Life is journey not a destinantion ...

Kembali Ke Tanah Jawa

INDEX WIRO SABLENG
119.Istana Kebahagiaan --oo0oo-- 121.Tiga Makam Setan

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


212
BAB I

Malam gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan bintang. Udara dingin menusuk tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin laksana menyayat kulit. Suasana sunyi di kawasan bukit-bukit karang sesekali dipecah oleh suara deburan ombak yang datang dari arah Teluk Penanjung – Pangandaran, menghantam kaki bukit karang. Di arah timur, dua bukit karang menjulang tinggi menghitam. Di antara dua batu karang ini terbentang satu jurang dalam gelap gulita. Sesekali terdengar suara aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang terpesat berputar masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak mampu bergerak naik kembali.
Di salah satu sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua puluh kaki terdapat bagian dinding jurang mencekung ke dalam membentuk goa seluas hampir 20 kaki persegi. Dari atas jurang goa besar ini tidak kelihatan karena tertutup tubir batu dan semak belukar rimbun. Di pertengahan goa, tenggelam dalam kegelapan ada sebentuk batu berlumut setinggi menusia yang duduk bersila.
Beberapa benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang pertama adalah sepasang ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau tempat itu gelap gulita tapi dua sosok binatang ini memancarkan kilap yang menggidikkan. Benda hidup lainnya yang menjalar di atas batu adalah empat ekor kalajengking berkaki biru. Lalu masih ada tiga ekor lipan berwarna merah yang disebut lipan bara.
Dari bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua adalah binatang-binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia, seekor kerbaupun jika sampai dipatuk atau disengat akan menemui ajal dalam waktu singkat!
Tak berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah pedataran, satu sosok kelihatan mendekam duduk. Dari mulutnya yang berkomat-kamit tiada henti keluar suara halus berkepanjangan seperti orang tengah membaca. Dua lututnya dilipat di atas dada, dua tangan memegang sebuah benda yang ternyata adalah lembaran-lembaran daun kering dibentuk demikian rupa hingga menyerupai sebuah kitab. Salah satu jari kelingkingnya yakni yang sebelah kiri buntung. Sikapnya saat itu benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia memegang kitab sambil sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri lalu balik lagi ke kanan.
Pada bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi “Kitab Wasiat Malaikat”. Dan yang anehnya, halaman halaman dalam kitab dua judul itu sama sekali tidak ada tulisannya, kosong melompong. Lalu apa yang dibaca orang ini demikian asyiknya sampai-sampai mata dan kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai orang sedang membaca?!
Sesekali sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular, lipan dan kalajengking.
Mulutnya sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai lalu teruskan bacaannya. Begitu terus menerus.
Orang ini sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan dan rambut yang tidak terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya yang mancung agak miring ke kiri pertanda tulang hidungnya pernah patah. Lalu pipi dan rahang sebelah kiri melesak ke dalam hingga wajahnya kelihatan pencong. Mungkin tulang pipi serta rahang itu juga pernah cidera.
Kemudian mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam rongga, memberi kesan bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman yang hebat. Masih ada satu cacat lagi di bagian kepala orang ini. Yaitu satu luka besar yang telah mongering dan meninggalkan bekas di keningnya sebelah kiri.
Di atas batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh pasangannya dan binatang-binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu dua ular membuat gerakan melilit lalu mematuk bagian atas batu.
Tiga ekor lipan dan empat kalajengking mencengkeramkan kaki masing-masing lalu menyengat.
Saat itu juga terjadi satu keanehan. Bagian atas batu di tengah pedataran mendadak mengembang seolah binatang atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak mekar membentengi diri dari bahaya.
Ketika sekali lagi dua ular besar mematuk, dan lipan serta kalajengking menyengat, dari dalam batu berlumut keluar suara mengaum. Lalu batu itu bergerak. Dari sisi kiri dan kanan mencuat duia benda menyerupai tangan. Astaga! Benda di tengah pedataran yang disangka batu hitam berlumut ternyata adalah makhluk hidup yang sulit diduga apa adanya sebenarnya.
Sekali ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. “Binatang keparat! Kalian mematuk dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua renta ini?! Kalian merusak ketenteramanku! Lagi-lagi kalian mengacaukan samadiku! Selama ini aku biarkan kalian hidup bersama di jurang ini! Tapi dasar makhluk tidak berbudi! Saat ini putus sudah kesabaranku! Hari ini aku akan menghabisi kalian!” yang membentak ternyata adalah makhluk yang disangka batu tadi.
Begitu bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam keadaan tegak berdiri ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata tinggi besar. Kepalanya tertutup rambut lebat berwarna coklat kemerahan mengembang berjingkrak. Lapisan lumut yang menutupi mukanya laksana leleh dan kini tampak kepala dengan raut muka yang mengerikan. Muka makhluk ini ternyata menyerupai seekor singa berwarna merah!
Dua ekor ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih menyengat. Tiba-tiba sosok berkepala singa ini memancarkan cahaya merah. Semua binatang yang ada di tubuhnya menggeliat dan kepulkan asap menebar bau daging terbakar!
Makhluk kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran batu!
“Wuttt… wuutttt… wuuuuttt!”
Semua binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah mati terpanggang hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang berpakaian hitam yang duduk membaca di belakang sana.
Orang ini langsung berhenti membaca kitab kosong. Matanya memperhatikan dua ekor ular, tiga lipan dan empat kalajengking yang bergeletakan di depannya. Dia melirik sebentar pada sosok tinggi besar berkepala singa yang tegak di sebelah sana, lalu menyeringai.
Tenggorokannya naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur......
“Singo Abang!” orang berpakaian hitam berucap. “Enam ratus hari lebih aku berada di tempat ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati menyuguhkan makanan lezat untukku!”
Orang ini masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.
Di sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu lontarkan ucapan keras. “Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan saja pembagianmu!”
“Ha… ha… ha! Akan aku santap dan habiskan semua!” Si baju hitam mengambil tubuh ular yang matang terbakar dan masih mengepulkan asap. Seperti orang kelaparan baru bertemu makanan, ular besar dilahapnya. Dalam waktu sebentar saja ular panggang itu amblas itu masuk ke dalam perutnya.
“Ha… ha! Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!” Si baju hitam tepuk-tepuk perutnya. “Ah, masih kosong! Aku masih lapar!” Lalu orang ini sambar sosok ular ke dua. Seperti tadi dalam waktu sebentar saja ular besar itu habis dimakannya. Tertawa-tawa dia melirik pada tiga lipan dan empat kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya dia bertanya pada diri sendiri. “Apakah aku masih lapar?”
“Pangeran Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak bicara! Selesai makan kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya boleh berada sejauh sepuluh langkah dari dinding batu itu ! Jangan berani melanggar!”
Mendengar kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan nama Singo Abang itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia mencibir lalu meludah. “Aku tidak lupa pada larangan kentut busuk itu! Lebih dari enam ratus hari aku tidak boleh berjalan melewati sepuluh langkah! Aku mulai bosan! Aku ingin jalan jauh. Aku ingin lari! Aku ingin menghirup udara di luar jurang ini! Di atas sana pasti indah pemandangannya. Bukit-bukit batu… jurang… laut di teluk. Aku tahu. Dulu aku pernah melihat…”
Singo Abang mengaum.
“Kalau kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja menerima gebukan dariku!
Mukamu akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat melesak kedua-duanya. Dan otakmu tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi Pangeran Miring seumur-umur!”
“Miring! Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri tidak waras!”
“Wuttt!”
Sekali lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan orang yang selalu dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya bergerak menjambak rambut orang lalu ditarik ke atas hingga muka mereka saling bertatapan dan terpisah hanya setengah jengkal.
“Aku bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur batu waktu jatuh di jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti lebih celaka dan lebih sengsara dari sekarang ini! Kau bukan cuma miring tapi benar-benar gila! Sinting!”
“Singo Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu! Aku merasa lebih baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu! Apa aku pernah meminta?!”
“Jangan bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku ini bukan cuma penolongmu, tapi juga gurumu?!”
Pangeran Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. “Kau yang bilang begitu! Tapi aku tidak pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya satu. Dia Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Orangnya sudah mati! Selama ini apa yang kau ajarkan padaku! Malah aku merasa kau diam-diam menyelidiki diriku, mempelajari semua ilmu yang aku miliki! Bukan begitu! Ha… ha… ha…!”
“Murid geblek!” Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak bergerak. Tubuh Pangeran Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking kerasnya sampai batu itu ada yang retak dan gompal. Tapi sebaliknya Pangeran Miring tidak merasa sakit malah menyeringai.
Hanya dua matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.
“Kau tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa? Aku tahu! Aku tahu! Kau menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu lewat diriku!
Jika aku mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu? Ha… ha… ha…!”
“Dasar manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!”
“Singo Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!” Pangeran Miring keluarkan kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.
Singo Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan. “Kasihan kau Pangeran Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari daun-daun kering! Kau tulisi di sebelah depan Kitab Wasiat Iblis! Di sebelah belakang kau tulis Wasiat Malaikat! Di dalamnya kosong melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi ilmu kesaktian dan ilmu silat! Otak miringmu mengada-ada! Itu yang aku ketahui! Pangeran Miring! Berhentilah bermimpi! Ha… ha… ha…!”
“Singo Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!
Walau aku banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada kepalaku waktu jatuh di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih ingat siapa namaku. Aku adalah Pangeran Matahari.
Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!”
Singo Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana menggetarkan jurang batu karang.
“Masa lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada lagi! Yang ada kini hanyalah sisa sisa berupa rongsokan yang aku panggil dengan nama Pangeran Miring!”
“Mungkin aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!”
teriak Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan keras dan cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.
Makhluk berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi besar dan taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang tebal coklat kemerahan yang menutupi kepala, leher dan tengkuknya mengembang berjingkrak pertanda diapun marah besar. Dia tidak melakukan gerakan mengelak malah langsung angkat tangan kanannya, menggebrak dengan satu tangkisan yang juga merupakan serangan dahsyat.
“Bukkk!”
Dua lengan beradu keras.

BAB 2
212

Pangeran Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu lalu melosoh jatuh terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring dan wajah pucat. Tubuhnya bergeletar. Lengan kanannya merah membengkak. Sesaat kemudian dia berdiri kembali. Walau agak terbungkuk-bungkuk karena masih menahan sakit tapi dia masih sanggup menyeringai dan berucap.
“Kau tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!”
Makhluk berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil pegangi lengannya yang sakit bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir tulang lengan itu telah patah. Akibat pukulan tadi dadanya mendenyut sakit dan jalan darah jadi tidak karuan. Muka singanya yang coklat kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin. “Selama dua tahun aku coba mengikis kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang dalam dirinya. Malah tenaga dalamnya seperti bertambah hebat. Kalau aku tadi tidak mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku sudah dibuatnya celaka! Dia bisa meraba hatiku!
Jahanam betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu sudah sejak dulu dia kubunuh! Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu sampai pikirannya kembali jernih dan dia bisa mengatakan dimana benda itu berada…"
"Singo Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa lipan dan kalajengking itu! Silahkan kau habiskan sendiri!” Pangeran Miring Ialu melangkah surut hingga punggungnya membentur dinding batu. Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri di tepi pedataran batu.
Kitab daun dikembangkan. Mulunya komat-kamit, mata bergerak ke kiri dan ke kanan bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut mengeluarkan suara seperti orang membaca padahal sebenarnya dia entah meracau apa.
Tiba-tiba di udara melesat satu benda memancarkan cahaya keputih-putihan. Singo Abang mendongak, keluarkan auman halus. Bola matanya yang berwarna kelabu tampak membesar.
Pada saat benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang batu, sosok makhluk kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas. Dalam gelap dia membuat beberapa kali lompatan. Luar biasa!
Pinggiran jurang itu merupakan dinding yang hampir tegak lurus dan hanya ada beberapa gundukan kecil menonjol keluar. Namun dengan cepat dia mampu bergerak ke atas.
Di satu gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke bawah. Muka singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak melihat lagi sosok Pangeran Miring.
"Jahanam itu, kemana lenyapnya?” Singo Abang bertanya dalam hati. "Mungkin kabur melarikan diri? Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui. Tak mungkin dia bergerak mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo Abang berpikir-pikir. Akhirnya dia kembali melompat, meneruskan rnenuju bagian atas jurang.
Di bagian selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara malam yang mulai merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak menelungkup di tanah. Kulit muka, tangan dan kakinya kelihatan memar kemerahan. Di sekitar hidung, liang telinga dan sudut bibir ada bekas darah mengering. Pakaian putih yang melekat di tubuhnya cabik-cabik dan ada yang hangus di beberapa tempat, Orang ini berambut panjang sebahu. Rambut ini menjulai menutupi sebagian wajahnya.
Ketika makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di tempat itu, dia terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah lebih dulu berada di tempat itu dan tengah memeriksa sosok tubuh yang tergeletak di tanah.
"O ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya? Walah! Ternyata manusia juga adanya! Tapi heh?!" Pangeran Miring pergunakan ujung kaki untuk menggulingkan tubuh yang tengkurap itu. Tidak bisa.
"Gila! Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang pangeran lalu membungkuk. Dia sibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah orang. "Eh! Aku… aku seperti mengenali manusia ini!" Kepala Pangeran Miring termiring-miring, bibirnya digigitnya berulang kali dan matanya sebentar membesar mengerenyit mengecil. Lalu dengan tangan kanan ditepuk-tepuknya punggung orang.
"Hai! Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus?!"
Tak ada jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.
Pangeran Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata tak berkesip.
"Mungkin dia… rasa-rasariya memang dial Kalau benar… ha… ha…ha! Akan kubunuh! Akan kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa? Mengapa aku harus membunuhnya? Ah Otakku tak bisa bekerja … ! Harus kubalikkan tubuhnya. Kalau sudah tertelentang aku akan bisa melihat seluruh wajahnya!"
Pangeran Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh yang tertelungkup. Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut tidak mengeluarkan suara namun orang yang kini tertelentang di tanah perlahan-lahan membuka sedikit sepasang matanya.
Samar-samar dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.
Pangeran Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak di tanah.
“Memang dia…. Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring! Tapi yang satu ini tak bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi…. aku perlu satu kepastian lagi! Rajah itu… Rajah tiga angka!"
Pangeran Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di bawahnya. Tangan kirinya bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian putih orang itu.
Saat itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring hingga dia terguling ke samping!
"Makhluk jahat! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Pangeran Miring marah sekali karena maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.
"Kau sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh bergerak lebih sepuluh langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di sini! Sudah berapa ratus langkah yang kau
langgar?!"
"Persetan dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"
"Tidak! Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus kembali ke jurang.
Sekarang!”
“Tidak!"
"Kau minta kugebuk!"
"Akan kupecahkan kepalamu!” jawab Pangeran Miring.
Singo Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di mata Pangeran Miring scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih besar. Dua tangannya yang sebelumnya berbentuk tangan manusia tiba-tiba berubah menjadi tangan singa yang mencuatkan kuku-kuku hitam panjang! Belum pernah Pangeran Miring melihat Singo Abang seperti ini.
Selagi dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah berkelebat. Satu jotosan keras melabrak dada Pangeran Miring membuat orang ini terpental dan menjerit keras. Belum sempat kaki atau bagian tubuhnya menyentuh tanah satu jotosan lagi melanda ulu hatinya. Tak ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana dilemparkan ke udara lalu jatuh di tanah. Walau dia mampu jatuh dengan berlutut dan satu tangan menopang diri agar tidak rubuh namun dada dan perutnya seperti pecah. Dari mulutnya mengucur darah.
"Aku sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta! Kau memberi jalan aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Mataharil Ha… ha … ! Ternyata kau tidak sanggup mengelak ataupun menangkis! Jangan bilang aku tidak bisa membunuhmu! Saat ini mudah sekali bagiku membeset tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki!"
Pangeran Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat sosoknya apa lagi gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat di kepalanya. Tak ampun Pangeran Miring tersungkur terguling-guling dan sosoknya tergeletak pingsan hanya satu langkah dari pinggiran jurang.
Singo Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan mengecil ke bentuk semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu berpaling dan melangkah mendekati tubuh yang tengkurap di sebelah sana. Ketika dia memeriksa orang ini, termasuk memeriksa bagian dada yang terlindung di balik pakaian putih, makhluk kepala singa ini sampai berjingkat dan mundur dua langkah. Mulut singanya mengerenyit dan dua bola matanya yang kelabu membesar.
"Pendekar 212!” Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian lama dia tidak pernah muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini mengapa bisa berada di tempat ini? Rajah tiga angka itul Tak pelak lagi! Memang dia. Tapi ……Singo Abang memeriksa pinggang pakaian orang yang tergeletak di tanah. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang membuat tangannya serasa dingin dan cepat-cepat ditarik. Ketika pakaian di bagian pinggang disingkapkannya, kelihatanlah menyembul kepala senjata berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut Naga Geni 212! Manusia ini memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa yang membuatnya sampai terlempar ke sini?
Siapa yang melempar? Manusia atau setan?! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus…. Tapi jangan-jangan dia sudah mati!"
Singo Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan…. Dia masih hidup!"
Lama Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada permusuhan dengan manusia ini Apakah aku harus membunuhnya?!" Singo Abang memandang sebentar ke arah Pangeran Miring yang tergeletak di dekat jurang sana. “Mereka yang saling bermusuhan.
Tidak…. Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan hidup, siapa tahu bisa membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku cari. Sekarang, apa yang harus aku lakukan…. Kapak mustika itu. Senjata itu harus aku ambil! Rasanya, itu lebih berguna dari pada membunuhmya!"
Makhluk setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia
mendengar suara aneh mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di balik rambut-rambut coklat merah bergerak.
"Suara aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang berlari. Tadi kedengaran masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!” Rambut di kepala dan tengkuk Singo Abang mengembang mekar pertanda dia mencium datangnya bahaya!
Singo Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang berlari mendatangi ke arahnya.
“Momok Dempet Berkaki Kuda!” desis makhluk berkepala singa ini. “Agaknya aku tidak berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku paksakan pasti makhluk dempet jahanam ini akan menyerangku!
Mencari urusan di saat Pangeran Miring masih tergeletak pingsan di sebelah sana sangat tidak menguntungkan1 Lagi pula selama ini aku tidak dapat menjajagi sampai dimana kehebatan sepasang momok ini!”
Sebelum menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo Abang tepukkan tangan kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah tenaga dalam yang dimilikinya. Sosok yang ditepuk tersentak ke atas lalu menggeliat. Singo Abang sendiri cepat-cepat berdiri. Tepat pada saat dua sosok aneh mendatangi dan berhenti lima langkah di hadapannya.

BAB 3
212

Yang tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki bertubuh kurus kering, memiliki tinggi hampir satu setengah kali tingginya sendiri. Mereka tegak seperti sengaja bersisian tapi jika diperhatikan ternyata tangan mereka-yang satu sebelah kanan dan satunya lagi sebelah kiri-saling berdempetan satu sama lain! Berarti kemanapun mereka pergi dan dimanapun mereka berada akan selalu bersisian seperti itu. Jika yang satu menggerakkan tangan kiri, berarti yang satunya lagi harus ikut menggerakkan tangan kanan!
Masih ada keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke empat kaki mereka. Kaki-kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi berupa kaki kuda lengkap dengan ladam besinya!
Jika mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan mengeluarkan suara seperti kuda berlari tapi akan terdengar aneh karena mereka berlari bersisian, bukan seperti kuda sungguhan yaitu dua kaki di depan dan dua kaki di belakang.
Sejak dua tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di rimba persilatan tanah Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri sebagai Momok Dempet Berkaki Kuda. Orang yang di sebelah kanan bernama Tunggul Gono sedang yang di sebelah kiri bernama Tunggul Gini. Mereka diketahui jelas bukan dari golongan putih. Tetapi di kalangan para tokoh golongan hitam mereka kurang mendapat tempat. Karena sering ikut campur urusan orang bahkan tidak segan-segan menjatuhkan tangan jahat. Kabar terakhir dua tokoh silat di Jawa Timur telah menjadi korban mereka. Yang pertama adalah tokoh golongan hitam sedang satunya masih kerabat keraton Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan yang selalu dikejar oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.
“Malam tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat bernama Jolo Pengging keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada kepentingan luar biasa!” Si tinggi kurus Si
sebelah kanan yang berambut awut-awutan dan bermata besar membuka mulut.
“Saudaraku Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin bertanya. Gerangan apa yang tengah ia lakukan di tempat ini!” Menyahuti si tinggi di sebelah kiri yang juga berambut awut-awutan tapi bermata sipit. “Di sebelah sana aku lihat ada sosok berpakaian hitam menggeletak tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada satu sosok lagi. Berpakaian putih, juga menggeletak tak bergerak! Siapa mereka?
Kami bertanya apakah kami akan mendapat jawaban?!”
Singo Abang menyeringai lalu mengaum.
“Kawasan Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan kekuasaanku!
Kemana aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau adalah suka-suka diriku! Mengenai pertanyaan kalian tadi tak ada sulitnya menjawab. Di sana tergeletak seorang muda berpakaian putih. Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan memeriksa dan menyelidiki sendiri. Sosok yang tergeletak di dekat jurang sana adalah muridku!”
Momok Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak. Tunggul Gono di sebelah kanan berkata. “Kerabat kita Singo Abang rupanya berhati jujur. Mau menjawab pertanyaan kita apa adanya Tapi nada bicaranya agak sombong. Lagi pula aku rasa ada sesuatu yang disembunyikannya pada kita…”
“Kurasa demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan, baru hari ini aku tahu kalau Singo Abang punya murid! Ha… ha…ha!”
Singo Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah sosok Pangeran Miring tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok yang satu lagi. “Kalau aku tinggalkan Pendekar 212 bersama orang-orang ini, kapak sakti itu pasti akan mereka rampas. Dari pada mereka yang mendapatakan lebih baik aku ambil saja!”
Singo Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok berpakaian putih.
Tangannya diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum sempat menyentuh senjata itu tibatiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan tangan mereka yang dempet. Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan yang bertempelan. Membuat Singo Abang mengaum keras dan terpaksa melompat mundur.
“Wusssss! Braaaakkkk!”
Dinding batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar menguak mengerikan.
“Kapak itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya!” kata Singo Abang lalu dengan cepat dia berkelebat ke arah sosok Pangeran Miring. Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya dia berpaling pada dua makhluk dempet.
“Momok Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!” Lalu Singo Abang hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan menghampar hawa panas berkiblat.
Tunggul Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani membalas serangannya.
Keduanya melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat di bawah kaki mereka terus menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran hingga hancur berkeping-keping dan mengepulkan asap panas!
“Singo Abang! Kau minta mati!” Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono dipukulkan ke arah Singo Abang.
Untuk kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk kepala singa. Kali ini lebih dahsyat karena dua makhluk dempet ini mengerahkan hampir seluruh hawa sakti yang mereka miliki. Tapi saat itu Singo Abang sudah melompat terjun ke dalam jurang. Serangan maut Momok Dempet hanya menghantam dinding batu karang di salah satu sudut jurang. Untuk kesekian kalinya jurang itu digelegari oleh suara hancurnya bebatuan.
“Jahanam Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau sampai ke dasar jurang!” Tunggul Gini berkata.
“Jangan perturutkan amarah!” menjawab Tunggul Gono. “Hari masih gelap. Kita tidak tahu seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena dijebak musuh! Bangsat kepala singa itu tidak seumur-umur mendekam di dalam jurang. Kita minta bantuan beberapa kawan mengawasi keadaan sekitar jurang ini.
Satu saat pasti dia akan keluar. Kita cari kesempatan lain untuk menghajarnya!”
“Menurutmu apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?”
“Tak dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang berpakaian hitam tadi adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab itu ada padanya.” Jawab Tunggul Gono.
“Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya.”
Tunggul Gini menatap ke arah jurang kelam. “Pangeran Matahari diketahui menemui ajal di jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil Singo Abang menemukan Kitab Wasiat Iblis pada mayat Pangeran Matahari. Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih kabur bagi kita dimana beradanya…” (Momok Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah dimiliki oleh Pangeran Matahari. Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yakni Episode terakhir dari 8 Episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran”, kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao harimau sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara Pendekar 212 dengan Pangeran Matahari).
“Sekarang apa yang kita lakukan?” Bertanya Tunggul Gini.
Tunggul Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang sana. “Kita periksa siapa adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang seperti hendak mengambil sesuatu dari orang itu…”
“Bukan itu saja,” sahut Tunggul Gini. “Aku sempat melihat dia memukul dada orang, mengalirkan hawa sakti.’
“Dia coba menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang yang amat penting. Mari kita selidiki siapa dia!” kata Tunggul Gono pula. Kedua orang itu segera melangkah mendekati sosok berpakaian putih yang kini tergeletak menelentang. Sementara kegelapan malam mulai bias oleh kedatangan pagi.
“Seorang pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet. Pakaian putih hangus…” kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok yang tergeletak di tanah. Tunggul Gono angkat tangannya, memberi isyarat agar Tunggul Gini hentikan ucapan.
Lalu dia membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat Tunggul Gini ikut membungkuk. “Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga angka!”
Tunggul Gini delikkan mata lalu ternganga. “Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro Sableng!” katanya kemudian setengah berseru.
“Sejak dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!
Mengapa sekarang bisa muncul di sini?! Jangan-jangan ini hantunya!” kata Tunggul Gono pula.
Tunggul Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian putih orang yang tergeletak di tanah di bagian pinggang. “Lihat! Kapak Naga Geni 212!”
“Tidak diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar sekali di malam buta ini!
Mungkin kitab sakti itu juga ada padanya!” seru Tunggul Gono. Tunggul Gini menyeringai lebar. Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak mencabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang orang. Tapi tidak terduga tiba-tiba kaki kanan orang yang tergeletak di tanah melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tunggul Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya. Tubuhnya bersama-sama Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di tanah.
“Jahanam berani mati!” teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini bangun. Begitu keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian putih hangus telah tegak di depan mereka, memandang tajam tapi sambil salah satu tangannya memijit-mijit kening sendiri.

BAB 4
212

“Aku tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!” kata Momok Dempet Tunggul Gono. “Tegaknya menghuyung seperti mau roboh! Terus-terusan memijit kening seperti orang sinting sakit kepala! Sikapanya macam orang bego! Lagi pula apa kau lupa kabar yang mengatakan bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang entah kemana sejak dua tahun lalu?”
“Aku barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda berkepandaian tinggi tak mungkin bisa menendang diriku!” jawab Tunggul Gini bersungut sambil urut-urut dadanya yang masih terasa sakit.
Di depan sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong yang memang Pendekar 212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri dan terus memijit kening.
Sambil matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam hati.
“Heran, apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu. Pemandangan berkunang. Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku saat ini! Gelap semua. Apa saat ini malam hari? Mana bocah brengsek Naga Kuning? Aku tidak mencium bau pesing. Berarti kakek Si Setan Ngompol itu juga tidak ada di sini. Lalu dua mahkluk bertangan dempet itu, siapa mereka? Manusia atau setan jangkungan?!”
Dalam keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua pertanyaannya sendiri. Dia melihat satu gundukan batu di samping kiri. Pemuda ini melangkah mendekati batu lalu duduk di atasnya. Tangan kiri masih memijit kening. Tangan kanan menggaruk kepala.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Istana Kebahagiaan) sewaktu Batu Pembalik Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana Kebahagiaan, Wiro dan kawan-kawan bahkan semua orang yang ada dalam Ruang Seribu Kehormatan tersedot oleh satu lingkaran cahaya tujuh pelangi yang berputar laksana sebuah tong raksasa. Ketika lingkaran cahaya itu melesat menembus angkasa, semua orang yang ada dalam Istana Kebahagiaan termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret dan lenyap seolah ditelan langit.
“Latanahsilam… Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri Latanahsilam? Hantu Muka Dua… Luhrembulan, Luhcinta… Orang-orang itu, dimana semua mereka?” Pikiran dan hati Pendekar 212 kembali dipenuhi setumpuk pertanyaan.
“Tunggul Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita cuma berhadapan dengan seorang gila!”
“Kau tolol amat!” maki Tunggul Gini. “Orang gila mana bisa berkelahi. Dia menendangku dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat senjata berbentuk kapak yang
terselip di pinggangnya?!”
Tunggul Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. “Kampret! Apa kau orangnya bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?!”
“Kepalaku lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya…” Wiro berkaa dalam hati. “Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud? Jangan-jangan aku benaran sudah jadi kampret!” Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang kepalanya. Gosok-gosok telinga kiri kanan. Mengusap mulut. Lalu perhatikan dua kaki dan sepasang tangannya. “Sialan betul. Ternyata aku masih berbentuk manusia, dibilang kampret! Tapi…” Wiro meraba-raba ke balik pakaian. Dua tangannya menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan jari-jarinya ditempelkan ke hidung. “Ih… bau asem! Jangan-jangan aku betulan sudah jadi kampret!”
Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. “Benar-benar kurang ajar! Dia tidak memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di tempat ini! Dia juga tidak menjawab pertanyaan kita!
Aku ingin membunuhnya!”
“Jangan dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya! Kalau sudah dapat baru dihabisi!” kata Tunggul Gono. Lalu dia mendahului menerjang. Tunggul Gini seta merta ikut melompat.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika dalam gelap dia melihat empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan ladam besi berkilat, menghantam ke arah dirinya. Dua menderu ke arah kepala, dua lagi mencari sasaran di perut dan dada! Inilah jurus serangan Momok
Dempet yang disebut Empat Ladam Kematian.
Masih dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro menyadari datangnya bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang. Sambil menggulingkan punggung ke pedataran batu tangannya dibabatkan ke atas untuk menangkis serangan yang mengarah kepala.
Bersamaan dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke arah perut.
“Ganti jurus!” salah satu dari Momok Dempet berteriak.
Dua sosok jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di udara lalu di lain kejap menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu baru saja berguling di pedataran batu dan siap bangkit berdiri.
Momok Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah jalan, jika merasa serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal menghadapi tangkisan hebat, maka kejapan itu juga mereka mampu merubah jurus dan serangan yang dilancarkan. Pertama menggebrak mereka menghantam dengan jurus yang disebut Empat Ladam Kematian. Begitu Wiro bergerak menangkis dan balas menendang keduanya langsung batalkan serangan dan ganti dengan serangan baru dalam jurus bernama Empat Ladam Menghembus Roh.
“Wuss!”
Empat angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras menderu mengeluarkan angin dingin menggidikkan.
“Edan!” maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat sekali di bawah dagunya. Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga menyerempet dada pakaiannya hingga baju putih yang telah hangus itu robek besar!
Wiro jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia merasakan pedataran bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada suara benda keras menancap di batu. Lalu ada debu dan batu kerikil beterbangan. Ketika Wiro berpaling memperhatikan kaget murid Sinto Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki kuda Momok Dempe tenggelam amblas ke dalam dinding batu karang!
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat kaki itu tadi sempat menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat berdiri. Saat itu Momok Dempet telah mencabut empat kaki mereka yang menancap di batu karang. Keduanya melesat di udara, berputar seperti baling-baling. Begitu berada di atas Wiro tangan masing-masing menghantam ke bawah. Dari mulut mereka keluar teriakan menyebut jurus pukulan yang dilancarkan.
“Sepasang Palu Kematian!”
Belum lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro goyang!
“Gila!” maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil rundukkan tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus ilmu silat yang didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Tangan Dewa Menghantam Matahari!” teriak sepasang Momok Dempet hampir berbarengan lalu cepat cepat menyingkir. Dua pukulan laksana palu godam yang dihantamkan Momok Dempet lewat di kiri kanan Pendekar 212. Kalau mereka tidak cepat menyingkir dan menarik tangan masing-masing, niscaya salah satu dari mereka akan berantakan dimakan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
“Astaga! Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan yang lancarkan! Kenalpun baru hari ini. Di malam gelap pula!” Wiro tersentak kaget dan berkata dalam hati.
Momok Dempet saling berbisik. “Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang kita sirap. Pemuda itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda Dewa! Kita harus berhati-hati.
Waktu pukulannya lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!”
“Kalau tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti Ladam Setan. Lalu susul dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono dengan rahang menggembung.
“Hantam!” teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat. Setengah jalan, sesaat tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan tangan kiri dan kanan yang saling berdempetan. Dari celah dua telapak tangan menghambur sinar hitam. Saat itu kegelapan masih menyungkup namun gelapnya sinar pukulan sakti kedua orang ini lebih pekat hingga kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan berbahaya Ladam Setan yang sejak dua tahun belakangan ini telah banyak merenggut nyawa para tokoh silat golongan putih maupun golongan hitam.
Wiro terkejut bukan main. Apalagi tidak menyangka lawan bisa selamatkan diri dari pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil membentak Wiro melesat satu tombak ke udara untuk selamatkan diri dari sambaran maut sinar hitam. Di samping bukit sebelah kiri menggelegar suara menggemuruh.
Dinding karang terbongkar, mengepulkan asap, merah membara lalu menghitam berubah jadi arang keras meninggalkan satu lobang besar mengerikan.
“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!”
Wiro mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh keduanya lenyap. Di lain kejap kelihatan satu benda tinggi hitam, berputar dahsyat. Di sebelah atas merentang palang seperti baling baling siap membabat apa saja yang ada di depannya. Secara tak terduga putaran itu berubah menjadi kemplangan laksana palu godam. Lalu terdengar pula suara hentakan-hentakan yang menggetarkan bukit batu.
“Kraakk! Byaaarrr!”
Satu tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di sebelah bawah tanah dan batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat hal ini Wiro yang semula hendak menangkis dan balas menghantam jadi berpikir dua kali. Dia siapkan pukulan Bentang Topan Melanda Samudera di tangan kiri sementara tanagn kanan membuat gerakan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar yang kemudian akan segera disusul dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Namun baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras membuat Pendekar 212 terdorong dan tersurut terhuyung-huyung. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tak bisa bertahan dan terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya membentur dinding batu.
“Celaka!” keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah kali lebih tinggi menimbulkan kesulitan baginya. Dia terpaksa memukul ke arah dada. Lalu dengan cepat membungkuk sambil susupkan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. “Nama besar Pendekar 212 ternyata kosong belaka!”
“Braakkk!”
Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah kiri seperti hancur. Untuk sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan itu. Dalam keadaan seperti itu dari atas tangan dempet sepasang Momok datang mengemplang ke arah batok kepalanya. Inilah pukulan maut Palu Dan Ladam Membongkar Bumi! Wiro terlambat bergerak, tidak sempat menangkis!
“Mati aku!”
Murid Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang dengan tangan kanan.
“Bukkk! Desss!”
Wiro menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan. Ternyata jotosannya diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu dipelintir dan didorong hingga Wiro terjajar ke belakang.
“Tanggal tulangku!” keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa tak mungkin lagi baginya untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan Palu Membongkar Bumi. Sesaat lagi batok kepala murid Sinto Gendeng itu akan dibuat hancur berantakan tiba-tiba melesat satu bayangan biru. Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget dan marah. Tubuh mereka terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi walau masih terus mendera ke bawah namun menyerempet dinding batu hingga menimbulkan guratan panjang dan dalam serta menebar debu karang!
“Jahanam! Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!” Tunggul Gini berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan pukulan sakti Ladam Setan.
Walau hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja mengandung kematian!

BAB 5
212

Angin pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di sampingnya membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh terduduk. Ketika dia mencoba bangkit dan memandang ke depan dilihatnya seorang lelaki berpakaian ringkas warna biru tegak menghadapi Momok Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya tersisir rapi dan berkilat pertanda dia memakai sejenis minyak pengkilap rambut. Karena membelakangi Wiro tidak bisa melihat wajah si penolong ini. Sambil terus
memperhatikan Wiro berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.
Momok Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu hentakkan kaki ke tanah hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.
“Bangsat baju biru! Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga mau mauan menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran?!” Tunggul Gono membentak.
Sepasang alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat mengerenyit.
Tanda terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak menduga sama sekali kalau yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.
“Selama ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa tahu-tahu ada di sini. Apa yang terjadi dengan dirinya?” Orang ini tak bisa berpikir lebih panjang karena Tunggul Gono kembali menghardik.
“Kalau kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga! Katakan hubunganmu dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya nama!”
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!”
Sementara Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet malah tertawa gelak-gelak.
“Satu lagi kita menemui orang gila malam ini!” kata Tunggul Gono.
"Betul! Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati. Itu sebabnya dia tidak mau perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan! Ha… ha… ha!”
“Dia tidak mau merepotkan kita!” menyahuti Tunggul Gini. “Karena dia tidak mau memberi tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu susah-susah membuat papan nisan namanya segala! Ha… ha…ha…!”
Orang berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua tangan di depan dada lalu berkata. “Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Bertahun-tahun malang melintang hanya membuat keonaran, menumpah darah mencabut nyawa. Tubuh kalian sudah bau tanah! Apakah akan menebar kejahatan sampai ke liang kubur?!”
Diam-diam Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang. Dia semakin menyadari kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di Negeri Latanahsilam. "Di Latanahsilam seingatku tidak ada makhluk bernama Momok Dempet. Melihatnya pun baru sekali ini… Tapi kalau kulihat sepasang kaki mereka menyerupai kaki kuda… Keanehan seperti itu hanya ada di Negeri Latanahsilam!”
Wiro garuk kepalanya. “Dimana aku berada saat ini sebenarnya?”
“Ha… ha! Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi dia juga pandai membaca syair di luar kepala!” kata Tunggul Gini menanggapi ucapan si baju biru tadi. Lalu bersama Tunggul Gono dia tertawa terpingkal-pingkal.
“Malam begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?” Orang berpakaian biru berucap aneh.
Tangannya meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat tujuh warna terkembang di tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil dongakkan kepala ke langit kelam.
“Pendekar Kipas Pelangi!” seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan sama-sama tersurut satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat perubahan pada air muka sepasang momok. Mata keduanya memandang mendelik ke arah kipas di tangan si baju biru.
“Pendekar Kipas Pelangi,” Wiro mengulang dalam hati. “Belum pernah kudngar nama itu sebelumnya”.
“Bertangan kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah cakap berkumis! Itu ciri-ciri yang pernah aku dengar. Dia memang Pendekar Kipas Pelangi…“ Bisik Tunggul Gini dengan suara bergetar.
Tunggul Gono diam saja hanya dua matanya masih terus menatap ke depan tak berkesip.
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!” Orang berpakaian serba biru berambut rapi berminyak mengulang ucapan yang tadi dikeluarkannya.
“Pendekar Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama ini tidak ada pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul dan mencampuri urusan kami?!”
Bertanya Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.
“Tadi aku berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali lagi. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal nyawa manusia bukan di tangan manusia lainnya. Mengapa kalian begitu berani menentang kodrat dan kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam?!”
Sesaat Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata orang berkipas yang disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.
“Kami tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau mencampuri urusan kami!” bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul secara tiba-tiba dalam diri orang ini.
“Rupanya kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan. Nyawa manusia bukan milik manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang terancam adalah keawajiban seorang lain untuk menolong…”
“Kalau sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya menghadapi si baju biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.
“Dengar Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami menghormatimu, bukan berarti kami takut atau bisa dilecehkan begitu saja. Jangan berkata pongah di balik nama Tuhan serta dalih budi baik menolong sesama manusia! Takdir manusia hidup mempunyai berbagai macam urusan.
Tapi banyak di antara manusia menjadi sombong, hendak menunjukkan kehebatan dengan dalih menolong sesama. Salah satu di antaranya adalah kau!”
Orang berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan kepala mendengar ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang bernama Tunggul Gini batuk-batuk beberapa kali lalu berucap.
“Maafkan saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya terkadang tidak terbendung. Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami tidak bermaksud membunuh pemuda itu.
Tapi dia menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu benda pusaka sakti. Jika kau mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak akan kebagian rejeki besar pula seandainya kami berhasil menemukan benda keramat itu.”
“Mencari rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari rejeki. Tapi mencari dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini. Pergilah mencari rejeki di tempat lain!”
Ucapan Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.
“Kami mencari rejeki dimana kami suka!” menyahuti Tunggul Gono. “Kalau disini tidak ada rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di lahan yang sama, apa boleh buat! Tapi sebelum pergi kami ingin mendapat beberapa pelajaran darimu. Kami ingin mengukir satu kenangan sampai dimana sebenarnya kehebatan Pendekar Kipas Pelangi.”
“Sahabat! Serahkan dua makhluk galah itu padaku!“ Wiro yang sejak tadi diam jadi tak tahan hati dan mulai membuka mulut berseru. “Nyawaku yang diinginkannya! Jangan kau menyusahkan diri sendiri!”
Orang berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya memberi isyarat bahwa urusan itu akan dihadapinya sendiri. “Menantang adalah sikap pongah menyombong kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan jujur. Tapi dilecehkan dengan tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok Dempet Berkaki Kuda, aku tidak akan memberi petunjuk apa-apa pada kalian karenaaku memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang patut diajarkan. Justru aku yang akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua. Mudah-mudahan ada manfaatanya bagi diriku…”
Mendengar ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi melengak, saling pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya keluarkan suara aneh. Meringkik seperti kuda sambil kaki masing-masing dihentak-hentakkan ke tanah berbatu.
“Langit terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah liang kematian!”
Yang keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni Tunggul Gini. Lalu bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan tangan kiri dan kanan. Di saat yang sama tangan mereka yang dempet juga memukul ke depan. Empat larik sinar hitam Pukulan Ladam Setan menghantam mengurung Pendekar Kipas Pelangi. Dua menderu di kiri kanan, dua lagi melabrak di sebelah atas dan bawah. Orang berbaju biru itu terjepit empat serangan maut.
Seperti ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang kematian! Tapi sungguh mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi bahaya!
“Sahabata awas!” teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta merta menjadi terang benderang.
“Terima kasih kau mau membantu!” kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih dengan sikap tenang. “Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan saktimu!”
Habis berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas lipatnya. Srettt! Ketika kipas itu dengan cepat kembali dikembangkan maka terlihatlah satu pemandangan luar biasa!
Tujuh sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran tegak lurus, mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada di sebelah atas. Pendekar Kipas Pelangi putar lengan kirinya yang memegang kipas. Tujuh sinar pelangi ikut berputar rebah membentuk benteng bersusun lalu bersama Pukulan Sinar Matahari melabrak dahsyat empat cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!
“Blaarrr! Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!”

BAB 6
212

Bukit karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti kilat menyambar berdentam empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung suara deburan ombak seolah tenggelam lenyap. Gelombang seperti tertahan tak bergerak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat. Debu menutupi rambut dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar Kipas Pelangi mengalami goncangan hebat. Sepasang lututnya goyah. Bagaimanapun dia bertahan, perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Dada berdenyut keras, aliran darah tak menentu. Seperti Wiro, wajahnya kelihatan pucat seolah tak berdarah. Dia putar tangan kirinya yang memegang kipas.
“Sreetttt!”
Kipas lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah, pernafasan serta alirkan hawa sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia memandang ke arah tempat dari mana tadi sepasang Momok Dempet melancarkan serangan, makhluk aneh itu atak ada lagi di tempatnya.
Di tanah kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah segar! Bentrokan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya telah membuat sepasang Momok Dempet mengalami luka dalam hebat lalu melarikan diri.
Perlahan-lahan Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya kini untuk pertama kali berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata pendekar ini berwajah lumayan cakap. Sepasang kumis kecil rapi meelintang di bawah hidungnya.
Wiro membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. “Sahabat, aku mengucapkan terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa membalas hutang besar ini!”
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.
“Sahabat, kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang memancarkan cahaya menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi pukulan dua momok itu. Mungkin aku sendiri saat ini sudah terluka parah!”
“Kau pandai merendah,” kata Wiro
“Saling menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan, bukankah itu satu kebajikan yang selalu diajarkan oleh para guru?” berkata Pendekar Kipas Pelangi.
“Betul sekali, betul sekali…”
“Sahabat, selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti bercahaya menyilaukan serta menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan Sinar Matahari yang tersohor di delapan penjuru angin?”
Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.
“Apakah saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
Masih tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. “Turut ucapanmu tadi, manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan.
Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan….”
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu. “Tepat sekali! Kau mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah! Sungguh luar biasa! Sungguh aku beruntung bisa bersahabat denganmu!”
“Sepasang makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Mereka belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari sebuah pulau di laut selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi berbagai pihak. Malah para tokoh silat keraton dan pasukan kerajaan mencari mereka karena beberapa pembunuhan yang mereka lakukan terhadap orang-orang istana.”
Wiro ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari Momok Dempet itu hendak mengambil kapak sakti yang terselip di pinggangnya. Apakah kemunculan mereka di tempat ini memang sengaja hendak merampas kapak itu atau ada maksud lain? Maka diapun bertanya pada Pendekar Kipas Pelangi.
“Sahabat, apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat ini?”
“Namanya saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana saja. Turut apa yang aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari sesuatu. Tadipun sudah mereka ucapkan. Malah menawarkan mau membagi rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah mereka cari adalah sebuah kitab…”
“Sebuah kitab?” mengulang Wiro. “Kitab apa?”
Pendekar Kipas Pelangi mengangkat bahu. “Sebuah kitab sakti. Aku lupa namanya.
Konon kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan dicari banyak tokoh rimba hijau…” “Aku tidak membawa kitab. Tadi salah seorang dari mereka hendak mengambil senjataku…” Wiro berpikir sejenak. Lalu berkata. “Keadaan mereka aneh. Dua tangan saling dempet, empat kaki seperti kaki kuda, lengkap dengan ladam besi…”
“Menurut ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat demikian rupa. Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari. Keanhean ini telah menarik perhatian seorang tokoh jahat yang pernah hidup di selat Madura. Tokoh ini memang suka mengumpulkan orang-orang aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan sambil menciptakan ilmu silat dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak kedua orang itu dibawanya ke tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh. Agar bisa berjalan empat kaki mereka dibungkus dengan besi menyerupai ladam kuda. Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan bisa berjalan saja, tapi juga merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun bisa mereka bobol!”
Wiro memandang berkeliling lalu bertanya. “Tempat ini. Terus terang aku masih bingung saat ini berada di mana. Daerah ini apa namanya? Aku mendengar suara tiupan angin seperti bunyi seruling. Di kejauhan lapat-lapat ada suara seperti deburan ombak…”
Mendengar pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam hati dia membatin.
“Dia berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu bagaimana bisa datang ke sini?
Aneh… Apa yang terjadi dengan dirinya sebenarnya? Sebentar-sebentar dia menggaruk kepala. Apa dia tengah berpikir atau memang kebiasaannya begitu. Orang-orang mengatakan dia bertingkah laku aneh.
Tapi mengapa kulihat saat ini dia seperti ada yang tidak beres? Apa perlu aku memberitahu dimana dia berada?”
“Sahabat Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah teluk di kawasan Pangandaran.
Teluknya bernama Teluk Penanjung. Bertahun-tahuan kau malang melintang di tanah Jawa ini. Mustahil kau tidak tahu saat ini berada di mana. Aku tidak yakin kau tersesat atau kesasar berada di kawasan ini…”
“Teluk Penanjung… Pangandaran… jadi saat ini aku berada di tanah Jawa? Benarkah?!”
Wiro memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garuk-garuk kepala.
Yang dipandang bertambah heran.
“Kau ini aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah Jawa? Memangnya ada Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?”
“Tanah Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke tanah Jawa?
Berada di tanah Jawa?! Lalu dimana teman-temanku yang lain? Setan Ngompol, Naga Kuning…
Ah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?” Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali pulih. “Negeri Latanahsilam… Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan! Lalu ada ledakan. Aku sempat menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu… Aku terseret oleh satu gelombang tujuh warna, membumbung ke angkasa menembus langit….” Wiro menatap lekat-lekat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.
“Wiro, apa yang ada dalam benakmu? Apa yang kau pikirkan? Barusan kau bicara seorang diri…”
“Tunggu….” Wiro berkata. “Aku coba mengingat. Aku…. Mungkin sekali aku pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku…” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Tengkuknya seperti dijalari binatang merayap. Dia ingat. “Dulu di kawasan ini pernah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan golongan putih. Eyang Sinto Gendeng guruku…
Bujang Gila Tapak Sakti sahabatku… Dewa Ketawa… Dewa Tuak… Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur… Semua mereka itu…”
“Dua nama terakhir yang kau sebutkan itu.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula. “Mereka sekian banyak dari gadis-gadis cantik yang mencarimu…”
“Aku dicari gadis-gadis cantik?” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiba-tiba senyumnya lenyap.
“Pangeran Matahari!” desisnya. Tubuhnya mendadak bergeletar. Dia memandang berkeliling. Bola matanya membesar.
“Manusia itu sudah lama mati.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.
Wiro gelengkan kepala. “Aku melihat satu wajah…. Wajah Pangeran Matahari. Wajah orang yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak menelungkup…”
Kini Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu Wiro lalu berkata. “Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat kau banyak lupa tentang masa lalumu.
Kau tadi menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam. Kau juga menyebut nama-nama aneh.
Apakah… pasti sebelumnya kau telah mengalami satu kejadian…”
“Mungkin tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi…” kata Pendekar 212.
“Wiro, selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua tahun lebih kau menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka menemui jalan buntu. Sahabatku, apakah kau sengaja memencilkan diri menuntut ilmu baru di satu tempat? Atau bersamadi menambah kehebatan tenaga dalam?”
“Aku… Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam.” Wiro garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tidak mungkin aku ceritakan padanya. Selain baru kenal mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku bisa dianggapnya gila. Benar-benar sableng!” (Mengenai riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam harap baca serial Wiro Sableng terdiri dari 18 Episode, dimulai dari “Bola-Bola Iblis) Wiro berpikir lagi. “Kalau kini aku benar berada di tanah Jawa, apakah beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri Latanahsilam masih kumiliki? Tadi sewaktu menghadapi dua momok sialan itu mengapa tidak aku jajal dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan Luhrembulan?
Ah… gadis itu. Aku…”
“Pendekar 212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu?!”
Teguran Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke depan dan melihat pemuda berkumis di hadapannya itu memandang terheran-heran padanya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Pendekar Kipas Pelangi, aku tidak tahu banyak mengenai dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?”
Yang ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus lamanya baru dia membuka mulut.
“Aku tengah mencari seseorang…”
“Pasti seorang gadis cantik!” kata Wiro pula.
Pemuda berkumis rapi itu gelengkan kepala. “Aku mencari kakak kandungku. Kami berpisah ketika aku berusia empat tahun dan dia enam tahun. Lebih dari lima belas tahun kami tidak pernah bertemu. Begitu turun gunung sekitar tiga tahun lalu, aku berusaha mencarinya., tapi tak kunjung kutemui. Kakakku itu bernama Adisaka. Apakah kau pernah mendengar nama itu?
Syukur-syukur kau kenal orangnya…”
“Adisaka… Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bisa berpisah. Apakah orang tua kalian…”
“Desa kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai berai. Semua penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami…”
“Apa kau yakin kakakmu itu masih hidup?” tanya Wiro.
“Aku yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang menimbulkan semangat untuk mencarinya…”
“Mengapa tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?” tanya Wiro.
“Bukannya tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah berubah menjadi hutan jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana.”
“Kau tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau menceritakannya.”
Pendekar Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.
“Tidak ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau memberi jalan, bisa membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari tempat duduk yang baik…”
Wiro mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi lalu mulai menceritakan kisahnya.

BAB 7
212

Sebelum mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas Pelangi kepada Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu kejadian beberapa waktu sebelumnya, yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke Negeri Latanahsilam.
KESUNYIAN di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh suara derap kaki kuda tak berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya masih belum nampak. Tak lama berselang, dari tikungan jalan berdebu baru kelihatan muncul dua kuda hitam, berlari kencang menuju ke barat. Di atas punggung kuda sebelah kiri duduk seorang kakek berpakaian serba hitam. Walau usianya sudah mencapai delapan puluh tahun tapi kumisnya yang melintang di bawah hidung masih hitam berkilat, juga rambutnya yang menjulai keluar dari balik destar hitam yang bertengger di atas kepala. Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik ketenangan wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu ganjalan. Itu sebabnya dia menoleh ke samping dan berkata.
“Kita sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.
Padahal petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ, membantai satu keluarga besar yang hendak menuntut balas atas kematian seorang gadis yang diculik dan diperkosanya.”
Orang yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan adalah seorang nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang keriputan berwarna hitam legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai. Begitu juga alis dan bulu matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam mencorong, sebaliknya bagian kanan putih memirang.
Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah tengah lalu dijalin menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya rambut si nenek sebelah kiri berwarna hitam sedang sebelah kanan putih pirang. Lalu anggota badannya yakni tangan dan kaki juga hitam di sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.
Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna berlainan. Bola mata sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan putih mengidikkan!
Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain sebagai penghias. Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih ini bukannya pita, melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang ini berwarna hitam legam. Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh kalajengking ini dengan cat warna putih hingga sosoknya menyerupai dirinya.
Nenek ini mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah serta rambutnya. Di sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah kanan berwarna putih.
“Riku Pulungan,” kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan. Namun orangorang rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama Nini Setan. Dia adalah kakak si kakek berkumis hitam. “Kalau otakmu masih terang, sekitar empat tahun lalu aku memberi ingat.
Jangan kau memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!”
“Siapa bilang aku memberikan!” memotong si kakek bernama Riku Pulungan. “Waktu aku menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan kipas itu aku pinjamkan. Bukan aku berikan. Tiga tahun setelah dia kulepas dari pertapaan dia harus mengembalikan senjata itu.
Karena dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti telah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup sekian lama saja dia memegang senjata itu.”
Nini Setan menyeringai. “Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset! Warangas mempergunakan kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam kejahatan! Kau tahu dan sudah dengar dosa apa yang telah dilakukan muridmu itu! Merusak kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah satu korbannya adalah istri Kebo Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran sendiri kemudian dihabisinya secara biadab. Lalu dia juga membunuh salah seorang dari guru-gurunya yakni kakek sakti di puncak gunung Slamet bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia ketahuan menghamili adik seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang gurunya yang lain, bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu itu. Hemmm… Kalau saja kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara murka ini tidak akan terjadi… Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah mendapat nama besar. Tapi nama besar penuh kekejian! Kurasa tidak ada makhluk lain yang dosanya seabrek-abrek seperti muridmu itu!
Jangan kau menyesal Pulungan! Hik… hik… hik!”
Riku Pulungan menghela nafas panjang. “Kata orang penyesalan selalu terjadi belakangan. Aku mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu. Tapi aku tidak merasa menyesal. Karena aku tetap akan meminta pertanggung jawaban murid celaka itu! Aku akan mencarinya sampai ke liang neraka sekalipun!”
“Sekarang kau mau mengajak aku mencarinya kemana?” Tanya Nini Setan. “Liang neraka tidak ada di dunia ini.
Adanya di akhirat! Hik… hik!” Nini Setan mengejek lalu tertawacekikikan.
Wajah putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu.
“Jangan kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari beberapa orang yang pernah tahu Warangas,pemuda itu memencilkan diri di satu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan. Dari sini Segara Anakan tidak berapa jauh. Kita menuju ke sana sekarang juga.”
“Turut yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi melarikan diri.
Karena banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!” kata Nini Setan pula.
“Itu lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani manusia bejat itu!
Nyawanya aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di tanganku ya syukur-syukur. Kalaupun dia dicincang dihabisi sekian banyak musuhnya rasanya itu sudah jadi bagiannya. Yang pentin aku harus dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku harus mempertanggung jawabkannya pada Eyang Guruku!”

PENUNGGANG kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan, mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang tunggangannya hingga kepala binatang ini terdongak ke atas. Busah menyembur dari hidung dan mulutnya. Dua kaki depan naik ke atas sementara sepasang kaki belakang menyerosot meninggalkan guratan panjang dan dalam di tanah.
Siapakah adanya penunggang kuda ini? Namanya Suramanik. Dulu dia adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan jabatannya karena dipecundangi oleh seorang pemuda bernama Handaka. Handaka ini bukan lain adalah Warangas murid Riku Pulungan si pemilik Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah berguru pada seorang kakek sakti di puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur Pamenang yang kemudian dibunuhnya. Lalu dia muncul di banyak tempat dengan nama-nama samaran seperti Prana, Dipasingara dan sebagainya.
Sejak dia dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan jabatannya sebaai Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula Suramanik memendam dendam terhadap Handaka yang saat itu memakai nama Dipasingara. Dendam kesumat itu semakin menggunung ketika dia menyirap kabar bahwa atasannya, Adipati Gombong Kebo Panaran tewas dibunuh Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal dan Dipasingara meninggalkannya begitu saja, Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri di hadapan mayat suaminya.
Selesai menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka Suramanik lalu menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar konon sejak dirinya dikejar sekian banyak orang yang sakit hati padanya, Dipasingara memencilkan diri di suatu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan si pantai selatan. Saat itu Suramanik dalam perjalanan menuju kawasan tersebut.
Apa yang terjadi? Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya? Tadi, sayupsayup di antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia mendengar suara orang menangis.
“Suara tangis perempuan. Memilukan sekali,” kata Suramanik dalam hati lalu melompat turun dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga kembali, untuk mengetahui dari mana arah datangnya suara tangisan tadi. Begitu dia bisa memastikan arah sumber suara dengan cepat dia melangkah .
Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat dilihatnya seorang perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya mengenaskan sekali. Pakaiannya bukan saja lusuh dan kotor tapi juga banyak robekan. Rambutnya yang panjang tergerai awut-awutan.
“Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. Perutnya…
Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. Paling tidak sekitar enam bulan…”
Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah tiba-tiba melesat ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.
“Srettt!”
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan perempuan hamil. Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini dapat melihat wajah perempuan itu.
Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun kecantikannya tidak dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil ini membelalak, memandang berputar.
Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai lalu satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan dibabatkan beberapa kali. Semak belukat rambas bertebaran.
“Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!”
“Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras,” kata Suramanik dalam hati. “Dari gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan ini memiliki kepandaian silat tidak rendah. Siapa dia adanya? Siapa pula orang bernama Handaka yang seperti hendak dicincangnya. Apakah aku harus mendatanginya.
Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah aku bisa dibabat sambaran pedangnya!”
Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba perempuan hamil tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur lari, cepat sekali., ke jurusan satu pedataran diapit bukitbukit tandus dia arah selatan yakni arah Teluk Segara Anakan. Suramanik terkejut menyaksikan.
“Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ilmu larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya beberapa kali berkelebat dia sudah berada di ujung sana!” Suramanik menunggu sesaat lalu naik ke atas punggung kudanya mulai menguntit mengikuti perempuan hamil tadi.
Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu? Dia bukan lain adalah Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah terbujuk rayuan Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis ini mau menyerahklan kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah ,mempunyai seorang kekasih, seorang pemuda bernama Sanjaya yang merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.
Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng berlari kencang mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.
“Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat ini. Lari mereka seperti angin…”
“Berhenti!” Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. Sesaat kemudian ke tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan kuda Suramanaik.

BAB 8
212

Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan sembarangan, Suramanik serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda berhenti dia segera memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong.
Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga seorang pemuda berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Di atas punggung kudanya Suramanik duduk tak bergerak.
Dia menunggu sambil memperhatikan penuh waspada.
“Bukan dia…” berkata pemuda berambut gondrong.
“Memang bukan murid celaka itu,” menyahuti si orang tua.
“Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap menghindar dari hadapan kuda.
Aku ada keperluan lain.” Suramanik akhirnya angkat bicara menegur.
“Harap maafkan,” yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara pemuda gondrong tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan dada. “Kami kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?”
“Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana,” jawab Suramanik. Dia perhatikan pemuda berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. “Kalian bertiga ini siapa adanya? Siapa pula orang yang tengah kalian cari?”
Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan ke sela bibir lalu meraba-raba pakaiannya. “Ah, sial sekali. Batu apiku entah kemana! Mulutku bakalan asam seharian ini!” Si kakek cabut rokok kawungnya lalu bicara perkenalkan diri.
“Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku ini bernama Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng…”
“Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama besar! Harap maafkan aku yang tidak melihat tingginya gunung!” Suramanik cepat-cepat melompat turun dari kudanya lalu membungkuk memberi penghormatan.
Jagat Kawung menyeringai. “Kau sendiri siapakah adanya?” Tanya orang tua ini kemudian.
“Ah, ah…” Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak memberitahu bahwa dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong dia merasa sungkan. Tapi akhirnya dia bicara juga. “Namaku Suramanik. Aku berasal dari gombong.”
“Gombong… Gombong… Gombong…” Jagat Kawung mengulang-ulang. “Apa kau pernah mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?”
Suramanik merasakan dadanya berdebar. “Peristiwa apa maksudmu orang tua?”
“Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang jadi Kepala Pengawal.
Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya tiu. Sang istri kemudian msnikam dada bunuh diri.” Suramanik menatap wajah ke tiga orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah mengetahui peristiwa itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati Gombong itu.
Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. “Orang muda, tadi kau mengatakan tengah mencari seseorang.
Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara Anakan. Siapakah orang yang kalian cari?
Terus terang aku sendiri juga tengah mencari seseorang.”
“Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam berbagai sosok. Tapi orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama Dipasingara alias Handaka alias Prana…”
Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. Sebenarnya dia ingin bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari Dipasingara. Suaranya bergetar ketika dia berkata.
“Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada baiknya aku memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal Kadipaten Gombong! Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama Dipasingara. Dia inginkan jabatanku dengan cara menantang berkelahi. Jika aku dikalahkannya maka aku harus menyerahkan jabatanku padanya. Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh sikap perbuatan dan ucapan pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya. Kami melakukan adu kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku kalah.
Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian aku mendengar berita menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui. Adipati Kebo Panaran tewas di tangan Dipasingara.
Istrinya menemui ajal bunuh diri.”
Suramanik diam sebentar lalu berkata. “Saudara bertiga, aku terpaksa meninggalkan kalian.”
Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama kalinya membuka mulut.
“Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?”
Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan meradang tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong yang menyandang julukan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini maka dia menjawab apa adanya.
“Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang perempuan muda aneh mengenaskan.” “Aneh bagaimana?” Sanjaya yang bertanya.
“Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana…” Suramanik menunjuk ke arah timur.
“Pasti Wulandari!” kata Sanjaya setengah berteriak. “Aku punya firasat buruk sejak tadi pagi. ”Muka pemuda ini tambah pucat. Dia memandang pada Wiro dan si kakek. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menghambur lari ke arah timur yang ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat Kawung segera mengejar.
Suramanik melompat naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti orangorang itu.
Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar bergulung-gulung memecah di pantai.
“Ini Teluk Segara Anakan!” menerangkan Suramanik. “Ada sebuah goa di sekitar sini.
Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di tempat itu…”
“Kita cari goa itu sekarang juga!” kata Sanjaya.
Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi isyarat.
“Tunggu… Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-jeritan perempuan…”
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua Jagat Kawung berubah. “Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara tertawanya si keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik gundukan karang besar sebelah sana…”
“Mari kita menyelidik!” kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak sabaran lalu mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro dan Jagat Kawung menyusul. Suramanik mengikuti.
Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara tawa. Suara jeritan perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan keras.
“Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!”
Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan disambut oleh satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang awut-awutan dalam keadaan mengandung besar, dengan sebilah pedang di tangan menyerang habis-habisan seorang pemuda.
Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Namun bila diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun hebatnya gebrakan ilmu pedang perempuan hamil, tingkat kepandaiannya masih di bawah lawannya. Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran mautnya sambil terus tertawa bergelak. Kedua orang itu bertempur di depan sebuah goa. Di mulut goa seorang gadis berkulit hitam manis berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah mati. Gadis ini adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di goa itu hendak digagahi oleh si pemuda.
Namun sebelum niat mesumnya kesampaian, perempuan muda bersenjata pedang keburu memergoki.
“Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!” merutuk Jagat Kawung dengan mata mendelik begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur melawan perempuan muda bersenjata pedang.
“Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!”
Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun dengan mata membeliak mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan perempuan muda itu.
“Wulandari…” suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan pandangan ke arah si pemuda, darahnya langsung mendidih. Dia tidak kenal dan sebelumnya tidak pernah melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu. Tapi dia yakin pemuda itu adalah Handaka alias Prana alias Dipasingara. Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya segera hunus pedangnya dan menyerbu ke kalangan pertempuran.
“Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!”
Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat hanya satu jengkal di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua langkah, bersikap waspada sambil memasang kuda-kuda.
Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya mengira-ngira.
“Pemuda muka pucat! Siapa kau!” bentak Warangas.
Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. Gadis ini seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya membentur Sanjaya. Dia lari ke balik gundukan batu karang rendah.
Di sini dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.
Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang barusan menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke seluruh tubuh Warangas alias Dipasingara.
“Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan di Kadipaten Gombong!” teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan diri.
“Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang ada yang mau mengubur!” jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan goloknya, dari arah lain Sanjaya telah menyerbu pula.
“Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad aku yang punya! Aku akan patahkan batang lehernya!” Kakek bernama Jagat Kawung menyerbu dengan tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah. Selarik sinar merah berkiblat menggidikkan.
Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat Warangas membuang diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. Selagi mengapung di udara dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas Pemusnah Raga.
“Srettt!”
Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.
“Lekas menyingkir!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya segera dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa Topan Manggusur Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, tokoh sakti di Pulau Andalas.
“Bummm!”
Satu ledakan menggoncang teluk.
“Dess… desss!”

BAB 9
212

Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti dipelintir.
Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat Warangas dorongkan tangan kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu kakinya menginjak tanah tiba-tiba Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung telah datang menyerbu kembali.
“Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar aku yang mempesiangi!” teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya ketika pedang Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.
“Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala peradatan! Mari kita sama-sama berebut pahala mencincangnya!” teriak Sanjaya lalu kirimkan satu tusukan dan dua kali babatan.
Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar hitam yang memiliki daya kekuatan luar biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda ini berlaku nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali dia mengejar dengan serangan pedang.
“Sahabat, jangan berlaku bodoh!” berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat tarik tangan kiri Sanjaya.
“Wussss!”
Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! Menghantam satu gundukan batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan berpelantingan di udara,.
“Breettt!”
Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum habis kejutnya dari samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat Kawung mengarah leher. Kakek ini agaknya memang ingin mematahkan batang leher murid bejat itu. Warangas berlaku sigap.
Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. Tendangan lawan hanya menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan dengan itu si kakek susupkan satu jotosan ke perut Warangas.
“Bukkk!”
Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana jebol. Dadanya sesak. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi hebatnya dia masih bisa berdiri walau dengan dua lutut sedikit tertekuk. Rahangnya menggembung.
“Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Pendekar 212 Wiro Sableng ketika melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur mengempis. Murid Sinto Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Cepat sekali tangan itu berubah menjadi putih seperti perak menyala!
“Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!”
Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia melompat ke atas sebuah batu.
Tangan kanannya berputar setengah lingkaran bergerak ke atas seperti mencungkil.
Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu menyapu ke arah Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang ini terguling roboh dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas Pemusnah Raga menghantam dirinya.
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran selamatkan diri.
Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. Pakaiannya sebelah kiri kelihatan hangus. Kulit dan sebagian dagingnya merah seperti terpanggang. Dengan kertakkan rahang dia mecoba bangkit berdiri.
Namun saat itu tanah dirasakannya bergetar hebat. Lalu ada sinar putih berkiblat menyilaukan disertai bertaburnya hawa sangat panas. Di depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.
“Pukulan Sinar Matahari!” Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi diri.
Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur cahaya putih panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. Percikan bunga api bertebar dimana-mana.
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri jatuhkan diri ke tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan cahaya putih. Secara cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh yang dikenalnya dengan nama Dipasingara.
Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro sendiri terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti ditusuk-tusuk.
Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya keluar jeritan setinggi langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya robek bertaburan di udara.
“Kipasku… kipasku…” Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah hangus kehitaman. Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti mana mungkin dia menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak ada jalan lain. Dia harus melarikan diri mencari selamat.
Tidak menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu karang. Dia sama sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini justru ada yang menunggunya.
Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari atas ke bawah.
“Wulandari!” Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan seruan tertahan. Dia berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi terlambat.
Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit seperti mengoyak seluruh tubuhnya.
Seakan-akan tanah yang dipijaknya roboh amblas, tubuh Warangas terbanting jatuh. Dua kakinya buntung sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan Wulandari. Darah membanjir! Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya bertambah dahsyat ketika Suramanik yang bergulingan mendatanginya membabatkan golok besarnya. Lalu dari jurusan lain pedang Sanjaya bertubi-tubi melanda tubuhnya.
“Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!” Sosok Jagat Kawung melesat ke arah Warangas.
Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika dia hendak memuntir tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih menderu. Cairan merah kental hangat membasahi pakaian dan muka putih kakek keriput itu. Jagat Kawung melompat mundur.
Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas pasir. Lalu sewaktu dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya, kakek ini tersentak kaget. Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah putus!
“Ih!” si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke tanah.
Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang berdarah masih di tangan gadis ini lari ke arah laut. Wiro coba menghalangi. Tapi sambaran pedang ganas Wulandari membuatnya terpaksa mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat meneruskan larinya ke arah laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga sudah maklum apa yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu.
Dengan cepat dirangkulnya tubuh Wulandari.
“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!” teriak Wulandari.
“Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh diri adalah kesesatan tak terampuni!”
“Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! Aku sudah ditunggu Eyang Guru! Hik… hik… hik!” Wulandari meronta coba melepaskan rangkulan Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau saat itu masih memegang pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke dadanya.
“Wulan! Jangan!” teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi terlambat. Pedang menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini berteriak lalu tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap.
Sepasang matanya mendelik. Tapi ajalnya belum sampai. “Wulan… kenapa kau lakukan ini. Aku… aku masih mencintaimu. Kenapa kau tega meninggalkan diriku, Wulan?”
Suara Sanjaya tersendat serak.
Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah jernih. Air mata mengucur di kedua pipinya yang pucat. “Semuanya sudah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku Sanjaya. Aku telah mengkhianati janji cinta kita.
Sebenarnya akupun tetap mencintaimu… Selamat tinggal kakak…”
“Wulan! Adikku!”
Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan kedua tangannya.
Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.
Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. (Kisah segitiga antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias Dipasingara bisa pembaca ikuti secara utuh dalam serial Wiro Sableng berjudul “Hidung Belang Berkipas Sakti.”)
SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku Pulungan dan Nini Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara Anakan dalam mencari pemuda bernama Warangas.
Di satu tempat si kakek hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si nenek bermuka belang agar berhenti di sebelahnya.
“Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi…” kata Riku Pulungan.
Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. “Suara itu datang dari balik gugusan karang.
Kita menyelidik ke sana!”
Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih cepat sampai ke balik gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan berputar tapi lansung menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat mereka mencapai puncak salah satu gugus bukit karang tiba-tiba satu dentuman dahsyat menggelegar di seantero teluk. Bukit karang bergetar keras.
Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing sebelum kuda-kuda mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke atas batu. Memandang ke bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan seruan tertahan. Wajahnya pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
“Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu…”
Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam. Lalu berucap.
“Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari segala-galanya. Kita akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan bekas murid bejatmu ….. Orang-orang itu pasti akan membantainya!”
Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.
Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas alias Dipasingara tengah menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas saktinya hancur dihantam pukulan Sinar Matahari dia berusaha melarikan diri. Tapi di balik bukit karang dihadang oleh Wulandari lalu diserbu oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat Kawung hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.
“Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi…” Riku Pulungan berucap perlahan.
Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.
“Kau mau kemana?!” bertanya Nini Setan. “Mau membuat perhitungan dengan orangorang yang telah membunuh muridmu?! Jangan bertindak bodoh!” Riku Pulungan hentikan langkahnya. Dia memandang pada si nenek saudaranya lalu gelengkan kepala. “Aku yakin orang-orang itu menghabisi Warangas karena mereka mempunyai dendam kesumat amat besar. Malah aku bersyukur mereka telah meringankan bebanku… Aku terlalu kecewa pada manusia satu itu.”
“Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?” tanya Nini Setan kembali.
“Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa kayu dan gagangnya….”
Jawab Riku Pulungan.
“Kau gila? Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?”
“Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku kembalikan padanya. Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru menggabung-gabunkannya kembali.
Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti mandraguna. Kelak senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang sekarang…”
“Hemm… Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya penuh pada muridmu yang sekarang ini?”
“Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang dengan malam. Mungkin ini satu satunya kebajikan terakhir yang bisa aku buat sebelum menghadap Gusti Allah.”
“Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke balik karang sana dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik… hik… hik…!”
Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga tiba-tiba seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak di hadapannya. Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.
“Kek, kau tengah melakukan apa?” si pemuda menegur.
Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat rajah tiga angka tertera di dada penuh otot.
“Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah menduga, bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda berkepandaian tinggi bergelar Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?”
Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali orang tapi orang mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dia berkata. “Orang jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Kau sendiri siapakah adanya Kek? Sedang apa di tempat ini?
Kulihat kau memunguti cabikan-cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana kemana menghilangnya?”
Wiro melirik ke puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas sana.
“Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa menahan kencing…” Si kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah Raga yang dipegangnya. Lalu berkata. “Seperti kau lihat sendiri, aku tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas ini… “
“Untuk apa?” Tanya Wiro heran.
“Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda…”
“Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?”
“Aku Riku Pulungan,” jawab si kakek.
Wiro tertawa bergelak.
“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya si kakek heran.
“Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala sisa kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha… ha… ha… “
Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan tertawa.
Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.
“Anak muda, tunggu dulu…” si kakek berseru.
“Ada apa?” tanya Wiro pula.
“Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan rongsokan kipas ini…”
Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya. Sambil melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. “Sial, dia bilang kalau umurku panjang.
Memangnya aku ini mau mati besok apa? Beberapa tahun di muka, aku akan bertemu lagi dengan kipas rongsokan itu. Edan…” Wiro garuk kepalanya. Ketika dia berpaling ke belakang, kakek aneh bernama Riku Pulungan itu tak ada lagi di tempatnya semula!

DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun orang yang ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam ketiga, selagi matanya setengah terpejam karena tidak sanggup menahan kantuk, orang tua ini tiba-tiba merasa ada sambaran angin disusul berkelebatnya satu bayangan.
Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku Pulungan.
Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut itu begitu panjang hingga hampir menjela tanah.
“Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu menyangkut Kipas Pemusnah Raga…” Riku Pulungan sendiri adalah seorang kakek berusia hampir delapan puluh tahun.
Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia paling tidak di atas seratus tahun.
“Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku Riku Pulungan, ikuti aku.”
Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya enteng sekali seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia menyalakan sebuah lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan tipis. Riku Pulungan sendiri duduk membungkuk hormat di hadapannya.
“Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?” bertanya sang Eyang Guru.
“Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam keadaan seperti ini.”
Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan robekan-robekan kipas, patahan kayu kipas serta bagian gagang kipas yang hangus. Benda itu semuanya diletakkan di lantai di hadapan Eyang Guru.
“Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku ingin tahu siapa gerangan yang melakukannya?”
“Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang ingin menuntut balas. Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng….”
“Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?” Tanya Eyang Guru.
“Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah menghantam murid saya dengan pukulan Sinar Matahari…”
Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. “Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan muridmu yang bernama Warangas itu?”
“Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu,” jawab Riku Pulungan.
“Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,” kata sang Eyang Guru.
Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini membuat Riku Pulungan merasa seperti ditindih batu besar. “Aku senang bertemu denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan di sini. Sebelum kita berpisah, apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau sampaikan?”
“Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau permintaan saya ini Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar dari pengalaman. Saya mohon dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang bisa membuatkan satu senjata baru dalam bentuk yang sama, yakni sebuah kipas…”
Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain. “Riku Puliungan, permintaanmu akan kuperhatikan. Tapi ada satu nasihatku padamu.
Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan kaji dulu dalam-dalam.
Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin peristiwa murid sesat seperti si Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu membuat rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah…”
“Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik…” kata Riku Pulungan pula.
“Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain…”
“Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Harapan saya sangat besar padanya…”
“Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu senjata baru dan kuserahkan padamu,
apakah kelak senjata itu akan kau berikan pada muridmu bernama Adimesa itu?”
“Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi Eyang nasihatkan, saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung dan membuat kesalahan sampai dua kali.”
Eyang Guru anggukkan kepalanya. “Kau boleh pergi. Datanglah kemari satu tahun lagi.
Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku bisa menciptakan satu senjata yang bermanfaat bagi dunia persilatan di tanah Jawa ini…”
“Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk meninggalkan tempat ini.” Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa lalu berdiri. Setelah membungkuk dalamdalam dia segera tinggalkan tempat itu. Hatinya terasa lega. Satu tahun tidak terlalu lama.
Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang bernama Adimesa itu.

BAB 10
212

Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dan ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas sebuah gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat dirinya.

CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih kebiruan. Angin segar bertiup sepoi sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar riak arus kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo yang mengalir dan menyuburi desa Kaliurang.
Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak lelaki duduk dia atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan enam tahun. Tubuh mereka walau kecil tapi tegap dan pipi mereka kelihatan merah segar pertanda keduanya memiliki badan yang sehat.
Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak tawa ceria.
“Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari batang padi untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang padi?”
“Adikku,” jawab anak satunya. “Membuat puput bisa kita lakukan kemudian. Kita harus melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini perlu dimandikan. Kau lihat sendiri, badan mereka sangat kotor,
tubuh mereka mulai bau…”
“Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak mampir saja dulu di sawah.
Jadi tidak pulang balik…”
Anak bernama Adisaka tersenyum. “Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku senang punya adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi pkiran nakal. Perintah orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan apapun. Jadi kita tetap harus memandikan kerbau-kerbau ini sesuai perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih mana. Ikut jalan pikiranmu atau taat perintah orang tua…”
Si adik tertawa lebar. “Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang punya kakak sebaikmu.”
Adisaka ikut tertawa lebar. “Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah tinggi. Makin cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa ke sawah mencari batang padi untuk puput…”
“Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita sama-sama menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?” Adisaka mengangguk. Lalu dua anak kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau masing-masing.

Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah
Kami anak desa
Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat
Kami anak desa
Rajin membantu orang tua
Menolong Ibu di rumah
Membantu Ayah di sawah
Kami anak desa
Tidak lupa sembahyang mengaji
Rendah hati dan tinggi budi
Selalu unjukkan jiwa satria.

Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya mencapai satu pertigaan jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah persawahan. Untuk menuju kali kecil tempat mereka biasa memandikan jerbau, keduanya harus membelok ke kiri. Belum selang berapa alam Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-tiba ada suara menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan lari melenguh keras ketakutan. Adimesa pegangi leher kerbaunya kuat-kuat. Dengan muka pucat dia memandang pada kakaknya. “Kak, kau dengar suara aneh di dalam tanah itu?”
“Aku dengar…”
”Apa yang terjadi?”
Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah timur.
“Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan sinarnya yang terik…”
Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari yang tadi.
“Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang dirantai mengamuk mau melepaskan diri…” kata Adimesa.
“Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda meringkik, gaduh suara ayam, kambing dan ternak lainnya…” Adisaka juga mulai ketakutan.
“Kita pulang saja Kak,” kata adiknya.
“Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa…”
Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan sinar terang disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan berangkai di dalam perut bumi. Dua kakak beradik ini samasama memalingkan kepala ke utara dimana menjulang Gunung Merapi.
“Kakak! Lihat!” Adimesa berteriak. “Ada api menyembur dari puncak gunung!”
“Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!” teriak Adisaka.
Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi pemandangan. Udara mulai panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur cahaya merah menggidikkan lalu ada cairan membara mengucur ke luar dan cepat sekali menebar ke berbagai penjuru, menuju lereng dan seterusnya ke kaki gunung.
“Kak, kerbau-kerbau kita lari!” bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua kerbau yang tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. “Aku akan mengejar!”
“Jangan!” mencegah si kakak. “Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan memintas kembali ke Kaliurang!”
Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. Keduanya mengalami kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga suara gemuruh dahsyat yang menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh terhenyak berulang kali.
“Kak, aku takut!” Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.
Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat aman. Namun saat itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang adalah semburan-semburan sinar dan bendabenda aneh dari mulut gunung. Adisaka berlaku cerdik. Dia membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang itu. Akan tetapi dua anak ini tak sempat lari jauh karena semburan benda-benda panas membara yang jatuh di rimba belantara menyebabkan kebakaran hebat luar biasa.
“Api dimana-mana…” ujar Adisaka. “Kita lari ke sungai. Harus ke sungai…”
Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah belakang muncul suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang keluar dari mulut gunung Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak mungkin lari, tak mungkin menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu mana yang lebih cepat. Dilahap api kebakaran atau digulung lumpur menyala!
“Kak…! Aku takut! Aku kepanasan…!” ratap Adimesa. “Kita … kita mau lari kemana?”
Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa panas memanggang.
Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa berucap. “Adimesa, jangan takut! Pasti ada yang menolong kita! Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil Tuhan!”
Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak. “Ayah!
Ibu! Tuhan! Tolong kami!”
Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak pohon-pohon yang terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh gemuruh ledakan gunung yang menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak sanggup bertahan. Adimesa jatuh lebih dulu. Satu patahan batang pohon yang dikobari nyala api entah dari mana datangnya tiba-tiba melayang turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang tergeletak di tanah. Melihat hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh adiknya untuk melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam benaknya adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan mengalami bahaya yang bakal merenggut jiwanya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Dari kobaran api di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna putih. Bersamaan dengan itu serangkum angin dahsyat menderu membelah udara. Batang kayu besar menyala yang hendak menimpa tubuh Adisaka dan Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu gerakan cepat luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak tali kekang kudanya maka bersama tunggangannya itu dia menghambur lenyap dari tempat itu.
Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari jurusan yang hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya ternyata seorang kakek berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu menghalangi pemandangannya.
“Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan anak itu lebih dulu…”
Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan tubuhnya seolah terpanggang oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil Adimesa yang tergeletak menelungkup di tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-hentakkan kaki depannya sebelah kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam keadaan begitu rupa untuk pertama kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa tunggu lebih lama kakek ini segera membungkuk menyambar tubuh itu lalu secepat kilat menghilang dari tempat tersebut.

BAB 11
212

DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek berkuda hitam, di satu tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, seorang pemuda berpakaian biru melompat dari satu potongan bambu ke potongan bambu lainnya yang bertebaran di atas permukaan air. Ada tujuh potongan bambu dan satu sama lain saling diikat dengan seutas tali. Di tangan kiri dia memegang setangkai daun kering berbentuk kipas. Sambil melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian kemari. Ternyata angin yang keluar dari kipas daun ini sanggup membuat luruh daun-daun pepohonan rendah di tepi sungai!
Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua jenis ilmu silat. Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang ilmu meringankan tubuhnya tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu melompat di atas bambu-bambu yang berada di permukaan air sungai berarus deras dan selalu begerak kian kemari. Lalu ilmu kedua yang tengah dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan senjata aneh dari daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata pengganti.
Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya dia tidak akan berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu bahwa Ki Riku Pulungan memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya. Sambil melayang dia menyambar salah satu potongan bambu lalu menyeretnya naik ke daratan. Setelah menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali pengikat dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar si pemuda merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-cepat melangkah ke sebuah pondok terletak di satu tanah ketinggian.
Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang tua ini memberi isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali ini si pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya. Agaknya ada sesuatu hal penting yang hendak dikatakan orang tua itu padanya.
“Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan tahun. Sambil menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan dirimu boleh meninggalkan pondok ini.
Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di sini. Besok pagi-pagi sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan kau lakukan terserah padamu. Namun selalu ingat, setiap langkah yang kau jalani, setiap perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan yang kau keluarkan hendaklah selalu mengingat kepada Dia Yang Maha Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena hanya dengan selalu mengingat Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala perbuatan yang tidak baik dan terlindung dari marabahaya…
“Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik…” jawab pemuda bernama Adimesa itu.
Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun menunggu akhirnya dia diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di balik kegembiraan itu ada rasa sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku Pulungan, menerima segala budi kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan. Hingga dia tahu jalan lurus yang harus ditempuhnya demi keselamatan dunia akhirat.
“Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata padamu. Senjata ini tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kau harus mengembalikannya padaku di pondok ini. Apakah kelak senjata ini akan kuserahkan padamu lagi atau tidak, belum dapat kuputuskan sekarang…”
Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang akan diberikan gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat dengan memakai senjata. Yang paling sering dilatihnya adalah ilmu silat aneh mempergunakan daun kering berbentuk kipas sebagai senjata.
Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang ketika dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah sebuah kipas lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing jalur berlainan warna.
“Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu melatih diri mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku sudah merencanakan bahwa kelak
senjatamu adalah benda sederhana ini. Sederhana bentuknya tapi kehebatannya tidak di bawah keris, pedang ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas juga, bernama Kipas Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa membunuh orang semudah kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga baikbaik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau dalam keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar dengan kata-kata dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa…”
Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk sampai tiga kali baru dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi astaga! Bagaimanapun dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup diangkatnya dari atas tikar di hadapannya.
Dalam kejutnya si pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini tenang saja. Adimesa kembali coba mengambil kipas itu. Tetap tidak terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga luar. Masih tidak bisa.
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya jangankan kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih bisa diangkat.
Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat memercik di keningnya dan dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia tidak mampu mengangkat kipas itu.
Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai! Adimesa cepat duduk bersila. Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh keringat sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah basah. “Guru, maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa mengangkat kipas itu.”
Ki Riku Pulungan tersenyum. “Muridku, agaknya ada satu hal yang mengganjal di lubuk hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram untuk kau sentuh…”
“Saya… saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa…” jawab Adimesa.
“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu…” kata sang giuru pula masih tersenyum.
“Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir.”
Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, mengatur nafas dan jalan darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia akhirnya berkata.
“Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya sewaktu tadi guru mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama tiga tahun. Bukan diberikan untuk selama-selamanya…”
Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. “Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau kecewa?” tanya orang tua itu.
“Mungkin… Mungkin dua-duanya…” kata Adimesa mengakui.
“Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas,” ujar Ki Riku Pulungan. “Kipas itu walau benda mati tapi tetap saja mempunyai perasaan. Jika kau merasa sedih atau kecewa maka kipas ini akan merasa tidak
tenteram berada di tanganmu. Itu sebabnya dia tidak mau diangkat, tidak mau ikut bersamamu. Kecuali jika kau menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru itu. Kau sekali-kali tidak boleh berkecil hati karena kipas itu hanya kupinjamkan. Padahal itu cuma satu ujian bagimu. Dapat tidak kau memiliki senjata ini untuk selama-lamanya tergantung pada dirimu sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau mempergunakannya…”
“Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya.” Adimesa susun sepuluh jari di atas kepala lalu membungkuk dan berucap. “Kipas Pelangi, maafkan diriku. Aku mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak lurus terhadapmu. Aku berjanji akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu secara baikbaik dan dengan ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki Riku Pulungan di masa tiga tahun mendatang.”
“Sekarang coba kau ambil kipas itu,” kata Ki Riku Pulungan pula.
Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa ulurkan tangannya.
Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk menjalar memasuki tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih ringan dari kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan!
Adimesa mencium kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya di atas pangkuan.
Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu Adimesa seraya berkata. “Aku harapkan di masa tiga tahun mendatang, Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan dirimu…”
“Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya banyak membuat kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati guru. Hanya sebelum pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta kejelasan mengenai diri saya…”
Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. “Seperti yang pernah kuceritakan padamu, aku tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua orang tuamu. Aku hanya bisa menduga kau berasal dari sebuah desa di kaki selatan Gunung Merapi. Mungkin sekali desa Kaliurang. Aku pernah menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa itu telah lenyap, berubah menjadi hutan jati.
Mungkin kau perlu menyelidik sendiri…”
Adimesa terdiam sejenak. “Guru, seperti pernah saya katakan pada guru, saya ingat sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama Adisaka. Waktu bencana gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya. Saat itu kami dalam perjalanan ke sungai hendak memandikan kerbau…”
“Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa pasti ingatanmu tidak keliru?”
“Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu Merapi meletus. Kami berdua terkurung api…”
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada peristiwa sekitar delapan belas tahun silam. “Terus terang dalam rimba persilatan tersiar kabar tentang diri kalian dua bersaudara.
Dikabarkan, salah satu dari kalian memiliki susunan tubuh luar biasa sempurna, yang tidak dimiliki kebanyakan anak-anak lainnya. Karena itu diam-diam banyak orang pandai yang mengincar salah satu dari kalian, ingin mengambil menjadikan murid. Hanya saja saat itu kabarnya agak sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara kalian berdua benar-benar
memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri tanpa diketahui lain orang sudah mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki kesempurnaan itu.”
“Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang menginginkan dirimu adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang kurang baik perangainya dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Selama beberapa waktu aku mengintai semua perilaku kalian berdua, kebiasaan kalian. Dimana kalian bermain dan apa saja yang kalian lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang melakukan tapi juga dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama. Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali. Tapi tidak terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku dan si nenek berebut cepat berusaha mencarimu Ketika berada di dalam rimba belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur menyala, kau kutemukan tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan…”
“Hanya saya sendiri?”
“Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana…”
“Aneh,” kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya bersama kakak Adisaka.
Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk selamatkan diri!
Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu…”
“Tidak dapat kupastikan…”
“Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya siapa tahu saya bisa mendapat keterangan tentang kakak saya…”
“Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu…”
“Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung badan saya akan mencarinya sampai kemanapun.”
Ki Riku Pulungan mengangguk. “Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau lakukan, muridku. Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar lagi saatnya untuk menunaikan sholat Lohor.”
Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk memberi hormat pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian belakang pondok.

SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, Wiro coba mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di Negeri Latanahsilam, berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu dengan orang tua bernama Riku Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri ketika dia ingat bagaimana dia mengatakan pada kakek itu sebagai seorang pemulung karena sewaktu ditemui dia tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas. Dia kembali tersenyum begitu ingat bahwa Kipas Pemusnah Raga itu pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar Matahari sewaktu terjadi perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara alias Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.
Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.
Dalam hati dia membatin. “Pendekar ini benar-benar aneh. Aku bercerita panjang lebar. Dia hanya tersenyum-senyum…” Akhirnya pemuda ini berdiri dari batu yang didudukinya. “Sahabat Pendekar 212, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi tiba, aku harus berada di satu tempat… Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar ihwal kakakku Adisaka agar memberi tahu aku…”
“Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?” tanya Wiro.
“Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan kalau tidak membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu tempat. Kau boleh memilih tempat dan waktunya…’
“Kau saja yang menentukan…” ujar Wiro.
“Baiklah,” Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau kita bertemu di tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?”
“Setuju!” kata Wiro.
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal…”
“Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan kawasan ini adalah kawasan Pangandaran…”
“Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
Wiro menggaruk kepala. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku…”
“Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban bagimu…”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku Pulungan sewaktu mereka bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun yang silam. Kelak jika dia berumur panjang dia akan melihat kembali Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur berantakan itu dalam bentuk lain.
Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si kakek yang bernama Adimesa muncul membawa Kipas Pelangi.
Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai terang-terang tanah. “Aku akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku berada di teluk Penanjung, pasti aku bisa menemukan jurang itu. Aku harus yakin, sosoknya samar-samar kulihat itu benar-benar Pangeran Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke dalam jurang. Apa mungkin dia masih hidup? Atau rohnya yang tadi kulihat?”

BAB 12
212

Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di pinggiran jurang batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya menghadapi kesunyian, tak ada yang bergerak, tak ada satu makhluk hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar dari batu karang di jurang itu telah diselimuti lumut.
“Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari kuhantam jatuh ke dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun dia tidak mati sampai di dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa merayap naik selamatkan diri. Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya. Atau mungkin hanya bayangan alam pikiranku saja…” Wiro memandang kelangit. Sang surya mendekati titik tertingginya.
Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak belukar serta terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak petama dia berada di sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola mata pipih aneh memperhatikannya hampir tidak berkesip. Inilah sepasang mata makhluk berkepala singa yang dikenal dengan nama Singo Abang. Sesekali dia berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok berpakaian hitam yang masih tergeletak pingsan di lantai batu.
“Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan memaksa dia memberi keterangan.
Aku sudah cukup lama menunggu…” Makhluk berkepala singa memandang ke arah tepi jurang di atas sana.
“Kalau saja Momok Dempet celaka itu tidak muncul aku pasti sudah dapatkan Kapak Naga Geni 212 miliknya. Apa yang dilakukan Pendekar 212, hampir setengah harian duduk di tepi jurang. Menyelidik?”
Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.
Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah memperhatikan sejenak dia lalu membentak.
“Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!”
Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya rambut awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu tubuh Pangeran Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa. “Kau dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam. Kalau aku tidak mengobati umurmu paling lama hanya tinggal tiga hari…” Dua mata Pangeran Miring terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. “Kau bunuh aku sekarangpun aku tidak takut!”
“Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! Apa kau masih belum mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Wasiat Malaikat? Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada padamu. Dimana kau sembunyikan?!”
Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. “Kau inginkan dua kitab itu?
Ambillah!” dari balik pakaian hitamnya. Pangeran Miring keluarkan setumpuk lembaran-lembaran daun kering disusun demikian rupa seperti sebuah kitab. Di sebelah depan kitab itu tertera tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Di sebelah belakang ada tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Malaikat”. Di sebelah dalam kitab daun itu tak ada sepotong tulisanpun.
“Jahanam kurang ajar!” Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab daun itu dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari daun-daun itu hancur bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang yang keras!
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu Singo Abang membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas Pangeran Miring melosoh ke lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan diri.
Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro Sableng tak kelihatan lagi di tempatnya semula.
Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang biasanya sering berdebur keras dan memecah di pantai kini hanya muncul sekali-sekali. Di langit bulan setengah lingkaran memancarkan cahayanya yang sejuk sementara bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip menambah indahnya pemandangan.
Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat bayangan berkelebat. Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat dipercaya karena mereka ternyata adalah empat orang gadis cantik berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk tubuh mereka kelihatan dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di ujung tanjung. Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang perempuan tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik hingga berkilauan di bawah sapuan cahaya rembulan setengah lingkaran. Angin laut meniup belahan tinggi di kedua sisi pakaian hingga tersibak sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih mulus.
Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke tengah laut lepas, membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.
Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
“Ratu, kami datang membawa kabar.”
“Kalian berhasil menemui orang itu?” bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia masih saja tegak membelakangi memandang ke laut.
“Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan…”
“Seorang diri?”
“Betul. Dia hanya sendirian.”
“Apa yang dilakukannya di sana?”
“Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi kesana, memeriksa kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih berada di sana. Dua orang teman kami masih ada di sekitar situ, berjaga-jaga mengawasi orang itu.”
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk memberi penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar biasa cantiknya. Bola matanya
berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Di tangan kanan dia memegang gagang sebuah cermin bulat yang didekapkan ke dada. Setelah pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di kejauhan.
“Aku melihat Candi Pawan…” gadis bermahkota yang dipanggil dengan sebutan Ratu berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di depannya. “Aku melihat dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon besar. Aku tidak melihat gadis itu… Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak dekat kuburan paling ujung. Bidadari Angin Timur. Hemm…. Memang dia… Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin sakti ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan…”
“Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu…”
“Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana.” Gadis bermata biru serahkan cermin bulat pada salah seorang gadis.
“Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan…”
“Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi sekarang.”
“Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu,” gadis di samping kiri berkata. “Tapi kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di luaran tanpa cermin itu.”
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.
“Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian boleh tinggalkan tempat ini.”
Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu berlari cepat ke ujung tanjung.
Satu persatu mereka mencebur masuk ke dalam laut!
Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang barusan masuk lenyap ke dalam laut? Dalam rimba persilatan tanah Jawa gadis bermata biru itu dikenal sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti mandraguna yang bisa hidup di dua alam yakni laut dan daratan. Empat gadis tadi adalah anak buah atau pengawalnya. (Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak segera tinggalkan tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung semua hasil penyelidikan yang dilakukan anak buahnya.
Lalu dalam hati dia membatin.
“Bidadari Angin Timur… Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di beberapa tempat. Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di kawasan selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga jangan-jangan dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini bukan mustahil kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang didatangi orang. Kuburan yang diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa gadis itu berada di sana, malam-malam begini dia sengaja mendahului rencana pertemuan yang sudah ditetapkan…”
Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di sebelah samping kiri. Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari tempat itu.
Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. Dalam waktu tidak berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan candi itu. Di balik dinding candi sebelah timur dia keluarkan suara seperti kicau burung. Dua orang gadis yang mendekam di balik pohon besar saling berbisik. “Ratu telah datang…”
Sekali lagi terdengar suara kicau burung. “Ratu memberi tanda. Kita boleh pergi dari sini…” Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan tersamar oleh kegelapan malam segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka bersembunyi.
Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. Seorang gadis berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan kuburan-kuburan tua yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun memiliki nisan. Gadis ini memiliki rambut berwarna pirang yang melambai-lambai ditiup angin malam. Tubuh, pakaian dan rambutnya menebar bau harum mewangi. Sambil berjalan pikirannya diputar dan hatinya membatin.
“Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal, tidak mungkin dimakamkan di tempat ini.”
Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis menangkap suara kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan pepohonan yang ada di sekitar reruntuhan Candi Pawan.
“Aneh… Ada suara burung di malam hari.” Membatin gadis di tengah kuburan. “Aku menaruh firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm… Aku yakin dia bukan bangsa penjahat… Biar kupancing dia keluar dari tempat persembunyiannya!”
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. Di hadapan sebuah kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Braakkk!”
Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.
“Braaaakkkk!”
Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju biru ini membentak.
“Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hidup-hidup!”
Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.
“Kau memang minta mati!” Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan kanannya diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu pukulan dahsyat. Tetap saja tak ada yang muncul. “Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan pancinganku!”
Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan terdengar suara tawa berderai.
Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian bermanik-manik,melangkah tenang mendatangi gadis berambut pirang.
Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya ketika melihat siapa yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia menegur, orang itu telah menyapa lebih dulu.
“Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah kuburan, di kawasan terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau perbuat?”
Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung pipit di pipinya kiri kanan.
“Ratu Duyung!” seru Bidadari Angin Timur. “Aku juga punya pertanyaan yang sama.
Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, mendatangi kuburan. Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. Apakah tidak ada tempat yang lebih indah dari pekuburan ini hingga kau sampai tersesat kemari?”
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. “Kita mempunyai kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara? Bukankah hari pertemuan untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya tinggal beberapa hari di muka. Tapi agaknya kau telah bertindak mendahului kesepakatan…”
“Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai menyalahi aturan. Termasuk dirimu…” kata Bidaari Angin Timur pula.
“Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan orang yang sama. Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan rahasia lenyapnya pendekar itu?”
“Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi aturan…”
“Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa untungnya mengungkit-ungkit masa lalu?”
“Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. Baiklah, aku tidak mau bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan dirimu dan kita bertemu lagi beberapa hari di muka dengan para sahabat lainnya, sesuai perjanjian.”
Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira hatinya benar-benar polos terhadapku.
Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…” Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke arah kuburan yang jebol akibat injakan kaki Bidadari Angin Timur tadi. Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya sedikit. Memperhatikan tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan. Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya seperti terbang dan tubuhnya laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke belakang!

T A M A T


Episode Berikutnya :
TIGA MAKAM SETAN


INDEX WIRO SABLENG
119.Istana Kebahagiaan --oo0oo-- 121.Tiga Makam Setan
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.