 212 hanya punya kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa dia mau selamatkan senjata mustikanya atau hindarkan kepalanya dari kehancuran!
“Setan alas keparat!” Wiro masih sempat memaki. Dia tak kuasa mempertahankan Kapak Naga Geni 212 dari renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat. Senjata mustika sakti itu terlepas pegangannya karena mau tak mau dia harus selamatkan kepala!
Ketika hantaman pada kepalanya berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha menerjang ke muka untuk dapatkan senjatanya kembali. Tapi sosok raksasa sebelah kiri tiba-tiba hantamkan tangan kanannya. Wiro merasa seperti di gebuk balok besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan terkapar di tanah tak berkutik lagi.
“Kita berhasil membunuhnya!” teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger! Nama kita akan mencuat setinggi langit! Aku mau tahu siapa tokoh persilatan yang tidak merinding mendengar nama kita! Ha…ha…ha!”
Tiga sosok raksasa jejadian di atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil meyeringai puas dia berkata pada Elang Setan. “Ambil batu hitam di tangan kiri pemuda itu. Kita perlu segera mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu peristiwa besar ini. Tugas dari dia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih kita menunggu munculnya Pendekar 212. Saatnya kita minta dia memberikan obat penawar racun dalam tubuh kita.”
Saat itu tiba-tiba udara menjadi redup seolah matahari tertutup awan tebal. Tiga Bayangan Setan memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit dilihatnya ada pemandangan aneh.
“Elang Setan! Lihat!” Tiga Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit.
Saat itu di langit tampak tujuh paying tujuh warna dalam keadaan terkembang meluncur demikian rupa laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang memanjang dalam bentuk garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berada, tujuh payung bergerak berputar membentuk lingkaran dengan payung warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh payung warna warni secara aneh terbang di udara saja sudah merupakan keanehan. Apalagi saat itu jelas terlihat ada sesosok tubuh bergantungan pada tangkai payung berwarna merah. Cara orang ini bukan memgang payung dengan tangannya tapi justru kedua kakinya yang menjepit gagang payung. Jadi saat itu keadaan tubuhnya menggelantung kaki ke atas kepala ke bawah. Dari bentuk dan warna pakaian serta rambunya yang tergerai jatuh ke bawah dapat diduga orang yang bergantung pada gagang payung merah adalah seorang perempuan.
“Aneh…”desis Elang Setan.
“Aku mencium bau bahaya…” berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah dapatkan senjata mustika itu. Buat apa mencari urusan baru. Lekas ambil batu hitam itu. Aku akan membawa si gadis!”
Tiga Bayangan Setan bergerak cepat ke tempat Bidadari Angin Timur tergeletak sedang Elang Setan berkelebat merenggut batu hitam sakti dari genggaman tangan kiri Pendekar 212.
LIMA
Pangeran Matahari mendera kuda tunggangannya habis-habisan hingga binatang itu lari seperti kesetanan. Ketika hari mulai gelap, memasuki sebuah lembah di utara Tegalrejo baru dia memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun terus, penuh semak belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa halangan seolah dia sudah tahu seluk beluk jalan yang ditempuhnya.Pangeran Matahari usap-usap leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik, kuda cerdik. Empat tahun tak pernah ke sini ternyata kau masih ingat jalan! Di dekat goa sana banyak tumbuh rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti boleh makan sepuasmu!”
Lewat sepeminuman teh kuda yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di hadapan sebuah gundukan batu besar, diapit oleh dua batang pohon besar serta tertutup oleh semak belukar tinggi. Disekitar tempat itu tumbuh banyak sekali rumput segar gemuk.
“Kita sudah sampai…” kata Pangeran Matahari. “Kau boleh istirahat dan makan rumput sepuasmu!”
Lalu sang Pangeran turun dari kudanya. Baru saja dia menginjakan kaki di tanah binatang itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan keluarkan suara menggembor. Pangeran Matahari yang tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap kudanya.
“Kau mengetahui sesuatu yang aku belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran Matahari usap-usap bagian atas hidung binatang itu. Sang kuda menggembor lagi, lalu meringkik halus.
“Hemmm… Terima kasih… Kau mengingatkan agar aku berlaku waspada!” Sang Pangeran buka matanya lebar-lebar dan memandang berkeliling. Tapi dia memang tidak memperhatikan tapi kini dia bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi tak ada tanda-tanda bekas rumput terpijak. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi yang bisa punya pekerjaan seperti ini….” Pangeran Matahari besarkan mata, pasang telinga lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika dia mendongak ke atas, dadanya berdebar. Pada cabang pohon di sebelah kanan gundukan batu besar sesosok tubuh kelihatan menelungkup membelintang. Ada cairan mengucur dari bagian kepalanya.
“Kudaku , kau pergilah merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada apa-apa di tempat ini…” bisik sang Pangeran pada kudanya. Lalu dia putar tubuhnya. Sekali kedua kakinya menekan tanah, tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat kemudian dia sudah berada di cabang pohon dimana ada sosok tubuh tergeletak membelintang. Pangeran Matahari membungkuk berusaha untuk melihat wajah orang. Tapi kepalanya laksana disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala orang di cabang pohon itu hancur mengerikan, tak bisa dikenali! Siapapun dia adanya orang ini sudah jadi mayat. Jelas dia dibunuh orang!
Pangeran Matahari perhatikan pakaian orang. Pakaian ringkas warna coklat. Pada pinggangnya melilit sebuah rantai besi yang diganduli puluhan kepingan-kepingan besi berbentuk segitiga tajam.
“Senjata andalannya ini tak sempat dipergunakan. Lawan keburu menghabisinya…” pikir Pangeran Matahari. Dari atas cabang pohon dia bisa melihat keadaan di bawahnya lebih jelas. Tak ada gerakan, tak ada suara. Kehitaman mendekam dimana-mana. Akhirnya dia melompat turun kembali. “Siapapun orang yang membunuh lelaki di cabang pohon itu pasti dia sudah meninggalkan tempat ini… Mungkin aku harus membatalkan niat untuk tinggal di tempat ini. Paling tidak aku hanya bisa pergunakan untuk sekedar bermalam…”
Pangeran Matahari lalu mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya menuju gundukan batu besar.”Semak belukar tak terusik. Belum ada yang masuk ke tempat ini…” Pangeran Matahari merambas pohon-pohon jalar yang menutupi gundukan batu. Ketika semak belukar dan pohon jalar yang tersingkir, bagian depan gundukan batu besar itu ternyata adalah mulut sebuah goa besar.
Sang Pangeran tak segera masuk. Dia dongakkan kepala lalu menghirup udara dalam-dalam.”Udara segar bercampur bau minyak. Berarti memang tak ada manusia yang masuk ke sini. Dan minyak obor-obor di dalam sana masih utuh…”
Bagian dalam goa itu cukup besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran Matahari. Dia melangkah ke dinding kanan, meraba-raba sampai akhirnya tangannya menyantuh sebuah obor besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat obor dinyalakan. Keadaan dalam goa kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri kelihatan lagi sebuah obor yang segera dinyalakan oleh sang Pangeran hingga keadaan dalam goa jadi terang benderang.
Pada bagian tengah goa sebelah dalam ada sebuah batu tinggi berbentuk rata yang keseluruhannya telah diselimuti lumut kehijauan. Pada ujung batu sebelah kanan berdiri satu patung manusia berkepala singa yang bagian atasnya berlobang. Pada lobang ini menancap sebuah obor kecil. Setelah menyalakan obor kecil ini Pangeran Matahari buka mantelnya lalu mengembangkannya di atas batu rata. Duduk di atas batu Pangeran Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan mata dan tubuhnya untuk beberapa lama tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan tidak terdengar. Apa yang dilakukan sang Pangeran saat itu adalah mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.
Sesaat kemudian sepasang mata Pangeran Matahari tampak terbuka, wajahnya kelihatan merah. “Kitab Wasiat Iblis yang ada padaku membawa perubahan besar. Sebelumnya tak pernah aku merasa jalan darah, pernafasan dan hawa sakti dalam tubuhku begini luar biasa…”
Dari balik baju hitamnya sang Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya sesaat terasa bergetar. Sampul kitab berwarna hitam, terbuat dari daun lontar kering yang dicelup dalam sejenis dawai. Beberapa bagian dari sampul kitab ini sudah gugus dimakan usia. Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan kitab di atas pangkuannya lalu membuka sampulnya. Pada halaman pertama kitab daun lontar itu tertera tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Iblis”. Dihalaman kedua yang keadaannya sangat rusak samar-samar tertera tulisan dalam huruf-huruf Jawa kuno berbunyi :
”Kitab ini berjodoh bagi siapa saja yang
sanggup membunuh lawan sambil tersenyum, meneguk darah musuh seperti meneguk
tuak harum, melahap jantung seteru seperti menyantap daging panggang.”
Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia membuka halaman ketiga yang ternyata merupakan halaman terakhir. Di situ ada sebaris tulisan dalam aksara sangat kecil dan rusak hingga untuk membacanya lebih jelas Pangeran Matahari terpaksa mendekatkan kitab itu ke obor yang ada di atas kepala patung singa.
“Induk kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu
hitam selalu satu langkah di depan ilmu putih, Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal
di atas ilmu putih. Siapa yang memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala
induk dari kekuatan dunia iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh
hanya satu. Yang satu itu tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa
dunia ini yang berjodoh hanya perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia
pergi. Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan
puasa tiga kali setiap Kemis malam Jum’at Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan
tercapai. Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi!”
“Induk kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu
hitam selalu satu langkah di depan ilmu putih, Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal
di atas ilmu putih. Siapa yang memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala
induk dari kekuatan dunia iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh
hanya satu. Yang satu itu tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa
dunia ini yang berjodoh hanya perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia
pergi. Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan
puasa tiga kali setiap Kemis malam Jum’at Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan
tercapai. Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi!”
Sesaat Pangeran Matahari duduk sambil dongakkan kepala ke langit-langit goa batu. Dia ingat kehebatan Kitab Wasiat Iblis sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu Pesolek. Dia belum sempat melakukan sesuatu ketika nenek sakti itu menyerangnya. Tahu-tahu dari dada, di balik pakaian hitamnya dimana Kitab Wasiat Iblis tersimpan melesat cahaya hitam pekat, menghantam lawan hingga menemui ajal dalam keadaan mengerikan yaitu hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!
“Kekuatan hebat dalam kitab ini bekerja sewaktu aku diserang Ratu Pesolek. Berarti Kitab Wasiat Iblis ini memang berjodoh dengan diriku…” Pangeran Matahari cium kitab hitam itu beberapa kali lalu meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis kitab mustika sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki selama jagat terkembang aku akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari menyeringai.
Bayangan Pendekar 212 muncul di pelupuk matanya. “Manusia Wiro Sableng, tunggu kedatanganku. Sekali ini kau tak bakal bisa lolos dari tangan mautku!”
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di atas kepala. Ketika dia hendak memasukkan kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba terdengar suara tiupan keras.
“Bleppp!”
Obor besar di dinding kanan goa batu padam!
“Siapa?!” bentak Pangeran Matahari lalu cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke balik pakaiannya. Tak ada jawaban.
“Berani bergurau di tempat ini berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari lantang hingga suaranya menggema di dalam goa batu itu. Tetap saja tak ada jawaban.
“Kurang ajar!”
Baru saja Pangeran memaki seperti itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.
“Bleppp!”
Kini obor besar di dinding kiri goa padam hingga bagian depan goa menjadi kelam. Satu-satunya obor yang masih menyala adalah di atas kepala patung manusia berkepala singa. Obor ini menerangi batu rata dan sosok Pangeran Matahari yang duduk di atasnya.
“Mematikan lampu minyak bisa kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi membunuh api obor yang begitu besar hanya bisa dilakukan oleh manusia berkepandaian sangat tinggi!” membatin Pangeran Matahari.
Pada saat itu tiba-tiba muncul satu sosok memasuki mulut goa. Pangeran Matahari cepat mengambil mantelnya dan berdiri. Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan untuk melancarkan pukulan maut “Telapak Merapi”.
Di pertengahan goa sosok yang masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari tidak dapat melihat wajah orang ini karena terlindung oleh kegelapan. Dia hanya bisa melihat bagian paling bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah hitam. Ujung kakinya tersembul dari balik jubah. Dia tidak memakai kasut. Orang ini ternyata memiliki kaki sangat hitam dengan kuku-kuku panjang juga berwarna hitam.
“Hanya guruku si Muka Bangkai yang tahu tempat ini. Kalau ada orang lain muncul disini jelas dia membawa maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.
“Tamu tak diundang. Melangkah ke tempat terang. Aku mau melihat tampangmu sebelum nyawamu kubikin terbang ke neraka!”
Pangeran Matahari menyangka ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan mungkin dia akan langsung diserang. Ternyata salah. Dua kaki hitam berkuku panjang bergerak maju dan berhenti dua langkah di hadapan batu datar.
Cahaya api obor kecil di kepala patung manusia berkepala singa menerangi sosok tubuh itu. Kini Pangeran Matahari dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya. Orang ini bertubuh sangat jangkung, mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang memakai sorban hitam hampir menyentuh bagian atas goa. Sepasang tangannya menjulang ke samping, begitu panjangnya hingga ujung jari sampai betis. Orang ini memiliki muka sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya obor mukanya tampak berkilat-kilat. Dua matanya yang besar dilingkari serbuk hitam. Karena dua mata ini berwarna merah maka pandangannya tampak menyorot menggidikan. Dari sela mulutnya yang terus menerus berkomat kamit menetes keluar cairan berwarna merah karena dalam mulutnya dia selalu mengunyah tembakau campur daun sirih.
“Heran!” Kata Pangeran Matahari. “Ada makhluk jelek tak tahu diri masuk ke dalam goaku! Katakan siapa kau adanya!”
Manusia bersorban hitam sunggingkan senyum sinis baru menjawab. Suaranya parau seperti tercekik.
“Aku adalah orang yang dilihat gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh puluh hari lalu!”
Jantung Pangeran Matahari berdetak keras. Kejutnya bukan olah-olah namun dia cepat balas lontarkan seringai buruk dan berkata. “Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani ngaco dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk urusan yang tidak-tidak!”
Si jangkung berjubah dan bersorban hitam tertawa pendek.
“Aku tidak bicara ngaco! Kau yang berdusta dan pandai menyembunyikan keterkejutanmu!”
“Manusia berkulit sehitam arang ini punya kemampuan menduga hatiku,”membatin Pangeran Matahari. Lalu dia membentak. “Jangan membuat aku muak ! Lekas katakan siapa dirimu, apa kepentinganmu lalu lekas minggat dari hadapanku!”
Tangan kanan sang Pangeran tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur penuh.
“Aku datang dari jauh. Di timur aku dikenal dengan julukan Datuk Sengkang Makale. Di barat aku dijuluki Hantu Tinggi Pelebur Jiwa. Di utara orang-orang memanggilku Sepasang Tangan Kematian. Lalu di selatan orang-orang menggelariku Pencabut Roh Bersorban Hitam. Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu!”
“Pangeran Matahari tertawa lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya. Tapi tak satupun membuatku merinding. Ha…ha…ha…! Sudah, sekarang katakan apa kepentinganmu datang kesini. Kalau sudah lekas angkat kaki dari hadapanku! Goa ini jadi busuk akibat bau badanmu!”
“Aku datang untuk meminta Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”
Paras Pangeran Matahari berubah. Tapi dia lekas mengumbar suara tawa bergelak lalu berkata. “Manusia muka hitam sinting! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?!”
“Aku lebih dari tahu siapa tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama Anom. Ditakdirkan sebagai seorang Pangeran terlantar karena ibumu hanya istri ketiga dari penguasa Kerajaan. Kau hampir mampus kalau tidak diselamatkan oleh kakek sakti berjuluk Setan Muka Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari dia kau menerima segala kepandaian silat dan kesaktian. Dari petunjuk yang aku berikan dalam mimpinya maka kau berhasil mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Nah apakah kurang lengkap semua keteranganku?!”
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari tegak seperti patung. Mulutnya ternganga. Dia dongakan kepala lalu angkat tangan kanannya ke atas. Orang muka di hadapannya menyeringai dan berkata.
“Jangan teruskan gerakanmu, atau kau akan jadi debu saat ini juga!”
Pangeran Matahari yang dikenal sebagai pendekar segala cerdik, segala akal, segala congkak dan segala licik merasa sangat dihina oleh ucapan dan ancaman Datuk Sengkang Makale. Dia meludah ke lantai lalu berkata. “Aku hanya bersedia menukar Kitab Wasiat Iblis itu dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi Pelebur Nyawa!”
“Jika aku boleh menawar, bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab ditambah nyawamu?!”
Rahang Pangeran Matahari menggembung. Sepasang matanya membeliak berapiapi. Datuk Sengkang Makale tertawa gelak-gelak
“Aha! Agaknya kau punya dua nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar Pangeran Matahari.
“Kau sudah melihat sendiri ada manusia mampus yang mayatnya melintang di cabang pohon! Mayat itu sekarang kedinginan! Apa kau mau menemaninya?!”
“Siapa orang itu?! Kenapa kau membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.
“Dia seorang tokoh dari utara menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun. Aku membunuhnya karena dia mencoba bersaing untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis! Kalau aku bisa membunuhnya riwayatmu malam ini?!”
Pangeran Matahari tahu betul bahwa orang yang mati itu bukan tokoh sembarangan. Jika si korban hitam bergelar Hantu Tinggi Pelebur Nyawa ini mampu membunuhnya jelas dia memang memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar berjiwa congkak, Pangeran Matahari anggap enteng orang di depannya malah kembali dia meludah.
“Orang sombong sepertimu biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh cerai-berai!”
Si jangkung Hitam terus saja tertawa. Tiba-tiba dia semburkan gumpalan tembakau dan sirih yang sejak tadi dikunyahnya. Benda ini melesat deras kearah patung singa berkepala manusia dan amblas dalam patung batu itu!
“Pangeran, kita akan lihat siapa yang tolol diantara kita. Siapa yang tidak sadar tingginya langit akan mampus lebih dulu!” Habis berkata begitu si hitam ini ulurkan kaki kanannya ke lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu dipijaknya lalu kakinya diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari tersentak ke depan. Mulut dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia cepat kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Tak urung butir-butir keringat memercik di keningnya. Bibirnya bergetar. Sang Datuk tertawa mengekeh.
“Manusia jahanam! Dengan kepandaian picisan itu apa kau kira mampu menghindar dari kematian?!” bentak Pangeran Matahari. Tangannya yang sudah menyiapkan pukulan “Telapak Merapi” didorongkan ke arah orang tinggi hitam yang hanya berada empat langkah di depannya.
“Wussss!”
Dari telapak tangan kanan Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh dan menggoncang goa batu. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat panas. Jangankan tubuh manusia, batu sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan sakti ini. Tapi di hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun bergeming malah hadapi serangan maut itu dengan tangan kiri ditolakkan di pinggang sedangkan tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk lurus-lurus ke langit-langit goa!
Terjadi suatu hal yang hebat dan membuat Pangeran Matahari terbeliak besar. Sinar hitam pukulan saktinya laksana tersedot, tertarik kearah jari telunjuk Datuk Sengkang Makale. Suara gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna. Sebaliknya jari telunjuk sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika jari itu dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat. Cahaya hitam dan angin keras menderu. Atap goa batu hancur berantakan. Lantai batu bergetar hebat lalu terbelah. Kalau sang Pangeran tak cepat melompat, kedua kakinya akan terperosok ke dalam belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar segala cerdik segala congkak itu tegak tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!
“Barusan aku hanya menyedot dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu Pangeran!” kata Datuk Sengkang Makale. “Yang setengah lagi biar kukembalikan padamu!”
Lalu sang Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari. Sinar hitam berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya sendiri yang diredam lalu dilepas kembali oleh lawan untuk menyerang dan menghabisi nya! Sadar bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal. Secepat kilat dia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam dengan pukulan “Gerhana Matahari”.
Namun sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak dia merasakan dadanya dia merasakan dia merasakan dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari dada Pangeran Matahari menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!
Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya mencelat keluar goa, sesaat menyangsrang di semak belukar lalu jatuh di atas rerumputan. Asap mengepul.
Ketika Pengeran Matahari keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi dengan nenek sakti berjuluk Ratu Pesolek. Sosok jangkung Datuk Sengkang Makale yang punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan kepulan asap tipis!
Pangeran Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini terasa hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di batu goa lalu dia jatuhkan diri menyembah.
“Junjunganku Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”
Lalu kitab itu diciumnya berulang kali, diletakkannya di atas kepalanya kemudian dia melangkah masuk kembali ke dalam goa.
ENAM
Tujuh payung warna warni yakni merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu melayang turun menuju lereng bukit tak jauh dari sumur batu dimana sosok Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah sampai lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan menyentuh tanah, perempuan yang bergelantungan pada payung itu lalu melompat ke samping. Di lain kejap dia sudah tegak di tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip payung merah menancap di tanah. Sekali lagi secara aneh terdengar suara clep! Payung warna merah yang tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.Perempuan yang tegak di samping payung merah ternyata adalah seorang gadis berwajah sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang alisnya sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia mengenakan pakaian ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam, tergerai lepas dipermainkan angin bukit.
Enam payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu menyusul turun mengitari payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang payung yang lancip menancap di tanah. Satu persatu pula secara aneh enam payung yang tadi terkembang menguncup!
Gadis di tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit di sekitar sumur batu itu dilanda bau busuk beberapa mayat yang bertebaran di sana-sini. Tapi si gadis seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia melangkah kearah sumur batu lalu menatap ke dalam.
“Aku yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan aku datang terlambat. Benda yang kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi aku melihat ada dua orang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda itu. Sebaiknya aku naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”
Gadis cantik itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tibatiba dia hentikan langkah dan membalik. Matanya memperhatikan sosok tubuh Pendekar 212.
“Banyak mayat di tempat ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama menemui ajal! Pasti dua orang yang kulihat tadi yang membunuhnya… Hemm…apakah perlu memeriksa siapa dia adanya?” Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati tubuh Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan tubuh pemuda itu hingga terlentang. Sesaat dia pandangi muka Pendekar 212.
“Ada bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini mati akibat luka dalam yang amat parah. Hemmm… Tak pernah aku melihat dia sebelumnya.” Setelah memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak. Angin bukit bertiup kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada. Saat itulah dia tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada si pemuda.
Gerakan kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang matanya yang bening membesar. ”Dua satu dua…!” desisnya. “Astaga!” Bukankah dia…” Gadis ini sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahanlahan dia berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wiro. “Tak ada denyutan nadi….Dia memang benar-benar sudah mati! Ah…. Bagaimana ini? Padahal menurut guru aku harus…” Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212, menatap terus menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian dada. “Bekas pukulan aneh…” katanya dalam hati. Lalu menyambung. “Nasib manusia memang di tangan Yang Kuasa. Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya ternyata dia sudah menjadi mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa kulakukan adalah mengubur jenazahnya!” Gadis itu kembali memandang berkeliling. Di lereng bukit sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon rindang. “Mungkin di bawah pohon itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis bangkit berdiri lalu membungkuk.
Tangan Wiro kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia menyeret mayat Pendekar 212 ke arah pohon besar di bawah sana. Baru enam langkah dia menyeret sosok tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk.
“Mayat hidup!” Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu melompat menjauh dengan wajah berubah. Tubuh Wiro yang tadi terangkat karena pegangannya dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat gadis tadi jadi tambah ketakutan.
“Astaga! Jelas tadi dia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis dalam hati ketika dilihatnya sosok Wiro berbalik ke kanan lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri. Tapi dalam sikap merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari mulutnya keluar suara keluhan disertai kucuran darah. Wiro angkat kepalanya. Pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya.
“Demi Tuhan, siapapun kau adanya to… tolong….”
“Dia benar-benar masih hidup!” ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai kembali dia cepat mendatangi.
DUA mata yang terbuka itu tak dapat mengenali benda-benda apa yang ada di atas tubuhnya. Dia hanya melihat samar-samar warna hijau, merah, kuning dan entah warna apa lagi. Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru dibukanya.
“Aneh, benda-benda apa ini?” otaknya mulai mampu berpikir. “Tubuhku terasa sakit. Tulang-tulangku seperti luluh. Tenggorokanku kering seperti terbakar. Mulutku pahit. Dadaku uh… mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh, berada dimana aku ini…?” Wiro merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada orang melangkah di dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru kembangkembang itu membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu bergerak seperti disibakkan. Kelihatan satu wajah.
Wiro pejamkan kedua matanya. Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali.
“Heh… Jangan-jangan aku ini memang sudah mati dan masuk sorga. Buktinya aku melihat wajah cantik rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wiro perlahan tapi cukup terdengar oleh orang yang berada di sampingnya.
“Hik… hik… hik…”
Wiro terkejut mendengar ada suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian kemari. “Astaga…. Jangan-jangan yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!” kata Wiro lalu berusaha berdiri. Namun dia cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung. Rambut tergerai dan wajah cantik lenyap, berganti dengan satu sosok utuh mulai dari kaki sampai kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.
“Si..siapa kau…? Berada dimana aku saat ini?” Wiro bertanya. Kepalanya terasa berat. Dia kuatkan diri berusaha agar tidak rubuh. Tapi tak bisa.
Gadis di hadapan Wiro menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah. Sebaiknya kau berbaring saja dulu…”
“Aku…aku lemah?” Wiro memandang berkeliling sampai matanya kembali menatap kearah wajah cantik di depannya. “Memangnya aku kenapa…?” Wiro turunkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju serta dadanya yang tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di dadanya. Saat itu kembali rasa sakit menyerang dadanya membuat dia merintih panjang. Lalu kembali Wiro menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.
“Pertama aku menemuimu, kukira kau sudah mati. Aku mengubur jenazahmu…” si gadis berniat hendak memberitahu.
“Tengkukku merinding mendengar ucapanmu. Apa betul…” Wiro berucap.
Tangan kanannya hendak menggaruk kepala tapi dia masih tak mampu menggerakkan. Malah saat itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di tanah.
“Baiknya kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah. Hanya kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup saat ini… Berbaring seperti itu lebih baik bagimu.”
“Allah memang Maha Besar. Maha Penolong. Apa… apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Otakku masih belum mampu mengingat….”
“Jangan banyak berpikir, jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…”
“Mana mungkin aku berbuat begitu. Itu sama saja seperti mati sungguhan…” kata Wiro.
“Terserah. Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika orang-orang yang ingin membunuhmu itu muncul kembali dan kau masih dalam keadaan seperti ini, tamat riwayatmu!”
“Eh, siapa yang ingin membunuhku…?” Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak mukanya mengernyit. Dadanya mendenyut sakit seperti ada yang meremas di sebelah dalam.
“Telan ini…” kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking.
“Apa ini…? Tahi kambing?” Tanya Wiro.
Paras si gadis berubah menunjukkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi harus pada tempatnya. Aku memberimu obat tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan saja obat ini! Kau boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!”
Murid Sinto Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru marah. Aku tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya memperpanjang umur, bukan sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada sebuah kantong kecil berisi obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam mulutku…”
Gadis berbaju biru angkat tangannya. “Kantong kain butut dan bau ini?!” ujarnya seraya memperlihatkan sebuah kantong kain yang memang milik Wiro.
“Jangan menghina! Dalam kantong itu ada obat pemberian guruku!”
Si gadis tersenyum lebar. “Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu lebih buruk lagi!”
“Kau keliwat menghina!” Wiro berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik hingga dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Dia coba bangkit dan ulurkan tangan mengambil kantong kain di tangan si gadis. Namun dia hanya mampu bergerak sedikit lalu jatuh lagi ke tanah.
“Apapun obat yang ada dalam kantong ini tak akan mampu menolong dirimu! Kau bukan menderita luka dalam akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis. Hanya obat iblis pula yang mampu menyembuhkanmu…”
“Maksudmu …?” Wiro melirik pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang di tanganmu itu obat iblis!”
“Terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?”
“Tidak…” jawab Wiro.
“Kalau begitu tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal. Selamat bertemu dengan teman-temanmu…”
Eh teman-temanku siapa?!” Tanya Wiro heran.
“Yang sudah meninggal lebih dulu darimu!” jawab si gadis lalu letakkan kantong kain milik Wiro dan cepat berdiri.
Dalam hati Pendekar 212 seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya malah muncul senyum lebar. “Tunggu!”
“Aku tak punya waktu melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut sebuah tiang yang menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat baru Wiro mengenali bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro memandang ke atas.”Ah, kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas tubuhku ini adalah payung semua…” piker Wiro. “Tujuh payung terkembang…Bagaimana dia bisa memakainya semua? Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa benar dia hendak menolongku…?”
“Hai, kau betulan mau pergi?!” Wiro bertanya.
“Kau tidak membutuhkan pertolongan…”
“Siapa bilang?!” tukas Wiro.
Si gadis hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada Wiro dengan pandangan mengkal.
“Baik, aku bersedia menerima pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih…Tapi boleh aku tahu dulu siapa dirimu sebenarnya? Kau pasti punya nama dan …Hek!”
Wiro tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke dalam mulutnya. Begitu berada dalam mulut obat itu keluarkan letupan halus. Wiro merasakan mulut dan seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras. Perlahanlahan kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit mukanya kelihatan menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan akhirnya turun terus sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa nafasnya sangat sesak. Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia hanya melihat kegelapan lalu tak tahu apa-apa lagi.
TUJUH
Pendekar 212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit. Perlahan-lahan dia buka kedua matanya. Dia coba berpikir. Ternyata daya ingatannya telah jernih kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan lagi dalam tubuhnya walau rasa sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam keadaan terbaring di tanah dia memutar mata, memandang berkeliling.“Benda kuning warna-warni itu… Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis cantik berpakaian biru kembang kuning itu…” Wiro bangkit duduk. Lalu berdiri. “Aneh, kekuatanku sudah pulih. Pasti berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika dia hendak memandang lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro ingat akan senjata mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba kian kemari. Jantungnya bergemuruh.
“Kapak Naga Geni 212! Batu hitam sakti!” teriak Wiro keras tapi bergetar.
“Celaka! Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua manusia setan itu!” Wiro terduduk lemah di tanah. Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua tangannya, lalu kedua kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.
“Ya Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku pasti juga!” Wiro usap wajahnya. “Celaka! Jangan-jangan…” Wiro berucap sambil mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia memang sudah hitam sejak dilahirkan!
Udara di atas Wiro tiba-tiba redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya yang surya. Bersamaan dengan itu terdengar suara perempuan berkata.
“Kau tak usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya. Keadaanmu akan pulih jika bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!”
Wiro palingkan kepala dan mendongak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis cantik berpakaian biru berbunga-bunga.
“Ah dia rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu terbang dengan payung sementara enam payung mengiring seolah mengawalnya!” Wiro berdecak kagum lalu lambaikan tangan.
“Sahabat, turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!” seru Wiro.
“Urusanku di tempat ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!”
gadis baju biru menjawab. Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit lalu perlahan-lahan naik ke atas.
Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk kepala!” murid Sinto Gendeng merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung terbang semakin jauh dia segera berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit menurun dengan sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.
“Kulompati terlalu jauh! Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wiro melihat sebuah pohon besar dengan cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. “Tujuh payung bakal melewati pohon itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wiro lari ke arah pohon, memanjatnya dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah mana tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang di atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah payung yang paling dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro kerahkan tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon. Tubuhnya melesat ringan ke atas.
Wiro berhasil menangkap gagang payung warna ungu, yakni payung yang berada di sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada dua payung di sebelah depannya.
“Hai! Apa yang kau lakukan?!” teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu sugah bergantungan pada gagang payung ungu.
“Aku mau ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak denganmu!” jawab Wiro. Lalu ketika ada kesempatan dia melesat ke samping dan berhasil menangkap gagang payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari si gadis sementara tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di atas bukit. Wiro sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara seperti itu dia merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali kecil berair jernih.
“Kau tak bisa mengikutiku! Kau harus turun!” berteriak si gadis.
“Tidak! Kalau kau mau turun aku baru ikut turun! Jawab Wiro.
“Jangan memaksa aku melakukan kekerasan!”
“Ahai! Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wiro sambil tertawa lebar.
“Kau mau mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan suara keras. Dia tampak marah karena merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!
Payung hijau yang digelantungi murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup dengan keras. Ujungnya memukul tangan dan kepala Wiro. Pendekar 212 mengeluh keras. Bukan saja karena kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga dia tak bisa bergerak. Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung cuma terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun bagaimanpun dia berusaha tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas dia berusaha tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak sampai-sampai sementara tangan kanannya yang memegang payung selain sakit terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.
Di sebelah kiri bawahnya terdengar suara tawa cekikikan.
“Sialan! Dia menertawaiku!” memaki Wiro. “Kalau bukan gidas cantik sudah kukencingi dia saat ini. Aduh…! Bagaimana ini?!” Jepitan payung di kepala Wiro semakin keras. Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah Wiro melihat bukit cukup jauh di bawah sana. “Kalau aku harus melepaskan payung celaka ini lebih baik aku memilih jatuh masuk ke dalam kali sana…” pikir Wiro. Karena tak sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wiro akhirnya terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara murid Sinto Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar 212 melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika Wiro berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!
Payung merah berguncang keras ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri dari pelukan Wiro. Seumur hidup baru kali ini dia dipeluk orang seperti itu. Oleh laki-laki pula!
“Pemuda kurang ajar! Lepaskan diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang keenakan memeluk gadis cantik itu malah tertawa gelak-gelak.
“Aku sedang keenakan, bodoh dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!” jawab Wiro seenaknya.
“Benar-benar manusia kurang ajar!” Si gadis marah sekali. Tangan kirinya digebukkan.
“Bukkk!”
Tubuh Wiro menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam bahu kirinya dengan keras. Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek dia bukannya berteriak kesakitan malah berseru.
“Aduh! Enaaak!”
Karena beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka perlahan-lahan payung itu melayang ke bawah.
“Kau benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali berteriak.
“Kita turun saja sama-sama, mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud kurang ajar!” jawab Wiro dan tambah memperkencang pelukannya.
Si gadis hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah perut Pendekar 212. Kali ini Wiro benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu tak sadar kalau saat itu dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua tangannya berada dipakai menekap bagian bawah perutnya.
“Hancur keponakanku!”
Tubuh Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke tanah tidak terlalu jauh. Lagi pula dia masih bisa memilih jatuh dengan mencebur masuk ke dalam anak sungai berair jernih!
Dalam keadaan basah kuyup Wiro berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara payung merah tempat gadis cantik bergantung perlahan-lahan kembali melayang naik ke udara diikuti oleh enam payung warna-warni lainnya. Bersamaan dengan jatuhnya Wiro ke anak sungai tadi, dari balik pakaian gadis baju biru melayang jatuh pula secarik kertas. Tepat ketika Wiro mencapai pinggiran sungai, kertas itu jatuh di atas sebuah batu.
“Eh, kertas apa ini..?” ujar Wiro. Dia mendongak ke atas.
Di udara gadis baju biru tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke bawah. “Astaga! Kertas itu…” katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya Wiro ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera berteriak. “Jangan sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua kakinya digerak-gerakkan. Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh payung merah yang digelantunginya melesat kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali dia sudah menjejakkan kaki di depan batu di mana kertas tadi terjatuh. Namun dia kalah cepat karena saat itu Wiro telah lebih dulu mengambil kertas itu. Ketika diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas kosong. Tak ada tulisan ataupun gambar di atasnya.
“Kembalikan kertas itu padaku!” ujar si gadis di hadapn Wiro
“Aneh, hanya sehelai kertas kosong mengapa dia begitu bersikeras memintanya…?” pikir Wiro dalam hati lalu membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.
“Hai! Kau tuli tidak mendengar orang berkata?!” bentak si gadis.
Wiro tersenyum lalu ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wiro tarik tangannya hingga orang hanya menangkap angin. Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. Merasa di permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha merampas kertas itu tapi sekaligus kirimkan serangan.
“Serangannya ganas sekali…” membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan kiri si gadis sempat melabrak ulu hatinya. Selagi tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan kanan lawan menyambar ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah bagaimana pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar lalu masuk ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu tempat tertahan di antara dua buah batu.
Wiro melihat perubahan aneh pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya selembar kertas kosong mengapa dia begitu ngotot?!’ pikir Wiro. Sambil pegangi perutnya yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai. Matanya yang ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-tiba terpentang lebar. “Aneh, tadi kertas itu kosong tak ada apa-apanya. Kini aku lihat seperti ada sesuatu di situ….” Wiro bergerak menuruni tebing sungai.
“Tetap di tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!” Gadis di belakangnya berkata. Suaranya bukan merupakan ancaman kosong karena saat itu juga melompat ke hadapan Wiro dan dorongkan kedua tangannya dan dada sang pendekar. Jarak dua tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin dingin menyambar tanpa suara sama sekali, membuat murid Sinto Gendeng terlempar sampai dua tombak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi sungai, semua dalam keadaan kuncup!
Karena sebelumnya dadanya pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa jejadian yang keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di bagian yang sama, akibatnya Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyunghuyung ketika coba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.
“Hanya karena sehelai kertas kau tega mencelakaiku…” desis Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam dan atur jalan nafas serta darah.
Si gadis tak menjawab. Malah balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan cepat. Di satu tempat dia siap untuk melompat, mengambil kertas yang tersangkut di celah dua buah batu sungai.
Pada saat dia membungkuk, dari belakang tiba-tiba menderu satu gelombang angin deras. Si gadis tak sempat melihat apa yang terjadi. Tapi dia maklum kalau ada orang menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke samping. Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke dalam sungai!
Wiro yang barusan lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang” dalam keadaan menahan sakit pada dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk melompat ke atas salah satu batu dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air melewati celah di antara dua batu.
“Hai!” terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang secepatnya sebelum Wiro berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia masih jauh sewaktu Wiro meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata murid Sinto Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu. Meskipun air sungai membuat tulisan itu luntur namun Wiro masih bisa merangkainya satu sama lain dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.
Muridku Puti Andini.
Karena keperluan sangat penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.
Seperti yang aku pesankan dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke tanah Jawa.
Cari pemuda bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.
Bagaimana caranya terserah padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jika kau mengalami kesulitan.
Wiro ambil kertas basah itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika gadis yang berenang sampai di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.
“Kau inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas yang basah dan hampir robek itu ke atas batu.
Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia berkata seolah pada diri sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa yang tertulis di kertas itu…”
“Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan onak duri.
Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.
“Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
“Apa yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pesolek…”
“Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.
“Jangan dulu putus asa, “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu…”
“Menjebak bagaimana?” Tanya Elang Setan.
“Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab tersebut….”
“Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang kubur…”
Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang benderang.
Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur Gunung Merapi.
“Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga. Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar. Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
“Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!”
Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
“Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!”
Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam,” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.
“Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!” kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.
Namun baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.
“Pangeran Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu menjura dalam-dalam.
Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di bagian dada.
“Hemmm…cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!”
Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.
“Hemmm… Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan Setan, kau yang menjelaskan!”
Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.
“Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…”
Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.
“Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”
“Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Dimana dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.
“Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis itu, “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”
“Hemmm…” Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh Pendekar 212?”
“Yang sebelah kiri, Pangeran, “jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari. “Kepala atau tubuh?!”
“Tepat di bagian dadanya Pangeran.”
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding.
“Apa yang ada di benak manusia ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!”
“Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”
Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang.
“Tapi Pangeran,” yang menjawab adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu…”
“Elang Setan, tutup mulutmu!” bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan. “Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak ditanya!”
“Maafkan aku Pangeran, “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa jawabanmu?!” bentaknya.
“Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat riwayatnya!”
“Apa sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.
Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.
“Kapak Maut Naga Geni 212!”
Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.
Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari berseru.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilatkilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.
“Kalian berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara. Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas. Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.
“Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan kami?!”
Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya. Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.
“Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantupembantu, sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah satu pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?”
“Memang ada Pangeran,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu. Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan diri!”
“Hemmm… Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi yang hendak kalian katakan?!”
“Mengenai obat penawar itu, “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?”
“Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!”
Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung sampai sepuluh!”
Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak. Mendadak saja dua orang itu merasa syak.
“Pangeran…” Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.
“Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”
Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak sontak pucat putih sperti kertas.
“Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang meluap.
“Kau menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.
Pangeran Matahari semakin keras tawanya.
“Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!”
“Sesuai perjanjian….”
“Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng, bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan binatang buas….”
“Plakkkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus.
Pangeran Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.
Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini….” Katanya.
Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah panggung.
“Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu. Ha…ha…ha…!”
“Jahanam keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Krakkkkk!”
Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan berseru. “Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!”
Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu turun ke lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis. Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.
Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita sama. Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini.”
Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu. “Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia ingin membunuhku apa artinya…”
Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai. Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu. “Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”
Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan auratnya.
Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.
“Kau mau kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.
“Aku…. Aku harus pergi,” jawab si gadis.
“Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”
“Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”
“Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi… Kuharap kau mau…”
“Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”
“Hemmm… Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia berseru. “Lihat batu!”
Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.
“Wussss!”
“Braakkk…byaar!”
Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.
“Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”
Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.
“Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!”
Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”
“Apa itu tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.
Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”
“Hemmm, begitu…? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?”
“Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau lihat?”
“Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan mengenakan pakian biru….”
“Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!”
“Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.
“Kau kenal mereka…?”
Puti Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus dimusnahkan!”
“Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!”
Si gadis tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”
“Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan menyelamatkan diriku…”
“Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini.
Wiro menyeringai lebar.
Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang harus dilakukannya.
“Siapa gurumu…?”
Puti Andini tidak menjawab.
“Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”
“Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya gara-gara patah hati…”
Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)
“Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan….”
“Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!” jawab Puti Andini.
“Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan agar kau membunuhku?!” tukas Wiro Sableng.
“Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu…”
“Sialan… Enak saja kau bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.
“Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!”
“Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”
“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau tidak percaya coba berkaca di air sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang. Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!
“Puti Andini !” teriak Wiro. ‘Jangan kau berani bicara main-main!”
“Wiro Sableng!” balas berteriak si gadis.
“Eh, bagaimana kau tahu namaku?!” Wiro keheranan.
“Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti Andini pula.
“Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini. Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!”
“Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna hitam itu akan serta merta lenyap…”
“Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus…”
Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil. Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau udara mendung!”
“Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garukgaruk kepalanya berulang kali.
“Kau masih ada pertanyaan?!”
“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur.”
“Selatan,” jawab Puti Andini pendek.
“Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”
“Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.
“Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya nyawa rangkap!” jawab Wiro meradang.
“Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!”
“Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar.
“Mengenai diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”
“Apa maksudmu?!” Tanya Wiro.
“Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya lebih dulu!”
“Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212. “Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”
Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala. Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke udara. Wiro hendak mengejar. “Jangan kau berani mengikuti!”
Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu sudah naik setinggi kepala.
“Dasr sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak membuat gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning, hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan perut!
Wiro berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti Andini bergantung.
Wiro geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara dia berkata. “Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”
Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur… Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.
Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini. Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang, kau masih belum dapat perahu sewaan?”
Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini. Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.
“Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?”
“Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?”
“Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. “Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui…”
“Apa?!” Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.
“Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!”
“Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan ingin kau beritahu?”
Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut…”
“Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?”
“Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”
“Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”
“Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan…!” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu tinggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau dan tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia muncul.”
Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh. Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang. Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu sampai sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini, urusan nantilah!”
Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar. Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara gemuruh gelombang.
“Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”
Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada.
“Astaga! Hai! Awas! “ teriak Wiro.
Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja perahu itu pun lenyap.
“Pasti amblas ke dalam laut!” pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari mati. Bunuh diri!” Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.
“Eh….” Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah kuyup.
“Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!”
Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
“Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wiro berseru kaget.
Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut mengikuti yang dialun ombak.
Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
“Wusss!”
Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar suara braaakk!
Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
“Eh, di mana orang bercaping itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut. Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
“Hancur kepalamu!” seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.
“Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi….” Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng dengan cepat perhatikan orang itu.
“Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!” Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
“Bapak bercadar…Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul…”
Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.
“Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau melihatnya! Hik…hik…!” Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu berwarna merah dan basah di bagian mulut.
“Tak pelak lagi! Memang dia!” kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan bernanah!
“Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan. Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke laut…”
“Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!” Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
“Aku butuh pertolonganmu… Kau pasti bisa menolongku!”
“Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”
Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.
“Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian?!”
“Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”
Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah dan warna merah.
“Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya adalah kau sendiri!”
“Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan bicara.
“Oh begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!”
Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu. Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat. Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
“Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”
“Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru Angin!”
“Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik orang bercaping.
“Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!”
Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”
Hilang sabarnya Wiro berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol perahumu!”
Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu. “Braak!”
Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
“Celaka! Bagaimana bisa begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping. Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
“Gila! Tanganku!” teriak Wiro.
“Ha..ha…!” Orang bercaping tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut runcing seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan. Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha…ha…ha!”
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyanggoyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu melesat tambah cepat.
“Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!” teriak Wiro mengancam.
“Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”
“Mengapa tidak?!” jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti. Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup. Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang. Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut. Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua perahu meluncur bersisi-sisian. Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.
“Heh… penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!
Astaga!” Wiro terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!”
Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang sedikitpun!
“Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro merutuk setengah mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak mendekat. Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pertolonganmu!”
Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.
“Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat itu hitam legam mulai dari kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali dan terus saja pergi? Hik…hik!”
“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu?!”
Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar di kejauhan.
“Hendak dibawa kemana aku ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi bala bagiku!”
Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
“Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar manusia!
Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya dingin. “Tanganku…” kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar pasti bunting!”
“Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”
Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. “Tanganku luka! Warna merah itu pasti darahku…! Celaka!
Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar membayangkan apa yang akan segera terjadi. Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja.
“Selamat tinggal anak muda!”
“Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!”
Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu melompat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!
“Jahanam betul!” rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat di depan matanya. “Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya…”
“Braaaakk!-Braaakk!”
Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya. Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip. Binatangbinatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
“Kau inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas yang basah dan hampir robek itu ke atas batu.
Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia berkata seolah pada diri sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa yang tertulis di kertas itu…”
DELAPAN
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak Gunung Merapi. Namun selewatnya pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa tinggalkan binatang-binatang itu di satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan kaki.“Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan onak duri.
Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.
“Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
“Apa yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pesolek…”
“Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.
“Jangan dulu putus asa, “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu…”
“Menjebak bagaimana?” Tanya Elang Setan.
“Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab tersebut….”
“Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang kubur…”
Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang benderang.
Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur Gunung Merapi.
“Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga. Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar. Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
“Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!”
Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
“Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!”
Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam,” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.
“Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!” kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.
Namun baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.
“Pangeran Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu menjura dalam-dalam.
Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di bagian dada.
“Hemmm…cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!”
Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.
“Hemmm… Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan Setan, kau yang menjelaskan!”
Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.
“Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…”
Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.
“Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”
“Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Dimana dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.
“Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis itu, “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”
“Hemmm…” Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh Pendekar 212?”
“Yang sebelah kiri, Pangeran, “jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari. “Kepala atau tubuh?!”
“Tepat di bagian dadanya Pangeran.”
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding.
“Apa yang ada di benak manusia ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!”
“Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”
Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang.
“Tapi Pangeran,” yang menjawab adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu…”
“Elang Setan, tutup mulutmu!” bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan. “Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak ditanya!”
“Maafkan aku Pangeran, “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa jawabanmu?!” bentaknya.
“Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat riwayatnya!”
“Apa sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.
Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.
“Kapak Maut Naga Geni 212!”
Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.
Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari berseru.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilatkilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.
“Kalian berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara. Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas. Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.
“Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan kami?!”
Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya. Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.
“Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantupembantu, sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah satu pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?”
“Memang ada Pangeran,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu. Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan diri!”
“Hemmm… Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi yang hendak kalian katakan?!”
“Mengenai obat penawar itu, “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?”
“Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!”
Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung sampai sepuluh!”
Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak. Mendadak saja dua orang itu merasa syak.
“Pangeran…” Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.
“Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”
Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak sontak pucat putih sperti kertas.
“Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang meluap.
“Kau menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.
Pangeran Matahari semakin keras tawanya.
“Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!”
“Sesuai perjanjian….”
“Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng, bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan binatang buas….”
“Plakkkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus.
Pangeran Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.
Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini….” Katanya.
Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah panggung.
“Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu. Ha…ha…ha…!”
“Jahanam keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Krakkkkk!”
Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan berseru. “Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!”
Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu turun ke lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis. Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.
SEMBILAN
Gadis bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita sama. Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini.”
Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu. “Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia ingin membunuhku apa artinya…”
Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai. Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu. “Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”
Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan auratnya.
Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.
“Kau mau kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.
“Aku…. Aku harus pergi,” jawab si gadis.
“Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”
“Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”
“Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi… Kuharap kau mau…”
“Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”
“Hemmm… Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia berseru. “Lihat batu!”
Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.
“Wussss!”
“Braakkk…byaar!”
Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.
“Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”
Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.
“Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!”
Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”
“Apa itu tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.
Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”
“Hemmm, begitu…? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?”
“Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau lihat?”
“Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan mengenakan pakian biru….”
“Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!”
“Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.
“Kau kenal mereka…?”
Puti Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus dimusnahkan!”
“Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!”
Si gadis tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”
“Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan menyelamatkan diriku…”
“Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini.
Wiro menyeringai lebar.
Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang harus dilakukannya.
“Siapa gurumu…?”
Puti Andini tidak menjawab.
“Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”
“Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya gara-gara patah hati…”
Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)
“Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan….”
“Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!” jawab Puti Andini.
“Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan agar kau membunuhku?!” tukas Wiro Sableng.
“Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu…”
“Sialan… Enak saja kau bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.
“Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!”
“Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”
“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau tidak percaya coba berkaca di air sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang. Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!
“Puti Andini !” teriak Wiro. ‘Jangan kau berani bicara main-main!”
“Wiro Sableng!” balas berteriak si gadis.
“Eh, bagaimana kau tahu namaku?!” Wiro keheranan.
“Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti Andini pula.
“Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini. Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!”
“Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna hitam itu akan serta merta lenyap…”
“Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus…”
Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil. Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau udara mendung!”
“Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garukgaruk kepalanya berulang kali.
“Kau masih ada pertanyaan?!”
“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur.”
“Selatan,” jawab Puti Andini pendek.
“Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”
“Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.
“Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya nyawa rangkap!” jawab Wiro meradang.
“Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!”
“Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar.
“Mengenai diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”
“Apa maksudmu?!” Tanya Wiro.
“Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya lebih dulu!”
“Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212. “Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”
Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala. Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke udara. Wiro hendak mengejar. “Jangan kau berani mengikuti!”
Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu sudah naik setinggi kepala.
“Dasr sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak membuat gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning, hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan perut!
Wiro berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti Andini bergantung.
Wiro geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara dia berkata. “Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”
Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur… Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.
SEPULUH
Muara Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan sibuk memunggah ikan. Para tengkulak hilir mudik memborong ikan dengan harga semurah mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti itu Wiro berusaha mencari perahu sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka letih, rata-rata saat itu mereka sudah mengantongi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu pada seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal, berkulit dan bermuka hitam jelek pula!Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini. Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang, kau masih belum dapat perahu sewaan?”
Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini. Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.
“Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?”
“Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?”
“Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. “Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui…”
“Apa?!” Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.
“Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!”
“Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan ingin kau beritahu?”
Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut…”
“Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?”
“Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”
“Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”
“Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan…!” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu tinggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau dan tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia muncul.”
Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh. Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang. Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu sampai sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini, urusan nantilah!”
Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar. Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara gemuruh gelombang.
“Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”
Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada.
“Astaga! Hai! Awas! “ teriak Wiro.
Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja perahu itu pun lenyap.
“Pasti amblas ke dalam laut!” pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari mati. Bunuh diri!” Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.
“Eh….” Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah kuyup.
“Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!”
Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
“Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wiro berseru kaget.
Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut mengikuti yang dialun ombak.
Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
“Wusss!”
Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar suara braaakk!
Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
“Eh, di mana orang bercaping itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut. Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
“Hancur kepalamu!” seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.
“Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi….” Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng dengan cepat perhatikan orang itu.
“Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!” Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
“Bapak bercadar…Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul…”
Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.
“Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau melihatnya! Hik…hik…!” Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu berwarna merah dan basah di bagian mulut.
“Tak pelak lagi! Memang dia!” kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan bernanah!
“Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan. Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke laut…”
“Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!” Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
“Aku butuh pertolonganmu… Kau pasti bisa menolongku!”
“Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”
Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.
“Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian?!”
“Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”
Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah dan warna merah.
“Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya adalah kau sendiri!”
“Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan bicara.
“Oh begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!”
Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu. Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat. Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
“Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”
“Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru Angin!”
“Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik orang bercaping.
“Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!”
Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”
Hilang sabarnya Wiro berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol perahumu!”
Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu. “Braak!”
Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
“Celaka! Bagaimana bisa begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping. Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
“Gila! Tanganku!” teriak Wiro.
“Ha..ha…!” Orang bercaping tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut runcing seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan. Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha…ha…ha!”
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyanggoyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu melesat tambah cepat.
“Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!” teriak Wiro mengancam.
“Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”
“Mengapa tidak?!” jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti. Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup. Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang. Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut. Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua perahu meluncur bersisi-sisian. Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.
“Heh… penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!
Astaga!” Wiro terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!”
Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang sedikitpun!
“Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro merutuk setengah mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak mendekat. Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pertolonganmu!”
Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.
“Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat itu hitam legam mulai dari kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali dan terus saja pergi? Hik…hik!”
“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu?!”
Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar di kejauhan.
SEBELAS
Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah dipanggang. Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping perahu enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil. Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.“Hendak dibawa kemana aku ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi bala bagiku!”
Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
“Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar manusia!
Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya dingin. “Tanganku…” kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar pasti bunting!”
“Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”
Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. “Tanganku luka! Warna merah itu pasti darahku…! Celaka!
Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar membayangkan apa yang akan segera terjadi. Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja.
“Selamat tinggal anak muda!”
“Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!”
Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu melompat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!
“Jahanam betul!” rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat di depan matanya. “Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya…”
“Braaaakk!-Braaakk!”
Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya. Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip. Binatangbinatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
PERTAMA sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium bau harum semerbak.
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.
“Ruangan apa ini…?” pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh, kakiku bisa bergerak…” Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu. “Dimana aku ini?”
Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit kamar terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat. Wiro angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal lengan. Dia coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa yang telah dialaminya sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul tabir kelabu aneh…” Wiro pandangi lagi lengan kanannya. “Luka di tanganku di taburi sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku…”
“Srett…srett…srett…srettt!”
Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak berkesip.
“Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga… Buktinya saat ini aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus. Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya aku ini betulan di sorga?” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Dosaku bertumpuk. Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini…?” Wiro memandang berkeliling. Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam yang ketat, terbelah di bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul, lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.
“Cantik semua. Kalian ini siapa…Aku berada dimana?” tanya Wiro lalu perlahanlahan dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.
“Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?” Wiro memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah maju seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam. Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk. Karena dada pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih kencang seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang Sinto Gendeng merasa jantungnya seperti mau tanggal menyaksikan!
“Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami bawa ini.” Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata. Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga kotor dan bau.
“Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini…”
Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik…hik! Mereka sama-sama tertawa.
“Kenapa tertawa?” Tanya Wiro heran. “Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam. Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah dengan kulit kalian itu…!”
Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis berguncangguncang sewaktu mereka tertawa.
Salah seorang dari para gadis lalu berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan kotor serta bau itu…”
“Ratu …Ratu…apa…?” Wiro jadi heran.
“Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian,” gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.
“Ya… ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat ini…” kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada di atas nampan kerang.
“Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti pakaian di depan kami…”
“Hah ! Apa?!” Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau begitu biar aku tidak jadi ganti pakaian!”
“Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah. Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama…”
“Walah! Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan, makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa?!”
“Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala penderitaanmu…”
“Gila!” Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
”Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita membuka pakaian di hadapan kalian!”
“Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!” kata salah seorang dari dua belas dara cantik.
“Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!”
Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah.
Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang. “Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih…”
“Aku suka kalau kalian mengeroyokku…” ujar Wiro masih bergurau.
Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk. Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan Wiro. Tubuhnya laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss… wusss… wussss.
Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke aurat sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa nampan berisi pakaian hitam berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?”
“Kalian ini… Ah!” Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya. Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya. Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi dengan suara tawa para gadis!
“Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!” Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan sambil berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu. Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-gadis cantik itu.
Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai destar dia bertanya. “Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana…bagus?!”
“Hitam semua!” celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan itu.
Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi dikenakannya.
“Jangan khawatir,” jawab gadis yang berjalan di depannya. “Kelak jika kau meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?”
Wiro tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu. Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia sewaktuwaktu ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat).
“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan,” kata Wiro sambil melangkah mengikuti gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan pakaian. Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu teruskan maksudnya bertanya.
“Kita ini berada dimana…? Di daratan atau di dasar laut?”
“Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang,” seorang gadis kemudian menjawab.
“Ini yang aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut…Mengapa kini kau katakan berada di awang-awang? Mana mungkin aku bisa berjalan di udara…”
“Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti…”
“Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?”
“Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu menunggu.”
“Ratu…” mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara. “Di laut utara ada Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang paling cantik antara keduanya…” kata murid Sinto Gendeng konyol. (Harap baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
DUA BELAS
Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan itu berada di awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai dari pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke ruangan itu.
Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari manikmanik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya, baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis lain banyak senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak menunjukkan air muka ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah ketika memandang mata orang itu. Sepasang bola matanya berwarna biru dan memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.
“Ini rupanya Sang Ratu…” kata Wiro dalam hati.
Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi penghormatan. Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata, “Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan…”
Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan. “Ratu Duyung…? Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia. Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan…”
“Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!” Satu cara mengancam di belakang Wiro.
Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab. Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu. Namun mendadak saja dadanya berdebar.
Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu. Setelah membungkuk dia berkata.
“Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan. Perintah telah kami jalankan. Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut.”
Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.
Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan. Karena dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat Dewa!
Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja bulat. Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika jari-jari tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar suara desingan halus. Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja yang tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding lantai batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan diri keluar dari lobang itu!
Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah anggun mendekati lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang itu. Dalam keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh dan tak mampu keluar selamatkan diri.
“Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang…” kata Ratu Duyung.
“Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wiro.
“Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!”
Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah tombol di bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali mengancamnya.
“Ratu! Aku akan jelaskan…”
“Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu…”
“Kau benar dan aku tidak berdusta, “ jawab Wiro. “Tadi aku begitu terkejut dan lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang aku cari. Bukan untuk mengambilnya!”
Ratu Duyung tertawa. “Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol! Jika kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil! Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya menyadari budi orang malah hedak mencuri!”
“Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu seharusnya berada di tempat lain….!”
“Begitu?!” Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima belas jengkal.
“Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan….”
“Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua golongan yang kau katakan!” Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia memberi tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita yang datang malam tadi!”
Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia muncul kembali. Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil tiada hentinya tertawa-tawa.
Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir akan keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin mendekati kepalanya!
Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada sang Ratu.
“Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana?! Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan.”
Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk. Pada saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.
“Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa itu….?”
Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata. “Bukan, bukan dia orangnya…Ha…ha.. ha!”
“Jadi kau tidak mengenalinya?” Tanya Ratu Duyung.
“Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!” Lalu kembali orang ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!” maki Wiro dalam hati. “Apa matanya sudah lamur tidak mengenali diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka gosong. Tapi eh…!”
“Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!” bertanya Ratu Duyung.
“Perduli apa dengan nyawanya!” jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. “Kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu!” kata Ratu Duyung pula.
Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. “Dewa Ketawa!
Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak kenal diriku!”
Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. “Anak setan muka hitam itu tahu darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang sipit. “Siapa kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.
“Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali diriku?!”
“Puah!” si gendut tertawa gelak-gelak. “Wiro Sableng Pendekar 212?!”
“Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” sambung Wiro. Dia mendongak ke atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya.
Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga matanya yang sipit kucurkan air mata. “Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku sudah buta?!”
“Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!” teriak Wiro.
“Manusia bermuka hitam!” membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani menghina tetamuku!”
“Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku. Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang milik Keraton yang dicuri orang?!”
Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. “Ya aku ingat! Waktu itu kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah jadi mayat hidup…!”
“Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan….?!”
“Eh!” si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.
“Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng, Pendekar 212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Tidak bisa…” kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.
“Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!” ujar Wiro hampir berteriak karena di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari batok kepalanya.
“Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui diriku!”
“Sesuatu terjadi dengan diriku!” jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang parah. Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan wajahnya menjadi hitam legam.
Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.
“Dewa Ketawa!” teriak Wiro.
Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. “Pendekar 212 yang aku kenal memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu!”
“Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!”
“Hemmm… Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?” ujar Dewa Ketawa seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. “Hemmm…Aku ingat ada rajahan angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa menolong….”
“Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!”
“Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan di dalam liang batu itu!” kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.
“Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!”
Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat jengkal!
“Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar 212…”
“Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus batok kepalaku!” teriak Wiro.
“Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang celaka itu apa sebutanku memanggilmu? Nah ayo lekas kau jawab!”
“Sobatku Muda!” teriak Wiro. “Begitu kau memanggil diriku!”
“Eh, memang benar!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata. “Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Gila! Apa lagi maumu?!” teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya tinggal tiga jengkal.
“Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu?!” tanya Dewa Ketawa.
“Apa sulitnya mengingat!” jawab Wiro. “Kau kupanggil Sobatku Gendut! Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!”
“Ha…ha…ha…!” tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.
“Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)
“Kalau begitu!” ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya, “Lekas minta pada tuan rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!”
“Ratu Duyung…” ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah ketakutan setangah mati, “Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan benda kematian itu!”
Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih dulu. “Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar Pendekar 212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?”
“Ya…ya…ya! Memang dia!” jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak.
Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di bawah meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro. Murid Sinto Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
“Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata Dewa Ketawa.
“Aku belum seluruhnya selamat!”teriak Wiro.
“Eh, apa maksudmu?!” Tanya Dewa Ketawa.
“Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!”
Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu Duyung, kurasa kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi pergedel!”
Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya menekan salah satu bagian lengan kursi batu. Empat dinding batu yang menggencet tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan Wiro segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada di atas meja.
“Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!” terdengar Ratu Duyung berucap.
Sesaat Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti itu si Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja bulat.
“Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek Segala Tahu…” Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
“Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!” kata Wiro. Tawa bergelak. “Pendekar 212,” ujar Sang Ratu. “Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar. Kedua, perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah pangkal segala keselamatan!”
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
“Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini pasti aku sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada beberapa hal yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli? Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai tamu seperti si Gendut itu…”
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
“Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan di tempat ini,” berucap Ratu Duyung.
“Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadisgadis cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!” Yang bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata.”Pertemuan hari ini cukup sampai di sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok. Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!”
Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung. Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia ditunggui oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat….Ha…ha…ha…!”
“Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di awang – awang?”
“Memangnya kau tak percaya?” balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar biasa itu.
“Akalku tak bisa menerima…”
“Ha…ha…ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan pikiran bagi kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam nanti….Ha…ha…ha!”
“Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa…Betul?”
Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.
“Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?” Tanya Pendekar 212.
“Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok….”
Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di satu tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
“Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.
Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”
Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma denganmu mereka lebih untung!”
Apa maksudmu?”Tanya Wiro.
“Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih kencang….! Ha…ha…ha!”
Pendekar 212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.
INDEX WIRO SABLENG | |
83.Wasiat Iblis --oo0oo-- 85.Wasiat Sang Ratu |