Hantu Langit Terjungkir
tanztj
March 19, 2009
INDEX WIRO SABLENG | |
110.Rahasia Patung Menangis --oo0oo-- 112.Rahasia Mawar Beracun |
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
1
DI DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher, Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak menselulupkan tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar bukan kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum tenggelam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya.Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro memandang berkeliling. “Tak ada pohon jambu sekitar telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan ini pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!”
Wiro lalu memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali melayang di atas telaga lalu mendarat di kepalanya!
“Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk mempermainkanku!”
Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk kepalanya yang basah. “Itu bukan suara Naga Kuning atau Setan Ngompol…” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi dia merasa jengkel dan marah kini perasaannya jadi tidak enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya yaitu di celah kering antara dua batu besar. Sebelum mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa Kapak Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak mustika itu dan sebuah tongkat batu memancarkan cahaya biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan pakaiannya kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan tali celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir jambu hijau mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon besar terdengar suara tawa cekikikan.
Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya menggembung dan matanya memandang menyorot ke arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian, sekali lompat dia sudah berada di balik pohon. Di situ dia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
“Kurang ajar… Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk kurang ajar itu adanya!” Wiro memaki dalam hati lalu membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan bajunya lalu dimakannya. “Hemm…Enak juga,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk… pluk…pluk… Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa cekikikan.
“Benar-benar kurang ajar!” Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon dia tidak melihat manusia atau binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihat dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk kepala. “Tadi pasti ada orang di atas pohon itu. Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara tawanya agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak dapat melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka masih menggema.”
Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa kepalanya, ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro tersenyum. “Makhluk-makhluk yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!”
Pendekar 212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mulamula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke puncaknya.
“Hik… hik! Aih nyamannya…” Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara orang.
“Aku juga enak. Aku bahagia…” Ada satu suara lain menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
“Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak sedap nian rasanya?”
“Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik…hik… hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!”
“Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya? Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik… hik…hik!”
“Jambuku juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. “Sial!” Dia menggerendeng. “Ranting dan daun pohon ini rapat sekali! Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka pasti sudah kabur lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah pohon. Lalu memutar tubuh, maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget. Matanya membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis cantik, yang wajah serta potongan tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu dengan lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang sangat halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut mereka yang tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna kepirangpirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang putih berkilat dan rata.
“Dua gadis cantik berpakaian serba putih di dalam rimba belantara. Sekian lama berada di Negeri Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang dara kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan, bangsa peri atau, jangan-jangan…” Pendekar 212 memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki gadis itu.
“Hik… hik…” Gadis di sebelah kanan tertawa. “Lihat,” katanya pada gadis di sebelahnya. “Dia memperhatikan kaki kita. Hik… hik! Di negerinya makhluk halus memang tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak menyamakan di sana dengan di sini…”
“Kalian siapa…?” bertanya Pendekar 212. Walau dia senang bertemu dengan dua dara cantik jelita itu namun hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka adalah hantu penghuni rimba belantara itu.
“Kami dua gadis bahagia!” menjawab dara di sebelah kiri.
“Aku tidak mengerti,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
“Biar aku menerangkan,” ujar gadis di sebelah kiri.
“Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan menghindarkan segala macam penyakit, membuat makhluk berumur panjang, tak ada musuh tetapi justru banyak sahabat…”
Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. “Aku setuju dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa sebenarnya?”
“Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau goncang-goncang!” jawab gadis di samping kanan sambil tidak putus-putusnya tersenyum.
“Yang tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku dengan jambu hijau?!” tanya Pendekar 212.
Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. “Itulah salah satu kebahagiaan hidup!”
“Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup?!” ujar Wiro dengan mata dibesarkan.
“Betul, karena kami melakukan bukan dengan hati jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah tahu siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia! Hik… hik… hik!”.....
Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikutikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis itu.
“Wahai, rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu pula! Kami bahagia melihat kau bisa tertawa!”
Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
“Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya,” pikir Wiro.
Lalu dia berkata. “Jadi kalian rupanya kesasar di rimba belantara ini karena mencari kebahagiaan!”
Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kanan menjawab. “Kami tidak kesasar. Kami tengah melakukan perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!”
“Mencari diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?”
“Membuat dirimu bahagia!”
“Caranya?” tanya Pendekar 212 sambil dalam hati bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal dan kelihatan genit meriah ini.
“Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban yang sebenarnya tak perlu terjadi…”
“Beban? Beban apa? Aku tidak merasa punya beban,” kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
“Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?”
Wiro mengangguk.
“Wahai, perbedaan waktu antara negeri ini dengan negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu. Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban? Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu mengapa kalian mencariku.”
“Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab,” kata gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua gadis kembar.
Aku yang tua bernama Luhkemboja dan adikku ini bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”
“Kemboja dan Kenanga… Itu dua bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati…” Rasa tidak enak kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis cantik di hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu?”
Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa panjang. Wiro bertambah curiga.
***
2
GADIS bernama Luhkemboja hentikan tawanya lalu berkata. “Kebahagiaan itu ada dua macam wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari berdasarkan nafsu. Seperti hasrat ingin kaya, ingin kedudukan tinggi dan ingin berkuasa, ingin mendapatkan anak gadis orang. Hantu Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada kebahagiaan yang diinginkan secara wajar, diniati dengan hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke dalam golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua…”Walau masih menaruh hati tidak enak namun Wiro merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini bukan kaki tangan Hantu Muka Dua, musuh bebuyutannya sejak menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam.
Gadis bernama Luhkenanga kemudian membuka mulut menyambung ucapan kakak kembarnya. “Kami mencarimu karena ingin membantu membebaskan dirimu dari beban paling akhir yang mungkin kau tidak sadar telah jatuh di atas pundakmu.”
Wiro usap-usap pundaknya kiri kanan. “Beban yang mana? Beban apa maksudmu?” Murid Sinto Gendeng ajukan pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua gadis itu semakin banyak yang dia tidak mengerti. “Belum lama berselang kau menerima sebuah tongkat terbuat dari batu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu. Kau tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak tahu pasti siapa pemiliknya. Wahai, bukankah itu suatu beban bagimu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar kata-kata itu, dua gadis kembali memandang tersenyum padanya.
“Kalian pasti salah menduga. Aku tidak pernah menerima atau memiliki tongkat yang kalian sebutkan itu,”
kata Wiro berdusta. Dia yakin, tongkat batu biru yang diterimanya dari Luhjelita dan saat itu terselip di pinggang di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang dimaksudkan dua gadis kembar ini.
“Berdusta adalah satu penyakit yang membuat manusia jadi tidak bahagia…” kata Luhkenanga pula.
“Tongkat itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum tentu aku berikan padamu karena aku yakin benda itu bukan milik kalian…”
“Memang bukan milik kami. Tapi kami mendapat tugas untuk mencarinya sampai dapat…”
“Siapa yang memberi tugas…?” tanya Wiro.
Dua gadis itu saling pandang lalu sama-sama tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak bisa memberi tahu padamu,” jawab Luhkenanga.
Wiro ganti tersenyum. “Tidak mau bicara jujur dan polos adalah satu beban yang membuat orang tidak bahagia. Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau dalam hati sendiri ada ganjalan yang tidak melapangkan dada?”
Walau kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya tetap saja melayangkan senyum.
“Aku bahagia mendengar ucapanmu,” menyahuti Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa membedakan kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa melaksanakan tugas maka itu akan menjadi satu kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan membebani dirimu dengan hal-hal yang tidak kau ingini kalau kami tidak mendapat keterangan jelas bahwa tongkat batu biru itu memang ada padamu.”
Wiro tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia bertanya. “Siapa yang memberi keterangan bodoh itu pada kalian?”
“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab Luhkemboja.
“Kekasihku?” Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. “Aku tidak punya kekasih di negeri Latanahsilam ini!”
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak.
“Siapa yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?”
Wiro jadi penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!”
“Wahai, si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?”
“Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!”
“Luhjelita!” jawab Luhkemboja dan Luhkenanga berbarengan.
Tentu saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget mendengar ucapan itu.
“Wajahmu berubah merah, sikapmu menunjukkan keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan atau bagaimana?”
“Antara aku dengan gadis bernama Luhjelita itu tidak ada hubungan apa-apa, kecuali sebagai sahabat. Di mana dia sekarang?”
“Saat ini dia berada di satu tempat aman. Terpaksa kami sembunyikan untuk dijadikan jaminan bahwa dia memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau kekasihnya sedang kau mengatakan dia hanya seorang sahabat. Dia mengatakan tongkat batu biru itu ada padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa yang berdusta, siapa yang menyembunyikan kebenaran dengan menginjak kebahagiaan?” Luhkemboja yang barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
“Wahai kakakku Luhkemboja, mengapa kita tidak memutuskan secara adil saja?” Dara kembar bernama Luhkenanga berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa gadis bernama Luhjelita itu bukan kekasih, atau belum menjadi kekasihnya tapi baru merupakan seorang sahabat saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat batu biru itu telah diserahkannya pada pemuda ini yang menurut dia bernama Wiro Sableng. Bukankah sejak tadi kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di balik baju putihnya? Wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang, apa jawabmu?”
Untuk beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri.
Kemudian sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Baiklah, kalau kalian memang sudah tahu, aku mengaku. Tongkat batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku tidak akan memberikannya. Kalau aku ingin membebaskan diri dari beban, maka tongkat ini akan kuserahkan pada Luhjelita. Katakan saja di mana dia kalian sembunyikan…”
“Dia berada di dalam sebuah goa, di satu kaki bukit di kawasan selatan. Tak jauh dari sini. Jika kau keluar dari rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan setapak, goa itu pasti akan kau temui. Wahai, demi kebahagiaan kita semua, apakah kau kini bersedia menyerahkan tongkat batu biru itu?”
“Aku akan merasa lebih bahagia jika tongkat ini aku serahkan pada Luhjelita lalu gadis itu menyerahkan padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa bahagia…” jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan tongkat batu biru pada dua gadis berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melakukan siasat hendak menipunya. Selain itu dia merasa tongkat batu biru ini pastilah satu tongkat yang sangat berharga.
“Untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang kita harus menempuh jalan berliku. Tapi jika ada jalan pintas yang sama baiknya mengapa tidak langsung dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali kepadanya…”
“Apakah kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212.
“Dari mana kau tahu nama itu?” balik bertanya Luhkenanga.
“Ketika Luhjelita memberikan tongkat itu padaku, dia menjelaskan tongkat itu ditemuinya dekat sesosok mayat seorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru Pengukur Bumi…”
“Si Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia justru yang mencuri tongkat itu dari kakek kami. Si Tongkat Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri karena dikhawatirkan akan berkhianat. Mayatnyalah yang ditemukan Luhjelita…”
“Aku percaya keteranganmu, Luhkenanga. Tapi tongkat ini tetap tidak bisa kuserahkan padamu atau saudaramu. Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama pergi ke goa di mana kalian menyekap Luhjelita. Tongkat kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh mengambil dari tangannya…”
“Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang…” kata Luhkemboja.
“Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan tugas!” jawab Luhkemboja.
“Apakah tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk mendapatkan kebahagiaan?” kembali murid Sinto Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir mereka.
“Wahai, untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang harus menempuh jalan sulit berliku,” kata Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
“Adikku, rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”
“Aku sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan aku membujuk pemuda ini sekali lagi,” jawab Luhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
“Kepercayaan adalah salah satu dasar kebahagiaan. Kami telah menceritakan kebenaran padamu. Sahabatmu Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yang ada padamu bukan milikmu. Apa sulitnya menyerahkan pada kami?”
“Kau bicara tentang kepercayaan. Aku mau bicara tentang kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan. Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan pada kalian. Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita samasama ke goa itu. Apa sulitnya menerima usulanku?”
Luhkenanga berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu berkata. “Usulmu tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita bersama. Aku mohon kau mau menyerahkan tongkat batu biru.”
Wiro balas dengan gelengan kepala.
Luhkenanga menarik nafas dalam. “Tak ada jalan lain. Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!”
Luhkemboja mengangguk. Dua gadis ini lalu melangkah mundur. Di satu tempat mereka hentikan langkah. Lalu dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan senyum tiba-tiba keluar suara gelak tawa berderai.
“Jurus Bahagia Naik ke Pelaminan!” Luhkemboja berseru.
Sosok dua gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki dirapatkan begitu rupa, dua tangan diletakkan di atas lutut. Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi atau di atas pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun tiba-tiba kaki kiri mereka ditendangkan ke depan.
Wuttt!
Wuuut!
Murid Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya. Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro hanya sempat menghindarkan diri dari sambaran angin yang datang dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja tak dapat dielakkannya.
Bukkk!
Walau angin yang melabrak, tapi begitu mengenai dadanya terdengar suara bergedebuk. Wiro seolah-olah terkena jotosan. Tubuhnya terpental sampai beberapa langkah lalu terjengkang di tepi telaga. Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkalpingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan seperti orang berenang. Selagi Wiro berusaha bangkit berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
“Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!”
Sosok dua gadis itu yang sesaat masih melayang di udara tiba-tiba menukik ke bawah, menyambar ke arah Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai dua kali segera hantamkan tangan kirinya, menyongsong gerakan dua lawan dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Namun serangan Wiro hanya mengenai tempat kosong karena dua gadis yang memiliki gerakan luar biasa cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan mereka menyambar, satu ke kepala Wiro satunya lagi ke pinggang.
Dalam keadaan seperti itu tentu saja Pendekar 212 lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan ke kepala. Sambil bergulingan dia pukulkan tangan kiri untuk menangkis serangan di sebelah atas sedang dengan menendang dia coba menghajar tangan lawan yang menyambar ke arah pinggang.
Ternyata serangan ke kepala hanya tipuan belaka. Begitu perhatian Wiro terpecah, sambaran yang ke arah pinggang tak dapat dimentahkannya dengan tendangan. Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya, melesat laksana kilat ke pinggangnya. Lalu dua suara tawa cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara tawa lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangkit berdiri. Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di situ. Gerakan mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar biasa.
“Astaga!” Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya masih ada. Tapi tongkat batu biru lenyap! Dia memandang berkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana kaburnya dua gadis kembar tadi, Wiro hanya bisa memaki sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan garukgaruk kepala. “Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan… Mereka mempergunakan jurus aneh itu untuk menyambar dan merampas tongkat batu biru yang ada di balik bajuku…” Wiro geleng-gelengkan kepala.
“Hanya sebuah tongkat batu butut. Mengapa harus aku pikirkan…” membatin murid Sinto Gendeng. “Tapi kalau cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu sangat menginginkan? Siapa sebenarnya pemilik tongkat itu? Mungkin aku harus menyelidik sementara menunggu munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning…”
Karena tidak tahu mau mengejar ke mana, ketika dia ingat keterangan Luhkemboja dan Luhkenanga tentang Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan. Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta tentang Luhjelita yang mereka sekap di dalam goa. Tapi tak ada salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh dari sana. Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam berlari seperti itu dia tidak memperhatikan lagi keadaan di sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di udara, jauh di belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya.
***
3
KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap. Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu.Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri Latanahsilam di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang hari saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali menutupi pemandangan.
Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia bisa bergerak demikian cepat di kawasan yang banyak pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu. Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang menggantung di mana-mana.
Cepat sekali bayangan hijau tadi telah berada di pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah batu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh. Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapi mempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki. Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk ini hanya mengenakan sehelai celana compang-camping. Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang putih panjang, begitu juga kumis dan janggutnya menjulai ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya ada satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang terpendam dan tak bisa dikeluarkan.
Sosok di atas batu ini masih tetap mendekam tak bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegelapan dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang muncul ini adalah satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai dari ujung rambut di atas kepala sampai ke kaki seperti terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah. Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang basah ini. Sepasang matanya juga berwarna hijau pekat. Menatap angker tak berkesip ke arah makhluk yang tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Jempol kaki kanan orang di atas batu bergerak dua kali. Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih panjang yang menutupi wajah terdengar suara berucap.
“Aku mencium bau kubangan. Di balik kelopak mataku yang tertutup ada bayangan warna hijau. Sepasang telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah. Wahai, kuharap aku tidak salah menduga. Yang muncul di hadapanku saat ini bukankah kerabat berjuluk Hantu Lumpur Hijau…”
Sosok hijau yang tegak di depan batu sesaat masih pandangi orang yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata gigi dan lidahnya juga berwarna hijau pekat!
“Puluhan tahun tidak bertemu. Mata dan telinga tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku. Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang konon disebut Hantu Langit Terjungkir. Yang dulu dikenal bernama Lasedayu? Kalau benar, sungguh dahsyat keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit Terjungkir!”
Orang di atas batu terdengar menarik nafas dalam dan panjang. “Belasan tahun tidak pernah kedatangan tamu. Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang mau datang berkunjung. Wahai kerabat lama, selamat datang di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa sampai kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak nyaman ini?”
Hantu Lumpur Hijau mendehem beberapa kali lalu menjawab. “Kedatanganku membekal maksud kurang enak. Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu.”
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir mengembang ke samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang menjulai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis.
“Datang dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai harap kau berterus terang Hantu Lumpur Hijau. Katakan apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam derita sengsara sejak puluhan tahun silam. Jangan menambah deritaku dengan tidak berterus terang…”
“Muridmu telah merampas ilmu kesaktianku yang bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!” kata Hantu Lumpur Hijau dengan suara keras bergetar tanda dia berusaha menahan didihan amarah.
Suara orang seperti tercekik keluar dari tenggorokan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Muridku? Muridku yang mana? Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai murid…”
Hantu Lumpur Hijau mendengus. “Pemuda itu datang mengagul membawa nama besarmu! Dia mengatakan membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu kesaktianku itu. Ketika aku melawan dia langsung menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali. Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur setelah berhasil merampas ilmu kesaktian itu.”
“Kau tidak menyebutkan apa pemuda itu punya nama atau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak aku memang tidak pernah punya murid!”
“Dia mengaku bernama Lajundai! Dia juga mengaku bernama Labahala! Lalu dia menyebutkan gelarnya Hantu Muka Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini!”
“Lajundai… Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!”
“Wahai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!”
“Tidak, aku bukan mengaku!”
“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”
“Maksudku,” jawab Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini…”
“Hantu Langit Terjungkir, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Lajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling aku andalkan itu…”
“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran…”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku. Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.”
“Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia memang muridmu!”
“Aku tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun silam aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak bisa melawannya!”
“Kau berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk melindunginya!”
“Dengar kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu Muka Dua, dalam keadaan kita seperti ini bukanlah tandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan, satu hari kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!”
“Aku sudah lama menunggu pertolongan Dewa. Tapi pertolongan itu mana mau datang kalau kita sendiri tidak berusaha! Hantu Langit Terjungkir, jika kau berserikat dengan muridmu terpaksa aku menjatuhkan tangan kasar terhadapmu! Ketahuilah, walau ilmu kesaktianku Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu, aku masih ada beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat ilmu yang satu itu. Tapi aku yakin akan sanggup mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!”
“Wahai, kalau begitu takdir nasibku memang buruk. Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun menderita sengsara, hidup terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke bawah, bertangan kaki seperti ini membuat kematian bagiku merupakan satu hal yang aku dambakan. Kematian akan mengakhiri semua derita sengsara itu…”
“Kalau memang kau sudah pasrah menerima kematian, akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!” kata Hantu Lumpur Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini menyerupai sebatang tombak yang meluncur cepat dan deras sekali.
Di atas batu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara berdesah. “Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun untuk selamatkan diri. Agaknya dia memang sudah benarbenar pasrah menerima kematian. Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak itu akan mendarat di dada Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di lain kejap sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat menghantam ke arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg!
***
4
SEPERTI diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir Hantu”, seluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah dirampas dan dikuras habis oleh Labahala alias Hantu Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan mempergunakan benda sakti bernama Sendok Pelangkah Nasib yang juga disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini menjadi terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan ilmu kesaktian, keadaannya jadi berubah. Dia tidak lagi bisa berdiri sebagai wajarnya manusia biasa yakni kaki ke bawah kepala ke atas. Tapi dia hanya bisa berdiri dan berjalan dengan mempergunakan sepasang tangannya. Dua kaki berada di atas, dua tangan berada di bawah. Sejak itulah orang-orang di Negeri Latanahsilam menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah dirampas seluruhnya oleh Hantu Muka Dua, namun saat itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir telah memiliki satu ilmu baru yang secara tak sengaja didapat dan dipelajarinya dari alam.Selama bertahun-tahun dia mengamati keadaan lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna putih kelabu dan terkadang tampak seperti kebiru-biruan. Ke manapun dia pergi di lembah itu sosoknya selalu dikelilingi oleh kabut. Penciuman dan jalan pernafasannya selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang sebenarnya hanya merupakan salah satu lapisan udara yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnya adalah satu kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit, hari demi hari, dia mulai menyerap kabut itu ke dalam tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama bertahun-tahun hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan seolah seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah mampu berjalan di udara.
“Tubuhku seperti kabut! Ringan sekali. Seperti kabut aku bisa bergerak ke mana aku suka. Wahai! Mukjizat apa yang telah diberikan alam padaku!”
Keterkejutan Lasedayu tidak sampai di situ. Ketika dicobanya ternyata dia mampu mengatur aliran darah dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam keadaan kaku dan dingin kini seolah dialiri hawa panas. Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau dia mampu mengatur jalan darah berarti ada kemungkinan dia juga mampu menghimpun satu kekuatan tenaga dalam baru di dalam tubuhnya.
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain.”
Lasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya. Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas. Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-biruan. Dicobanya menarik nafas dalam lalu menghembus ke depan. Selarik asap biru melesat keluar dari mulut orang tua ini.
Lasedayu berteriak gembira. “Aku memiliki tenaga dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai! Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun kegembiraannya seperti sirna ketika dia berpikir, janganjangan dia hanya sekedar memiliki kemampuan menyerap dan menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya? Bukankah di tempat dingin semua orang bisa mengeluarkan udara berbentuk seperti asap dari mulut dan hidungnya setiap kali dia bernafas? Untuk beberapa lamanya Lasedayu seperti terhenyak dalam keputus-asaan. Namun ketika dia teringat pada Labahala alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai dirinya begitu rupa, dendam berkecamuk dalam tubuhnya, perlahan-lahan semangatnya bangkit kembali.
“Aku harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam tubuhku saat ini benar-benar satu hawa sakti yang dapat kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam hati. Lalu orang tua ini kerahkan aliran darah ke kepalanya.
Sepasang matanya yang kelabu memancarkan cahaya aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu dia gerakkan dua kakinya. Menendang di udara.
Wuuttt!
Wutttt!
Dua larik sinar biru menderu di udara. Membelah kabut. Lalu di sebelah sana terdengar suara benda berderak patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur patah bagian tengah batangnya, lalu bergemuruh tumbang!
Sekujur batang pohon yang telah patah itu berubah menjadi biru!
Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak. Sosoknya lalu diputar ke arah sebuah batu besar sejarak tiga tombak dari tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau tadi dua kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt!
Selarik sinar biru menggebubu dari telapak tangan Lasedayu. Lalu di depan sana, braakk! Batu besar hancur berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi kebiru-biruan. Orang tua ini berseru girang. Sosoknya mencelat ke atas beberapa kali. Lalu dari mulutnya keluar teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua! Siapapun kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!”
Habis berteriak begitu Lasedayu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul dalam benaknya. Apakah memang perlu dia mencari Hantu Muka Dua untuk melampiaskan dendam kesumat? Seperti yang dikatakan Lamanyala, makhluk api utusan atau Wakil Para Dewa, bukankah bencana yang dialaminya akibat ulah perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh seorang bernama Latumpangan yang ketitipan sebuah jimat sakti bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati Dewa, dia kemudian mencelakai Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh atas dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur. Hidup terjungkir kaki di atas kepala di bawah! Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahanlahan mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan empat orang anaknya yang tidak diketahuinya di mana rimbanya.
“Apakah perlu aku membalaskan dendam kesumat sakit hati? Bukankah keadaan diriku sampai begini rupa karena dimakan hukum sebab akibat? Bukankah lebih baik sisa hidup ini kupergunakan untuk menanti datangnya kematian? Hanya kematian yang akan mempertemukan aku dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau memang mereka telah menemui ajal akibat bencana banjir puluhan tahun silam itu…”
Berhari-hari lamanya Lasedayu mendekam di Lembah Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran seperti itu hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk tidak mencari Hantu Muka Dua guna melakukan pembalasan. Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan diri, hanya tegak diam penuh pasrah sewaktu Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang tua ini benar-benar akan menemui ajal jika saat itu tidak ada sebuah benda berbentuk bulat menderu menangkis serangan orang.
Traaannggg!
Walau jelas benda berbentuk tombak hijau itu hanya merupakan selarik sinar namun luar biasanya begitu beradu dengan benda bulat dia mengeluarkan suara berkerontangan seolah terbuat dari besi betulan. Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Lasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.
Dukkk… Dukkkk.
Tanah lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang kaget besar ketika dia memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.
***
5
HANTU Kaki Batu…” desis Hantu Lumpur Hijau. “Apa hubungan makhluk ini dengan Hantu Langit Terjungkir hingga dia barusan bertindak menyelamatkan orang itu…” Sambil menduga-duga begitu Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam yang merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki Batu itu.Seperti Hantu Lumpur Hijau, Lasedayu juga merasa heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah menyelamatkan dirinya dari kematian.
Duukkk… duukkkk… duukkkk!
Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus batu bulat melangkah terus mendekati Hantu Lumpur Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah lalu berucap.
“Hantu Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah Seribu Kabut ini!”
Walau tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu Kaki Batu yang jelas tidak berpihak kepadanya namun ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa sangat dihina dipandang enteng. Dalam marahnya dia menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari lantai terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya permusuhan dengan diriku! Sungguh aneh!”
Hantu Kaki Batu menyeringai. “Sudahlah, tak perlu bicara berpanjang lebar. Tinggalkan saja tempat ini agar lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!”
“Pongahnya dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri urusanku dan menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak sambil melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri saat itu tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar jawaban Lakasipo.
“Antara aku dan orang tua itu tidak ada hubungan apaapa. Tapi niat menolong adalah dasar hubungan baik bagi semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!”
“Wahai! Kau menolong orang yang salah! Kau menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar hubungan baik?!”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara menggeram tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Lakasipo ajukan pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir. Apa kejahatan yang telah diperbuatnya?”
“Aku datang ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta pertanggungan jawabnya. Muridnya telah merampas ilmu kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau.
“Kalau aku tidak salah, orang tua ini tadi sudah memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan muridnya. Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa kau berkeras kepala tidak mempercayai ucapan orang?!”
“Hemmm… Kalau begitu rupanya kau sudah lama berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan kami!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
“Aku sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu jika kau ingin tahu!” ujar Lakasipo pula yang membuat Hantu Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-duga janganjangan manusia berkaki batu ini juga punya niat jahat terhadap dirinya walaupun pertama kali muncul telah menolong menyelamatkan dirinya dari serangan maut Hantu Lumpur Hijau.
“Aku tidak percaya pada ucapan Hantu Langit Terjungkir. Sama dengan aku tidak mempercayai dirimu! Aku yakin antara dia dengan Hantu Muka Dua ada hubungan tertentu!”
“Sudahlah! Kita habisi saja pembicaraan sampai di sini. Harap kau mau pergi dari sini!”
“Bagaimana kalau kau saja yang segera angkat kaki dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
Lakasipo tertawa bergelak. “Tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki merupakan lumpur lembek dan busuk! Tapi wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!”
Habis berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu jentikkan lima jari tangan kanannya.
Wussss!
Lima larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar ke arah lima bagian tubuh Hantu Lumpur Hijau membuat orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama serangan itu dia cepat melompat cari selamat.
“Lima Kutuk Dari Langit!”
Lima lobang hitam mengepulkan asap menguak di tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak!
Sang hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya dirampas Hantu Muka Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu kelemahan yakni tidak tahan terhadap hawa panas, apalagi pukulan sakti mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo!
Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”
Habis berkata begitu Hantu Lumpur Hijau lalu berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang mengapung di udara.
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Dia yang bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambut putihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian berkata. “Wahai, selama ini hanya nama yang kukenal. Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki Hantu Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat?”
“Wahai!” seru Lakasipo. “Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan dengannya!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian rambut putihnya. “Selama dunia terkembang, walau langit terjungkir seperti yang saat ini aku lihat, urusan dendam kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya memiliki satu dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa ada gunanya untuk dilampiaskan?”
“Lalu itu sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau hendak membunuh kau hanya diam pasrah?” ujar Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir kembali menyeringai. “Wahai, turut bicaramu kau sudah lama berada di tempat ini. Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi aku perlu kejelasan apakah kau datang dengan maksud baik atau membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat itu?!”
“Aku datang membekal maksud baik. Aku membawa amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,” menjelaskan Lakasipo.
“Sungguh luar biasa kejadian hari ini!” kata Hantu Langit Terjungkir sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat! Wahai Hantu Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau sampaikan pada diri tua rapuh dimakan usia dan derita ini?!”
“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin satu kejelasan bahwa kau memang adalah Hantu Langit Terjungkir yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat pusarmu yang berlubang, kulihat cara tegakmu yang terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar memalsukan diri. Hantu Muka Dua misalnya, dia bisa membentuk ujudnya seperti sosok dirimu!”
Hantu Langit Terjungkir tertawa panjang. “Aku suka pada orang cerdik sepertimu. Ada ujar-ujar yang mengatakan begini, ‘Seseorang harus tulus seperti seekor burung merpati. Tapi ada kalanya harus cerdik seperti ular.’
Hantu Kaki Batu, kau sendiri sudah mengetahui bahwa aku begitu pasrah menghadapi bahkan menginginkan kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak akan menolong menyelamatkan nyawaku dari Hantu Lumpur Hijau!”
“Wahai, mendengar ucapanmu itu aku yakin kau memang adalah Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau berkesudian menceritakan riwayat hingga kau berkeadaan seperti ini?”
Si orang tua menarik nafas panjang dan dalam. “Wahai, menceritakan nasib sendiri sama dengan menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan derita sengsara ini. Tapi mungkin juga bisa sedikit menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja…”
“Aku suka mendengar riwayatmu,” jawab Lakasipo.
“Semua derita sengsara ini terjadi ketika seorang bernama Lajundai alias Labahala yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini, bergelar Hantu Muka Dua, suatu hari di masa puluhan tahun silam muncul di lembah ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu Kabut ini rupanya dia telah mendatangi beberapa tokoh di tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata dia mendatangiku juga dengan maksud yang sama. Dia membekal sebuah benda terbuat dari emas yang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal dengan nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan alang kepalang. Karena sendok itu adalah satu-satunya benda di muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat Hantu Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku, mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku hanya merupakan satu lobang besar di pertengahan perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah setelah ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba muncul Lamanyala…”
“Lamanyala, aku pernah dengar nama itu. Siapa orang itu adanya?” tanya Lakasipo.
“Dia adalah utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dia memiliki kesaktian hebat. Sekujur tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah menjadi musuh besarku. Karena aku telah merampas dan menelan Jimat Hati Dewa yang berada di bawah pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat mengerikan…”
“Lamanyala pasti muncul untuk membalas dendam!” memotong Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala. “Dia muncul hanya untuk mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku, Hidup keluargamu moratmarit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu dia mengutuk, ‘Mulai hari ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir harap baca serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu “Hantu Muka Dua” dan “Rahasia Kincir Hantu”).
“Wahai… Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu kalau kau punya empat orang anak…”
“Empat orang anak. Tapi apa artinya…” ujar Hantu Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada…”
“Sungguh berat beban derita hidup orang tua ini,” kata Lakasipo dalam hati. Lalu pada Hantu Langit Terjungkir dia berkata. “Orang tua, karena kau sudah menceritakan riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi janji. Memberi tahu amanat apa yang aku bawa untukmu. Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama Lawungu?”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan. Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya turun naik. “Lawungu… Lawungu…” katanya beberapa kali.
“Puluhan tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada satu kelompok orang-orang yang mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya. Mereka tiga bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri. Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan masing-masing kami kemudian berpisah dan lama tak saling bertemu… Wahai! Mengapa kau bertanyakan Lawungu padaku?”
“Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang kukatakan itu,” jawab Lakasipo.
“Kau… Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku itu?!” tanya Hantu Langit Terjungkir. Dengan tangan kirinya dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai hingga kini Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas sebagian wajah orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak berdarah sedang sepasang matanya berwarna kelabu.
“Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu padamu!”
“Aku dimintanya menyerahkan benda ini…” kata Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning yang berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi.
“Sendok Pemasung Nasib!” seru Hantu Langit Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur tubuhnya bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak menangis. Tangan kanannya bergetar keras ketika diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat, dan…! Lakasipo serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru kaget. Sendok Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak ada gunanya. Yang hendak dihantam sudah keburu kabur. Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak. Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun harapan tinggal harapan. Sendok emas amblas dirampas sosok kuning tidak dikenal.
***
6
KEMBALI kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya Luhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala manusia, yang batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya penuh duri landak itu kini berada.Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati, jangan sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini hentikan larinya, memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera bergerak, memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus berwarna jingga.
“Kain jingga…” ujar Wiro berdebar. “Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah yang benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini tinggal mencari di mana goanya.” Wiro memandang berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga tidak menemukan petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada suara menderu di udara. Memandang ke atas dia tidak melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasa mulai menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping kirinya lalu meneruskan perjalanan. Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat kelainan pada serumpunan semak belukar dan pohonpohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda bekas rambasan.
“Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu. Mungkin menuju ke goa yang dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!” Berpikir begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak belukar yang terkuak. Tak lama mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna coklat. Selagi tegak keheranan Wiro kembali terkejut karena bukit batu ini kelihatan bergerak. Tidak mau mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktuwaktu bisa menghantamkan pukulan sakti.
Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada sesuatu yang lain, bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.
“Astaga, Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita…” Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita tidak berada jauh dari situ.
Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedipkedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala binatang itu Wiro berkata. “Laecoklat, bisa kau menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?”
Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali lalu palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuah mulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala manusia.
“Kura-kura pintar!” Memuji Wiro. Lalu sekali melompat dia sudah sampai di depan pintu goa. Tanpa menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam goa yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis batu putih berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap. Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba hentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan dirinya? Karena belum melihat sosok orang, Wiro melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua kalinya kembali langkah sang pendekar terhenti. Di sana, sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai goa batu putih tergeletak sesosok tubuh perempuan. Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di lantai. Hanya sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok perempuan itu nyaris tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia segera mengenali dan berseru memanggil.
“Luhjelita!”
Seperti mendengar suara malaikat, perempuan yang tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana langsung dia meraung.
“Wiro…!”
Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak pucat pasi dan basah oleh air mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih keras.
“Luhjelita, apa yang terjadi dengan dirimu!” seru Wiro lalu mendekat dan duduk di samping sosok Luhjelita. Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro lalu menangis lebih keras.
“Luhjelita, tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah terjadi. Dengar, kenakan pakaianmu lebih dulu… Aku menyesal tidak bisa datang lebih cepat menolongmu…”
“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro…” Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro lalu menangis lebih keras sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah. Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh tubuh Luhjelita yang saat itu memang tidak tertutup apaapa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis. Pada saat itulah dia melihat ada bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun gerakannya tertahan oleh suara Luhjelita.
“Wiro…”
Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk disampingnya. “Kenakan pakaianmu, baru nanti kita bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke sini…”
“Jangan… jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali. Aku… rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan pergi. Siapapun yang ada di luar sana biar saja…”
“Gadis ini sedang kacau pikiran,” kata Wiro dalam hati.
“Tadi disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi. Sekarang dia tidak mau ditinggal…”
Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha mengenakan pakaiannya, setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang pendekar jadi panas dingin.
“Gila, mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-bisa dia salah sangka!” Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
“Nah, kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini. Kelihatannya kau berada dalam satu goncangan besar…”
“Luar biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin mati saja saat ini,” jawab Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding goa.
“Ceritakan apa yang terjadi…” kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
“Aku ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Luhjelita sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah. Rambutnya awut-awutan.
Wiro lalu bercerita.
“Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia…”
Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita langsung terpekik. “Dua gadis jahanam itu! Mereka…!”
Jeritan Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan panjang.
***
Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa tunggangan yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus. Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat binatang kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya berucap.
“Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa. Melayanglah lebih rendah. Hatihati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat kita…”
Laeputih menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian angsa putih inipun melayang merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga dia terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali. Peri Angsa Putih memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling oleh semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya digosoknya.
“Lae…” bisik Peri Angsa Putih pada binatang tunggangannya. “Berputar sekali lagi, jangan terlalu cepat…”
Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih. Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya semakin kencang. Matanya membelalak dan dua tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah pucat.
“Laecoklat…” desis sang peri. “Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita! Laeputih, lekas terbang ke balik bukit sana. Melayang berputar sampai aku memberi perintah berikutnya!”
Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali. Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa Putih justru berada dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
“Wiro… Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat, kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu. Jangan-jangan antara mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu…Wahai para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus aku lakukan?!” Rasa cemburu membakar diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah sampai ke pangkal leher.
Seperti diketahui sejak dia pertama kali bertemu dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro berubah menjadi besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar, malah berubah menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Pendekar 212. Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi bangsa Peri di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya dia pernah tertarik pada lelaki gagah bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik ini lebih didorong karena hiba melihat nasib yang dialami Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal bunuh diri. Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh memilih maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar yang bakal dihadapinya. Namun dia seperti tidak berdaya. Semakin dia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya, semakin berkobar dan terpateri kasih sayang dalam lubuk hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta, semakin jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu berbagai ganjalan kemudian ditemuinya. Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul dan dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah terjalin satu hubungan. Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa seolah-olah langit hendak runtuh menyungkup dirinya. Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat tekateki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada seorang gadis yang akan memberikan cinta kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah mendengar sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya telah lama meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul kembali seperti manusia biasa itu berucap bahwa memang ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga merasa sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam, bukan bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam merenung di malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu sebabnya dia merasa lebih suka berada di Negeri Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri. Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka memencilkan diri.
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari makhluk roh bernama Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang memberikan cintanya hanya kepada Wiro? Namun setelah dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan pemuda itu. Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ, Peri Angsa Putih merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
“Gadis bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana yang hendak aku lakukan. Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu. Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan? Ah… Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Peri Angsa Putih membiarkan angsa tunggangannya melayang berputarputar sampai beberapa kali. “Daripada tambah hancur hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja dari sini. Luhjelita bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak punya kepandaian seperti itu. Aku… Laeputih, kita harus…”
Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa putihnya meninggalkan kawasan itu tidak terucapkan. Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau, akhirnya dia mengambil keputusan yang berbeda.
“Lae, kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan sampai terlihat oleh Laecoklat…”
***
7
HAMPIR tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat, Peri Angsa Putih menyusup di balik kelebatan semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu, apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng. Perselisihan mereka sampai pada saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya berjudul “Hantu Muka Dua”).Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya. Dengan dada berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa. Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin menjerit. Hatinya benar-benar terpukul. Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu bukan lain adalah si cantik genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas seperti petir menyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih.
“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro…”
Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak dapat membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka telah melakukan sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai Dewa… Wahai Peri!” Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher, berusaha menahan jeritan yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya. Khawatir dia tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu lebih lama gadis dari Negeri Atas Langit ini segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya sempat terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal karena mendadak Luhjelita memanggilnya. Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui angsa putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu tempat kelindungan, tapi dia justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat ketika dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi di langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih gulingkan diri di tanah lalu menangis tersedu-sedu. Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu ketika tiba-tiba ada cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang sejak tadi ditekapkannya ke wajahnya yang basah oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang tegak di depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap wajahnya dan membungkuk,
“Peri Bunda… Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan…”
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah cantik. Pakaian birunya yang panjang menjela-jela sampai ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun kecantikannya masih mempesona.
Peri Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan. Dalam kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana Peri Bunda tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri Angsa Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya dengan penuh kelembutan.
“Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau meninggalkan negeri kita, sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah. Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri Angsa Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.”
Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi bertambah, membuat dia kembali menangis tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai air mata. Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih dia berkata. “Peri Angsa Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat diakhiri hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka deritamu. Karena itu mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi…”
Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya lalu berkata. “Peri Bunda, semuanya serba tidak terduga. Aku… dia…” Kembali Peri Angsa Putih sesenggukan.
“Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri. Tak usah terburu-buru. Aku akan mendengarkan dengan sabar…” Kembali Peri Bunda membelai kepala Peri Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
“Peri Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah kau masih ingat pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah langit?”
Peri Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung. Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun berkata, “Wahai, tentu saja aku ingat. Pembicaraan itu sangat besar artinya bagimu bukan? Bagiku merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah ada hubungan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu saat ini?”
“Peri Bunda, terus terang hatiku memang telah melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri…”
Peri Bunda kerenyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri Angsa Putih. Atau…hemmm… Mungkinkah kau…”
“Peri Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh dari tempat ini.”
“Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula.
“Aku menyaksikan Luhjelita…”
“Luhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai kerabatku? Mengapa dia, sedang apa dia?” Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika dia berucap, “Gadis itu… Tanpa pakaian…Dia berdua dengan…” Tangis Peri Angsa Putih kembali tersembur.
Setelah tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya.
“Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahai kerabatku?”
Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata Peri Bunda jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih. Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air mata.
“Wahai Peri Bunda…” kata Peri Angsa Putih tersengguksengguk.
“Sungguh aku tidak menduga mereka mau melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara segala macam penyesalan… Sangat menjijikkan…!”
Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali baru dia berucap, “Begitulah sifat dan martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak sama dan tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit. Luhjelita, gadis perayu itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri. Begitu mudah dia menyerahkan diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku menaruh curiga dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai pemuda hidung belang. Kau dengar mereka bicara segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi karena pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum seperti itu… Dan aku yakin, pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu, setelah mendapatkan kesucian Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!”
Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke wajah, lalu kembali terisakisak.
“Peri Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan sesuatu padamu. Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?”
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggu sampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan itu berkata.
“Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa merasakan bahwa kau sangat terpukul. Kalau aku boleh bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan jika kau mau berterus terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu terhadap pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak terisak. Setelah menguatkan hatinya baru dia berkata.
“Wahai Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu pada pembicaraan kita beberapa waktu lalu…”
“Hemmm… Aku mengerti sekarang,” ujar Peri Bunda pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta pada pemuda itu…”
“Wahai Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap pemuda itu. Karena selama ini hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami. Lagipula bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat hukumannya jika sampai dilanggar…”
“Jadi benar kau telah jatuh cinta pada pemuda bernama Wiro Sableng itu?”
“Peri Bunda,” sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru itu. “Ingat pembicaraan kita dulu. Waktu itu aku menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit sana semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah dipupus ditelan sinar matahari…?”
“Aku memang ingat pembicaraan kita itu, wahai kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah jatuh cinta pada Wiro Sableng?”
Ditanya seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan kepala.
“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa Putih?”
Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya. Peri Bunda pejamkan sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat kepala dan memandang padanya. Peri Angsa Putih merasa heran melihat sikap Peri Bunda yang mendongakkan wajah dengan mata terpejam seperti itu.
“Peri Bunda…” memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih, lalu berkata.
“Kerabatku Peri Angsa Putih, jangan berisau hati. Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan. Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam keadaan seperti itu kau masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau langgar akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi dirimu tapi juga bagi negeri kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit ketika seorang peri yang kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan seorang lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian melangsungkan perkawinan yang membuahi seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak? Alam kita tercemar, segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak berhembus selama setahun penuh. Kalaupun berhembus maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Akibatnya banyak kawasan mengalami kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah. Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan. Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Karenanya wahai kerabatku Peri Angsa Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin, berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada gunanya, jangan kau lanjutkan kesesatan itu. Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu, kikis rasa kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun namanya terhadap pemuda bernama Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu kau punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas dalam mengambil keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku dan para Peri akan berusaha menolongmu…”
Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali pucat tidak berdarah. “Peri Bunda…” ucapnya tersendat. “Mungkinkah… Mungkinkah aku bisa melupakan pemuda itu? Kasih sayang, cinta tulusku terhadapnya telah terpendam di lubuk hati, menjadi satu dalam aliran darahku. Berada dalam setiap tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya yang terlihat. Wahai…”
Peri Bunda tersenyum. “Dengar baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri tidak mengenal dan tidak boleh mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap makhluk di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah merupakan satu pantangan besar yang jika dilanggar sangat mengerikan akibatnya. Apalagi pemuda itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika pertama kali dia dan kawan-kawannya muncul di sini? Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita…!”
Peri Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola mata berwarna biru bagus ini mengusap air mata yang berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda… Wahai, aku tidak tahu harus mengatakan apa…”
“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa dengan mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam hatimu bahwa kau akan menjauhkan pemuda itu dan melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku tidak akan mengungkapkannya pada Peri yang lain.”
Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanya ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak, tapi suaranya hanya keluar di dalam hati.
“Tidak mungkin Peri Bunda… Tidak mungkin aku menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam aliran darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi satu dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku harus memilih sesuatu yang lain, aku lebih suka memilih kematian…”
“Peri Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku tahu kau akan mengambil keputusan sesuai dengan semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini dan harus kembali ke Negeri Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke sana. Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk akibatnya bagimu…”
Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih lalu melesat ke udara dan lenyap di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat itu, dari balik batu rerimbunan semak belukar lebat, beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam di situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru menyadari betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu setelah mengetahui benar-benar ada gadis lain yang mencintai si pemuda. Dalam pikiran kacau seperti itu dia tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya. Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait tinggal di ujung ranting.
***
8
KEMBALI ke dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat itu Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis ini duduk di lantai goa, bersandar ke dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis dan wajahnya masih agak pucat.“Luhjelita, apakah sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi? Tadi aku menyebutkan nama Sepasang Gadis Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah meraung keras!”
“Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!” teriak Luhjelita. Lalu gadis itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa batu bergetar. Bagian yang terkena pukulan hancur berlobang besar.
“Aku ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku menghancurkan dinding batu ini!” teriak Luhjelita. Lalu, braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang seperti kesetanan hendak menghantam untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan gadis itu dan berkata.
“Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai dirasuk amarah dan melakukan hal yang hanya mencelakai diri sendiri!”
Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro coba tersenyum. Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
“Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun aku mau! Kau mau lihat bagaimana aku memecahkan kepala dengan membenturkannya ke dinding batu ini?! Mau?!”
“Jangan jadi orang gila!” kata Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si gadis dengan dua tangannya karena khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena mereka memang bukan gadis baik-baik. Mereka telah merampas tongkat batu biru yang dulu kau berikan padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu. Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu, ini yang aku tidak mengerti!”
“Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka?!”
“Siapapun mereka, mana mungkin mereka menodaimu. Mana ada perempuan menodai perempuan…” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
Luhjelita mendengus gemas. “Kau dengar baik-baik Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua gadis itu adalah gadis-gadis binal yang cuma bergairah melakukan hubungan badan dengan sejenisnya!”
Wiro melongo ternganga. “Maksudmu…” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. “Aku tidak…”
“Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu kujelaskan terang-terangan?! Menjijikkan!”
“Apanya yang menjijikkan?” tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke mulut Wiro. Wiro diam dan tenang saja. Pelahan-lahan Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan isakannya memenuhi goa itu.
“Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku benar-benar tidak mengerti…”
“Aku akan jelaskan…” kata Luhjelita akhirnya dengan suara lirih. “Dua gadis kembar itu memiliki kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya bergairah dan bernafsu pada kaum perempuan. Mereka menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu biru yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang mulut disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata memiliki kepandaian tinggi dan juga licik. Mereka berhasil membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam goa ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di mana beradanya tongkat batu biru itu maka mereka akan menodai diriku… Daripada menjadi korban kebejatan dan kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi memang dasar mereka dua manusia bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!”
“Menodaimu… Maksudmu, maaf… Maksudmu mereka mengancam hendak memperkosamu?”
Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang bersemu merah ke arah lain.
“Luhjelita, bagaimana mungkin… Bagaimana mungkin mereka melakukan hal itu padamu? Bagaimana bisa perempuan dengan perempuan… Memangnya mereka memakai apa…?”
“Pertanyaan gila!” teriak Luhjelita kembali marah.
“Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh tubuhku! Bukan cuma meraba! Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku bergantian!” Luhjelita tekapkan dua tangannya ke wajahnya lalu menangis terisak-isak. Wiro terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garukgaruk kepala. “Luhjelita… Kalaupun mereka menodaimu, kurasa saat ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau tidak sampai kehilangan kegadisanmu!”
Plaaakkk!
Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212 hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit pedas, Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidak berniat menyakiti dirimu. Aku… pikiranku sangat kacau. Semua yang kau ucapkan seperti mempermainkan diriku. Aku menyesal… Maafkan…”
Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu…Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah mengalami kejadian aneh, lucu tapi juga mesum menjijikkan. Aku bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang lelaki yang hanya punya gairah terhadap lelaki. Aku… Tapi aku tidak sempat… Ah sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa dan tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. Luhjelita mula-mula memandang dengan wajah beringas. Lalu cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau sambil banting-banting kaki (Mengenai apa yang dikatakan Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Iblis Betina”).
Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang cantik kembali kelihatan beringas. Lalu berubah sayu sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata.
“Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang lain yang tahu…”
“Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada dirimu…?”
“Pemuda sinting…! Jangan bergurau terus!”
“Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi lambat laun harus bisa kau lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa. Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali aku. Dan aku tidak akan mungkin menceritakannya pada orang lain. Lalu…”
“Sudah! Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka kuhabisi belum puas hatiku!”
“Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi. Aku sendiri sudah menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat cepat. Buktinya mereka berhasil merampas tongkat batu biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu! Sekaligus mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai membunuh mereka segala?!”
“Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai saat ini entah sudah berapa puluh gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul, mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin aku akan menjalani kehidupan memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia ini…”
“Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa…?”
“Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi…” Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu dia melirik pada Wiro. Dia tahu karena pernah melihat dan hampir mendapatkan. Di bawah pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir dapat dipindahkannya ke telapak tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan seseorang berjuluk Si Pelawak Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul “Hantu Tangan Empat”).
“Tapi apa?” Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Mencari dua gadis kembar itu?” tanya Wiro.
“Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar itu?”
“Tentu. Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku lebih dulu,” jawab Wiro.
“Kakek tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki konyol itu?”
Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.
“Karena saat itu masing-masing kita punya kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di satu tempat…”
“Setuju-setuju saja,” jawab Wiro. “Kau yang menentukan tempat dan waktunya…”
“Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah kawasan dipenuhi batu-batu berbentuk aneh. Aku akan menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang.”
Wiro anggukkan kepala.
“Kau benar-benar akan datang?” Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
“Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku pernah berdusta padamu?”
“Mana aku tahu,” jawab Luhjelita. “Mungkin di saat pertemuan, sebelum mencari Sepasang Gadis Bahagia kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo hari…”
Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. “Itu memang salah satu keinginanku!”
Luhjelita ulurkan tangan kanannya seperti hendak memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mulut goa. Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang kelindungan seseorang yang sejak tadi menunggu mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati dia berkata. “Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan kudengar sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini keluar dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya memang dia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!”
Baru saja dia berkata begitu sepasang mata biru orang yang mengintai tampak membesar ketika dari mulut goa dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluar sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin memang ada benarnya aku harus menuruti nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu! Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil cengar-cengir! Sungguh menjijikkan!” Orang ini balikkan badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada kebimbangan di wajahnya. “Wahai… Apakah aku memang sanggup melupakannya? Mungkin aku harus menemui Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga aku perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk mendapatkan petunjuk…”
***
9
LEMBAH Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon besar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu Hantu Langit Terjungkir mendesah berulang kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.“Tololnya diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal dan lengah! Hingga benda yang sangat berharga itu sampai dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan amanat orang aku sia-siakan. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menatap orang tua yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. “Hantu Langit Terjungkir, aku mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib itu.”
“Aku memang ikut menyesali kejadian ini…” kata Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. “Tapi mau dibilang apa. Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku seumur-umur akan sengsara seperti ini.” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang tua ini ternyata memiliki wajah pucat putih seolah tidak berdarah. Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah Lakasipo lalu berkata.
“Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya, seperti hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat sosok, apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga…”
“Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendok emas itu kembali…” kata Lakasipo pula.
“Terus terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu,” kata si orang tua setengah berputus asa. “Saat ini aku hanya menginginkan satu pertolongan saja darimu…”
“Katakanlah, mungkin itu bisa sebagai penebus kesalahanku,” ujar Lakasipo.
“Jika kau bertemu sahabatku bernama Lawungu itu, atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa aku ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum mati aku sangat ingin bertemu dengannya. Terutama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal istri dan empat anakku…”
“Permintaanmu pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit Terjungkir. Jika kau mengizinkan aku juga akan menyirap kabar tentang anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa istrimu bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, siapakah nama ke empat anakmu?”
Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. “Kau orang baik. Kalau anak-anakku masih hidup usia mereka kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang… Wahai. Waktu aku pergi meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda negeri, aku belum berkesempatan memberikan nama kepada masing-masing mereka…”
“Sayang sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa yang bisa aku lakukan,” kata Lakasipo lalu menyambung ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan menemuimu kembali di Lembah Seribu Kabut ini.”
Lakasipo menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia melangkah pergi sepasang kaki batunya mengeluarkan suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba orang tua ini melihat sesuatu di lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak Lakasipo. Mata Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya berdebar keras.
“Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar! Tidak salahkah penglihatanku?! Jangan-jangan dia adalah salah satu dari…” Hantu Langit Terjungkir usap kedua matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian melesat teriakan yang membahana di Seantero lembah.
“Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!”
Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan langkahnya lalu berbalik. Hatinya bertanya-tanya ada apa Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru ketika Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang api sangat dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit. Lakasipo cepat melompat mundur. Nyala api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu Langit Terjungkir tidak kelihatan lagi di tempatnya.
“Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi? Ke mana lenyapnya orang tua itu?!”
Tiba-tiba di langit terdengar suara tawa bergelak. Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada sesosok tubuh dibalut kobaran api, melesat laksana terbang menuju ke utara.
“Lamanyala… Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan Hantu Langit Terjungkir…” pikir Lakasipo. “Jangan-jangan dia telah mencelakai orang tua itu. Telah membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari sambil memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut kini disungkup kesunyian.
***
“Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas dia rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api jelas hendak memisahkan aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu. Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku mendapatkan jejak anak-anakku!”
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki Batu…” desisnya.
“Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia lain di dunia ini yang memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di belakang lenganmu sebelah kanan. Kau… Wahai para Dewa, mengapa kau putus petunjuk ini? Ke mana aku harus mencarinya? Lakasipo… Hantu Kaki Batu, aku yakin kau salah seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak menemukan tiga lainnya, kau seorang sudah cukup menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun ini. Lakasipo… Nama gagah walau bukan aku yang memberikan. Istriku Luhpingitan, wahai… Di mana kau berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah mendahuluiku ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si orang tua berkaca-kaca. Dia menghela nafas dalam beberapa kali. “Mungkin saatnya aku harus meninggalkan Lembah Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh tahun tidak akan mungkin aku bisa menemukan istri dan anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo…Aku yakin… Aku yakin sekali. Kalau saja si keparat Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran api niscaya aku sudah mendapat kejelasan mengenai dirimu.”
Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir gerakkan dua kakinya. Dua larik sinar biru membeset, membuat kabut yang mengapung bersibak di udara. Di saat itu pula sosok si orang tua berkelebat ke arah timur. Kepalanya masih tetap di sebelah bawah dengan rambut melambai awut-awutan. Mendadak ada cahaya merah membabat udara, memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir.
“Kurang ajar! Masih ada saja orang hendak mencelakai diriku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah ketika menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong gerakannya tapi tiba-tiba laksana seekor ular api membalik menghantam ke arahnya.
Sambil berjumpalitan di udara orang tua itu tendangkan ke dua kakinya.
Wuuuutttt!
Wuuuutttt!
Dua larik sinar kebiru-biruan menyambar keluar dari sepasang kaki Hantu Langit Terjungkir. Begitu beradu dengan cahaya merah terdengar suara desssss… desss!
Asap tebal mengepul di udara akibat bentrokan dua kekuatan sakti, yang satu mengandalkan panasnya kekuatan api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam yang sejuk!
Hanya sesaat setelah terjadinya dua bentrokan kekuatan dahsyat itu di kejauhan terdengar suara orang menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan entah berada di mana. Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan di tanah. Dia cepat berdiri di atas ke dua tangannya. Walau dadanya berdenyut sakit namun dia tidak menderita cidera luar maupun dalam.
“Penyerang jahanam! Membokong secara pengecut! Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih menyembunyikan tampang?!” Berteriak Hantu Langit Terjungkir.
Saat itu juga dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar keluar sesosok tubuh, melangkah tertatih-tatih. Keadaannya sungguh mengerikan.
“Jahanam kurang ajar! Memang dia rupanya!” kertak Hantu Langit Terjungkir seraya cepat kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak mustahil orang yang barusan keluar dari balik pohon itu akan menghantamnya secara licik untuk ke dua kali.
***
10
SOSOK yang melangkah ke hadapan Hantu Langit Terjungkir itu bukan lain adalah Lamanyala, makhluk yang telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil atau Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Keadaannya tidak berbeda seperti terakhir kali muncul. Tubuhnya masih dikobari api mulai dari kepala sampai ke kaki. Sisi kanan badannya hanya merupakan satu lobang menggeroak besar mengerikan. Ini akibat hantaman yang dilancarkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir sewaktu dulu terjadi perkelahian hebat antara mereka. Saat itu Lasedayu masih memiliki kesaktian Jimat Hati Dewa yang dirampasnya dari Latumpangan lalu ditelannya (Baca Episode berjudul “Hantu Muka Dua”).Walau bentrokan kekuatan hawa sakti tadi membuat Lamanyala menderita sakit cukup parah namun begitu sampai di hadapan Hantu Langit Terjungkir dia menyeringai dan semburkan tawa mengekeh.
“Tidak kira tua bangka yang sudah dikuras seluruh ilmu kesaktiannya ternyata masih membekal ilmu. Tapi sayang cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya, tidak ada yang menaruh rasa takut! Ha… ha… ha!”
Hantu Langit Terjungkir balas tertawa lalu meludah ke tanah. “Sosokmu masih berbentuk setengah manusia setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku! Jangan menyesal kalau sekali lagi kuhantam tubuhmu bisa-bisa hanya tinggal jerangkong! Ha… ha… ha!”
“Kutuk telah jatuh atas dirimu! Bertahun-tahun kau didera derita sengsara. Tapi masih saja sombong kalau bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Dari mulut, hidung dan dua telinganya menyembur kobaran api.
“Mungkin aku perlu menambahkan derita sengsaramu jadi beberapa kali lipat!”
“Wahai! Jika kau memang mampu silahkan mencoba!”
jawab Hantu langit Terjungkir pula. Lalu kedua kakinya digerakkan. Satu ke depan satu ke belakang. Sebelum kedua kaki itu menghantam, di depan sana Lamanyala tekukkan lututnya lalu serentak pukulkan kedua tangannya. Maka menggebubulah dua gelombang kobaran api, laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke arah Hantu Langit Terjungkir. Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi serangan lawan putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki dalam gerakan setengah lingkaran lalu menendang. Dua larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat datangnya dua gelombang kobaran api serangan lawan. Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas permukaan tanah, menyambar ke arah Lamanyala.
Deesssss!
Asap mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan saling bentrok dengan dua gelombang api. Lamanyala terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya terdorong hebat lalu pecah ke kiri dan ke kanan akibat bentrokan dengan kekuatan lawan. Di saat itu pula larikan sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya. Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget. Sambil berteriak keras dia melompat ke atas lalu meniup dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik kobaran api laksana gurita menyerbu Hantu Langit Terjungkir. Orang tua yang diserang tetap berlaku tenang.
Kalau tadi dia pergunakan kekuatan kaki maka kini dia hadapi serangan lawan dengan menjentikkan lima jari tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru memapasi empat sinar api serangan lawan. Kejut Lamanyala bukan kepalang. Masih setengah jalan dia sudah dapat merasakan getaran dahsyat serangan Hantu Langit Terjungkir. Sambil berseru keras dia cepat-cepat melesat ke udara.
“Belum apa-apa kau sudah memperlihatkan ketakutan menghadapiku Lamanyala! Jangan kira kau bisa lari dari tanganku! Sekali ini aku tidak memberi ampun lagi padamu!”
Baru saja Hantu Langit Terjungkir berkata begitu tibatiba dari samping kanan mencuat satu sinar hijau. Sebuah cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Lamanyala! Jangan takutkan makhluk pencuri jimat itu! Aku datang membantumu! Kita berdua masakan tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri ini!”
Hantu Langit Terjungkir karuan saja jadi tercekat besar dan berteriak keras. Serangan lima larik sinar birunya terpaksa ditarik lalu dia cepat-cepat mencari selamat.
“Kurang ajar! Makhluk keparat itu datang lagi!” merutuk Hantu Langit Terjungkir ketika melihat siapa yang menyerangnya, bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti dituturkan sebelumnya makhluk ini telah melarikan diri karena takut menghadapi Hantu Kaki Batu yang muncul membantu Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Hantu Lumpur Hijau! Terima kasih kau mau menolongku! Kita berdua pasti bisa membereskan makhluk tak berguna ini. Tapi ketahuilah, kematian terlalu enak baginya. Aku ingin membunuhnya secara perlahanlahan. Biar dia tersiksa dulu seumur-umur!”
“Kalau begitu katamu wahai Lamanyala, aku mengikut saja. Mari kita berebut pahala menggebuk manusia tidak tahu diri ini!”
Dikeroyok dua walau dia bisa bertahan sambil sekalisekali balas menghantam namun lambat laun Hantu Langit Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja dia memiliki keringanan tubuh serta gerakan yang luar biasa cepatnya hingga sampai dua puluh jurus berlalu dua lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya. Namun Lamanyala yang pernah menjadi Utusan atau Wakil Para Dewa walau cacat, selain memiliki kepandaian tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima jurus berlalu dia dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup merobohkan lawan maka dia mulai memutar otak. Hanya sebentar saja, dia segera menemui kelemahan lawan.
Seperti diketahui Hantu Langit Terjungkir yang telah dikuras habis ilmu kesaktiannya oleh Hantu Muka Dua kini memiliki ilmu kesaktian baru berdasarkan kekuatan alam, terutama kekuatan yang berasal dari kabut yang selalu menyungkup kawasan lembah. Kabut bersifat hampa dan hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan kekuatan kabut hawa panas adalah musuh utamanya. Walau sekujur tubuh Lamanyala dikobari api panas namun tidak cukup kuat untuk mempengaruhi kekuatan lawan. Maka Lamanyala lalu menciptakan kobaran api besar. Dia berlari mengelilingi Hantu Langit Terjungkir sementara Hantu Lumpur Hijau terus lancarkan serangan. Sosok Lamanyala yang dikobari api berputar mengelilingi Hantu Langit Terjungkir. Saat demi saat dia memperciut putaran lingkarannya sambil menambah besar kekuatan api yang mengobari tubuhnya.
“Celaka! Apa yang dilakukan bangsat bertubuh geroak itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir ketika dia dapatkan dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa jengkal saja sementara sosok Lamanyala tidak kelihatan lagi! “Aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya api! Tubuhku seperti mau leleh. Dua tanganku seolah berubah menjadi besi dibakar!”
Dalam keadaan seperti itu pukulan-pukulan Hantu Lumpur Hijau mulai pula bersarang di punggung, perut atau dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Dua tulang iganya malah sudah patah! Kalau dia tidak bisa keluar dari lingkaran api, paling lama orang tua ini hanya bisa bertahan tiga jurus di muka! Tubuhnya akan lumat dihantam pukulan serta tendangan Hantu Lumpur Hijau lalu hangus gosong dipanggang kobaran api Lamanyala! Sebelum ajal berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar.
Dalam keadaan siap meregang nyawa karena Hantu Langit Terjungkir tidak mungkin tertolong lagi, tiba-tiba terjadi satu keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara mendadak berubah menjadi dingin. Makin lama hawa dingin ini semakin menggila hingga dua kakek yang mengeroyok Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil kedinginan.
“Gila! Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup padam. Aku merasa dingin luar biasa!” Lamanyala menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Hantu Lumpur Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!”
Tak ada jawaban. Lamanyala berpaling dan kagetlah dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah berubah menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus hawa dingin dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah berubah menjadi patung es! Tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot membeliak tapi bola matanya tidak bisa bergerak sedikitpun!
Nyali Lamanyala menjadi leleh. Bukan saja dia merasa kecut melihat apa yang terjadi dengan Hantu Lumpur Hijau, tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya telah mati semua. Kobaran api yang diciptakannya untuk menggempur Hantu Langit Terjungkir, juga ikut-ikutan mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa dingin seperti menggempur sekujur tubuhnya, mulai dari ubunubun sampai telapak kaki. Mulai dari permukaan jangat sampai ke tulang sumsum!
“Celaka! Aku tak bisa menggerakkan dua tanganku!”
Lamanyala keluarkan seruan tertahan. “Kakiku juga kaku!”
Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hawa panas mengalir dari pusarnya tapi segera sirna. Malah rasa dingin yang menyungkup tubuhnya jadi berlipat ganda. Kini bukan hanya asap yang mengepul dari badan makhluk itu. Tapi dari pinggiran mata, dari liang hidung, telinga dan mulutnya mulai membersit darah kental. Begitu meleleh begitu darah ini membeku!
Lamanyala menjerit setinggi langit. Tapi…, hekkk! Tenggorokannya seperti tersumpal. Suaranya lenyap seolah direnggut setan. Lalu seperti Hantu Lumpur Hijau makhluk ini tak bisa lagi bergerak ataupun bersuara! Dia telah berubah menjadi patung es!
***
11
WALAU Hantu Langit Terjungkir berada sangat dekat dengan Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala yang saat itu telah berubah menjadi patung-patung kaku dingin dan mengepulkan asap, namun kakek satu ini sama sekali tidak mengalami hal seperti yang dialami kedua orang itu. Ini satu pertanda apapun yang terjadi, Hantu Langit Terjungkir tidak ikut menjadi sasaran untuk dijadikan patung es!Terheran-heran Hantu Langit Terjungkir memandang berkeliling. Pandangannya membentur sosok seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong. Pemuda tak dikenalnya ini berdiri sekitar dua belas langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang tangan dengan telapak diarahkan ke depan. Perlahan-lahan pemuda ini kemudian menurunkan dua tangannya itu lalu dirangkapkan di atas dada.
“Pemuda itu… Aku tak kenal siapa dia. Tapi agaknya dia mempunyai satu ilmu aneh. Dia barusan menolongku dengan ilmunya itu! Wahai… Aku harus menemuinya!”
Hantu Langit Terjungkir membatin sambil melirik pada dua musuhnya yang masih tak bisa bergerak tak bisa bersuara dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap dingin.
“Edan!” Tiba-tiba si gondrong membentak. “Apa yang salah! Mengapa aku ikut-ikut kedinginan dan mau kencing!” Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke dalam aliran darahnya. Tapi rasa ingin kencing memang tak dapat ditahannya lagi. Begitu tangannya digerakkan langsung saja dia menggaruk kepala lalu lari ke balik semak belukar. Di sini dia segera dodorkan celana putihnya. Belum sempat dia membuang air seninya tibatiba dari balik semak belukar terdengar orang memaki dan menjauhkan diri sebelum diguyur air kencing!
“Anak setan! Kau kira aku ini patung kayu apa! Enak saja mau dikencingi!”
Si gondrong terkejut dan memandang ke depan. “Setan Ngompol! Kau rupanya! Mengapa kau sembunyi di situ?! Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es yang aku keluarkan!”
“Wiro! Aku jengkel padamu!” kata kakek bermata jereng berkuping lebar dan sebentar-sebentar ngompol itu.
“Sudah sejak lama aku tidak ngompol-ngompol. Datang ke sini mencarimu tahu-tahu kau hajar dengan Ilmu Angin Es yang membuat aku tak tahan langsung ngocor! Itu sebabnya tadi aku sengaja mengacau agar kau juga kebagian ngompolnya! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka brengsek! Kalau kau tidak berniat nakal, Ilmu Angin Es itu tidak akan mempengaruhimu! Pasti kau memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas aku ikut-ikutan kedinginan dan tak bisa menahan kencing!” Si gondrong berpakaian putih yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya memaki.
“Hik… hik… hik! Sekali-sekali kau rasakan bagaimana enaknya ngompol di celana!” Satu suara ikut menimbrung. Suara anak-anak. Wiro putar tubuhnya.
“Naga Kuning sialan! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Bicara lagi biar aku guyur dengan air kencing!”
“Hik… hik… hik! Kalau mau mengencingi jangan aku! Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu anak ini dorong sosok si Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng memang tidak dapat lagi menahan diri. Air kencingnya mengucur dan jatuh muncrat di muka si Setan Ngompol. Memercik di kedua matanya yang jereng bahkan ada yang sempat masuk ke dalam mulutnya.
“Hueekkk!” Setan Ngompol memaki habis-habisan lalu meludah muntah-muntah!
Wiro cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya ada orang mendatangi. Ternyata orang tua yang berjalan dengan mempergunakan dua tangannya itu.
“Orang muda, aku tidak tahu mengapa kau barusan menolongku. Wahai! Aku mengucapkan terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku…” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedipkedipkannya pada Wiro. Mulutnya menyunggingkan
senyum dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau memiliki ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu kaku tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak muda berambut panjang sebahu? Yang di dadanya aku lihat ada jarahan angka 212?”
Wiro balas tersenyum. “Aku bernama Wiro Sableng…”
“Wahai! Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau…Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah pemuda asing yang katanya datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu!”
“Aku dan teman-teman ini…” kata Wiro sambil menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning, “tak sengaja kesasar sampai di negeri ini. Aku datang ke lembah ini karena mencari seorang sahabat.”
“Aku adalah satu-satunya penghuni Lembah Seribu Kabut. Apakah sahabat yang kau cari itu memang tinggal di sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir.
Wiro gelengkan kepala. “Sahabatku itu datang ke sini karena dia harus menyampaikan satu amanat untuk seorang bernama Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat keadaan dirimu, bukankah kau kakek gagah yang mempunyai julukan hebat itu?”
Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. “Sudah lama aku tak pernah tertawa,” katanya. “Bicara denganmu enak juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak muda, ucapanmu tadi membuat dadaku berdebar. Siapakah sahabat yang sedang kau cari itu? Apakah dia berpunya nama?”
“Namanya Lakasipo. Berjuluk Hantu Kaki Batu…”
Wajah si orang tua tampak berubah kaget. “Kau mencari ke tempat yang betul. Tapi sayangnya, Lakasipo telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia… Wahai, justru saat ini timbul satu permintaanku padamu. Jika kau bertemu dengan Lakasipo, katakan agar dia segera datang ke tempat ini. Dia tidak perlu mengurusi mencari Sendok Pemasung Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan dia! Sangat penting! Menyangkut rahasia dirinya dan diriku!”
“Hantu Langit Terjungkir, aku merasa heran mendengar ucapanmu. Setahuku sahabatku Lakasipo datang ke sini untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu sesuai yang diamanatkan seorang kakek sakti bernama Lawungu. Sekarang mengapa kau mengatakan bahwa dia tidak perlu mencari sendok sakti itu…?”
“Aku harus menceritakan sesuatu padamu wahai anak muda. Ketika Lakasipo hendak menyerahkan sendok itu padaku, ada seorang berkepandaian tinggi merampas lalu melarikannya!” Orang tua itu lalu menuturkan peristiwa lenyapnya sendok emas itu. Lalu menghela nafas berulang kali. “Aku kecewa sekali, benar-benar kecewa. Tapi apa mau dikata. Wahai, mungkin nasibku memang harus sengsara seumur-umur. Tapi, ada satu kejadian yang membuatku penuh harapan hidup kembali. Aku mempunyai firasat akan bertemu dengan anak-anakku kembali. Paling tidak dengan salah seorang dari mereka…”
“Kek, rupanya kau punya riwayat hidup yang luar biasa. Kau punya berapa orang anak dan apakah selama ini tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Ditanya begitu sepasang mata Hantu Langit Terjungkir jadi berkaca-kaca. “Aku punya empat orang anak. Dari seorang istri bernama Luhpingitan. Tapi aku tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Aku tak bisa menuturkan riwayatku padamu. Jika kau dapat mencari Lakasipo dan menyuruhnya datang ke sini itu sudah sangat menolong bagiku. Aku berpengharapan besar bahwa Lakasipo yang berjuluk Hantu Kaki Batu itu adalah…” Hantu Langit Terjungkir tidak mampu meneruskan penuturannya. Mungkin juga dia tidak mau bercerita terlalu banyak dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu. Melihat hal ini Wiro lalu merubah pembicaraan.
“Kek, apa benar kau tidak bisa berdiri di atas kedua kakimu. Hingga sepasang tangan terpaksa kau jadikan kaki?”
“Makhluk bernama Lamanyala itu telah menjatuhkan kutuk atas diriku. Para Dewa menerima kutuknya karena aku telah mencuri dan menelan satu benda sakti yang disebut Jimat Hati Dewa. Akibat kutukannya itu aku jadi begini…”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya, memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Kek, boleh aku mencoba menurunkan sepasang kakimu ke bawah lalu menaikkan kepalamu ke atas? Kurasa kau bisa berjalan seperti wajarnya semua orang.”
Hantu Langit Terjungkir tersenyum pahit.
“Aku sudah mencobanya ratusan bahkan mungkin ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku kembali naik ke atas. Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja…” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Wiro lalu pegang bahu orang tua itu. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol pegang dua kaki si kakek lalu menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit Terjungkir berputar demikian rupa hingga ke dua kakinya turun ke bawah, menyentuh tanah sementara kepalanya naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia.
“Ah, tubuhmu ternyata seringan kapas, Kek!” kata Wiro terheran-heran. “Nah begini cara berdiri yang benar. Wah, kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir tertawa lalu berkata.
“Anak muda, kau lihat sendiri. Kau telah berhasil membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah. Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari bahu dan kakiku!”
Wiro ikuti ucapan Hantu Langit Terjungkir. Begitu Wiro lepaskan tangannya dari bahu orang tua itu, dan Naga Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan mereka pada sepasang kaki si kakek, sosok Hantu Langit Terjungkir secara aneh mumbul ke atas lalu perlahan-lahan kepalanya berputar ke samping, terus turun ke bawah. Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum kepalanya menyentuh tanah, orang tua itu cepat ulurkan tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya.
Wiro memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan aneh dan garuk-garuk kepala. Naga Kuning mencolek tangan Si Setan Ngompol lalu berkata. “Ada keanehan pada orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong menyannya besar seperti bola dan ada hawa di dalamnya. Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu naik ke atas karena lebih ringan dari udara.”
Si Setan Ngompol menekap hidung dan mulutnya menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning itu. Ditekap di atas yang di bawah lolos. Serrr… Kakek itu kembali pada penyakit lamanya. Kencingnya tumpah tak bisa ditahan!
“Hantu Langit Terjungkir, kami akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa menemui Lakasipo secepatnya dan menyuruhnya ke sini…” Wiro memberitahu.
Hantu Langit Terjungkir anggukkan kepala lalu pegang betis Wiro dan berkata. “Kau telah menyelamatkan diriku. Di negerimu aku dengar ada ujar-ujar seperti ini, Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Kelak satu ketika aku akan mencarimu, membalas budi baikmu…”
“Kau baik hati, tapi aku menolong tidak mengharapkan pamrih…”
“Kek, aku mau tanya. Apa yang hendak kau lakukan pada dua manusia jahat itu?!” Naga Kuning tiba-tiba ajukan pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala.
“Berapa lama dia akan menjadi patung es seperti itu?” balik bertanya Hantu Langit Terjungkir pada Pendekar 212.
“Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi terkena cahaya matahari, mereka baru bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi jika mereka berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari.”
Naga Kuning menyambung kata-kata Wiro itu. “Waktu ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk, dalamnya sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran, ular air, kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu ke sana?!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. “Ada baiknya aku mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal! Ha… ha… haaa!”
Di sebelah sana Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala walau berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak mampu bersuara dan dilamun hawa dingin luar biasa tapi keduanya masih bisa mendengar apa yang diucapkan Naga Kuning tadi. Karuan saja keduanya menyumpah habis-habisan.
Ketika mereka sampai di tepi lembah sebelah timur, Naga Kuning berkata. “Wiro, sebenarnya kami mencarimu karena ada satu benda ajaib kami temui dalam sebuah goa di kawasan sebelah selatan. Jika kita mencari Lakasipo lebih dulu mungkin benda itu sudah diboyong orang…”
“Benda ajaib. Benda ajaib apa maksudmu, Naga Kuning?” tanya Pendekar 212.
“Sebuah patung batu perempuan cantik. Patung itu bisa tersenyum. Pandai mengedipkan mata tapi juga bisa menangis.”
“Jangan kau bergurau. Mana ada patung seperti yang kau katakan itu!”
“Anak ini tidak dusta. Aku sendiri ikut berada dalam goa itu…” berkata Si Setan Ngompol. “Aku sampai terkencingkencing melihat keanehan itu! Kalau saja patung itu makhluk hidup mungkin aku sudah jatuh hati dan tidak akan meninggalkannya!”
“Kalau begitu…” kata Wiro sambil menghentikan langkah dan garuk kepala. “Mungkin ada baiknya kita segera menuju ke goa itu.”
***
12
SEPERTI diceritakan dalam episode sebelumnya, “Rahasia Patung Menangis”, patung cantik Luhmintari yang hendak diboyong para Peri ke Negeri Atas Langit berhasil diselamatkan oleh Peri Angsa Putih. Patung ini kemudian disembunyikannya dalam sebuah goa di satu tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning dan Si Setan Ngompol terpesat ke tempat itu, masuk ke dalam goa dan menemukan patung Luhmintari.Kedua orang ini bukan saja heran bisa menemukan patung begitu bagus halus dan cantik di dalam goa, namun juga merasa aneh karena melihat dari kedua mata patung sesekali meluncur jatuh tetesan-tetesan air. Ketika disentuh ternyata tetesan air itu terasa hangat seperti air mata betulan.
“Aku melihat dia seperti tersenyum…” bisik Setan Ngompol dengan suara gemetar. “Aku khawatir ini satu tempat angker. Kalau aku ngompol dan kencingku sampai jatuh di tempat ini bisa-bisa ada yang bakal mengutuk diriku. Aku keluar dulu…” Sebenarnya si kakek sudah merasa takut dan dingin tengkuknya. Itu sebabnya dia buru-buru keluar. Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi kecut pula. Rasa takutnya tak dapat ditahannya lagi ketika dilihatnya mata kiri patung itu seperti mengedip! Anak ini langsung menghambur lari keluar goa.
“Kita harus mencari Wiro, memberi tahu adanya patung itu. Jangan-jangan patung itu satu patung keramat. Janganjangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!”
Si kakek setuju maksud Naga Kuning. Kedua orang itu segera tinggalkan tempat tersebut dan pergi mencari Pendekar 212 yang kemudian mereka temukan di Lembah Seribu Kabut. Dari Lembah Seribu Kabut ketiga orang itu langsung menuju kawasan di mana goa berisi patung terletak. Setelah melewati sebuah bukit yang penuh ditumbuhi bunga-bunga yang tengah mekar akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Di dalam goa lama murid Sinto Gendeng tegak terkagum-kagum memperhatikan patung perempuan cantik dengan rambut tergerai lepas itu.
“Belum pernah aku melihat patung sebagus ini. Halus sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak sanggup membuat yang seapik ini…” Wiro geleng-geleng kepala. Dia perhatikan wajah patung lalu berkata pada dua temannya.
“Kalian bilang patung ini bisa menangis menitikkan air mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat biasa-biasa saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang mengagumkan sekali.”
“Kalau tidak berpenyakit suka ngompol rasanya mau aku tinggal di dalam goa ini,” kata Si Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri tapi tangan kanannya enak saja mengusap-usap perut patung. Wiro melangkah seputar patung. Ketika dia sampai di sebelah depan patung kembali, pendekar kita mendadak tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung seperti bergerak membentuk senyum.
“Kau tak percaya! Apa kataku!” bisik Naga Kuning.
Pendekar 212 ulurkan tangan hendak mengusap bibir patung. Tiba-tiba di mulut goa terdengar suara aneh.
Buuuuttttttttttt..!
“Hai, suara apa itu?” Mata jereng Si Setan Ngompol berputar. Tangannya langsung turun menekap ke bawah.
Buuuuttttttt…!
Suara aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya memang dari luar goa.
“Ada bayangan di dinding goa. Ada orang di luar sana,” bisik Naga Kuning.
“Jangan-jangan pemilik goa, pemilik patung ini. Lekas sembunyi di balik lekukan goa di ujung sana!” kata Wiro.
Ketiga orang itu lalu menyingkir ke ujung goa di mana ada sebuah lekukan batu. Mereka mendekam di lekukan ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari tempat mereka berada ketiganya dapat melihat sebagian goa sebelah depan dan seluruh sosok belakang patung. Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu, serrrr… Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian kuning melangkah seolah melayang di dalam goa.
Buuuutttttt…!
“Ada orang masuk…” bisik Wiro.
“Kau dengar suara itu…?” ujar Naga Kuning.
“Seperti suara orang kentut…” berucap Wiro.
“Kalau memang kentut mengapa panjang amat. Juga mengapa sering sekali. Dari tadi sudah tiga kali kudengar!” kata Naga Kuning.
Setan Ngompol mendekamkan punggungnya ke dinding goa. Pejamkan mata tak berani bergerak tak berani bersuara. Dua tangannya sudah menekap bagian bawah perut menahan ngompol.
Buuutttttt…
Suara aneh itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras karena lebih dekat, pertanda sumber suara sudah berada dalam goa.
“Celaka… Aku tak tahan mau beser!” kata Setan Ngompol.
“Jangan ngawur! Harus kau tahan!” kata Naga Kuning.
“Siapa tahu ini tempat suci tak boleh dikotori. Salah-salah kita bisa kesambet semua!” (kesambet = kemasukan roh halus)
“Jangan bicara menakuti aku! Nanti aku kencing benaran!” kata si kakek mata jereng sambil cucukkan jempol kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk berjongkok di depannya.
Buuuutttttt…!
“Bunyi sialan!” rutuk Setan Ngompol. Dia sudah tidak sanggup menahan kencing. Dan di saat seperti itu tiba-tiba seperti meledak satu suara tawa keras melengking menggelegar di seantero goa. Suara tawa perempuan. Habis sudah! Setan Ngompol tak bisa menguasai diri. Kencingnya mancur, jatuh ke bawah sepanjang kaki celananya.
“Hai! Apa ini?!” ujar Naga Kuning ketika merasa punggung pakaiannya basah oleh cairan hangat. Dia menoleh ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi punggungku!”
“Jangan berisik! Tahan ucapan kalian! Lihat, ada orang aneh berdiri di depan patung!” bisik Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol segera ulurkan kepala, memandang ke arah depan. Memang benar. Saat itu di depan patung cantik Luhmintari, tegak seorang nenek-nenek yang keadaan dirinya serba kuning. Mulai dari rambut, muka sampai pada pakaian. Di atas kepalanya, pada rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan di sebelah kuduk menancap tiga buah sunting berhias batu permata warna kuning. Tiga sunting ini selalu bergoyang kian kemari.
Selain berhiaskan tiga buah sunting di kepalanya, si nenek juga memakai giwang-giwang bulat berbentuk rantai. Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung. Semuanya juga berwarna kuning. Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 lalu berbisik.
“Lihat kalung-kalung nenek itu. Salah satu di antaranya bukankah itu sendok sakti yang terbuat dari emas…?”
Wiro besarkan matanya dan perhatikan rangkaian kalung yang tergantung di leher si nenek.
“Astaga…! Kau benar Naga Kuning. Salah satu yang dijadikan kalung oleh si nenek adalah Sendok Pemasung Nasib. Jadi dia rupanya yang merampas dan melarikan sendok sakti itu ketika Lakasipo hendak menyerahkannya pada Hantu Langit Terjungkir…”
“Kita harus hati-hati. Jangan-jangan dia bangsa neneknenek jahat…” kata Si Setan Ngompol mulai kecut.
“Jahat dan sinting!” menyambungi Naga Kuning.
“Nenek seperti ini biasanya suka menggerayangi kakek sepertimu!”
“Sialan kau!” maki Si Setan Ngompol.
Tiba-tiba nenek muka kuning itu songgengkan pantatnya. Lalu, buuuuuutttttttt…! Ada suara keluar dari bagian tubuhnya sebelah bawah belakang disertai sambaran angin.
“Gila! Nenek sialan itu rupanya yang kentut sejak tadi!”
kata Naga Kuning. “Kentutnya keras amat. Lantai goa ini seolah terasa bergetar. Untung tidak mengandung bau yang membuat hidung tanggal! Hik… hik… hik!”
“Aku pingin kencing!” kata Setan Ngompol.
“Kencing saja! Biasanya tidak pakai bilang segala!” tukas Naga Kuning jengkel.
Si nenek muka kuning kembali tertawa melengking. Lalu dia melangkah ke hadapan patung, memandang dan berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala. Beberapa kali dia melangkah berkeliling sambil sesekali mengusap tubuh patung. Selama melangkah mengelilingi patung itu kentutnya terpancar berulang kali bertalu-talu. Setelah tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan patung. Sambil usap-usap kaki patung dia berkata diseling suara terkadang seperti orang meratap, terkadang seperti orang tertawa.
“Wahai patung cantik jelita di dalam goa! Pertemuan ini sungguh tidak disangka tidak diduga. Tidak dikira tidak dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan dapat menolong penyakit diriku…” Si nenek diam sebentar lalu, butttt… Kembali dia kentut. Habis kentut dia sambung ucapannya tadi. “Puluhan tahun aku mencari orang pandai. Puluhan tahun aku mencari obat. Namun wahai. Penyakitku tak kunjung sembuh! Tidak aku menenggak angin. Tidak aku menyantap udara. Tapi mengapa kentutku panjang bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa seminggu? Berapa sebulan? Berapa dalam setahun? Hik…hik… hik…! Silahkan hitung sendiri!”
Buuuutttt…!
Si nenek muka kuning bangkit berlutut lalu peluk patung batu itu. “Wahai patung batu berwajah cantik jelita. Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara? Wahai patung batu cantik jelita. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku! Jawablah wahai patung. Jawablah!” Si nenek sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa cekikikan.
“Wahai patung batu di dalam goa, mengapa kau belum juga menjawab ucapanku! Tolong diriku…”
Di balik lekukan goa Naga Kuning menggamit Wiro lalu menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat keluar dari sini mengapa tidak kau jawab saja…”
“Gila! Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau mencari penyakit. Jika sudah bosan dia pasti pergi sendiri dari sini…”
“Kalau dia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam dia nongkrong terus di sini celaka kita semua…”
“Aduh, aku kencing lagi!” Setan Ngompol bersandar ke dinding goa. Celananya kembali basah kuyup. Naga Kuning buru-buru menjauh.
Wiro garuk-garuk kepala. Ucapan Naga Kuning ada betulnya pikirnya. Dia usap-usap tenggorokannya.
“Rubah suaramu seperti suara perempuan…” bisik Naga Kuning.
“Patung batu cantik jelita,” si nenek kembali berucap.
Dan kembali kentut panjang. “Wahai patung batu cantik jelita… Aku mohon jawab permintaanku. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku…”
***
13
TIBA-TIBA di dalam goa muncul satu suara menyahuti ucapan-ucapan si nenek. Suara perempuan, agak tersendat-sendat. “Wahai perempuan tua bermuka kuning. Siapa dirimu hingga berani menginjakkan kaki mengotori goa suci ini?”Si nenek tersentak kaget hingga bangkit berdiri. Sesaat dia pandangi patung batu itu dengan wajah berubah. Lalu dia meraung panjang, menangis keras. Habis menangis dia tertawa-tawa gembira terpingkal-pingkal sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap berjingkrak dari bawah tubuhnya bertalu-talu keluar suara buuuutttttt… buuuttttt…buutttt…
“Patung baik! Ternyata kau bisa bicara! Hik… hik… hik! Jika kau bisa bicara pasti kau patung sakti keramat. Berarti pasti bisa mengobati penyakitku!”
Buuuutttttt…
“Nenek muka kuning, waktuku tidak banyak. Siapa kau adanya dan apa penyakit yang kau idap?” di dalam goa kembali ada suara perempuan.
“Wahai patung cantik jelita. Siapa namaku sebenarnya aku tidak tahu. Hik… hik… hik! Tapi orang-orang memberi aku nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek Selaksa Kentut. Hik… hik… hik! Soal penyakitku masakan kau tidak tahu waw… waw! Hik… hik! Kau sudah dengar sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap saat tubuhku mengeluarkan angin yang bisa bersuara buutt buutt!
Bukankah itu namanya kentut?! Hik… hik… hik. Aku ingin dengan kesaktianmu kau bisa mengobatiku wahai patung cantik jelita…”
“Sudah berapa lama kau menderita penyakit kentutkentut ini wahai nenek muka kuning?”
“Aku tidak ingat. Mungkin dua puluh tahun, mungkin lima puluh tahun, bisa juga lebih. Aku sudah bosan mendengar kentutku sendiri…”
“Apa ada bagian tubuhmu yang lecet akibat kentutkentut itu?”
“Geblek!” Naga Kuning menukas perlahan. “Mengapa kau ajukan pertanyaan tolol begitu?”
“Hik… hik… hik! Aku tidak pernah memeriksa wahai patung cantik jelita. Mungkin kau bisa tolong memeriksa sendiri…” Habis berkata begitu di depan patung si nenek lalu angkat bagian bawah pakaian kuningnya dan menungging.
Wiro membuang muka! Si Setan Ngompol melotot jereng. Naga Kuning tutupkan dua tangannya ke mata sambil berkata. “Rasakan sekarang!”
“Bagaimana wahai patung batu sakti. Ada yang lecet di tubuhku sebelah bawah?” bertanya si nenek muka kuning.
“Tidak… sudah…”
“Coba lihat, periksa sekali lagi wahai patung cantik jelita!”
“Mampus kau!” kata Naga Kuning pada Wiro.
Buuuttttt…!
“Sudah… sudah kuperiksa. Tak ada yang lecet!
Turunkan pakaianmu…” kata Wiro cepat.
“Wahai, gembira aku mendengar tidak ada perabotanku yang lecet atau rusak! Hik… hik… hik! Sekarang wahai patung sakti, bisakah kau menolong menyembuhkan penyakit kentut-kentutku ini?”
Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang pada Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Ubi… ubi…” bisik si kakek mata jereng.
Wiro kerenyitkan kening.
“Nenek muka kuning bernama Luhkentut, bergelar Nenek Selaksa Kentut, aku perlu tahu asal muasal penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salah makan…?”
“Wahai mana aku ingat…”
“Apa dulu kau pernah makan ubi sampai berkeranjangkeranjang…?”
“Hik… hik… hik! Kau betul! Kau tahu asal muasal sebab penyakitku! Berarti kau bisa mengobati diriku! Dulu waktu hidupku morat-marit tak karuan aku memang banyak makan ubi, ubi hutan yang hitam-hitam itu! Hik… hik… hik! Apa obatnya wahai patung sakti? Aku ingin cepat sembuh…”
Buuuuttttt…
“Kau beruntung wahai Luhkentut. Penyakit kentutmu tidak disertai bau. Kalau ada baunya akan sulit sekali disembuhkan…”
“Wahai patungku, patung penolongku…” si nenek jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil terkentutkentut.
“Apa yang harus kulakukan? Apa obat yang mujarab…?”
“Apakah sebelumnya kau pernah minta pertolongan Hantu Raja Obat?”
“Hantu keparat itu! Memang pernah…!”
“Kau diberinya obat?”
“Dia menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai diriku!” jawab Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut.
“Menipu mencelakai bagaimana?”
“Dia menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabaicabaian! Akibatnya aku megap-megap setengah mati kepanasan!”
Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol sama-sama menekap mulut menahan ketawa.
“Patung cantik patung jelita! Mengapa kau diam saja! Kau belum mengatakan apa obat buatku! Apa yang harus kulakukan…”
“Wahai, apa kau tahu ‘kibul’ ayam?”
“Ayam aku tahu. Tapi kibul aku tidak tahu…” jawab si nenek muka kuning.
“Anus… Anus ayam kau tahu?”
Si nenek menggeleng. “Anus aku juga tidak tahu! Hik…hik… hik…!”
Buuutttttt…!
“Kau tidak tahu kibul, tidak tahu anus…?”
“Tidak, aku tidak tahu wahai patung sakti cantik jelita…”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Dubur… dubur…” bisik Si Setan Ngompol.
“Kalau dubur kau tahu?!”
“Wahai, kalau dubur aku tahu betul!” jawab si nenek lalu buuutttt… dia kembali kentut.
“Nenek geblek! Padahal dubur dan anus sama saja!” memaki Naga Kuning.
“Luhkentut, dengar baik-baik. Untuk menyembuhkan penyakitmu kau harus mencari dan makan dubur ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah. Ambil bagian yang ada lancip-lancipnya. Itu yang namanya kibul! Makan mentahmentah!”
“Mentah-mentah…?!” Si nenek keluarkan suara tercekik seperti mau muntah.
“Mentah-mentah dan tidak boleh dicuci!”
Lidah si nenek muka kuning terjulur. Air liurnya muncrat. Dia seperti mau muntah betulan. Tapi kemudian malah tertawa melengking-lengking dan berjingkrakjingkrak.
“Aku sudah sembuh! Aku sudah sembuh!” teriaknya.
Buuuttt… buuutttt… buuutttt!
“Nenek Selaksa Kentut, aku menolong tidak pernah minta imbalan. Tapi sekali ini aku terpaksa melanggar pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah aku meminta sesuatu darimu?”
“Hik… hik… hik! Katakan saja! Asal kau tidak minta duburku! Hik… hik… hik!”
Buuttttt!
“Jika kau tidak keberatan, aku ingin kau memberikan kalung berbentuk sendok itu…”
Si nenek tundukkan kepala. Dia mengacak-acak kalung yang banyak bergelantungan di lehernya. Lalu tertawa panjang. “Matamu awas juga wahai patung cantik jelita. Benda ini tidak ada artinya bagiku. Kau meminta pasti aku berikan. Tapi tidak sekarang…”
“Kapan…?”
“Kalau aku sudah makan tujuh puluh tujuh kibul alias anus alias dubur ayam itu! Hik… hik… hik!”
Buuuttttt…!
“Celaka, bagaimana aku bisa menolong Hantu Langit Terjungkir…” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
“Kau yang salah. Mengapa sampai kau minta dia makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba kalau cuma tujuh saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok emas itu!” kata Naga Kuning.
Sekonyong-konyong tubuh nenek muka kuning mumbul ke atas. Ketika dia menukik tahu-tahu sudah berada di hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212 tergagau. Naga Kuning keluarkan seruan kejut tertahan sedang Si Setan Ngompol langsung mancur kencingnya. Si nenek tertawa cekikikan. Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata.
“Satu!”
Lalu, buuuttttt!
Dia menunjuk pada Naga Kuning.
“Dua!”
Buuuttttt!
Sekali lagi dia menunjuk. Kali terakhir ini pada Si Setan Ngompol. Bahkan bukan cuma menunjuk tapi sekaligus menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya kencing si kakek tumpah laksana pancuran!
Buuuttt!
“Kalian bertiga! Hik… hik… hikkk! Ketahuan! Hik… hik…hik…!”
Buuuttttt…!
“Wahai! Ternyata kalian lelaki semua! Hik… hik… hik! Yang mana di antara kalian tadi meniru suara perempuan…” Sepasang mata kuning si nenek memandang menyambar wajah-wajah di depannya.
“Aku,” kata Wiro mengakui. Dia menduga perempuan tua muka kuning itu akan marah besar atau menyerangnya.
Si nenek pandangi wajah sang pendekar sejenak lalu tertawa gelak-gelak. “Anak berambut panjang macam perempuan habis sakit panas! Siapa namamu?!”
“Namaku Wiro Sableng,” jawab Wiro.
Si nenek meledak tawanya. “Wiro Sableng! Hik… hik! Kau tahu apa arti sableng di Negeri Latanahsilam ini?”
“Aku tahu. Pernah seorang sahabat memberitahu.”
“Apa…? Apa artinya sableng?”
“Sableng di sini artinya kencing kuda,” jawab Wiro.
Luhkentut tertawa cekikikan. Lalu kentut buutttt…buuttt… buttt!
“Dengar kalian bertiga. Aku tidak tahu permainan atau tipuan apa yang kalian lakukan. Tapi kalau sehabis makan tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak sembuh, kalian bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan kupanggang! Ingat itu baik-baik! Awas!”
Wiro tetap tenang. Naga Kuning kelihatan kecut sementara Si Setan Ngompol kembali mengucur air kencingnya.
“Hik… hik…! Aku sembuh! Aku sembuh!”
Si nenek jingkrak-jingkrakan. Dan seperti tadi kentutnya kembali memberondong.
Buuutttt… Buuutttt… Buutttt!
“Kalian bertiga ingat perjanjian kita! Hik… hik… hik!” Si nenek kedipkan matanya pada Si Setan Ngompol lalu kembali kentut, banyak dan panjang.
“Eh! Aku ingat sesuatu!” Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana aku yakin kalian tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti terbukti aku tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah satu kalian! Jaminan berupa… Hik… hik! Potongan salah satu bagian tubuh kalian!”
“Mati aku!” kata Naga Kuning dalam hati.
Wiro terkesiap sedang si kakek Setan Ngompol sudah jatuh melosoh ke lantai goa.
“Wahai! Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan salah satu daun telinga kalian! Hik… hik… hik!”
Si Setan Ngompol dan Naga Kuning langsung tekap kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi mengawasi waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut.
“Siapa yang sukarela mau menyerahkan sepotong kupingnya?!”
Tak ada yang menjawab, tak ada yang bergerak. Luhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu. Ketika dia memandang pada Naga Kuning, bocah yang ketakutan kupingnya mau diambil ini segera berkata sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol. “Kuping dia saja. Kupingnya besar lebar!”
“Anak jahanam! Biar kutendang bokongmu!” Setan Ngompol marah besar. Kaki kanannya hendak ditendangkan.
“Sudah! Serahkan saja kupingmu! Daripada dia minta bagian tubuhmu yang lain! Apa kau mau menyerahkan anumu!” teriak Naga Kuning karena saat itu dilihatnya si nenek mulai bergerak mendekati.
“Anak setan!” Si Setan Ngompol tendangkan kakinya.
Tapi gerakannya didahului si nenek. Mendadak Setan Ngompol merasakan ada sambaran angin halus di pipi kanannya. Lalu telinganya terasa dingin sekali. Dia cepat meraba telinganya yang kanan. Astaga! Daun telinganya yang lebar tak ada lagi!
Si nenek tertawa panjang sambil ulurkan tangannya. Di atas telapak tangannya yang terkembang kelihatan potongan daun telinga Si Setan Ngompol.
“Gila! Dia benar-benar mengambil telinga kakek itu! Bagaimana mungkin! Bagaimana dia melakukan? Tak ada darah dan si kakek seperti tidak merasa sakit!” Wiro terheran-heran tapi rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuning mendelik. Mukanya pucat dan mulutnya ternganga. Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah kanan tak ada lagi, Si Setan Ngompol terlonjak lalu berteriak tak karuan. Di sebelah bawah kencingnya berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut. Dia lambai-lambaikan potongan daun telinga Si Setan Ngompol. Lalu sambil tertawa cekikikan dia berkelebat lenyap di mulut goa.
“Lebih baik kita segera tinggalkan goa ini!” kata Si Setan Ngompol sambil tekap telinga kanannya yang sudah rata.
Wiro dan Naga Kuning menyetujui. Ketiganya segera menuju ke mulut goa. Tapi belum sampai, tiba-tiba meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning berkelebat. Ketiga orang itu terdorong seperti dilanda angin dan jatuh tumpang tindih di lantai goa. Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning telah berdiri di mulut goa, menghalangi jalan mereka. Si Setan Ngompol jadi pucat pasi dan terkencing-kencing.
“Celaka! Jangan-jangan dia mau minta kupingmu yang satu lagi!” bisik Naga Kuning pada Setan Ngompol, membuat kakek ini bergeletar ketakutan dan basah lagi celananya.
“Mending kalau cuma kuping! Bagaimana kalau si nenek minta barang langka yang ada di bawah pusarmu!” ujar Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya.
“Wahai! Aku lupa menanyakan! Anak muda bernama Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus kumakan mentahmentah itu! Dubur ayam betina atau ayam jantan?!”
Wiro garuk-garuk kepala. Bingung menjawab karena memang semua yang dikatakannya itu cuma dikarangkarang. Tapi tidak diduga akibatnya jadi begini!
“Dubur ayam jantan Nek!” yang menjawab Naga Kuning.
Luhkentut pelototkan matanya yang kuning. “Aku bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan padamu!” Lalu si nenek berpaling pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng ini cepat berkata. “Benar Nek, memang dubur ayam jantan!”
“Heemmmmm, begitu? Hik… hik… hik!” Si nenek manggut-manggut lalu tertawa dan, buuutttt… buuuttt!
Sehabis kentut panjang dua kali itu dia melirik pada Setan Ngompol, kedip-kedipkan matanya, memutar badan dan berkelebat pergi.
Wiro menoleh pada Naga Kuning. “Anak geblek! Mengapa kau katakan padanya kalau dia harus makan dubur ayam jantan?”
“Dubur ayam jantan keras dan alot!” sahut Naga Kuning. “Biar nenek itu kesusahan memakannya! Bisa-bisa dia kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi susah. Biar gantian dia nanti yang susah!”
Wiro jadi tertawa bergelak. Si Setan Ngompol walau dalam bingung berat akibat kehilangan telinga kanan tapi akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga Kuning itu.
INDEX WIRO SABLENG | |
110.Rahasia Patung Menangis --oo0oo-- 112.Rahasia Mawar Beracun |